Friday, April 25, 2008

RIMBA

By: Adi Warsidi

Raung buldozer gemuruh pohon tumbang,
berpadu dengan jerit isi rimba raya,
tawa kelakar badut-badut serakah,
tanpa HPH berbuat semaunya...
Lestarikan alam hanya celoteh belaka,
lestarikan alam mengapa tidak dari dulu...
ooohh mengapa???

Spontan saja bibir ini bergerak melafalkan bait di atas, saat saya menulis tentang hutan. Irama jari tangan jatuh ke keyboard pada notebook bagai piano. Larut dengan tembang lawas yang tercipta sekitar tahun 1990-an, milik penyanyi rakyat, Iwan Fals.

Belum lagi, ketika melihat foto-foto hasil jepretan kawan-kawan. Ada hutan gersang, ada alur sungai yang kian berkurang debit airnya, ada kayu gelondongan yang diangkut, ada kebakaran hutan yang menghanguskan, ada pembukaan lahan yang tak ramah dan semuannya.

Iwan telah mengingatkan kita sejak lama, soal hutan yang kritis. Alam jadi tak seimbang ketika rimba semakin habis, banjir dan longsor datang. Satwa liar mengamuk dan manusia juga yang menjadi korban kemudian. Pelajaran selalu datang ketika alam mengirim petaka, banjir bandang di Aceh Tenggara, Oktober 2005 silam, banjir bandang di tujuh kabupaten/kota pada wilayah Aceh bagian bagian utara, timur dan tengah pada Desember 2006 lalu.

Harimau dan gajah pun ikut protes, tapi tak mengusung spanduk, ketika habitat mereka terjarah parah. Aksi mereka dengan auman, dengan cakar, dengan taring, dengan belalai, dengan gading dan kaki kekar yang menginjak-injak. Lagi-lagi, kaum kita juga yang menjadi korban.

Andai saja harimau dan gajah dan seisi rimba bisa berkata, pasti dia akan berpesan; ‘Cukup Sudah, jangan lagi jarah rumah kami’.

Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi,
Musnah dengan sendiri-nya akibat rakus manusiaaaaa....

Lagi-lagi, penyanyi country itu dalam bait lagunya.

***
Kala kondisi rimba miris, pemerintah Aceh punya konsep baru yang tak baru lagi. Maklum, soal pelarangan hutan telah diimbau dari dulu. Pada 6 Juni 2007, Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh mendeklarasikan Moratorium Logging untuk sebuah kebijakan jeda tebang. Kata Irwandi, “bukan hanya yang illegal, yang legal saja dilarang.” Artinya secara teori, tak ada pohon lagi yang tumbang setelahnya.

Tapi, ada satu yang mengkhawatirkan. “Pakai apa Pemerintahan Aceh mengawasi hutan, modal ngomong saja atau hanya sekedar mengejar popularitas dan simpati,” celoteh seorang kawan. Tapi bagi saya, langkah itu kendati bukan hal baru mesti didudukung. Hutan tak boleh dibiarkan gundul dan dalam hal ini Pemerintahan Aceh, 200 persen benar.

Tapi, kadang saya juga geli sendiri melihat kenyataan di lapangan. Hutan makin banyak yang bopeng bahkan lebih dari sebelum damai ada. Wajar, perang kadang menjadi pagar sendiri buat hutan. Mana ada orang bodoh yang mau menebang di rimba yang kerap terjadi kontak senjata. Kalau pun ada, satu-dua.

Setelah damai, jangan tanya. Di Lhoong, di Jantho, di Bireuen, di Aceh Tenggara, di Bener Meriah, di Aceh Selatan, di Aceh Timur, di Aceh Utara dan hampir seluruhnya, saban hari ada saja pohon yang tumbang. Setelah deklarasi sama saja. Fenomena ini menabalkan, moratorium logging seakan tak punya taring.

Sulit memang. Dengarlah komentar Kek Abu, umurnya hampir 70 tahun, seorang penduduk lokasi hutan di Lhoong, Aceh Besar. Katanya debit air sungai di sana kian kurang karena rimba tak rindang lagi, beda dengan waktunya masih muda yang kondisi sungai selalu normal.

Siapa pelakunya, Kek Abu tertawa lepas menampakkan giginya yang tak utuh lagi. “Pane mungken hana ka teupu (mana mungkin kamu tidak tahu).” Setelah memaksa, Kek Abu pun cerita. Ada warga yang tinggal di sekitar hutan, mereka punya beking Si Anu dan Si Anu... Namanya memang biasa saja, tapi embel-embel di belakangnya, saya ngeri sendiri menuliskannya. Tak percaya, menyamarlah sekali-kali turun ke dasar hutan, jangan asyik menuduh orang menyebarkan fitnah dan mengutuk pelaku pembabat hutan dari balik meja.

Hutan memang menggiurkan. Tapi mencegah pembalakan hutan hampir mustahil dilakukan tanpa langkah memajukan ekonomi masyarakat seputar rimba. Masyarakat harus diajarkan untuk melupakan kayu, dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu lainnya. Satu lagi, berikan solusi pekerjaan lain buat warga, agar mereka lupa kayu-kayu itu dan jangan asyik berpikir tentang isi rimba yang menggiurkan. Caranya, pemerintah punya cerdik pandai di sekitarnya. Saya yakin pasti bisa, asal mau saja. Jadi bukan hanya sebatas melarang. []

Banda Aceh, November 2007. [Aceh Magazine]


AZASI

By : Adi Warsidi

Azasi adalah hak yang dijamin Tuhan. Hak ini dapat ditelusuri dalam konsep-konsep hukum dan keadilan sejak zaman Adam dan Hawa. Tuhan menjaminnya dalam kitab-kitab, misalnya Alquran dalam Islam, Injil dalam Kristen, Lotus Sutra dalam Budha dan kitab suci lainnya. Setidaknya ada satu perintah yang dilarang, membunuh, menyiksa, mengambil hak seseorang dengan semena-mena.

Seiring zaman, dunia menyusun hukumnya sendiri yang tak jauh dari ajaran Tuhan. Contohnya sebuah deklarasi yang diakui negara-negara di dunia, Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) 1948 berfatwa; ‘Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan... dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama .... atau kedudukan lain’.

Nah... itu teorinya, prakteknya bisa saja jauh melenceng. Lihatlah pada bentangan selebar jagad, adakah yang kuat adil kepada yang lemah? Negara yang kuat sering menyerang negara yang lemah, yang gagah sering menggagahi yang lugu, yang besar sering memukul yang kecil, yang bersenjata kerap menembak seenaknya saja.

Di Indonesia -negara kita- sama saja. Aceh bagiannya juga bernasib sama, ada keadilan-keadilan yang tak rata. Rakyat kecil umumnya.

***
Di Aceh. Ada yang selalu saya tanyakan ketika bertemu kawan-kawan, umumnya dari para petinggi atau aktivis. Rutinnya ... kepada para aktivis. Pertanyaannya kira-kira seperti ini; Bisakah menghadirkan Pengadilan HAM atau KKR?

Jawabannya beragam, ada yang bisa, ada yang tidak. Ada yang tanpa alasan dan ada dengan segudang pernyataan. Intinya, dua jawaban itu hampir sebanding, hanya satu dua yang menjawab ‘No coment’.

Di Aceh, isu itu memang menghangat sejak Aceh ‘Merdeka’. Jangan panik dulu... ‘Merdeka’ di sini bukan dalam arti pisah dari Indonesia, tapi bebas dari perang, setelah damai disepakati pada 15 Agustus 2005 lalu. Ada yang istimewa soal mengatur sendiri pemerintahan, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Sebagai penelusuran yang (kurang-lebih) sesuai dengan MoU Helsinki. Ada amanat di sana untuk menegakkan keadilan bagi korban di Aceh. Tapi ada juga kendala, setelah Mahkamah Kontitusi membekukan UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR Nasional. Bukankah KKR Aceh mengacu ke sana? Lagi-lagi, ini tertuang dalam UU-PA dan MoU Helsinki.

Sesulit mencari ketiak ular, begitulah ibaratnya. Sulit menghadirkan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh dalam waktu dekat. Satu sisi, deadline sudah lewat seperti tercantum dalam UU-PA; setelah setahun UU itu disahkan. Satu sisi lagi akan mudah, karena tak ada lagi batasan yang harus dikejar.

Optimis dan pesimis bercampur baur dalam pemikirannya memandang payung bagi azasi itu. Sebutlah jika azasi yang dijamin Tuhan itu didatangkan melalui Qanun (Peraturan Daerah) yang mengacu pada UU-PA. Pertanyaannya, bisakah semudah menengak secangkir kopi pagi di warung Solong, Ulee Kareng? Entahlah...

Belum lagi soal pemahaman di majelis rendah. Coba tanya saja kepada mereka di pelosok Pidie atau Bireuen. “Saya tak begitu mengerti apa itu,” seorang korban pernah mengadu. “Tapi bagi saya, keadilan kepada korban harus ada di Aceh,” gugatnya.

Ngomong azasi, itu penting di sudut bumi mana saja. Tapi kerap yang menyangkut azasi kelas bawah, putus di tengah jalan. Bukankah terlalu panjang merunut kisah-kisah itu? Sejak dulu, kala Aceh masih perang.

Lihatlah, dimana keadilan untuk kasus pembantaian Tgk Bantaqiah dan murid-muridnya pada 23 Juli 1999. Peristiwa simpang KKA pada 2 Mei 1999, peristiwa di Idi Cut dan Krueng Arakundo pada February 1999, lalu ada kasus pembunuhan terhadap aktivis RATA pada Desember 2000. Lalu ... lalu, ada ratusan lainnya yang terdiam bagai peti es.

Peti es ini, bisa jadi mencair suatu saat. Pengalaman yang paling berharga yang sering muncul adalah soal generasi pendendam. “Saya ingin mencari pembunuh ayah saya,” kata seorang anak yatim di Bireuen, yang ayahnya meninggal semasa konflik.

“Saya sebenarnya masuk polisi karena ingin membalas kematian keluarga saya yang dibantai,” kata seorang polisi kepada saya. Begitulah, generasi-generasi Aceh menjadi pendendam dari hari ke hari, jika semua ini tak diselesaikan secara damai.

Damai memang telah ada, tapi soal keadilan bagi korban belum ada. Bukankah banyak korban dan keluarganya yang berpesan, ‘Tidak ada artinya perdamaian tanpa keadilan buat korban.”

Banda Aceh, September 2007.

Ruang Kecil untuk Wartawan

By : Adi Warsidi

Saat damai masih muda, pekerja pers merasa lega. Ruang kebebasan kian terbuka.

AKU DUDUK berhadapan dengan felix Heiduk, 30 tahun, pada sebuah lobi hotel awal April 2005, di Banda Aceh. Peneliti dari Institut Jerman Urusan Politik Internasional itu punya tugas besar, mengamati perkembangan pers pasca tsunami, di Aceh khususnya.

Saat itu, Felix yang bertugas untuk unit Asia begitu bersemangat. Maklum, dia begitu paham dengan kebebasan pers di Aceh dalam masa konflik, belum lagi status darurat yang kemudian ditetapkan pemerintah, Mei 2003. Pasca tsunami, pemikirannya lain, ratusan NGO asing masuk ke Aceh dengan menarik perhatian puluhan pekerja pers Internasional. Dia menilai kebebasan pers telah dimulai di Aceh, setelah sempat terkungkung dalam perang. “Sekarang saya tahu masih darurat, tapi sepertinya lain,” sebutnya memulai diskusi.

Enam pertanyaan yang mengganjal pikiran, tentang kebebasan pekerja pers dalam melakukan pekerjaannya, diajukan. Umumnya berkaitan dengan suasana politik keamanan di Aceh. Dari status darurat, perubahan saat tsunami sampai kepada bebasnya melakukan liputan. “Pers sudah lumayan bebas,” aku menyeru.

Felix tak menerima begitu saja, “bagaimana kalau anda meliput kegiatan GAM di markasnya, lalu anda membuat tulisan secara detail lengkap dengan identitas anda?” Itulah pertanyaan keenam yang diajukan.

Aku tersentak, mengingat liputan di markas GAM, pada satu bulan pasca tsunami. Isi wawancara dan foto Jurubicara GAM Aceh Besar, Muchsalmina memang terpampang di media, tapi indentitas penulis masih dikaburkan redaksi, alasan keamanan. Lalu masih ada salah satu fotografer Assosiated Press (AP), warga negara asing, yang sempat masuk markas GAM, beberapa hari sesudahnya. Foto Petinggi GAM itu juga terpampang di situs AP, dengan nama lengkap si jurnalis, tapi dia langsung pergi sesudahnya. Masih ada beberapa lagi, dengan cara diam-diam dan penuh resiko.

Setelah mendapat jawaban, Felix sampai pada kesimpulannya, “not freedom press.” Bukan tanpa alasan, dia mengungkapkan kalau pekerja pers masih merasa terancam dengan tulisannya, maka pers belum bebas. Dia merujuk pada pemberontak di Irlandia Utara (IRA), yang bebas diliput pers. “Malah kami bisa mengundang pemimpinnya untuk kegiatan pers dengan aman,” ujarnya.

Tapi Felix tidak memungkiri, ada sedikit perubahan dalam kebebasan pers pasca tsunami. Minimal, banyak pekerja pers yang masuk ke Aceh untuk meliput tsunami, yang kemudian secara diam-diam ambil bagian meliput konflik di Aceh. Bandingkan dengan dua tahun lalu, hampir tak ada pekerja pers asing di Aceh, dan pers sangat tertekan.

***
PENEKANAN terhadap pers di masa darurat mempunyai catatan tersendiri. Pada masa darurat militer, Endang Suwarya sebagai penguasa kala itu membatasi gerak wartawan dengan Maklumat No. 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.

Membatasi ruang gerak, juga dilakukan dengan mengidentifikasi wartawan melalui kartu pers Merah Putih, keluaran media center PDMD. Pengekangan kembali dilanjutkan pada masa dararut sipil, dengan Maklumat PDSD No. 4 tahun 2004, yang mengatur tatacara jurnalis dalam meliput konflik di Aceh.

Bahkan PDSD juga pernah mengeluarkan himbauan untuk media di Aceh, agar menyiarkan iklan keberhasilan PDSD di medianya, pada 1 september 2004. Menurut PDSD, hal itu mempunyai dasar yang kuat, UU No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan Keppres No 43 Tahun 2004, tentang penerapa status darurat sipil. Puncaknya, ketika PDSD juga mengeluarkan Maklumat khusus, melarang wartawan untuk meliput semua kegiatan GAM menjelang Milad GAM, 4 Desember 2004 lalu.

“Mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja,” sebut (Alm) Muharram M. Nur, Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Banda Aceh, kala itu.

Status darurat yang dimulai 19 Mei 2003, juga merupakan permulaan pers memasuki masa darurat. Stanley, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam sebuah tulisannya setelah Darurat Sipil dicabut (18 Mei 2005), menyebutnya dengan ‘Dua tahun masa darurat pers’.

Stanley mencatat, selam dua tahun itu di Aceh ada wartawan diancam, dipukuli, diculik, disandera dan bahkan dibunuh. Wartawan yang lain yang dianggap memiliki gaya berpikir kritis diusir ke luar wilayah Aceh. Walaupun ada beberapa yang tetap mencari dan menyebarkan berita dengan menembus berbagai kesulitan.

Pasca tsunami, menurutnya media dan insan pers di Indonesia perlu mendapat pujian. Melalui liputan, para wartawan telah mampu menggalang munculnya solidaritas masyarakat dunia. Bayangkan bila pers tak hadir di Aceh saat itu, penguasa darurat sipil di Aceh ataupun aparat militer tak memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dunia dengan dasyat seperti itu. “Barangkali ini adalah pelajaran mahal yang jangan diulang, menghalangi pers bekerja secara independen dan bekerja mengandalkan nurani,” tulis Stanley.

Pemimpin Harian Serambi Indonesia, H. Sjamsul Kahar menilai pada masa darurat, pers mengalami pengendalian. Karena pada saat itu, informasi yang diperoleh tentang konflik hanya satu pintu, yaitu militer. “Tidak bisa dapat dari sumber-sumber lainnya,” sebutnya di Banda Aceh, 22 oktober 2005.

Muhammad Saleh, Pemimpin Redaksi Tabloid MODUS Aceh berpikiran sama. Ada penekanan-penekanan terhadap pers pada saat darurat di Aceh. “Bukan hanya pada saat darurat, depresi terhadap jurnalis sudah ada dari dulu,” sebutnya.

Dia mengakui, dulunya sulit menjadikan GAM sebagai sumber berita. Tetapi, banyak juga media yang tetap memberikan porsi walaupun lebih kecil. “Sejauh apapun pemerintah memberikan penekanan, insan pers punya aturan sendiri, sejauh mana media bisa independen, itu adalah trik yang diterapkan media, dalam status apapun,” sebut Saleh.

Penekanan pers dimasa konflik bukan hanya dilakukan oleh pemerintah melalui TNI/Polri, tapi juga GAM. “GAM juga menjadi ancaman tersendiri, saat itu,” sebut Saleh.

Tercatat, beberapa kasus penekanan terhadap pers juga dilakukan oleh GAM. Saat itu, beberapa mobil sirkulasi milik Media Serambi Indonesia ikut dibakar, sebagai tuntutan GAM terhadap pemberitaan yang seimbang. Masih ada kasus penculikan Ersa Siregar serta Ferry Santoro di Aceh Timur. Kasus ini menjadi puncak terburuk perlakuan terhadap insan pers di Aceh, dalam masa konflik. Ersa kemudian meninggal dalam sebuah kontak senjata, 29 Desember 2003, di Peureulak, Aceh Timur. Sementara Ferry dibebaskan GAM pada 16 Mei 2004.

***
DAMAI diteken.
Ribuan warga menyerbu Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Agustus 2005. Puluhan tokoh masyarakat, pejabat, menteri, panglima dan para penguasa di masa daruratnya berbaur. Wartawan dari berbagai media nasional, lokal dan bahkan asing tak ketinggalan, mengabadikan peristiwa itu. Maha penting, sebuah hajatan permohonan doa dimulai, saat para pemimpin GAM dan Pemerintah Indonesia menandandatangani kesepakan damai, di Helsinki, Filandia.

Sejak saat itu, pers begitu bebas mondar mandir, menuliskan apa saja yang terekam, tanpa ragu lagi menyebut nama GAM dan petingginya. Mewawancarai sebagai sumber baik secara langsung maupun melalui telepon. Bahkan, beberapa petinggi GAM di lapangan, mengundang wartawan ke markasnya. “Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa masuk lagi ke markas GAM dan bebas menjadikan mereka sebagai sumber,” sebut Nani Afrida, wartawan The Jakarta Post saat itu.

Para wartawan semakin rajin menghubungi GAM, membuat pemberitaan semakin berimbang. Ditambah lagi dengan keberadaan Tim Misi Pemantau Keamanan (AMM) yang membuka akses lebih jauh terhadap keberadaan para jurnalis. “Kita akan membuka informasi kepada semua kawan-kawan pers,” Pieter Feith, Ketua Tim AMM dalam konferensi pers pertamanya di Media Center Infokom NAD, Banda Aceh, 15 Agustus 2005. Puncaknya, ketika amnesty untuk GAM diumumkan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Agustus lalu. Semua pihak, TNI/Polri dan GAM memberikan sinyal itu.

Semangat muncul kembali di kalangan jurnalis, media asing dan nasional kembali berlomba-lomba mengirim wartawannya untuk mengawal perdamaian. Pengekangan pun sudah hilang, semua pihak membuka akses lebih jauh untuk wartawan. “Kita membuka “Pasca perdamaian Helsinki, kita sangat terbuka, bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun, baik militer maupun GAM,” sebut Sjamsul Kahar.

Menurutnya, setelah perdamaian aktivitas pers tak ada kendala lagi, tergantung bagaimana setiap media melihat dan memberitakan tentang Aceh. “Itu pengaruh dari damai, walau tidak mutlak,” sebut Sjamsul.

“Pers lebih bebas pasca damai,” ujar M. Saleh. Dia beranggapan, pers di Aceh akan maju pesat setelah damai, karena tak ada lagi penekanan yang bisa membuatnya lebih maksimal.

Sudah bebaskah pers di Aceh?
Suatu siang 10 September 2007. Puluhan wartawan menyerbu pendopo gubernur NAD, Banda Aceh. Sebuah konferensi pers tentang pelucutan senjata GAM tahap pertama akan digelar oleh AMM dan para petinggi RI juga GAM. Seperti biasa, sambil menunggu senda gurau kerap dilakukan insan pers.

Tiba-tiba, “saya dari Tempo, pak. Tempo-tempo ada, tempo-tempo tidak,” seru salah seorang diantara kami, memperkenalkan diri dan medianya, pada salah seorang pejabat. Beberapa diantara kami kaget, termasuk Yuswardi Ali Suud, Koresponden Tempo di Banda Aceh. “Aduh, ini merusak,” serunya.

Nyaris saja Yuswardi melabrak kawan tadi, tapi urung. “Dia intel yang pura-pura jadi wartawan,” seru salah seorang kawan yang lain. Yuswardi kecut.

Bukan hanya di Banda Aceh, intelijen berkedok wartawan juga muncul di Meulaboh, Aceh Barat dan Lhokseumawe, Aceh Utara. Kota yang menjadi dua markas Komando Resort Militer (Korem) di Aceh. “Mungkin telah mengubah target operasi dari memburu GAM menjadi pemburu informasi,” sebut Rangga (nama samaran) salah seorang pekerja pers di Meulaboh.

Modusnya sama, membawa kamera dan handycam dalam mengikuti setiap konferensi pers, umumnya yang diadakan oleh AMM. “Sering mereka mencocokkan data dengan yang kami dapatkan,” sebutnya. Rengga mengakui, kadang hubungan itu saling menguntungkan, karena para intelijen mereka memiliki informasi yang belum tentu didapatkan oleh wartawan. Tapi, “hubungan ini dapat mempengaruhi profesionalisme jurnalis dalam meliput,” sebutnya.

Jelas, sudah menjadi rahasia umum di kalangan jurnalis Aceh, intelijen selalu ada dalam setiap acara konferensi pers di Aceh. Bertingkah bak wartawan, dengan menenteng kamera dan tape recorder, mereka juga menulis seperti wartawan layaknya. Kadang, sebagian di antara mereka juga mengantongi kartu pers. “Sah-sah saja selama mereka tidak menggangu kerja para jurnalis,” sebut Sjamsul.

M. Saleh juga punya pemikiran sama. “Mereka lebih kepada mencari informasi, bukan mengganggu kerja para jurnalis,” sebutnya. Menurutnya, hal itu terjadi hampir di seluruh dunia. Intelijen Amerika Serikat (CIA) juga melakukan hal yang sama saat perang teluk di Irak. Inggris juga menggunakan pola itu untuk mencari informasi di kalangan sipil.

Ditingkat pekerja lapangan, tindak tanduk intel seperti ini, membuat sebagian rekan pers gusar, kendati tak ada yang bisa berbuat apa-apa. “Mereka tidak salah, untuk mendapat informasi, tapi jangan mengaku-ngaku dari media orang lain, mengganggu kinerja dan kredibilitas wartawan,” sebut Yayan Zamzami, Reporter Indosiar di Aceh.

Kepala Humas Polda NAD, Jokoturrahman (saat itu) mengakui keberadaan para intelijennya. “Pihak kita hanya ingin mengetahui informasi saja, ingin mengetahui kegiatan masyarakat,” sebutnya.

Tentang sebagian intelijen yang mengantongi kartu pers dari salah satu media, Joko tak mengetahui pasti. Menurutnya, kemungkinan ada kerjasama dalam informasi dengan media itu. Karena setiap intelijen diberikan tugas untuk mengetahui setiap kegiatan di Aceh, walaupun dengan cara-cara tertentu, istilahnya “jarum pun harus diketahui.”

Kalau ada yang mengaku dari media tempat rekan pers bekerja, “dilarang saja, kalau dia ngaku-ngaku. Tanya saja kartunya, kalau tidak ada, keluarkan saja,” sebut Joko.

Bagi Yuswardi, pasca damai kebebasan pers menjadi lebih baik, pengekangan pun tidak berlaku lagi. “Tapi kita tetap diawasi dalam melakukan liputan,” sebutnya.

Contohnya, kasus protes TNI terhadap tulisan di salah satu media yang mengatakan TNI bersalah dalam insiden penembakan GAM di Peudawa, Aceh Timur. Padahal, itu adalah kesimpulan dari AMM yang mengadakan investigasi terhadap kasus itu, yang diumumkan pada 19 Oktober 2005. “Kita ketahui, semua ada dalam konferensi pers itu, Pangdam juga ada, kenapa di protes media lagi, melalui surat segala. Kalau mau protes saja AMM,” sebut Yuswardi.

Hal lain diungkapkan Saleh. Penilaiannya, masih ada stigma yang menggangap seorang wartawan itu memihak. “Ketika dia mewawancara Panglima GAM misalnya, dia diangap dekat dengan GAM, ketika mewawancara panglima TNI, dia dianggap wartawan TNI,” sebutnya. Padahal, kadang tugas jurnalis tidak mengenal batas untuk mencari sumber berita.

“Stigma ini yang belum bisa hilang,” sebut Pendiri Tabloid MODUS itu. Saleh mengajak semua pihak, agar selalu menghormati tugas wartawan dalam melakukan kerjanya. Untuk wartawan juga, agar selalu bisa melakukan kontrol sosial yang lebih besar, bukan hanya mengawal perdamaian, tapi juga rekontruksi pasca tsunami di Aceh.

Harapan yang sama untuk pers di Aceh pasca damai, juga diutarakan oleh Sjamsul Kahar. Dia meminta pers bisa melaksanakan fungsinya lebih maksimal, baik fungsi informasi maupun sosial. “Sumber-sumber berita itu, mengkondisikan juga agar pers bersikap independen. Artinya jangan menyebabkan informasi tertutup, sehingga informasi jadi pincang dan sebelah pihak, itu merugikan publik,” ujarnya.

Kini setelah damai dua tahun lebih. Diakui atau tidak, pengekangan terhadap pers masih ada. Bentuknya jelas tak lagi sama dengan darurat dulu. Hanya sebatas ancaman ringan dan penekanan-penekanan psikologis untuk media, atau pribadi si wartawan. Sedikit ruang kebebasan memang sudah ada. Sama seperti damai, masih sangat muda. []

Banda Aceh, Akhir 2006. [Media AJI Banda Aceh, Aceh Magazine]

Lelaki dari Cot Lame

By: Adi Warsidi

Dia bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak masih di sekolah menengah, dididik kemiliteran oleh para alumni Maktabah Tajurra, dan kini jadi wakil GAM di Aceh Monitoring Mission.

HARI ITU, 20 Agustus 2005, dia dan pasukannya berada di atas perbukitan tandus Cot Lame, Aceh Besar. Meski perdamaian sudah ditandatangani para pemimpin di luar negeri, belum ada perintah untuk meninggalkan markas ini.
Dia orang yang setia pada garis komando. Dia tetap menunggu.
Tiba-tiba telepon selulernya berdering. Dari seberang sana terdengar suara yang akrab di telinganya, suara Panglima Wilayah Aceh Rayeuk, Teungku Muharram. Dia diperintahkan turun dari perbukitan itu segera. Dia juga harus mengemban sebuah tugas baru. Namun, dia tak bertanya apa tugas itu. Nanti dia akan tahu.
Tak berapa lama, dia sudah menyiapkan pasukan untuk meninggalkan markas tersebut. Kini dia bukan lagi juru bicara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM Aceh Rayeuk. Ada perasaan ganjil menyelusup di hatinya. Sedih, ragu, haru, bahagia. Campur-aduk.
Apakah perang sudah benar-benar usai?
Pada 21 Agustus 2005, media massa memberitakan bahwa Muchsalmina dan sekitar 20-an prajuritnya menuruni lereng bukit. Setelah itu para anggota pasukan berpencar. Mereka menuju kampung masing-masing.
Dia sangat rindu pada keluarga. Rumah orang tuanya di Cot Keueng, Aceh Besar seketika jadi ramai ketika dia pulang. Kerabat, teman, dan saudara seperjuangan kerap berkunjung.
Suatu hari tugas itu datang. Irwandi Yusuf, wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Monitoring Mission (AMM) menghubunginya. Irwandi meminta Muchsalmina masuk ke jajaran AMM, sebagai utusan GAM dari kalangan militer.
Dan dia tak pernah menolak keputusan organisasi.
Tempat untuk menginap dan melakukan rapat pun disiapkan. Pada pagi yang cerah, Jumat 26 Agustus 2005, dia merasakan udara sejuk di Sulthan Hotel, Banda Aceh. Tak ada serbuan gigitan nyamuk ataupun gelap pekat seperti di hutan saat malam datang. Tetapi di hotel ini dia tak bebas seperti di hutan. Aparat kepolisian mengawal ketat. Dia tidak bisa keluyuran sendiri.
Ketika kami bertemu di sebuah kedai kopi di Ulee Kareng, dia sempat mengeluh.
“Saya hanya boleh pergi bersama anggota AMM dan Bang Irwandi. Kalau perlu, saya dijemput,” katanya waktu itu. Maklumlah, damai masih terlalu muda.
Setelah perang panjang, masa damai tetap membuat orang waspada. Sebab kesepakatan damai bisa dilanggar. Pengalaman sudah membuktikan hal itu.
Kesepakatan Perhentian Permusuhan atau Cessation of Hostility Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember 2002 tamat riwayatnya hanya dalam rentang waktu tujuh bulan. Komite Keamanan Bersama yang beranggotakan pemerintah Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre sebagai mediator bubar.
Para juru runding GAM ditangkap di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh. Mereka adalah Teungku Ibrahim Tiba, Teungku Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman, Teungku Nashiruddin bin Ahmed, dan Amni bin Ahmed Marzuki. Mereka kemudian dijebloskan ke penjara. Keempat orang ini baru dibebaskan pada 31 Agustus 2006, enam belas hari setelah Kesepakatan Helsinki.
“Abang tak khawatir perdamaian akan berakhir seperti dulu?” tanyaku.
“Saya siap dengan kondisi apapun. Semoga menjadi lebih baik,” sahutnya.
Wajahnya kini lumayan bersih dibanding waktu gerilya, meski masih tirus. Bicaranya masih lembut. Telepon selulernya tak berhenti berdering.

