Sunday, October 19, 2008

Mendesain Wali Nanggroe

By; Adi Warsidi

Kesibukan tampak jelas mendera para wakil rakyat Aceh, khususnya Pansus XI yang mendapat kebagian tugas; menyusun Qanun Wali Nanggroe. Tgk Muhammad Hasan Ditiro, mantan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah berada di Aceh, dia kembali, 11 Oktober 2008.

Mereka pun telah berembuk dengan pemerintahan Aceh, surat dilayangkan ke Komite Peralihan Aceh (KPA), meminta jadwal agar kesempatan bertemu Hasan Tiro terwujud. Semuanya demi menyempurnakan draft qanun yang akan disusun.


Pertemuan dengan orang tertinggi di tubuh GAM itu pernah dirancang sebulan lalu. Akhir September silam, Pansus XI yang diketuai Mukhlis Mukhtar baru saja kembali dari tiga negara, Swedia, Belanda dan Malaysia. Tujuannya, selain ingin bertemu Hasan Tiro, juga mencari literatur bagaimana seharusnya lembaga Wali Nanggroe di Aceh.

“Kami gagal bertemu Tgk Hasan Tiro saat itu, sekarang kami usahakan untuk dapat bertemu di Aceh,” kata Mukhlis Mukhtar pekan lalu.

Pertemuan dengan Hasan Tiro dianggap penting untuk berdikusi tentang bagaimana seharusnya lembaga yang menjadi amanah dari MoU Helsinki dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Belum lagi dasar keinginan dari petinggi GAM sendiri saat perundingan perdamaian putaran ketiga, 2005 lalu. “Dalam perundingan tersebut, secara lisan disepakati bahwa yang akan menduduki Wali Nanggroe pertama kali adalah Hasan Tiro,” kata Mukhlis.

Jelang kedatangan Hasan Tiro ke Aceh, Mukhlis mengaku belum mendapatkan jadwal pertemuan dengan tim pansus untuk membahas hal tersebut. “Kita telah meminta bantu kepada Pemda dan KPA sebagai panitia kedatangan Hasan Tiro. Jawaban pasti belum ada,” ujarnya.

Diakuinya, draft normatif qanun Wali Nanggroe hampir final. Tapi karena ingin pemyempurnaan yang lebih baik, DPRA tidak boleh lembaga lain untuk menyerap aspirasinya. Berbagai pertemuan telah digelar dan draft sendiri telah disempurnakan tujuh kali.

Persoalan utamnya adalah pada kewenangan lembaga tersebut. Di dalam UUPA pasal 96 disebutkan bahwa kewenangan lembaga wali nanggroe adalah sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Juga disebutkan, lembaga tersebut bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.

GAM menganggap kewenangan itu terlalu kecil, sehingga harus banting tulang mencari referensi dan mencari jalan keluarnya. “Ada keinginan bahwa Wali Nanggroe harus lebih tinggi dari gubernur dan parlemen. “Kalau begitu bukan hanya melangar hukum, tapi juga MoU damai itu sendiri,” kata Mukhlis.

“Kita ingin cari jalan keluar, tapi sampai saat ini akses tertutup ke pemimpin tertinggi GAM (Hasan Tiro) itu,” sambungnya.

Sejauh ini, mereka terus berusaha merampungkan qanun Wali Nanggroe yang aspiratif. “Kami akan coba desain lembaga itu agar kuat, minimal setingkat gubernur.”

Qanun tersebut menjadi prioritas 2008 ini. Persoalan lain juga muncul, lembaga Wali Nanggroe tak ditemukan dalam literatur. Menariknya, istilah wali nanggroe hanya ditemukan di halaman 1271 kamus Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek (Kamus Aceh-Belanda) Jilid II. R.A Hoesein Djajadiningrat, penulis kamus keluaran tahun 1934, mengartikan wali nanggroe: bestuurder Van een land van een gebied (penguasa sebuah negeri). “Juga dicontohkan sama dengan istilah landvoogd atau gubernur jenderal,” jelas Mukhlis Mukhtar. Namun, namanya juga kamus. Tentu di sana tetap tidak ada paparan riwayat, kewenangan, struktur dan kedudukan wali nangroe yang dicari-cari tim Pansus.

Para legislator Aceh juga melaporkan bahwa mereka telah mewawancarai Prof. Dr. Teuku Iskandar di Leiden. Ahli sejarah dan kebudayaan Aceh ini mengaku pernah mendengar istilah wali nanggroe, tapi bagaimana kedudukan, fungsi dan wewenangnya tidak pernah dia temukan dalam literatur-literatur Belanda.

Istilah wali nanggroe hanya pernah ditemukan saat Belanda membentuk negara-negara federal (negara boneka) pada era revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Pimpinannya disebut ‘wali negara’, seperti wali negara Sumatera Timur, dr Tengku Mansur.

Malek Mahmud Al-Haytar, petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengatakan orang yang pantas menduduki jabatan Wali Nanggroe adalah Hasan Muhammad Tiro. “Untuk wewenang Wali Nanggroe kami masih tunggu hasil qanun. Orang yang pantas untuk Wali Nanggroe adalah Hasan Muhammad Tiro,” kata Malek, beberapa waktu lalu di Banda Aceh.

