Sunday, November 18, 2012

Membangkitkan Syair Sufi Lewat Tari

Adi Warsidi

TEMPO.CO, Banda Aceh – Usai lakon menepuk dada dan paha, delapan penari itu serentak berdiri membentuk lingkaran. Tangan saling mengait, kaki disentakkan ke depan, ke belakang, setengah meloncat.

Syair sufi dikumandangkan serentak, “Allahu.... Allah rabbani, malaikat rabbani. Beingat-ingat Allahu, taubat bak Allah, ta taubat beusah, neubuka Allahu pinto taubat. (Allahu.... Allah rabbani, malaikat rabbani. Ingat-ingatlah Allahu, bertaubat pada Allah, kita taubat yang sah, bukalah Allah pintu taubat).”

Thursday, November 8, 2012

Membangkitkan Tradisi Raja Daya


Oleh: Adi Warsidi

Telah ada sejak ratusan tahun lalu, tradisi Negeri Daya terus berkembang turun-temurun di kalangan warga penghuni pertapakan kerajaan itu. Saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan diberi singgasana lewat upacara adat bernama Seumuleng, membangkitkan kembali semangat para leluhur yang bersemayam di komplek makam para Sultan. Ahad 28 Oktober 2012, Tempo diundang untuk melihat langsung prosesi itu, di alun-alun Astaka Diraja, Pantai Kuala Daya, Lamno, Aceh Jaya.

Seribuan orang tumpah ke alun-alun Astaka Diraja. Diapit bukit dan pantai, sebelah kanan pintu masuk puluhan tenda pasar dadakan terpacak pada tanah berpasir, menjual aneka makanan dan minuman. Di kirinya, riuh para pengunjung beriringan dengan jerit anak-anak yang bermain air pada teluk kecil selaksa kolam, dipisahkan dengan laut oleh dua tebing bebatuan seperti pintu gerbang.

Tuesday, November 6, 2012

Ritual Air Suci dan Para Raja Daya


Oleh: Adi Warsidi

TEMPO.CO, Banda Aceh – Pantai Kuala Daya benderang pagi itu. Langit biru memantulkan cahaya ke lautnya yang indah dengan satu pulau kecil jelas terlihat, tanpa penghuni. Air laut berjingkrak mengempas pantai kuala, di sisi lain ombaknya dipecahkan tanggul-tanggul batu. Di atas pantai, bukit yang hampir tandus menebarkan magis penarik orang-orang segenap penjuru.

Bukan pantainya yang membuat daya tarik, hingga seribuan warga tumpah ke kasawan Kuala Daya, Lammo, Aceh Jaya. Tapi bukitnya, yang menyimpan jasad para Raja Daya, yang pernah berdaulat di kawasan itu, ratusan tahun lalu. Ahad 28 Oktober 2012 lalu, Tempo menelusurinya, tepat saat tradisi Seumuleng (menyuapi) Raja Daya diperingati. Sebuah upacara adat yang dijaga turun-temurun oleh anak-anak Negeri Daya.

Satu persatu warga turun naik 99 anak tangga yang dibuat melingkar menghindari sudut tanjakan. Di bawah tangga, sebuah pamplet beton menyapa dengan tulisan “Komplek Makam Sulthan Alaidin Riayat Syah” ditulis dengan dua huruf, arab dan latin.

Di atas bukit, komplek makam dipagari. Di dalamnya ada bangunan utama yang berisi 10 makam raja dan keluarganya yang pernah memerintah Kerajaan Daya pada kurun abad ke 15 Masehi. Di sisinya, sebuah bangunan kecil tempat guci peninggalan raja dan dua balai peristirahatan.

Ritual ziarah makam dimulai dengan membasuh kepala memakai air yang dianggap suci. Warga antre mendapatkan air itu, dua petugas silih berganti menuangkan dengan gayung dari tempurung kelapa yang telah diberikan pegangan. Air itu berasal dari sebuah guci peninggalan Negeri Daya, yang dialirkan memakai pompa dari sumber air di sela-sela batu bukit.

Penjaga Makam, Abidin (60 tahun) mengisahkan, dulunya guci itu berada di sebelah kanan makam para raja. Konon dulu, airnya terisi sendiri ke dalam guci pada sumber seperti air terjun kecil di bagian atas bukit, tak pernah kering. Pada saat pemugaran tempat keramat itu, guci dipindahkan ke sebelah kiri makam, dalam bangunan kecil yang diberi atap. Bagian bawah guci berwarna hitam ditanam pada lantai semen.

“Air yang diambil dalam guci dipercaya dapat menenteramkan hati dan mengobati berbagai penyakit,” kata Abidin. Dia masih percaya, guci itu dulunya didoakan oleh Sultan Salatin Riayat Syah, pendiri Negeri Daya.

Tugas menjaga makam bagi Abidin adalah amanah dari moyangnya. Makam dijaga turun temurun oleh keturunan mereka sejak dulu. Dia mulai menjaga makam setelah Ibrahim, abangnya meninggal pada tahun 2004. “Sebelumnya orang tua kami, Teungku Ahmad yang menjaga makam ini.”

Usai mencuci muka, sebagian pengunjung mengambil wudhu dan melanjutkan ritual di dalam bangunan makam. Ada yang shalat sunat dan sebagian berdoa dan melafalkan ayat-ayat suci. Tak lupa sebagian melapas nazar, bersedekah untuk kemakmuran makam.

Seorang ibu tiba-tiba menghampiri Abidin dan memberikan sejumlah uang. “Ini sedekah dari saya dan anak saya, semoga doa saya dan anak saya diterima Allah,” ujarnya.

Tanpa ditanya, si Ibu bercerita tentang doa dan harapannya agar menantunya kembali ke rumah, setelah pergi sekian hari akibat cek-cok keluarga. “Adik dengar sendiri kan? Warga masih sangat percaya tempat ini keramat dan suci,” kata Abdidin.

Tak hanya saat tradisi Seumuleng Raja Daya, makam itu ramai dikunjungi. Penuturan penjaga makam, pada akhir pekan, ratusan pengunjung juga kerap ke sana. Menjalankan ritual yang dipercaya turun-temurun.

Jamal misalnya, datang khusus dari Banda Aceh membawa istri dan anaknya menjalani ritual makam. “Kami sering ke kemari bang, tempat ini masih kami anggap suci dan keramat,” ujarnya.

Ramai dikunjungi, makam itu terjaga bersih diurus oleh para warga sana. Biaya mengurus dari sumbangan pengunjung. “Menjaga dan mengurus makam adalah menjalankan amanah dan kebanggaan bagi kami,” kata Teuku Zaini, salah satu keturunan Raja Daya.

Terletak di atas bukit, makam itu tak terjangkau lidah tsunami saat menghumbalang Aceh 26 Desember 2004 silam. Padahal, tsunami sempat menenggelamkan Kemukiman Kuala Daya yang terdiri dari dua desa, meninggalkan ribuan korban.

Dari Banda Aceh, makam Raja-raja Negeri Daya berjarak sekitar 81 kilometer, persisnya di Pantai Kuala Daya, Lamno, Aceh Jaya. Lokasi makam terpisah dari pemukiman, dan belum teraliri listrik negara. Kebutuhan arus, penjaga makam menggunakan mesin genset.

Dengan segala keterbatasan, tradisi adat Kerajaan Daya dan ritual makam masih hidup dan terjaga dengan baik. ”Kami menjaga amanah para leluhur dan selanjutkan menurunkan kepada penerus kami,” tutur Abidin. *** [1 November 2012 | tempo.co/travel]

Tuesday, July 17, 2012

Rafly; Perawat Musik Etnik Aceh


ADI WARSIDI

Ratusan pengunjung memadati panggung di pelataran Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Rabu malam, 19 Juni pekan lalu. Di puncak peringatan israk mirak, Rafli Kande tampil memukau, menghibur warga sambil menunggu ceramah agama.

//… Puleh darah, gapah utak, ie ngen minyek, saya ya Allah...// [sembuh darah, lemak otak, air dan minyak, saya ya karena Allah].

Begitulah satu bait syair lagu Puleh yang didendangkan Rafly. Berkisah tentang datangnya kesembuhan dari penyakit adalah karena kuasa Allah, lagu itu diiringi penyanjungan dan syair-syair tauhid lainnya, seperti lazim dari karya-karya Rafli.

Alat musik yang ditampilkan hanya rapai yang ditabuh anak-anak grup Kande-nya. Irama tak kalah dengan hentakan drum maupun gitar. Suara Rafli khas melengking tinggi, sesekali tangannya bergerak ikuti irama, memukau pendengar. “Di masjid ini, kami tak boleh memainkan alat musik lain, hanya rapai yang diperbolehkan,” kata Rafly kepada Tempo.

Rafly dengan Grup Kande adalah idola di Aceh. Kemampuannya menyanyi tak diragukan lagi, di mana dia hadir suasana selalu ramai. Dia mampu menghibur warga dengan inovasinya bernyanyi dalam musik etnik Aceh, yang digabung dengan musik modern.

Inilah yang menjadi daya tariknya, menggabungkan alat musik tradisional seperti rapai, seurune kale, genderang, tambo dan berugu berpadu dengan alat modern semisal gitar, bass dan drum. Kekuatan lagunya menjadi penting, agar satu alat tak menjadi sekadar pelengkap bagi alat musik lain. “Ini selalu membutuhkan diskusi personel dan menjadi bagian sulit,” kata Rafly.

Tempo yang dibuatpun berkarakter etnik yang akrab dengan masyarakat. Bagi Rafli, Grup Kande adalah keabsahan musik etnik modern, lirik, kostum dan Bahasa Aceh yang menjadi sebuah kesatuan. Sekilas musiknya bergaya R&B, genre musik populer yang menggabungkan jazz, gospel dan blues. Tentu saja tanpa meninggalkan karakter musik Aceh.

Syair lagu Rafly adalah syiar-syiar agama dan kritik terhadap kondisi kekinian yang terjadidi Aceh. Pesan-pesan dalam lagunya selalu akrab dengan masyarakat. Saat konflik Aceh dulunya, dia kerap menyuarakan perdamaian dan kondisi sosial kemasyarakatan. Misalnya lagu ‘Anak Yatim’ yang berkisah tentang anak kehilangan ayahnya semasa perang.

Karenanya Rafly dan Kande diterima baik masyarakat Aceh. Dia mengaku hidup dari musik dan berkecukupan. Kerap menjalani manggung di mana-mana, kadang solo dan juga bersama Grup Kande. Di Aceh, di mana pun Rafly Kande konser, penonton tak kurang dari 20.000-an. Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia kerap disambanginya. “Kalau ke luar negeri, saya pernah bernyanyi di Scotlandia, London (Inggris) dan juga Malaysia,” kataRafly.

Rafli mengaku lebih sering tampil solo daripada bersama Grup Kande. Maklum, mendatangkan grup yang berbilang besar dengan peralatan lengkap sampai 60.000 watt, membutuhkan energi yang besar pula.

Albumnya laku keras di Aceh. Ratusan ribu CD terjual dalam setiap album yang dikeluarkan. Hanya saja, albumnya masih belum banyak, Rafli dengan Grup Kande-nya baru mengeluarkan dua album, sedang album solonya sudah enam album.

Bakat menyanyi lelaki kelahiran Samadua, Aceh Selatan, tahun 1967 itu turun dari ayahnya, Mohammad Isa, seniman grup Meudike (melantunkan nasehat-nasehat agama). Rafli akrab dengan seni tradisi itu. Saat duduk di bangku sekolah, dia menyenangi lagu-lagu berkarakter keras seperti rock dan mencoba belajar alah musik modern. Di sekolah, kegiatan keseniannya menjadi hobby utama.

Tamat kuliah, Rafly mengabdi sebegai guru di salah satu Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Aceh Barat pada tahun 1994, kegiatannya bermain musiknya sempat berhenti. Tahun 1997, dia mulai bernyanyi solo dengan musik-musik etnik yang digabungkan dengan irama modern.

Pada tahun 2000, dia pindah tugas ke MIN di Banda Aceh, dan mulai berpikir untuk membentuk sebuah grup musik. “Lagu-lagu Aceh saat itu banyak ciplakan dari musik dangdut dan remix,” katanya.

Grup dibentuk bernama Kande dengan semangat menciptakan sebuah musik etnic Aceh yang dinamis kekinian dan tak ketinggalan zaman. “Artinya enak didengar oleh orang tua dan juga yang muda,” ujarnya.

Dikumpulkanlah lima personel pada awalnya, mereka manggung di mana-mana dan masih kesulitan mencari sponsor. Seiring waktu, mereka terus dikenal dan kemudian terus berkembang. Kini Grup Kande punya delapan orang grup inti dan full tim ada 14 orang. Mereka ahli bermain musik tradisional dan juga modern.

Diakui, jenis musik yang dibawakan mereka dengan gabungan tradisional dan modern juga pernah dipikirkan oleh pemusik lainnya, misalnya Grup Musik Nyawoeng. Tetapi secara aplikasi, Kande disebut Rafly lebih gigih sehingga tetap eksis sampai sekarang. “Yang bagusnya diterima oleh masyarakat Aceh.”

Membina grup, dia mengaku mengedepankan kekeluargaan, sehingga anak-anak merasa nyaman dan personel tetap betah di Kande. Menurutnya, kekuatan mereka adalah pada personel yang selalu rindu untuk tampil bersama di konser-konser. Setiap kesulitan dalam musik didiskusikan bersama.

Zulkifli, personel Grup Kande mengakuinya. “Kami seperti sebuah keluarga,” ujarnya. Menurut Zul yang ahli alat musik tradisional, setiap kesulitan yang mereka hadapi dipecahkan bersama.

Dia mengakui bermain musik etnik dengan gabungan musik modern punya banyak kendala. Apalagi karakter musik Aceh tak punya pakem untuk bermain modern. Kande kemudian sebisa mungkin menggabungkan alat-alat musik semaksimal mungkin sehingga tak berkesan seperti tempelan. “Harus padu dan menjadi sebuah kesatuan, satu alat musik tidak membunuh alat yang lain,” ujar Zulkifli.

Budayawan Aceh, Azhari Aiyub mengatakan karakter musik Rafly Kande bisa diterima oleh seluruh rakyat Aceh, karena dapat mengembalikan kerinduaan rakyat Aceh terhadap musik rakyat yang telah lama hilang. “Saat mendengar musik Rafly, pendengaran rakyat Aceh langsung merespon. Keseluruhan musik, mengembalikan sesuatu yang hilang selama ini,” ujarnya.

Menurutnya, karakter musik etniknya telah lama hadir dulu, lewat Seudati, Meudikee dan irama tari-tarian Aceh yang dipadukan dengan gerak. “Rafly berhasil mengambil posisi itu dan membuat lagu diiringi gabungan musik tradisional dan modern,” ujarnya.

Azhari mengakui sebelum Rafly muncul, ada musisi lain yang juga memulai karakter tersebut sepertu Grup Nyawoeng. Selanjutnya juga ada beberapa musisi yang meniru. Tapi kemudian penilaian Azhari, Rafly yangmampu bertahan. “Ini bukan yang baru, tapi merupakan bagian dari kekayanan dan khasanah musik rakyat, yang diberikan inovasi,” ujarnya.

Dalam teksnya, Rafly juga banyak mengadopsi nasehat-nasehat dalam cerita rakyat. Teks itu kemudian sangat berarti karena dinyanyikan dengan bagus. Tantangannya kemudian bagi Rafly dan Grup Kande adalah pada menciptakan satu jenis musik rakyat yang baru, yang dapat juga digandrungi oleh generasi ke depan yang terus tumbuh dan punya selera yang berbeda.

Pemerintah mendukung apa yang dilakukan Rafly. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banda Aceh, Reza Fahlevi menilai Rafly telah ikut melakukan kampanye-kampanye terhadap Aceh dengan musiknya. “Ketika dia tampil kemana-mana baik dalam dan luar negeri.”

Pengakuannya, Rafly sering diajak beberapa even nasional dan internasional seperti pagelaran Internasional Musik Sufi pada tahun 2011 lalu. “Kita juga ajak dalam even-even dari pemerintah pusat untuk diselenggarakan di Aceh,” kata Reza.

Musik rafly diterima masyarakat luas di Aceh karena akrab dengan kondisi masyarakatnya. “Saya suka musik Rafly, mendengarnya tak pernah bosan,” kata Aisyah, warga Banda Aceh.

//… Oh kalaye tho krang seulanga nyan, gadeh mangat beu…// (saat layu kering, bunga seulanga itu hilang harumnya), Aisyah mencoba salah satu lirik lagu Rafly yang disukainya. ***

Wednesday, May 23, 2012

Inong Balee di Lahan Kakao

Adi Warsidi


Lahan kurang dari satu hektar itu bersih dari pohon besar. Pisang-pisang tumbuh berjejer setinggi dua meter melindungi tanaman kakao muda di bawahnya. Rumput berbagi ruang di sela-sela.

“Ini lahan saya, telah lima bulan ditanami bibit kakao program bantuan,” ujar Alawiyah, 37 tahun, sambil menunjuk kiri-kanan memberitahukan batas kebunnya, saat kami berkunjung awal Mei 2012 lalu.

Kulitnya sawo matang, sama dengan wajahnya yang tanpa polesan make-up. Alawiyah bukan perempuan biasa, dia adalah inong balee alias janda kombatan. Suaminya yang gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), meninggal pada 2004 saat saat konflik masih mendera Aceh.

Hidup menjanda, dia dan dua anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar menumpang dengan orang tuanya di Desa Kumbang, Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie. Mereka menempati rumah panggung jauh dari kesan mewah.

Alawiyah mengaku minim mendapatkan bantuan. Dia menggantungkan hidupnya dari sepetak sawah dan kebun kakao milik orang tuanya. Bukan miliknya sendiri. Sampai kemudian dia terpilih untuk menjadi penerima manfaat Program Kakao Aceh yang difasilitasi oleh ActionAid Australia (AAA) dan Yayasan Keumang didanai Multi Donor Fund (MDF).

Perempuan itu termasuk dalam kategori petani lahan baru. Lahan miliknya yang terletak di kaki bukit adalah bekas hutan yang kemudian digarap masyarakat sekitar. Dia kebagian jatah sekitar satu hektar, setelah beberapa kawan almarhum suaminya memfasilitasi dan mengurus izin garap.

Lahan sempat terlantar lama, hanya diolah sebagiannya saja dengan tanaman cabe dan sayur-mayur lainnya. Program Kakao Aceh yang digulirkan akhir 2010 silam, membantu Alawiyah bersama puluhan petani lain di sana.

Sejak program berjalan, Alawiyah aktif mengikuti pelatihan-pelatihan. “Saya beberapa kali ikut pelatihan seperti pemangkasan dan teknik perawatan kakao lainnya,” ujarnya.

Bibit kakao untuk lahan baru diterimanya pada akhir 2011 lalu. Bibit unggul itu kemudian ditanami di lahan yang telah dibersihkan dan dipagari. “Kondisinya sekarang yang seperti ini, sudah baik,” ujarnya menunjuk.

Di lahan itu, sebagian besar bibit kakao tumbuh sekitar 60 sentimeter. Sebagian lagi masih terlihat kerdil karena musim kemarau yang melanda Aceh dan khususnya wilayah itu dalam dua bulan terakhir. “Program ini sangat membantu kami yang miskin,” ujarnya.

Alawiyah mengaku menaruh harapan besar pada tanaman kakao tersebut untuk biaya hidupnya dan anak-anak ke depan. Karenanya, dia selalu rajin membersihkannya dan merawat kakao muda. Saban hari diakuinya, kebun selalu dijenguk. “Harapan kami, bantuan seperti ini dapat terus ada untuk membantu kami.”

Tak hanya Alawiyah, inong balee yang dibantu bibit untuk lahan baru. Field Worker Yayasan Keumang, Hasbi mengatakan ada enam lainnya yang punya nasib sama. “Mereka memang saya pilih dulunya untuk mendapat bantuan dalam program ini,” ujarnya.

Hasbi merinci, di Desa Kumbang ada empat janda kombatan/anak (alm) kombatan yang dibantu, lainnya ada tiga di desa Blang Cut. Kedua desa itu berdekatan, areal lahan mereka pun berada dalam lokasi tak berjauhan.

Total keseluruhan di Kecamatan Mila, ada 20 orang yang mendapat bantuan bibit untuk lahan baru. Mereka mendapatkan bibit untuk ditanami pada lahan masing-masing sebesar setengah hektar lebih. “Yang laki-laki semuanya bekas kombatan GAM, yang perempuan kalau tak janda yang anak GAM yang sudah meninggal. Tapi semua mereka miskin,” kata Hasbi yang juga mantan petempur GAM.

Julian Ramli, 32 tahun, penerima manfaat lainnya di sana juga mantan pasukan GAM. Bekas anak buah Panglima Reubee ini mengakui Progran Kakao Aceh sangat membantu dirinya. “Saya baru kali ini pengalaman menanam kakao, mudah-mudahan akan berhasil,” ujarnya.

Pascadamai 2005, Julian nyaris tak punya penghasilan hidup. Dia bekerja membuat perabotan dengan penghasilan minim untuk menghidupi istri dan satu anaknya. Harapan kemudian bertaut menjadi petani kakao dengan bantuan awal, bibit kakao dari program kakao Aceh. “Mudah-mudahan ini menjadi penyemangat awal bagi saya untuk terus bangkit bertani kakao,” ujarnya.

Program bantuan bibit lahan baru memang diperuntukan untuk janda, petani miskin dan mantan kombatan. Direktur Yayasan Keumang, Yusri Yusuf mengatakan bibit unggul kakao untuk lahan baru adalah pilot project guna meningkatkan produksi kakao Aceh ke depan. Petani yang dibidik untuk lahan baru berjumlah 564 orang dengan jumlah bibit sekitar 262.500 untuk 300 hektar lahan tanam. Bibit dibuat dengan sistem cloning, dari tumbuhan induk yang bagus dan juga didatangkan dari Sulawesi. []

Monday, April 23, 2012

Mengingat Tsunami di Kapal Apung


Satu persatu pengunjung memasuki pelataran objek wisata tsunami kapal apung, bergantian dengan orang lainnya yang beranjak pergi. Di pintu masuk, Gibran mengawasi dan kerap memanggil para tamu, Sabtu sore 14 April 2012 lalu.

“Jangan lupa diisi buku tamunya, nama dan dari mana,” ujar Gibran, pemandu di area itu. Wisatawan pun mengisi dan memberikan kesannya.

Menurutnya, wisata kapal apung itu baru dibuka kembali untuk umum setelah dipugar dan dibuat pagar sejak 4 April 2012. Rehab lokasi itu dilakukan mulai Juli 2011 silam dengan dana dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Peresmian saat pembukaan kembali dilakukan oleh Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Dr Raden Sukhyar, didampingi Pj Walikota Banda Aceh T Saifuddin. “Kami berharap monumen ini dapat dijaga dan dikelola dengan baik. Kami juga sangat berterima kasih kepada Kementerian ESDM atas dukungan dan bantuannya. Semoga monumen ini bisa menjadi pusat edukasi tsunami dan tujuan wisata di kota ini,” kata Saifuddin saat itu.

Kata Gibran, sejak dibuka pengunjung terus bertambah. “Saat ini ada seratus orang pengunjung perhari, kalau hari Sabtu dan Minggu bisa lebih lagi,” ujarnya kepada Tempo.

Di sisi kiri pintu masuk, sebuah monumen pengingat tsunami berdiri. Di sana bertulis nama-nama korban tsunami dari Desa Punge Blang Cut, tempat kapal apung itu bertengger. Kapal itu terdampar di sana saat tsunami menggada Aceh, 26 Desember 2004 silam.

Gibran yang warga setempat menyebut, kapal itu sebagai bukti kedasyatan tsunami. Saat tsunami datang, kapal yang difungsikan sebagai pembangkit listrik di lepas pantai, digiring ombak raya ke tengah pemukiman warga. Alhasil, berlabuhlah kapal berbobot mati 2.600 ton dengan panjang 63 meter ke darat. Bergeser sekitar 5 kilometer dari tempat seharusnya kapal itu berada.

Kini, kapal itu telah berubah fungsi. Oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, kapal dimasukan sebagai salah satu objek wisata tsunami di ibukota provinsi. Para pengunjung pun ramai datang, melihat dekat sisa tsunami dan membayangkan besarnya bencana yang datang enam tahun lima bulan lalu. “Pengelolaan dilakukan oleh kementrian ESDM dan Pemerintah Kota Banda Aceh,” kata Gibran.

Menjaga kapal dan objek wisata itu dilakukan oleh pemuda setempat. “Untuk sekarang tidak dipungut biaya apapun.”

Berada di atas kapal, sebuah pemandangan tersaji. Pengunjung akan tahu, berapa jauh kapal itu terseret arus tsunami, karena dari geladak setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan dermaga Ulee Lheu. Sebagian kota juga terpampang dari atas sana.

Mesin pembangkit listrik tak ada lagi di dalam kapal, telah dipindahkan sejak akhir 2010 silam. Saat malam, lampu-lampu dihidupkan dengan memakai arus listrik, sama seperti fasilitas penerangan ke rumah-rumah warga.

Para pengunjung tak meninggalkan kesempatan untuk berpose pada kapal apung itu. “Saya baru melihat sendiri bukti dahsyatnya tsunami Aceh. Dulunya saya hanya melihat foto-foto,” kata Desi, yang mengaku berasal dari Sumatera Selatan.

Tempat wisata itu dibuka saban hari sejak pukul 10.00 WIB sampai sekitar pukul 21.00 WIB. Malam akhir pekan, jadwalnya bisa bergeser lebih larut. Ingin ke Banda Aceh, jangan lupa singgah ke kapal apung, untuk sekadar mengingat tsunami. [tempo.co/travel, April 2012]

Adi Warsidi

Saturday, April 21, 2012

Data dan Fakta Pilkada Aceh

Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf Resmi memenangkan Pilkada Aceh untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2012 – 2017.

Berdasarkan hasil perhitungan resmi dari Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dalam rapat pleno di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Selasa 17 April 2012, mereka mendulang suara lebih dari setengah suara pemilih sah.

Berikut data dan fakta Pilkada Aceh yang digelar 9 April 2012. Perolehan suara calon (berdasarkan nomor urut)
1. Tgk Ahmad Tajuddin – Teuku Suriansyah = 79.330 suara (3,33 persen)
2. Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan = 694.515 suara (29,18 persen)
3. Darni M Daud – Ahmad Fauzi = 96.767 suara (4,07 persen)
4. Muhammad Nazar – Nova Iriansyah = 182.079 suara (7,65 persen)
5. Zaini Abdullah – Muzakir Manaf = 1.327.695 suara (55,77)

Total suara suara sah Pilkada Aceh untuk pemilihan gubernur adalah 2.380.386 orang.
sementara total jumlah pemilih 2.457.196 orang. Sebanyak 76.810 surat suara dinyatakan rusak.
Daftar pemilih tetap yang ditetapkan KIP Aceh sebelumnya adalah 3.244.729, dengan demikian sebanyak 787.533 orang tidak memilih di Aceh alias Golput. ***

Adi Warsidi

Para Penyokong Kursi Darussalam


KARPET merah bermotif Turki masih terhampar di ruang tamu Mess Wali Nanggroe, Jalan Danubroto, Banda Aceh. Botol-botol air mineral berserak. Kenduri baru selesai dilaksanakan, mengundang anak-anak yatim. Doa didaraskan agar tuan rumah, Zaini Abdullah, bisa “menjalankan amanah”.

Berpasangan dengan Muzakkir Manaf, Zaini bakal memikul “amanah” baru. Hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei memperkirakan mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka itu akan menjadi Gubernur Aceh untuk lima tahun ke depan. Pasangan ini besar kemungkinan memenangi pemilihan Senin pekan lalu dalam satu putaran.

Pada usia 72 tahun, Zaini berusaha tampil kasual ketika menemui Tempo, Kamis pekan lalu. Ia mengenakan kemeja dan celana kain. Tapi, pada saat pemotretan, ia memakai jas. Di kakinya, ia tetap mengenakan sepatu Crocs. “Kami akan memangkas birokrasi, dan menekan korupsi,” ia berjanji.

Toh, usia tak bisa disembunyikan. Bicaranya sering terdengar bergetar. Beberapa kali, Muzakir Abdul Hamid, ajudan yang menemani wawancara, menegaskan maksud ucapan bosnya. Ia juga sempat berpindah kursi, dari sofa yang disebutnya “terlalu empuk” dan ia tak bisa duduk di situ. Sempat bergerilya di gunung, lalu lari ke Swedia, Zaini bakal memimpin birokrasi. Ia didampingi Muzakkir, yang juga bekas gerilyawan sebagai Panglima Militer Gerakan Aceh Merdeka.

Pencalonan keduanya tak lancar sejak awal, terutama karena perselisihan mereka dengan Irwandi Yusuf, juga bekas anggota GAM, yang memimpin Aceh pada 2006-2011. Perundingan, lobi-lobi, juga pertemuan dengan tokoh-tokoh Jakarta harus dilakukan, termasuk pertemuan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, menjelang akhir tahun lalu.
***

KETEGANGAN meruap di Restoran Sumire, lantai empat Hotel Grand Hyatt. Pentolan Partai Aceh, seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Muzakkir Manaf, berhadapan dengan tim Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah. Pertemuan pada 21 November 2011 malam itu membahas kesepakatan soal pemilihan Gubernur Aceh. Ini pertemuan kesekian kali, dan sesungguhnya sudah ada tiga butir kesepakatan yang diteken Djohan dan Muzakkir di Restoran Shima, Hotel Aryaduta, sebulan sebelumnya.

Kesepakatan mentah ketika Muzakkir tiba-tiba menelepon Djohan. Ia balik menolak butir ketiga kesepakatan yang membuka pintu bagi calon independen pada pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. “Padahal kami sebelumnya telah senang karena pemilihan bisa segera digelar,” kata Djohan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Kepada Djohan, Muzakkir beralasan, Undang-Undang Pemerintahan Aceh hanya sekali membolehkan calon independen, yakni pada 2006, ketika Partai Aceh belum terbentuk. Irwandi Yusuf, yang menggunakan jalur ini, memenangi pemilihan. Namun Mahkamah Konstitusi kemudian merevisi Pasal 256 sehingga calon gubernur yang tak diusung partai boleh mendaftar.

Partai Aceh menuding pencabutan pasal itu sebagai “pengkhianatan Jakarta” terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan damai Helsinki 2005. Mereka lalu mengungkit “pengingkaran Jakarta” terhadap Ikrar Lamteh, yang memantik perlawanan Daud Beureueh, pada 1958. Djohan berusaha melunakkan sikap petinggi Partai Aceh. Ia menjelaskan bahwa pencabutan itu keputusan lembaga yudikatif yang tak bisa dicampuri kekuasaan eksekutif. Usahanya gagal. Pertemuan di Hotel Hyatt buntu karena kedua pihak sama-sama bertahan. “Akhirnya, pemerintah menyerahkannya ke Komisi Independen Pemilihan Aceh,” kata Djohan.