JUMAT, 14 Januari 2005, merupakan pertemuan pertamaku dengan Muchsalmina. Awal mulanya seorang wartawan Jerman memintaku untuk mewawancarai tokoh GAM di lapangan. Pikiranku pun langsung tertuju pada Muchsalmina. Sebelum itu kami memang sudah sering berhubungan melalui telepon.
Semula dia menolak bertemu langsung. “Mustahil Abang bisa masuk, TNI (Tentara Nasional Indonesia) sangat banyak di sekitar sini,” katanya.
Tawar-menawar berlangsung tiga hari. Dia kemudian memberiku sebuah nomor penghubung dan mengatakan bahwa seseorang akan menjemputku di desa terakhir sebelum hutan, desa Cot Lame.
Sekitar pukul 10.00, aku tiba di desa yang dimaksud dan memutuskan singgah di sebuah warung. Pandanganku menyapu sekeliling, memantau situasi. Puluhan pengungsi tsunami menempati meunasah di seberang warung itu.
Beberapa menit berlalu.
Dua lelaki datang. Salah seorang pincang dengan luka terbalut perban di kaki kiri. Mereka bertanya macam-macam. Dari mana? Ada keperluan apa? Mirip ujian lisan.
Setelah lulus ujian, aku diperbolehkan memacu sepeda motor mengikuti mereka ke arah perbukitan yang tampak di depan mata. Kami melewati persawahan, sekitar satu kilometer ke luar kampung. Kami kemudian tiba di sebuah jalan dan aku diminta berhenti.
“Di sini abang akan dijemput,” kata mereka.
Kami melangkah ke kebun dekat situ. Sepi. Di bawah pokok sawo itu aku langsung duduk, lalu membuka tas dan meraih botol air minum. Dua lelaki tersebut menolak, ketika kutawari minum. Tapi mereka langsung menyambut begitu kusodori sebungkus rokok putih. Asap mengepul dari bibir kami bertiga.
Tak berapa lama, dua lelaki terlihat menuruni bukit lalu hilang ditelan semak. Sesaat sosok mereka tampak menjejak pematang sawah, makin dekat dan makin dekat, hingga bisa kulihat jelas senjata yang mereka bawa. Seorang menenteng M-16 dan seorang lagi menenteng AK-56 bergagang kayu.
Ketika tiba di hadapanku, dua lelaki bersenjata itu langsung mengucap salam.
“Maaf, saya harus memeriksa abang,” ujar salah seorang dari mereka, dalam bahasa Aceh.
Seluruh tubuhku digeledah. Ini prosedur standar militer. Tentara dan polisi Indonesia juga melakukan hal sama saat memeriksa seseorang. Ransel yang kupanggul tak luput dari pemeriksaan, sampai kantong-kantong terkecil.
“Maaf, tas ini saya bawa, kita berangkat,” ujarnya.
Yang berumur lebih tua, belakangan kuketahui sebagai ahli elektronik, berjalan di muka kami. Aku menyusul di belakangnya, diikuti dua lelaki penghubung, lalu lelaki bersenjata AK-56 itu yang kuperkirakan berusia sekitar 25 tahun. Tiba-tiba lelaki pincang yang menyertaiku dari desa Cot Lame minta izin tak melanjutkan perjalanan. Dia tak sanggup mendaki bukit dengan kaki luka.
Helikopter menderu di atas bukit. Berbagai instansi sipil maupun militer tengah sibuk menyalurkan bantuan untuk para korban tsunami. Kami terus mendaki.
Tiga puluh menit kemudian kami tiba di tempat tujuan, sebuah balai yang terletak di tengah bukit.
Seorang pria bersetelan kemeja loreng dan celana jins coklat mendekap M-16 menyambut kami. Celananya terlihat longgar, karena tubuh yang kurus. Dia berkumis dan berjenggot.
“Inilah tempat kami. Abang orang yang pertama bertamu setelah tsunami,” katanya.
Dia dikawal sekitar delapan orang.
“Jangan khawatir, di atas bukit itu anggota berjaga-jaga dan memantau kita,” katanya, seraya menunjuk.
Sambil memperkenalkan nama anggota pasukannya satu demi satu, Muchsalmina mengatakan kalau markas mereka yang sebenarnya ada di atas bukit, sekitar 30 menit lagi berjalan kaki. Balai ini adalah tempat dia menerima tamu, biasanya dari kalangan wartawan.
Tak ada menu makan siang yang lazim di hutan. Hanya buah batok dan kelapa tua yang jadi pengisi perut kami. Itu pun setelah dicarikan para gerilyawan.
Saat itu, menurut Muchsalmina, GAM telah melakukan gencatan senjata sesuai perintah komando pusat di Tiro, Pidie. Sehari setelah tsunami, perintah tersebut turun. Tujuannya agar semua pihak leluasa membenahi Aceh pascatsunami.
Artinya, “GAM hanya menggunakan senjata apabila diserang,” tuturnya.
Banyak anggota pasukan GAM yang kemudian turun gunung untuk menjenguk keluarga mereka, kalau-kalau menjadi korban tsunami. Lima hari setelah bencana, pasukan GAM turut memindahkan mayat serta memberi bantuan logistik pada warga pesisir pantai.
Namun, tindakan mereka tak luput dari bahaya. Kontak senjata bahkan terjadi beberapa jam setelah tsunami! Tepatnya, di sore hari, tanggal 26 Desember 2004, di daerah Krueng Raya, Aceh Besar.
“Pada saat kami mengantarkan beras ke masyarakat, pihak TNI memberondong kami,” kenang Muchsalmina.
Pada hari ketiga setelah tsunami, GAM juga kepergok oleh TNI saat sedang membantu mengevakuasi mayat di kawasan Lhoong, Aceh Besar. Sepuluh hari kemudian, pada 5 Januari 2005, salah seorang anggota pasukan Muchsalmina, ditembak di Ie Masen, Lampineung, Banda Aceh, saat pulang mengunjungi keluarganya yang terkena musibah tsunami.
“Dia sama sekali tidak membawa senjata. Namanya, Hamdani. Usianya, 27 tahun.”
Keberadaan GAM yang berusaha membantu warga justru membuat warga khawatir, karena sering menimbulkan kontak senjata dengan tentara dan polisi Indonesia.
Perlahan-lahan, GAM mundur dan kembali ke hutan. “Kami tidak ingin masyarakat Aceh bertambah traumanya. Setelah seminggu, kami tidak ikut lagi membantu evakuasi,” ujarnya.
Telepon seluler lelaki ini kemudian berbunyi. Mataku langsung tertuju ke situ. Nokia 3315. Charger terhubung dengan dua batere kering. Di hutan tak ada listrik. Energi harus didapat lewat siasat tadi.
Dia ditelepon salah seorang wartawan Jakarta yang ingin meminta komentarnya soal keberadaan GAM.
Dia menolak, “Saya sedang wawancara dengan seorang wartawan, nanti mohon ditelepon lagi.”
Ketika wawancara usai, tiba saat untuk pemotretan. Anggota pasukan bergaya dengan seragam loreng dan aneka senjata mereka. Klik. Klik.
“Kita harus foto berdua.” Tiba-tiba dia mendekatiku.
Kamera digital aku serahkan pada si ahli elektronik, lelaki bersenjata yang menjemputku di kebun tadi. Dia memotret kami berdua. Klik. Pada display kulihat sebuah komposisi yang bagus. Aku masih menyimpan foto itu sampai sekarang.