Menurutnya, muncul kembali lembaga Wali Nanggroe itu setelah adanya kesepakatan damai (MoU) RI-GAM. Tentunya dia juga merujuk kepada hasil perundingan pada putaran ketiga di Helsinki.

Belakangan beredar kabar, Hasan Tiro tak menginginkan menjadi Wali Nanggroe. Sayed Fuad Zakaria, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyebutkan seandainya Hasan Tiro tidak bersedia menjadi Wali Nanggroe, maka ada mekanisme untuk pemilihan Wali Nanggroe. “Dalam draft yang sudah mencapai tujuh kali perbaikan ini disebutkan, untuk memilih Wali Nanggroe ada semacam dewan yang terdiri dari unsur pemuda, DPRA dan DPRK. Mereka yang akan memilih Wali Nanggroe. Pastinya tunggu saja qanun selesai,” kata Sayed Fuad.

Tapi, dalam beberapa pertemuan dengan pejabat di Aceh dan Jakarta, Pansus pernah duduk mencari alternatif kalau seandainya Hasan Tiro tak mau menjadi Wali Nanggroe pertama. Hasilnya, tak ada sosok yang berwibawa dan sulit mencari orangnya. “Tak ada calon,” kata Mukhlis Muktar.

***
“Tgk Hasan Ditiro pulang ke Aceh bukan untuk kepentingan penyusunan qanun itu. Dia pulang ke Aceh untuk siraturrahmi dengan masyarakat Aceh. Dia pulang bukan untuk kepantingan siapa-siapa,” ujar Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin alias KBS.

Dalam pandangannya, mencari format Wali Nanggroe janganlah terburu-buru. Harus benar-benar matang dan GAM menginginkan lembaga tersebut nantinya punya kewenangan yang luas. “Seperti yang dipertuan agung di Melaka, Malaysia,” sebutnya.

“Kalau kewenangannya hanya sekadar mengurusi adat istiadat, bagusnya tidak usah dibuat aja qanun Wali Nanggroe,” sambungnya.

Soal Wali Nanggroe pertama akan diberikan kepada Hasan Tiro sesuai dengan perundingan damai dulunya, Ibrahim menyebutkan benar adanya. Apakah Hasan Tiro mau menjadi Wali Nanggroe? “No comment,” kata Ibrahim.

Menurutnya, Hasan Tiro bukanlah orang yang menginginkan jabatan tersebut. Dan Hasan Tiro juga belum memastikan akan tinggal di Aceh nantinya atau tidak. Kendati gubernur Aceh Irwandi Yusuf sendiri berharap agar pemimpin tertinggi GAM itu bisa menetap di Aceh.

Tentang siapa yang akan menjadi Wali Nanggroe, kalau Hasan Tiro tak mau menjadi yang pertama, Ibrahim belum mau berkomentar jauh. “Kita lihat saja bagaimana qanunnya dulu.”

Ibrahim menyebutkan, kewenangan lembaga Wali Nanggroe harusnya bisa setingkat di atas gubernur. Dan qanunnya harus di atas dari qanun yang lain. Pihaknya akan memperjuangkan hal tersebut. Kalau kewenangannya kecil dan hanya seperti yang tercantum di UUPA, maka pihaknya akan menolak qanun tersebut. Ibrahim sendiri duduk sebagai tim asistensi penyusunan qanun Wali Nanggroe.

Dia menyebutkan, UUPA sendiri juga masih belum selaras dengan semangat MoU Helsinki. “Bukan hanya lembaga Wali Nanggroe, tapi juga soal pembagian kewenangan pusat – daerah, kita nantinya juga akan upayakan agar UUPA direvisi ulang,” kata Ibrahim.

Sekretaris Partai Rakyat Aceh (PRA) Thamren Ananda menyebutkan bahwa Wali Nanggroe pertama kali usai qanun siap, haruslah diberikan perhormatan kepada Tgk Hasan Ditiro. “Ini untuk menjaga spririt perdamaian di Aceh.”

Tentang kepulanganya ke Aceh yang bukan untuk kepentingan itu, Thamren mengatakan apapun tujuannya, yang lebih penting adalah pulangnya Hasan Tiro dapat dijadikan sebagai momentum untuk merawat damai abadi di Aceh. Lainnya adalah dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk berkoordinasi bagaimana qanun Wali Nanggroe diracik DPRA.

“Kalau Hasan Tiro tak mau menjadi Wali Nanggroe, itu persoalan lain. Pentingnya, untuk pertama harus diberikan perhormatan kepada beliau,” ujar Thamren.

Soal kewenangan Wali Nanggroe, Thamren setuju bahwa yang tercantum di UUPA masih sangat lemah. Hal ini perlu ditingkatkan dan harus dilakukan pembahasan ulang alias revisi UUPA. “Tidak ada yang tidak bisa diubah, semuanya bisa,” ujarnya.

Kata Wali Nangroe memang sering didendangkan kombatan GAM saat perang dulunya. Merujuk kepada Hasan Tiro. Usai konflik pergi, dalam formatnya lembaga itu sedang didesain oleh para dewan Aceh. Akankah Hasan Tiro menjadi Wali Nanggroe? ***

No comments: