Thursday, October 30, 2008

Mencari Pembubuh Nama

Puluhan tahun aku mencari, pembubuh namaku. Tapi tak bertemu. Bagi siapun pembaca, aku meminta, kalau bertemu, salam dari ku.

Aku mendengar cerita ini berulangkali dari kedua orang tuaku, Guru ‘kecil’ pada sebuah desa di pedalaman Peusangan, Kabupaten Bireuen. Ayahku dan ibu selalu mengatakan, bahwa ada seseorang yang namanya persis seperti namaku; Adi Warsidi.


Syahdan, 31 tahun yang lalu, seorang mahasiswa (tak tahu dari universitas mana) melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampungku. Dia berdua dengan seorang mahasiswa lainnya, belajar sambil membangun desa bersama warga.

Menjelang berakhir tugas, setelah 3 bulan di desa, aku lahir; 18 Mei 1977. Aku tak bernama hampir sebulan. Dua mahasiswa itu berkunjung ke tempat orang tuaku.

Entah siapa yang memulai ide, tetua desa berharap ada kenangan yang tinggal dari para mahasiswa tersebut sebelum meninggalkan desa. Mahasiswa itu lalu membubuhkan namnaya pada namaku, sama persis, Adi Warsidi.

Ini cerita ibu yang kupelihara sampai sekarang. Aku perkirakan, pemberi namaku itu saat ini berumur sekitar 55 tahun. Impianku bertemu dengannya.

Pernah suatu hari, saat aku SMA, guru kimia ku, Mustafa yang kerap disapa Pendekar alias pendek dan kekar, menyebut namaku pernah ditemuinya pada nama seorang dosen ilmu kimia saat mengikuti sebuah pelatihan tentang ilmu kimia di Pulau Jawa.

Kepada siapapun yang membaca, aku berharap, kabarkan ke saya di mana keberadaan pemberi namaku. Namanya persis sama; Adi Warsidi. [*]

Sunday, October 19, 2008

Mendesain Wali Nanggroe

By; Adi Warsidi

Kesibukan tampak jelas mendera para wakil rakyat Aceh, khususnya Pansus XI yang mendapat kebagian tugas; menyusun Qanun Wali Nanggroe. Tgk Muhammad Hasan Ditiro, mantan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah berada di Aceh, dia kembali, 11 Oktober 2008.

Mereka pun telah berembuk dengan pemerintahan Aceh, surat dilayangkan ke Komite Peralihan Aceh (KPA), meminta jadwal agar kesempatan bertemu Hasan Tiro terwujud. Semuanya demi menyempurnakan draft qanun yang akan disusun.


Pertemuan dengan orang tertinggi di tubuh GAM itu pernah dirancang sebulan lalu. Akhir September silam, Pansus XI yang diketuai Mukhlis Mukhtar baru saja kembali dari tiga negara, Swedia, Belanda dan Malaysia. Tujuannya, selain ingin bertemu Hasan Tiro, juga mencari literatur bagaimana seharusnya lembaga Wali Nanggroe di Aceh.

“Kami gagal bertemu Tgk Hasan Tiro saat itu, sekarang kami usahakan untuk dapat bertemu di Aceh,” kata Mukhlis Mukhtar pekan lalu.

Pertemuan dengan Hasan Tiro dianggap penting untuk berdikusi tentang bagaimana seharusnya lembaga yang menjadi amanah dari MoU Helsinki dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Belum lagi dasar keinginan dari petinggi GAM sendiri saat perundingan perdamaian putaran ketiga, 2005 lalu. “Dalam perundingan tersebut, secara lisan disepakati bahwa yang akan menduduki Wali Nanggroe pertama kali adalah Hasan Tiro,” kata Mukhlis.

Jelang kedatangan Hasan Tiro ke Aceh, Mukhlis mengaku belum mendapatkan jadwal pertemuan dengan tim pansus untuk membahas hal tersebut. “Kita telah meminta bantu kepada Pemda dan KPA sebagai panitia kedatangan Hasan Tiro. Jawaban pasti belum ada,” ujarnya.