MUCHSALMINA bukan nama sejatinya. Ini nama samaran. Dia menggunakan nama itu saat menjadi juru bicara GAM Aceh Besar. Dia lahir pada 22 November 1972 dengan nama Irwansyah.
Dia ingin menggunakan nama lahir di masa damai, tapi nama aliasnya terlanjur populer. Bahkan sebagai perwakilan GAM di AMM, dia dikenal sebagai Teungku Muchsalmina.
“Apa tidak bisa memakai nama asli?” rutuknya.
“Abang lebih terkenal dengan Muchsalmina,” sahutku, sekenanya.
Masa kecil dihabiskan lelaki ini di kampung halaman, di desa Cot Keueng, Aceh Besar. Desa itu terkenal sebagai basis GAM. Banyak anggota GAM asal Cot Keueng. Letak geografis desa yang dekat dengan perbukitan membuat para anggota GAM sering mencari perlindungan atau logistik di desa tersebut. Militer Indonesia menganggapnya zona berbahaya. Zona hitam.
Muchsalmina bergabung dengan GAM pada 1989, saat dia masih di kelas satu Sekolah Menengah Atas Mughayatsyah, Banda Aceh. Dia bertugas sebagai pendukung biro penerangan GAM, Aceh Besar. Ketika lulus pada tahun 1991, dia resmi sebagai staf biro penerangan.
Pada 1997, dia diminta bergabung dengan pasukan GAM. Latihan militer diikutinya di Sigli, Pidie, langsung di bawah pengawasan Panglima GAM kala itu, Teungku Abdullah Syafei. Para pelatih adalah alumni pertama Maktabah Tajurra, kamp latihan militer GAM di Libya.
Setelah itu dia mulai bergerilya di hutan-hutan Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Alat perjuangannya berubah, dari kata ke senjata.
“Saya biasa memegang AK-56,” kisahnya.
Dia pernah beberapa kali ditugaskan membeli senjata, termasuk ke Thailand. Pembelian senjata juga dilakukannya di Jakarta, dua kali. Dia juga membeli senjata dari pasar gelap di perairan Aceh.
Meski perang masih berlangsung, tak mengurungkan niat Muchsalmina untuk berumah tangga. Dia menikahi Deviyanti, anak seorang pegawai negeri yang tinggal di Ajun, Banda Aceh, pada pertengahan 2001. Pasangan ini hanya beberapa bulan sempat menikmati hidup bersama. Muchsalmina harus meninggalkan istrinya untuk kembali bergerilya.
Bila situasi memungkinkan, dia sesekali datang menjenguk sang istri. Namun, orang tua serta mertua paham aktivitas Muchsalmina. Mereka suka rela menanggung kebutuhan hidup pasangan baru ini.
Pada Februari 2002 dia resmi menjadi ayah. Putranya lahir. Dia memberinya nama: Muhammad Khalid.
Gencatan senjata antara pemerintah Indonesia dan GAM terjadi pada 9 Desember 2002, yang disebut COHA. Di masa-masa inilah Muchsalmina punya lebih banyak kesempatan menjenguk istri dan anak semata wayangnya.
Kendati gencatan senjata telah dilakukan, kontak senjata tetap saja terjadi. Ayah Sofyan, Juru Bicara GAM Aceh Besar, meninggal dalam sebuah kontak senjata di masa tersebut.
Dua hari kemudian Muchsalmina resmi ditunjuk sebagai penggantinya.
Kontak senjata makin gencar. Gencatan senjata pun gagal. Presiden Megawati Soekarno secara resmi menetapkan Aceh sebagai daerah Darurat Militer atau disingkat DM pada 19 Mei 2003. Perang kembali pecah di Aceh.
Dia kembali bergerilya, dari satu hutan ke hutan lain. Keluarganya tak luput dari sasaran musuh. Beberapa kali tentara menggeledah rumah orang tuanya. Adik iparnya ditahan, karena dianggap bisa memberi informasi tentang keberadaannya.
Perang bukan lagi soal benar dan salah, melainkan kalah dan menang. Membunuh atau dibunuh. Selama bergerilya tak terhitung lagi jumlah kontak senjata yang dialami Muchsalmina dengan tentara maupun polisi.

KINI aktivitas gerilyanya tinggal kenangan. Dia resmi ditunjuk jadi perwakilan GAM di AMM. Hidup Muchsalmina memasuki babak rapat dan seremoni.
Rapat pertama yang diikutinya berlangsung pada 30 Agustus 2005, yaitu rapat komite ini dengan pemerintah Indonesia.
Sehari kemudian dia ikut rombongan ke bandar udara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, untuk menjemput mantan tahanan GAM yang pulang dari penjara-penjara Pulau Jawa, pascaamnesti besar-besaran.
Pada hari itu pula Teuku Darwin, Kepala Kantor Wilayah Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Aceh, menyatakan bahwa pemberian amnesti tadi berdasarkan Keputusan Presiden No 22 Tahun 2005, tentang pemberian amnesti umum dan abolisi kepada orang yang terlibat GAM. Secara otomatis, segala proses hukum pidana yang terkait dengan GAM telah dihapuskan atau ditiadakan bagi mereka.
“Amnesti adalah upaya untuk melanjutkan rekonsiliasi dan juga menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), mengakhiri konflik yang permanen dan membuat damai secara menyeluruh di NAD (Nanggroe Aceh Darussalam), dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” ujar Darwin, dalam pidato sambutannya.
Sebanyak 1.424 tahanan serta narapidana GAM memperoleh amnesti pada hari tersebut. Di antaranya, 463 orang yang ditahan di Pulau Jawa. Mereka akan dipulangkan ke Aceh tanpa kecuali.
Tetapi hampir setahun setelah amnesti, ternyata tidak semua tahanan bebas. Enam belas orang masih mendekam di penjara Pulau Jawa dan Sumatera Utara, sampai hari ini.
“Mereka masih dikaji kasus hukumnya, karena dianggap terlibat kasus kriminal, seperti kepemilikan senjata, ganja, teror bom, dan perampokan,” kata Munawarliza Zain, wakil juru bicara GAM, pada saya.
Pelucutan dan penghancuran senjata GAM adalah tahap berikutnya. Muchsalmina selalu hadir dalam momen ini. Dia mengkoordinasi para mantan gerilyawan, memeriksa dan menghitung jumlah senjata yang diserahkan. Demobilisasi militer GAM secara berangsur-angsur berada dalam pengawasannya bersama petinggi GAM lain.
Sayap militer GAM atau lebih dikenal sebagai Teuntra Neugra Acheh (TNA) resmi dibubarkan pada 27 Desember 2005.
GAM kemudian membentuk Komite Peralihan Aceh atau KPA. Komite inilah yang akan mengorganisasi semua mantan TNA, termasuk membantu mereka mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Perdamaian telah berjalan setahun sejak Kesepakatan Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM. Tetapi sebagian mantan gerilyawan masih menganggur. Mereka yang biasa memegang senjata dan bertempur, kini harus rela bekerja apa saja untuk membiayai kebutuhan keluarga. Dana reintegrasi yang dijanjikan pemerintah Indonesia hanya diterima segelintir orang dan itu pun dalam jumlah yang jauh lebih sedikit dari yang dijanjikan. Sebagian besar malah tidak pernah mencicipinya sama sekali.
Muchsalmina tidak perlu ikut protes sana-sini soal kesejahteraan. Bulan Juli 2006 lalu, dia dikontrak setahun oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias untuk membantu di Bagian Komunikasi dan Komunitas Lembaga. Posisinya di AMM juga tak bergeser.
Tubuhnya mulai berisi. Gaji rutin tiap bulan. “Cukuplah untuk menghidupi keluarga,” ucapnya, tanpa memberi perincian angka.
Dia bahkan berencana meramaikan ajang pemilihan kepala daerah di Aceh pada Desember mendatang. Lelaki dari perbukitan tandus Cot Lame itu siap terjun ke politik. Dia sudah pensiun mengokang Ak-56. Dia kembali bersenjata kata. []

