Monday, July 28, 2008

Kerinduan

By : Adi Warsidi

Kerinduan-ku bertaut pada angin yang membawa kabar dari empat penjurunya, bahwa telah tergali sumur-sumur untuk pelepas dahaga penduduk sejagad. Anggap saja jagad itu adalah Aceh, tempat lakon cerita ini kita mainkan.

Rekan telah melakukan itu pada setiap meter tanah target. Lalu dalam kerinduanku, rekan kirimkan pesan, ‘Semuanya telah tergali, tinggal menunggu petunjuk lanjut’.

Kusampaikan pesan itu pada panglima, bahwa perintah telah dijalankan sesuai perintah, jelas yang menurutku jelas, dan terbuka yang menurutku terbuka. Panglima keluarkan petuntuk, ‘hubungkan sumur-sumur itu hingga membentuk alur, dari hulu ke hilir’. Ku-teriakkan itu melalui angin dan mulailah lagi kawan-kawan pada tekadnya.


Sampai di sini, dalam kerinduan-ku, kabar muncul lagi. Ada yang ragu, menghubungkan sumur dengan laut tanpa menanam pohon-pohon pada tanah yang telanjur gersang, akan membawa wabah pada warga se-jagad, sumur-sumur akan asin. Laut terlalu sombong dengan airnya yang biru dan tak pernah kering. Dengan ombaknya, dengan luasnya yang mampu menaklukkan tanah-tanah yang telah digali.

Dalam kerinduan-ku, kawan-kawan berujar mari bahwa menanam pohon dulu, baru menghubungkan sumur dari hulu ke laut. Kusampaikan lagi ke panglima, dan aku terjaga dalam mimpi kerinduanku.

‘Keriduan sesungguhnya adalah kuman kematian’. Mungkin tak berlaku umum, karena itu tak datang dari Kitab Suci. Hanya sepotong catatan yang ditulis Leonardo da Vinci, pelukis terkenal itu pada ujung abad ke-15. Da Vinci menulis, ”…manusia, dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang baru selamanya... tak sadar bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri.”

Sebuah pandangan yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak hendak membuyarkan kerinduan kita pada sesuatu. Pelukis zaman renaissance itu kemudian menyitir, kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak pernah sampai.

Karena, ‘Kerinduan’ itulah, kata Da Vinci, sebagai ‘sifat dasar kehidupan’. Dan manusia adalah sebuah tauladan, minimal bagi dirinya sendiri.

Kerinduan bukan lah narsisme. Memang kadang ketika kita memandang ke dunia, yang kita temukan adalah wajah sendiri, kawan-kawan kita dan rekan-rekan kita. Lalu kita mengaguminya, tapi bukan berarti –selamanya- kawan adalah kita dan kita adalah kawan.

Ada batasan-batasan yang tak pernah bisa diungkapkan, karena manusia di jagad ini adalah ukuran segala-galanya. Karena juga kami sering menulis semua ‘Manusia’ dengan ‘M’, bukan ‘manusia’ dengan ‘m’. Minimal dalam kerinduan-ku sendiri, yang mungkin ikut membawa kuman untuk kematian-ku sendiri.

Banda Aceh, 11 Juli 2008

Sunday, July 27, 2008

Ziarah Iman Bekas Tahanan

Peresensi : Adi Warsidi

“Penangkapan oleh Taliban menandai titik balik dalam hidup Yvonne Ridley: awal perjalanannya menuju Islam dan keputusannya untuk berkomitmen menjadi aktivis perdamaian.” - The Guardian

Judul Buku : Dari Penjara Taliban Menuju Iman
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : Mizan Media Utama (MUU)
Tebal : 190 halaman

Bisakah status bekas tahanan membelokkan iman? Membuat sorang wartawati yang kritis membela korban perang berubah menjadi mualaf dalam dua tahun sesudahnya. Lalu kemudian berjuang untuk keadilan bagi Islam di Eropa. Yvonne Ridley telah melakoninya dalam sebuah kisah panjang ziarah iman.


Kisah ini ditulis oleh Anton Kurnia dengan rapi, untuk kosumsi lokal di Indonesia. Cerita bermula saat Yvonne Ridley mendapatkan tugas meliput perang di Afganistan, beberapa hari setelah serangan 11 September 2001, serangan teroris yang menghancurkan menara World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS).

AS menuduh Osama Bin Laden dengan Al-Qaida ada dibalik itu. Dan Afganistan di bawah rezim Taliban diduga melindungi Osama. AS pun merencanakan serangan balasan ke sana. Ivonne mendapat tugas berat dari medianya kala itu, Sunday Express dan Daily Express yang berpusat di Inggris. Liputan langsung dari medan yang bakal perang.

Yvonne adalah senior di jajarannya, diapun berangkat via Pakistan dan masuk dengan menyamar sebagai perempuang Afganistan ke wilayah itu. Yvonne terpaksa harus memakai burka (pakaian wanita Afganistan) yang panas dan tak bebas.

Di sinilah awal petualangannya, Anton sang penulis mulai memainkan ketegangan bagi pembaca. Yvonne tertangkap saat kedapatan memotret diam-diam, ketika hendak keluar dari Afganistan setelah melakukan liputan. Pemerintah Taliban melarang pemotretan di wilayahnya.

Sial baginya, mereka menuduhnya sebagai mata-mata Amerika atau Inggris. Dia pun ditahan di sebuah penjara yang jauh dari layak. Di luar sana, peluru-peluru kendali dijatuhkan dari pesawat pem-bom untuk serangan balasan bagi Afganistan yang menolak memberikan Tuan Osama.

Sepuluh hari ditahan adalah petualangan tersendiri bagi Yvonne. Dia diperlakukan dengan baik oleh Taliban, kendati balasan darinya sungguh buruk. Yvonne memberontak dengan meludahi dan mogok makan. Dia tak disentuh sampai akhirnya dibebaskan.

Perlakuan baik itulah yang menimbulkan kesan baginya terhadap Islam, dan diapun mempelajarinya kemudian di Inggris. “Aku terpukau oleh apa yang kubaca... menurutku kata-kata di Alquran amat menakjubkan dan masih relevan di zaman sekarang...,” kutipan Yvonne pada halaman 125.

Petualangan pun membuncah setelah dia kembali lagi ke Afganistan untuk tugas selanjutnya. Dan setelah dua tahun ditahan oleh Taliban, dia membaca syahadat menyatakan keislamannya. Ada juga pertentangan dari rekan-rekannya saat itu. Tekadnya bulat dan penuh intrik. Sampai rela meninggalkan kebiasaan buruk merokok, diskotik dan seks bebas.

Setelah Islam hiasi hatinya, Yvonne masih terus menulis sebagai aktivis pembela Islam atau setidaknya meluruskan pandangan dunia barat terhadap agama ini.

Anton meracik bukunya dengan baik, kendati tak bertemu langsung dengan Yvonne. Kisah utamanya diambil dari tulisan Yvonne sendiri dalam bukunya: In The Hands of Taliban dan Ticket of Paradise.

Penulis juga menyajikan info-info detail tentang Afganistan pada saat itu, dari jalan dan kondisi kota. Tetapi masih saja dengan memakai referensi buku-buku lain. Inilah salah satu kelemahan dari buku ini, Anton adalah orang ketiga dalam petualangan Iman Yvonne.

Lainnya, Anton kadang terlalu beropini lewat tulisannya. Memuji terlalu lambung sang wartawati muslimah itu. Misalnya pada halaman 133, Anton menulis: “... betapa dia telah menemukan ziarah yang menakjubkan. Dia akhirnya menemukan akar spriritualitasnya ribuan kilometer dari negeri kelahirannya saat disekap di sebuah negeri asing...”

Tapi apapun, Anton telah memulainya dengan bagus. Layak dibaca semua kalangan sebagai referensi bagi keteguhan iman bagi yang Islam, atau sekedar pengetahuan tentang dunia Islam bagi yang non Islam. Selamat membaca petualangan iman sang wartawati Inggris.

ACEHKINI, Maret 2008

Friday, July 25, 2008

Wayang

By : Adi Warsidi

Dalam sebuah tekad, ada pengabdian dan sikap yang mesti dicari, menentukan sendiri. Ketika sebuah tawaran hadiah datang, berharap tak salah. Ketika sebuah vonis dakwaan datang, berharap salah. Ada kehati-hatian dalam jalur timbangan kehidupan.

Hidup memang tak ada yang pasti, tak hitam-putih tapi juga ada abu-abu, tak siang-malam tapi juga ada senja. Tapi kadang, ‘kesempatan hanya datang sekali’, seperti yang pernah dilantunkan pemikir-pemikir yang mungkin juga tak bisa berpikir.


Tak ada pesan apa-apa yang ingin kukabarkan di sini, karena kisah ini hanya abu-abu yang kutuliskan dengan tinta hitam berlatar putih. Karena yang kuidolakan adalah karet dan bukan besi. Bunglon, bukan sapi. Iwan Fals bahkan menulis dalam lagunya, jadilah Durna dan bukan Bhisma, karena Durna punya lidah sejuta.

Dia adalah tokoh guru dalam kitab Mahabarata. Durna mengajarkan segala ilmu untuk anak-anak Pandu dan Destarata, para Pandawa dan Kurawa, yang kemudian berperang sesamanya.

Tak sanggup kita seperti Bhisma. Dia agung dan gilang-gemilang, tapi juga berlaku abu-abu. Dia hidup dalam ketimpangan yang brutal. Keputusannya mulia ketika menolak tahta Hastinapura. Tapi, penolakan itu untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah egoisme.

Ia memang teguh memegang sumpah, tak meneruskan keturunan. Membiarkan ayahnya memberikan gelar raja kepada cucu-cucu setiawati, sang permaisuri baru. Tapi ia tak mencegah ketika Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang berasal dari rahim dua ibu, Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan yang masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu.

Destarata buta dan Pandu terlalu perkasa. Mereka memerintah bersama, dibantu Bhisma sebagai pelindung kerajaan. Pandu kemudian memilih bertapa bersama istrinya Kunti, ibu para Pandawa.

Ghandari mendampingi suaminya yang buta. Menjelang perang Pandawa dan Kurawa, kepada dayang dia berkata. “Kututup mataku karena aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang, memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi dalam waktu.” Ghandari memilih hidup tanpa cahaya. Karena kehidupan baginya adalah hitam dan putih.

Tak ada pesan apa-apa yang tertulis di sini, karena itu hanya cerita yang sering diperankan wayang. Tapi aku rindu pada lirik Iwan Fals, yang mengingatkan; jadilah Durna dan bukan Bhisma, apalagi Ghandari atau Pandu. ***

Banda Aceh, 13 Juli 2008

Monday, July 14, 2008

Batas

By : Adi Warsidi

Tapal itu tak bergaris lurus seperti jembatan panjang yang berbatas pada pinggir, lalu jalan. Tapal itu sebuah abstrak yang tak bisa diraba, berliku-liku, berlekuk dan rumit. Kadang batas tak berbatas dan kadang batas juga tragedi, jurang mematikan.

Sekarang tinggal bagaimana ‘batas’ dibatasi pada pikiran yang bisa menumbuhkan sebuah jalan mulus. Jika itu bisa dilakukan, maka batas adalah sebuah perjuangan. Pada umumnya, perjuangan tak pernah mengenal batas, kendati pejuang telah berbatas mati.


Perbatasan hanya dua sisi, siang berbatas malam, baik berbatas buruk, madu berbatas racun dan putih berbatas hitam. Tapi bukan tak mungkin, sebuah batasan ada yang abu-abu, atau antara keduanya. Kadang berbaur, kalau begini berarti tak berbatas.

Suatu hari pernah kami bertanya tentang batas pada tuan rumah yang tak pernah mengenal kami. Apa yang kami kerjakan sudah benar? Siapa kami? Kenapa kami selalu menkhawatirkan batas kami sendiri? Kenapa kami berlekuk, rumit dan abu-abu? Kenapa kami tidak ini dan kenapa tidak itu?

Tuan rumah itu heran dan memberi jawaban. Siapa anda? Kami pun binggung dan balik memfatwa, kami pun berhak bertanya kepada kawan, siapa kami?

Batas juga bermakna pergi dan kembali. Teringat sajak Sultan Takdir Alisjahbana sekitar tahun 1930-an. Pengarang roman Grotta Azzura itu menulis ‘Telah kutinggalkan engkau,’ pada batas untuk teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak itu, ia putuskan untuk mening¬galkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sultan memilih laut luas tanpa proteksi; ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.

Mara bahaya dan kacaunya cuaca mungkin adalah tidak adanya batasan dalam pilihan Sultan, ketika dia sudah berani meninggalkan tempat asal sebagai batas. Tapi kadang tak berbatas yang dicari adalah awal langkah mencari batas. Dan bukankah perjuangan juga tak berbatas? Lalu kenapa perlu putih atau hitam? Siang dan malam dan seribu lainnya.

Entahlah, di akhir biarkan kami menulis, ‘boleh biarkan batas perjuangan tak berbatas, karena batasku adalah mati’. ***

Banda Aceh, 28 Juni 2008