Diakuinya, draft normatif qanun Wali Nanggroe hampir final. Tapi karena ingin pemyempurnaan yang lebih baik, DPRA tidak boleh lembaga lain untuk menyerap aspirasinya. Berbagai pertemuan telah digelar dan draft sendiri telah disempurnakan tujuh kali.

Persoalan utamnya adalah pada kewenangan lembaga tersebut. Di dalam UUPA pasal 96 disebutkan bahwa kewenangan lembaga wali nanggroe adalah sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Juga disebutkan, lembaga tersebut bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.

GAM menganggap kewenangan itu terlalu kecil, sehingga harus banting tulang mencari referensi dan mencari jalan keluarnya. “Ada keinginan bahwa Wali Nanggroe harus lebih tinggi dari gubernur dan parlemen. “Kalau begitu bukan hanya melangar hukum, tapi juga MoU damai itu sendiri,” kata Mukhlis.

“Kita ingin cari jalan keluar, tapi sampai saat ini akses tertutup ke pemimpin tertinggi GAM (Hasan Tiro) itu,” sambungnya.

Sejauh ini, mereka terus berusaha merampungkan qanun Wali Nanggroe yang aspiratif. “Kami akan coba desain lembaga itu agar kuat, minimal setingkat gubernur.”

Qanun tersebut menjadi prioritas 2008 ini. Persoalan lain juga muncul, lembaga Wali Nanggroe tak ditemukan dalam literatur. Menariknya, istilah wali nanggroe hanya ditemukan di halaman 1271 kamus Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek (Kamus Aceh-Belanda) Jilid II. R.A Hoesein Djajadiningrat, penulis kamus keluaran tahun 1934, mengartikan wali nanggroe: bestuurder Van een land van een gebied (penguasa sebuah negeri). “Juga dicontohkan sama dengan istilah landvoogd atau gubernur jenderal,” jelas Mukhlis Mukhtar. Namun, namanya juga kamus. Tentu di sana tetap tidak ada paparan riwayat, kewenangan, struktur dan kedudukan wali nangroe yang dicari-cari tim Pansus.

Para legislator Aceh juga melaporkan bahwa mereka telah mewawancarai Prof. Dr. Teuku Iskandar di Leiden. Ahli sejarah dan kebudayaan Aceh ini mengaku pernah mendengar istilah wali nanggroe, tapi bagaimana kedudukan, fungsi dan wewenangnya tidak pernah dia temukan dalam literatur-literatur Belanda.

Istilah wali nanggroe hanya pernah ditemukan saat Belanda membentuk negara-negara federal (negara boneka) pada era revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Pimpinannya disebut ‘wali negara’, seperti wali negara Sumatera Timur, dr Tengku Mansur.

Malek Mahmud Al-Haytar, petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengatakan orang yang pantas menduduki jabatan Wali Nanggroe adalah Hasan Muhammad Tiro. “Untuk wewenang Wali Nanggroe kami masih tunggu hasil qanun. Orang yang pantas untuk Wali Nanggroe adalah Hasan Muhammad Tiro,” kata Malek, beberapa waktu lalu di Banda Aceh.

Menurutnya, muncul kembali lembaga Wali Nanggroe itu setelah adanya kesepakatan damai (MoU) RI-GAM. Tentunya dia juga merujuk kepada hasil perundingan pada putaran ketiga di Helsinki.

Belakangan beredar kabar, Hasan Tiro tak menginginkan menjadi Wali Nanggroe. Sayed Fuad Zakaria, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyebutkan seandainya Hasan Tiro tidak bersedia menjadi Wali Nanggroe, maka ada mekanisme untuk pemilihan Wali Nanggroe. “Dalam draft yang sudah mencapai tujuh kali perbaikan ini disebutkan, untuk memilih Wali Nanggroe ada semacam dewan yang terdiri dari unsur pemuda, DPRA dan DPRK. Mereka yang akan memilih Wali Nanggroe. Pastinya tunggu saja qanun selesai,” kata Sayed Fuad.

Tapi, dalam beberapa pertemuan dengan pejabat di Aceh dan Jakarta, Pansus pernah duduk mencari alternatif kalau seandainya Hasan Tiro tak mau menjadi Wali Nanggroe pertama. Hasilnya, tak ada sosok yang berwibawa dan sulit mencari orangnya. “Tak ada calon,” kata Mukhlis Muktar.

***
“Tgk Hasan Ditiro pulang ke Aceh bukan untuk kepentingan penyusunan qanun itu. Dia pulang ke Aceh untuk siraturrahmi dengan masyarakat Aceh. Dia pulang bukan untuk kepantingan siapa-siapa,” ujar Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin alias KBS.

Dalam pandangannya, mencari format Wali Nanggroe janganlah terburu-buru. Harus benar-benar matang dan GAM menginginkan lembaga tersebut nantinya punya kewenangan yang luas. “Seperti yang dipertuan agung di Melaka, Malaysia,” sebutnya.

“Kalau kewenangannya hanya sekadar mengurusi adat istiadat, bagusnya tidak usah dibuat aja qanun Wali Nanggroe,” sambungnya.

Soal Wali Nanggroe pertama akan diberikan kepada Hasan Tiro sesuai dengan perundingan damai dulunya, Ibrahim menyebutkan benar adanya. Apakah Hasan Tiro mau menjadi Wali Nanggroe? “No comment,” kata Ibrahim.

Menurutnya, Hasan Tiro bukanlah orang yang menginginkan jabatan tersebut. Dan Hasan Tiro juga belum memastikan akan tinggal di Aceh nantinya atau tidak. Kendati gubernur Aceh Irwandi Yusuf sendiri berharap agar pemimpin tertinggi GAM itu bisa menetap di Aceh.

Tentang siapa yang akan menjadi Wali Nanggroe, kalau Hasan Tiro tak mau menjadi yang pertama, Ibrahim belum mau berkomentar jauh. “Kita lihat saja bagaimana qanunnya dulu.”

Ibrahim menyebutkan, kewenangan lembaga Wali Nanggroe harusnya bisa setingkat di atas gubernur. Dan qanunnya harus di atas dari qanun yang lain. Pihaknya akan memperjuangkan hal tersebut. Kalau kewenangannya kecil dan hanya seperti yang tercantum di UUPA, maka pihaknya akan menolak qanun tersebut. Ibrahim sendiri duduk sebagai tim asistensi penyusunan qanun Wali Nanggroe.

Dia menyebutkan, UUPA sendiri juga masih belum selaras dengan semangat MoU Helsinki. “Bukan hanya lembaga Wali Nanggroe, tapi juga soal pembagian kewenangan pusat – daerah, kita nantinya juga akan upayakan agar UUPA direvisi ulang,” kata Ibrahim.

Sekretaris Partai Rakyat Aceh (PRA) Thamren Ananda menyebutkan bahwa Wali Nanggroe pertama kali usai qanun siap, haruslah diberikan perhormatan kepada Tgk Hasan Ditiro. “Ini untuk menjaga spririt perdamaian di Aceh.”

Tentang kepulanganya ke Aceh yang bukan untuk kepentingan itu, Thamren mengatakan apapun tujuannya, yang lebih penting adalah pulangnya Hasan Tiro dapat dijadikan sebagai momentum untuk merawat damai abadi di Aceh. Lainnya adalah dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk berkoordinasi bagaimana qanun Wali Nanggroe diracik DPRA.

“Kalau Hasan Tiro tak mau menjadi Wali Nanggroe, itu persoalan lain. Pentingnya, untuk pertama harus diberikan perhormatan kepada beliau,” ujar Thamren.

Soal kewenangan Wali Nanggroe, Thamren setuju bahwa yang tercantum di UUPA masih sangat lemah. Hal ini perlu ditingkatkan dan harus dilakukan pembahasan ulang alias revisi UUPA. “Tidak ada yang tidak bisa diubah, semuanya bisa,” ujarnya.

Kata Wali Nangroe memang sering didendangkan kombatan GAM saat perang dulunya. Merujuk kepada Hasan Tiro. Usai konflik pergi, dalam formatnya lembaga itu sedang didesain oleh para dewan Aceh. Akankah Hasan Tiro menjadi Wali Nanggroe? ***

Saturday, October 18, 2008

Mendekap Keumala

By; Adi Warsidi

Novel ini merekonstruksi kembali sosok Keulamahayati, Laksamana ternama dari Nanggroe. Daerah yang dikabarkan pernah jaya di masa raja-raja.

Judul : Perempuan Keumala
Penulis : Endang Moerdopo
Penerbit : PT Grasindo, 2008
Tebal : 350 halaman + xii

Dapatkah sebuah kematian orang tercinta membelokkan jalan kehidupan seorang perempuan? Menjadikan sebuah ketegaran untuk membela kaumnya, para janda. Kendati tak begitu drastis, perubahan itu telah ditorehkan Endang Moerdopo penulis asal Jogjakarta dalam novelnya, Perempuan Keumala.


Novelnya berkisah tentang Keumalahayati, Laksamana Perempuan pertama kerajaan Aceh, yang hidup pada abad ke-16. Menjadi pemimpin armada laut selat malaka setelah kehilangan kakanda tercinta. Sebuah fakta (mungkin) sejarah yang pernah berlaku di tanah Aceh, dicampur bersama fiksi dalam sebuah perenungan yang dalam.

Keumala, perempuan itu sempat mengenyam indah dan kemudian roboh secara psikologis, setelah perang mengambil cintanya. Dia tak larut lama hingga bangkit memimpin sambil menyingkirkan fitnah yang mendera, dari kaum yang iri dan pengejar dirham di lingkaran istana.

Endang, sang penulis sedang berkisah tentang cinta, dendang kematian, hingga nasehat serta rekontruksi sebuah bangsa digambarkan besar, tapi tak pernah sepi dirudung perang. Bahkan bangsa yang masai oleh pertikaian tak kunjung henti dalam tubuhnya sendiri.

Kisah berawal saat Keumala, tokoh utama dalam remaja. Dia hidup dalam suka dan cinta ketika mengikuti pendidikan militer di Kutaraja. Cerita mengalir indah dalam dialog-dialog panjang tentang perkawanan para sahabat. Sampai kemudian Keumala melengkapkan kebahagiaan saat berjodoh dengan Tuanku Mahmuddin, si abang kelas yang menaruh hati pada mata indahnya.

Dengan cantelan naratif yang mengalir kuat sejak lembar awal, Perempuan Keumala bergerak cepat. Membawa pembaca menelusuri eksotisme Nanggroe dalam perang laut yang dipimpin langsung Sang Sultan Aceh, Alaiddin Riayat Syah dengan Panglima Laot Selat Malaka, Tuanku Mahmuddin, suami Keumala.

Perang bersama Portugis di Laut Haru, Selat Malaka tak digambarkan detail. Tapi disitulah kisah hidup Keumala direkatkan pada jalan perang. Tuanku Mahmuddin shyahid saat membela Sultan. Keumala janda.

Sultan membebaskan Keumala dari duka, dia dinobatkan untuk mengganti suaminya sebagai Panglima Laot Selat Malaka. Iri muncul dari petinggi istana lainnya. Lalu kisah diceritakan sebagai konflik dalam kerajaan, merebut simpati sultan.

Nanggroe adalah perang yang nyaris abadi sejak lama. Keumala menjadi kepercayaan sultan dan lahirlah Armada Inong Balee yang dipimpinnya sendiri. Pasukan berasal dari para janda yang suaminya meninggal bersama Mahmuddin.

Jadilah Laksamana Keumalahayati sebagai perempuan perkasa yang memimpin perang, menghibur para janda, berlatih bersama, menghitung strategi sampai kepada mengirimkan mata-mata untuk menelusuri pedagang-pedagang curang di sepanjang Selat Malaka.

Penulis mengakhiri kisah dengan perkelahian melawan pedagang dari Belanda. Cornelis de Houtman, orang yang dalam sejarah disebut sebagai Belanda pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Dia mati setelahnya di tangan Keumala dalam sebuah pesta di Laut Krueng Raya.

Perempuan Keumala menjadi penting karena inilah novel sejarah yang menulis tentang Laksamana Perempuan pertama Aceh itu. Endang menyuguhkan fiksi yang dicampur kisah sejarah di dalamnya. Membacanya adalah membaca perempuan Aceh yang gagah perkasa.

Alur cerita pas, tapi penulis sedikit berpretensi ketika menjadikan Keumala tokoh yang berani menghadapi segala tantangan. Pengecutnya digambarkan manusiawi dan magis, dan hanya sedikit, ketika anaknya diculik. Dia diguna-gunai dengan mantra Tapak Tuan dan setelah lepas, Keumala melesat tanpa cacat.

Lainnya, Perempuan Keumala menyuguhkan sebuah dialog-dialog yang kadang panjang dan membosankan. Percakapannya kurang makna, berlebihan di deskripsi alam dengan laut dan daratannya, tokoh dengan pakaian dan lakonnya serta suasana yang dibuat-buat, kadang terbaca tak indah lagi.

Tapi apapun, Endang telah menulisnya untuk Nanggroe, sebagai bahan renungan generasi depan. Bahwa perempuan Keumala pernah ada dalam bingkai pikiran kita. Merawatnya adalah tradisi, mengingatkan perempuan kita, telah jaya sejak silam, dalam fiksi ataupun nyata. ***

[Majalah Acehkini, Oktober 2008]

Tuesday, October 14, 2008

Mereka yang Merindukan 'Wali'


By; Adi Warsidi

Pagi-pagi sekali, Sabtu (11/10) Muklis berangkat dari tempat bermalamnya menuju bandara Sultan Iskandar Muda. Bersama rekan-rekan, Muklis yang tiba dari Bireuen sehari sebelumnya, menginap di Taman Ratu Safiatuddin, tempat massa penunggu ‘Wali’ berkumpul.

Di kalangan mantan Gerakan Aceh Merdeka dan masyarakat Aceh, Tgk Muhammad Hasan Ditiro akrab disebut ‘Wali’, merujuk kepada nama ‘Wali Nanggroe’, yang berarti pemimpin negeri.


“Saya sangat ingin melihat langsung wali dan berjabat tangan dengannya,” ujar Muklis yang simpatisan Partai Aceh. Sebuah partai lokal yang dipelopori oleh mantan anggota GAM.

Hari itu, Hasan Tiro tiba di Aceh menjelang siang. Pagi sudah ramai di bandara oleh mereka yang merindukannya. Nasib baik belum memihak Muklis, dia tak mengantongi kartu (id) khusus untuk tim penjemput. Alhasil, Muklis harus di luar bandara. “Saya tak bisa masuk, saya menunggu di luar saja. Padahal saya sangat rindu Wali,” ujarnya.

Pengamanan memang super ketat di pintu masuk Bandara Sultan Iskandar Muda. Puluhan pengawal khusus Hasan Tiro berjaga dengan pakaian serba hitam dan selempang merah putih hitam, mirip berdera GAM dulunya. Bedanya tanpa gambar bulan bintang.

Pengamanan minim polisi. Komite Peralihan Aceh (KPA) yang jadi panitia menjadi pengawal, umumnya eks Libya. Mereka yang pernah mendapat pendidikan militer di Maktabah Tanzura, Libya.

Muklis di luar pagar, saat pesawat yang membawa Hasan Tiro mendarat. Hasan Tiro dipapah saat menuruni tangga pesawat, senyum ditebarkan sambil melambai tangan. Massa mendongak dari luar pagar bandara. “Tak sempat melihat wali, pesawatnya juga boleh,” ujar Mursalin, seorang warga lainnya.

Lepas dari bandara, ratusan mobil dan sepeda motor berkonvoi mengikuti mobil yang membawa Hasan Tiro ke Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Di sana, Hasan Tiro akan menyapa seluruh masyarakat Aceh.

Ribuan massa lainnya sudah menunggu di sana. Umumnya mereka mengusung bendera, Partai Aceh. “Wali tak pulang untuk kepentingan siapa-siapa, termasuk partai Aceh,” kata Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin sebelumnya.

“Wali pulang karena rindu Aceh, ingin melihat kampung halaman. Dia pulang untuk seluruh masyarakat Aceh,” sambungnya.

Di Mesjid Raya Banda Aceh, Arman telah menunggu dari pukul 10.00 WIB. Dia tak datang ke bandara. “Saya merindukan ‘Wali’, begitu juga dengan semua masyarakat Aceh lainnya,” klaimnya.

Arman sudah dua hari sebelumnya datang ke Banda Aceh dari Aceh Timur bersama rekan-rekannya. “Kami berharap, ‘Wali’ bisa tinggal di Aceh selamanya.”

Dia memang tak sempat menjabat tangan ‘Wali’, karena massa berebut menyapa dari dekat panggung yang bertengger tiga meter dari tangga mesjid. Kendati begitu, kerinduannya sedikit terobati, dengan melihat dari dekat. “Selama ini kami hanya melihat foto-fotonya saja di media.”

Kerinduan juga dirasakan oleh Istri (Alm) Muhammad Usman Lampoh Awe, Pocut Sariwati binti Tgk Mahmud. Dia mendapat kehormatan mengalungkan bunga kepada Hasan Tiro. Suami Pocut Sari adalah Mantan Menteri Keuangan GAM dan juga sepupu Hasan Tiro. Tgk Usman meninggal pada 3 Oktober 2008 lalu, delapan hari sebelum ‘Wali’ pulang.

Pocut Sari menyebut bangga dapat mengalungkan bunga langsung kepada Hasan Tiro. “Saya dan mendiang suami saya dulu sangat merindukan dia pulang,” ujarnya.

Ribuan massa kembali ke daerah masing-masing menjelang sore hari. Rindu mereka sedikit terobati, kendati tak sempat berjabat tangan dengan yang mereka namanya ‘Wali’, Hasan Tiro. [*]

Koran Tempo, 12 Oktober 2008

Pesan Hasan Tiro

By; Adi Warsidi

Mantan Pemimpin Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan Ditiro, berpidato di depan ribuan masyarakat Aceh yang menanti kedatangannya di Mesjid Raya Banda Aceh, Sabtu (11/10) siang.

Hasan Tiro menyapa dengan salam dan menyebutkan, “lon katroh u Aceh, katroh u gampong (saya sudah sampai di Aceh, sudah sampai ke kampung halaman).”


Selanjutnya, Hasan Tiro yang sudah berumur 83 tahun itu meminta Mantan Perdana Menteri GAM, Malek Mahmud untuk membacakan amanatnya. Dalam amanatnya, Hasan Tiro menyampaikan rasa bahagianya dan rahmat yang diberikan Allah karena dapat bertemu dengan masyarakat Aceh.

“Belum pernah rakyat Aceh dari masa penjajahan mendapat kebebasan seperti ini. Rakyat mendapat kebebasan setelah adanya perdamaian di Aceh,” ujarnya.

Menurutnya, perdamaian lahir karena jerih payah rakyat Aceh yang telah bekorban. Perdamaian lahir setelah jatuhnya ratusan ribu korban semasa konflik dan bencana tsunami Aceh. Telah ada ribuan anak yatim di Aceh. “Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberi perhatian kepada mereka dan masyarakat Aceh sesuai kesepakatan Helsinki,” sebut Hasan Tiro.