Banda Aceh, Akhir 2006. [Pantau]

Thursday, April 24, 2008

Tahun

By: Adi Warsidi

MEREKAM detik-detik, pastilah menemukan hari, lalu ada tahun di ujung. Kerap disebut sebagai waktu yang bergulir, sebagai perubahan, sebagai dewasa, sebagai kemajuan, walau kadang yang dimaksud adalah kemunduran. Menjejak waktu, adalah pasti yang tak ingkar pada uang, tak kejam pada orang. Dia berlalu saja seperti pesawat dan kereta api, tapi tak pernah kembali.

Jauh hari, 1953 dan 1976 datang membawa konflik. Maaf lupa, perang telah ada sejak 1873 ketika waktu membawa Belanda. Kemudian 2005 membawa damai, sesaat setelah 2004 membawa gempa dan gelombang raksasa ke Bumi Serambi. Siapa mampu menebak semua itu? Bahkan orang tahu, sadar dan menyesal setelah dia berlalu.

Sebut saja dua bencana yang selalu dijanjikan tahun-tahun, ciptaan Tuhan dan karya manusia. Yang disebut terakhir, tak termasuk bencana tsunami, melainkan gundulnya hutan-hutan hingga banjir bandang, korupsi, perampokan, pembunuhan dan ketidakadilan yang dibuat manusia yang selalu berpikir seakan-akan dia sudah adil.

Tahun-tahun yang berjanji selalu. Selain pesan Tuhan, tahun lewat akan selalu memberikan sinyal bahwa yang dibawanya adalah kebaikan dan keburukan ke tahun depan. Sering itu pasti, semisal memotong hutan sembarangan, maka tunggu saja waktu memberi kabar tentang banjir bandang. Tahun-tahun abstrak, hanya saksi apa tingkah kita, kelakuan manusia.

Kita pasti tak berharap petaka, tak seperti Surya Thayeb, seorang warga di Kampung Jawa yang berharap dengan membuang kekecewaannya. Kepada saya dia berujar, “saya mendoakan tsunami lagi.” Saya tercengang.

Alasannya? “Biar semua orang tahu, biar orang NGO yang di Aceh tahu, orang BRR yang di Aceh bisa merasa langsung tsunami menghantam tubuh-tubuh mereka. Biar semua sadar, bahwa kami para korban tak boleh dipermainkan.” Dalam berharap petaka, dia bersurat bahwa harapan korban adalah percepatan rekontruksi dan rehabilitasi Aceh.

***
Tahun lalu dan tahun kini adalah sebuah kompleksitas kehidupan, yang dibuat makin rumit oleh manusia selanjutnya dan selanjutnya. Tahun telah diringkus dan diringkas-ringkas dalam catatan-catatan yang semakin lama semakin usang. Kerap tahun dicatat oleh yang pemegang kekuasaan, bila ada kejadian-kejadian dasyat. Selalu itu, tapi jarang yang sesudahnya menjadikan pelajaran.

Teringat 2007 dari 2006, ada sebuah potret yang patut dikenang, sebuah pesta yang tak lazim dilakonkan dan tak disangka siapa saja. Menjelang 2006 menjadi sampah, sebuah hajatan menabalkan mantan gerilyawan dari penabalan 1976 menjadi gubernur dalam pemilihan rakyat Aceh. Irwandi Yusuf tokoh itu. Ini tak terjadi andai 2005 tak datang mendamaikan perang.

Aceh kemudian baru di tahun 2007, saat pemimpin yang terpilih dari tangan-tangan rakyat yang cukup menderita dalam konflik dan perang diagungkan bak sultan. Kenduri rakyat disenandungkan, doa dilayangkan, harapan ditancapkan, demokrasi dinanti, darah diharap tak mengalir lagi dan seribu lainnya. Tapi sampai 2007 tercampak, masih ada harapan yang tertangguhkan, ada nafsu yang belum jadi, ada mimpi yang masih tak tergapai. Ada yang sabar ada yang tidak, menuntut lagi dan lagi.

Mengingat 2007 di 2008 adalah sebuah kenang yang tak bisa diulang. Kalau pedih maka tangis dan sesal, kalau indah maka sorak dan riang. Tapi siapa peduli? Desember yang lalu telah habis, malam tahun baru lewat, kalender telah berganti dan 2007 teronggok di tumpukan sampah. Sampai kini, mimpi-mimpi mungkin dicoba kembali raih, berharap semua akan lebih baik di tahun baru.

Pertanyaan pun berganti, apa yang akan datang? Siapa yang akan datang? Bagaimana damai kita? Rehab-rekon kita? Nasib korban konflik kita? Kisah mereka yang masih di barak? Berubahkan? Atau sampai 2008 dirobek lagi, kisahnya akan sama saja. Atau bahkan terulang lagi seperti 1953 atau 1976, semoga tak lagi.

Setidaknya ada satu yang mungkin membuat kita bisa puas, berpikir jernih. Bahwa Tuhan telah mencabut tahun-tahun konflik dari bumi kita. Soal kepuasan, manusia mana pernah puas dengan tahun yang selalu dianggap tak lebih baik? Jawabnya mungkin manusia serakah, kalau tak semua kita serakah. Golongan ini akan selalu meninggalkan tahun-tahun dengan kecemasan, berharap tahun depan dengan pundi uang dan kekuasaan.

Kalau ini masih terus dilakukan, haraplah waktu datang akan membawa petaka lagi akibat karya manusia atau Tuhan akan mengirim pesan. Saya setuju, kita tak berpikir untuk petaka itu. Kita boleh saja mati bersama 2008 nanti. Tapi tahun-tahun sesudahnya terus bergulir. Dia berlalu saja seperti pesawat dan kereta api, tak bisa kembali, hanya sedikit memberi tahu untuk kita tahu. []

Banda Aceh, Desember 2007. [Aceh Magazine]



Mesum

By: Adi Warsidi

“Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita” (Mati anak jelas kuburan, mati adat-istiadat tak akan jelas keberadaannya). Itu ucapan Iskandar Muda, sambil berdiri di depan dewan hakim yang terhormat. Mukanya merah padam, ketika putra mahkotanya divonis telah melakukan perbuatan mesum dengan seorang istri pejabat istana. Sekiranya tahun 1629 itu, putranya terbukti berzina, tinggal menentukan hukuman apa.


Para hakim tentu binggung, menentukan dera sesudah vonis. Kali ini yang duduk di kursi pesakitan bukan hamba sahaya, tapi putra mahkota, kesayangan Raja Aceh yang berjuluk panjang: Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat. Yang telah berhasil menaklukkan banyak wilayah, membawa Aceh kesohor di dunia dalam masanya memerintah, 1607 sampai 1636 Masehi.

Binggung hakim terbaca sultan, “pancung,” serunya lantang. Semua terkesima, tak kuasa membantah titah. Meurah Pupok, sang putra mahkota ditahan, menunggu hari pelaksanaan.
Para pejabat tinggi istana berusaha membujuk Iskandar, meminta keringanan hukuman, minimal sang putra tak perlu mati. Permaisuri Putroe Phang pun dipasang ikut membujuk. Sultan bergeming, katanya malu pada rakyat dan Tuhan. “Kalau rakyat dirajam, anak saya harus dipancung,” katanya kala itu.

Begitulah, karena mesum. Sampai hari H, tak ada algojo yang berani menyentuh tubuh Meurah, Sang Sultan lah yang memancung anaknya sendiri di depan para rakyat yang berkumpul di alun-alun kerajaan, depan Masjid Raya Baiturahman. Meurah Pupok kemudian dikebumikan asing di sekitar itu, sampai sekarang jrat (kuburan)nya masih terlihat, di antara kuburan pasukan Belanda yang mati belakangan dalam perang mereka di Aceh. Kerkhoff.
Mesum memang kasus unik semenjak dulu. Gelar yang ditabalkan untuk pasangan yang berperilaku seks di luar nikah, sesudah ikatan itu ada, label itu tentu hilang.

Hampir semua agama Tuhan melarangnya, lalu sebagian negara mentransfernya dalam hukum kenegaraan. Kendati banyak juga wilayah yang kemudian menganggapnya sebagai hak azasi, kalau pelakunya atas dasar cinta, atau sebagai profesi mencari uang, asal jangan mesum lewat jalur peksaan alias perkosaan.

Di Aceh, mesum dipandang hina, tabu, terkutuk dan pelakunya sekarang bisa dihukum cambuk. Nah... itu pun kalau ketahuan, kalau tidak, maka si mesum bisa sebebasnya melenggang kangkung. Bagi yang ketahuan, bisa juga malu seumur hidup, puluhan gelar akan melekat bersamanya; Abang Cambuk, Si Cabul, Si Pajoh Mangat sampai Si Mesum. Kalau pejabat yang melakukannya maka akan digelar Pejabat Mesum, kalau masiswa dilabeli Mahasiswa Mesum.

Begitulah... kadang yang menggelarinya atau yang sibuk krasak-krusuk juga pernah melanggar larangan itu, hanya saja belum ketahuan. Kalau ketahuan, dia juga akan bernasib sama.

Liat saja ketika petugas Wilayatul Hisbah (Polisi Syariah) yang punya tugas memantau soal hukum Syariat Islam di Aceh, terkena kasus ini medio April lalu. Pangkatnya langsung saja disandangkan, ‘Si WH Mesum’.

Soal ini, Belanda saat mencoba menaklukkan Aceh pernah melabeli orang-orang di negeri ini sebagai ‘orang yang bejat moral’. Nama ini terkait dengan tuduhan Belanda kepada orang Aceh yang sering melakukan mesum bahkan dengan anak di bawah umur, mengisap madat, dan memotong penis lawan-lawan mereka setelah mati.

Aneh tuduhan itu dilakukan oleh orang yang juga bejat, menyimpan gundik-gundik dan berperilaku seks bebas bahkan pemaksaan dengan wanita-wanita pribumi. Tenyata ada ‘udang di balik batu’, Belanda ingin memecah-belahkan kaum ulama dan pemimpin di Aceh. Satu lagi, ingin menyemangati prajurit mereka untuk melawan pejuang Aceh yang jago perang.

Naar Atchin, de kraton! Daar zetelt het kwaad.
Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeude verraad.
Roeit uit dat gebroedsel, verneder die klant.
Met Nederlands driekleur ‘beschaving’ geplant.
(Ke Aceh, ke dalam, di sana bercokol kejahatan. Bersembunyi kemunafikan, bersarang perampokan dan pengkhianatan. Enyahkan komplotan, hancurkan perampokan. Tanamkan ‘peradaban’ dengan si tiga warna)

Nukilan sastra karangan Haagsma pada 1877, saat Belanda terus mencari cara mengumpulkan tentara yang mau diberangkatkan ke Aceh. Hasutan itu sebagai kampanye bahwa orang-orang Aceh bejat dan perlu diperangi.

Lama ‘bejat’ digelar dan dikampanyekan di benua lain. Sampai sebuah penelitian mendalam yang dilakukan Snouck Hurgronje pada tahun 1893 dalam bukunya ‘De Atjehers’ (orang-orang Aceh). Saat itu, belanda baru menyadari, musuh mereka adalah lawan terhormat. Tuduhan mesum dan penghisap madat terhapus.

“Akan tetapi pada waktu itu, ia (Aceh) pun sudah hampir kalah, sedang kita (Belanda) belum lagi sampai sejauh itu,” Paul Van’t Veer menulis dalam bukunya, De Atjeh Oorlog (perang Belanda di Aceh).

Terlepas dari kisah itu, terlepas dari kepentingan apapun, kisah mesum di Aceh tak ada faktor X. Orang-orang Aceh diakui taat, memegang adat minimal dalam negerinya sendiri. Banyak kalangan mengakuinya, Aceh sebagai Serambi Mekkah, sebagai representasi Islam di Nusantara, sebagai nusantara yang telah lebih dulu mengenal peradaban Islam.

Kalau ada moral yang bejat, orang tak ragu untuk melihat keturunannya. “Jangan-jangan itu bukan orang Aceh.” Kalau juga asli Aceh, keturunannya masih diperdebatkan. Dikaji berulang kali untuk tetap membuat Aceh terhormat. Fanatik yang telah ada sejak lampau.

Seorang kawan pernah berkata tentang banyaknya pelaku hubungan terlarang ini di Aceh. “Ah... itu bukan orang Aceh, orang Aceh punya moral yang sangat tinggi, gak mungkin orang Aceh melakukan itu,” katanya. “Saya sendiri tidak berani mengaku orang Aceh,” sambungnya lagi. Aku sempat berpikir, ini sindiran atau kenyataan. Mari kita menilai...

Kita anggap saja kesilapan, dan pada taraf ini siapa yang tidak ingin pada surga dunia? Soal ini, tak pandang bulu: tua-muda, Aceh-non Aceh sama saja.

Banyak buktinya, ketika pejabat mesum bukan dengan pasangannya, bahkan mengikuti trend merekam adegan. Ketahuan mereka sewot bahkan keluar Aceh. Mahasiswa juga ada yang ikut-ikutan perilaku mesum ini, sesama mereka atas kata cinta. WH pun tak bisa menahan diri, ketularan bapak polisi yang juga tertangkap basah di pojok senja. Banyak lagi dan banyak lagi....

‘Serambi Kita Ternyata Mesum Juga’, tulis Azhari, sahabat sastrawan di Komunitas Tikar Pandan. Tak salah, hanya saja kita terlambat mengakuinya dan sibuk mencari cara memadamkan mesum di bara yang panas menyala.

Kuasa mesum memang terlampau kelewat, dan hanya satu rekomendasi tentang ini; kesalahan manusiawi. Sekarang, Aceh makin marak dengan kasus ini. Atau memang dulu yang terlalu disembunyikan, karena dianggap sebagai aib?

Lalu siapa yang salah dalam perilaku mesum di Aceh: hukum cambuk, anak muda, orang tua, arus globalisasi, pendidikan, pejabat, pemerintah, pengangguran atau agama yang kelewat dangkal. Mungkin juga tak ada yang salah, semuanya manusiawi, ketika sebuah generasi mengikuti generasi sebelumnya, soal mesum.

Soal hukum tunggu dulu, adakah orang tua yang berani memancung anaknya sendiri seperti Iskandar Muda? Kalau pun ternyata ada, pasti dia akan dihukum lagi bahkan dalam kerangkeng Rumah Sakit Jiwa.

Banda Aceh, Medio 2007 (acehkita.com)