Dia menyebutkan, 30 tahun konflik, Aceh hampir kehilangan segalanya. Hasan Tiro mengajak semua pihak untuk dapat bersama-sama membangun Aceh kembali. Membangun Aceh tentunya butuh pengorbanan, “biaya perang lebih mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal.”

“Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua,” sambung Hasan Tiro.

Mantan pemimpin tertinggi GAM yang telah 30 tahun meninggalkan Aceh dan menetap di Amerika Serikat dan Swedia, juga menyampaikan terimakasihnya kepada pemerintah Indonesia yang komitmen terhadap menjaga perdamaian di Aceh.

Rakyat Aceh juga diajak untuk menjaga persatuan dan kesatuan dan jangan terpancing kepada kelompok-kelompok yang ingin memecah belah rakyat Aceh, dan mengacaukan damai di Aceh.

“Terimakasih kepada rakyat Aceh yang telah menanti kedatangan saya dan menerima saya di Aceh,” ujarnya.

Ribuan massa bersorak dan meneriakkan Wali Nanggroe untuk Hasan Tiro. Jalan di sekitar mesjid terbesar di Aceh itu macet total selama empat jam lebih. Umumnya massa mengusung bendera Partai Aceh (PA), partai lokal di Aceh yang didirikan oleh para mantan anggota GAM.

Muhammad Ali, seorang simpatisan PA yang datang dari Bireuen menyebutkan, dia sengaja datang ke Banda Aceh untuk melihat secara langsung Tgk Hasan Tiro. “Kami datang bersama kawan-kawan dengan biaya sendiri,” ujarnya.

Massa mulai meninggalkan mesjid raya sekitar pukul 14.00 WIB, setelah Hasan Tiro menyelesaikan jadwal pidatonya di depan masyarakat Aceh. Setelah itu, massa mulai kembali ke daerah masing-masing dengan menggunakan truk terbuka, mobil pribadi dan sepeda motor.

Usai acara di Mesjid Raya, Hasan Tiro menuju ke Pendopo Gubernur Aceh untuk beristirahat dan juga berjumpa dengan pejabat dan tokoh Aceh lainnya. Rencananya, Hasan Tiro akan berada di Aceh selama dua pekan ke depan.

Hasan Tiro tiba menginjakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, pukul 11.25 WIB. Dia terbang dari Malaysia bersama rombongan dengan pesawat carteran dari Malaysia. Ikut bersamanya, Mantan Petinggi GAM, Malek Mahmud dan Zaini Abdullah. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Ketua KPA, Muzakkir Manaf juga terlihat bersama rombongan.

Rombongan disambut dengan pengawalan khusus dari anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dipimpin oleh Abu Razak, Wakil Ketua KPA. Ratusan masyarakat dan simpatisan Partai Aceh melihat kedatangan Hasan Tiro dari luar pagar bandara.

Istri (Alm) Muhammada Usman Lampoh Awe, Pocut Sariwati binti Tgk Mahmud mendapat kehormatan untuk mengalungkan bunga kepada Mantan Pemimpin Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan Ditiro.

Pocut Sariwati kepada Tempo menyebutkan, dia diminta khusus oleh panitia dari KPA untuk pengalungan bunga kepada Hasan Tiro. “Seharusnya sesuai adat orang Aceh, saya belum bisa keluar rumah, karena suami saya baru meninggal. Tapi karena yang pulang adalah saudara sepupu dan kawan dekat suami saya, saya ikut menyambut,” sebutnya.

Menurutnya, dia bangga dapat mengalungkan bunga langsung kepada Hasan Tiro yang telah 30 tahun mengasingkan diri ke Swedia. “Suami saya padahal sudah bersiap-siap untuk menjemput sendiri Hasan Tiro, tapi Allah berkehendak lain,” ujarnya. Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Mantan Menteri Keuangan GAM meninggal pada 3 Oktober 2008 lalu di RSU Sigli, Kabupaten Pidie karena menderita Leukeumia. [*]

Koran Tempo, 12 Oktober 2008