Kebuntuan itu rawan karena Komisi sudah membuka pendaftaran calon independen. Jika ini tetap dilanjutkan, Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Akibatnya, situasi keamanan dan politik di Aceh bisa goyah lagi. Partai lokal wadah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka ini menguasai hampir separuh kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. “Order Presiden cuma satu: bikin Aceh aman,” ujar Djohan. Tak mau situasi jadi tak menentu, Djohan mengajak Malik, Zaini, dan Muzakkir berunding lagi. Untuk meyakinkan mereka, Djohan meminta bantuan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Di kalangan tokoh Partai Aceh, Jusuf Kalla cukup dihormati. Kalla adalah perintis dan tokoh di balik kesepakatan damai Helsinki. Hingga kini, tokoh-tokoh Aceh terus menjalin kontak dengannya. “Saya menelepon Malik agar mau berunding lagi,” kata Kalla kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Sebagai Wali Nanggroe, Malik disegani di kalangan mantan gerilyawan GAM, terutama setelah Hasan di Tiro meninggal pada 2010. Malik melunak oleh bujukan Kalla. Mereka sepakat bertemu lagi dengan tim Djohan di Hotel Sahid pada 12 Desember 2011. Waktu itu, jadwal pemilihan kepala daerah sudah diundurkan satu bulan menjadi 24 Desember. Jusuf Kalla, dengan bantuan orang-orang dekatnya, termasuk mantan Menteri Hukum Hamid Awaludin, juga mencoba menjelaskan asal-usul aturan calon independen kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam pertemuan berikutnya dengan tim Djohermansyah, tim Malik bersedia berkompromi.

Mereka menerima dua pasal penundaan jadwal pemilihan sampai urusan pemilihan ini disahkan dalam qanun. Mereka juga setuju ada penunjukan penjabat Gubernur Aceh setelah masa jabatan Irwandi Yusuf berakhir pada 8 Februari 2012. Tanpa diduga, mereka juga menerima pasal tiga soal calon independen. Tapi mereka meminta catatan tambahan, yang menjamin tak ada lagi perubahan isi Undang-Undang Pemerintah Aceh tanpa konsultasi dengan DPR Aceh. Muzakkir dan Djohan meneken nota kesepakatan butir keempat ditulis tangan.

Kengototan Partai Aceh soal calon independen ini merupakan ekor perseteruan mereka dengan Irwandi Yusuf sejak awal pemerintahannya pada 2006. “Selama lima tahun memimpin Aceh, dia tak pernah sowan kepada kami, menjalankan program sesuka hati. Dia durhaka kepada kami,” kata Zaini Abdullah.

Dengan pemilihan diundurkan hingga masa jabatannya berakhir, Irwandi tak lagi bisa memakai fasilitas pejabat untuk berkampanye. Ini merupakan kemenangan Zaini dan Muzakkir atas Irwandi. Kemenangan sesungguhnya diperoleh Senin pekan lalu, pada hari pemilihan. Berdasarkan hitung cepat perolehan suara, Zaini-Muzakkir diperkirakan menang dalam satu putaran. Mereka meraih 55 persen suara dari tiga juta lebih pemilih.
***

PADA masa kampanye, tiga pensiunan jenderal mendukung Partai Aceh: bekas Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko dan Mayor Jenderal Purnawirawan Djali Yusuf serta bekas Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Brigadir Jenderal Purnawirawan M. Yahya. Ketiganya bahkan menjadi juru kampanye.

Menurut Zaini, tiga jenderal itu datang menyatakan bergabung dengan kubunya tahun lalu. Sejak deklarasi pencalonan Zaini-Muzakkir hingga kampanye selama Maret-April kemarin, ketiganya selalu duduk di barisan terdepan. “Saya kenal secara pribadi dengan mereka sejak zaman GAM,” kata Soenarko. Soenarko mengklaim membujuk Muzakkir mendaftar dalam pemilihan gubernur setelah Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Padahal, saat masih aktif di TNI, Soenarko termasuk keras menentang GAM. “Sekarang saya mengerti mereka memberontak karena ingin Aceh maju,” ujarnya.


Irwandi Yusuf, lawan Zaini, menyebutkan Soenarko datang membawa kepentingan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Soenarko adalah bekas bawahan Prabowo di Komando Pasukan Khusus. “Dia membawa misi Prabowo untuk pemilihan presiden 2014 dan bisnisnya di Aceh,” kata Irwandi.

Menurut Irwandi, Prabowo memiliki konsesi hutan tanaman industri yang mengelilingi Danau Lot Tawar sepanjang Kabupaten Bener Meriah hingga Aceh Tengah seluas 97.300 hektare. PT Tusam Hutani Lestari beroperasi sejak 1997, memasok kayu untuk PT Kiani Kertas Pulp & Paper. “Dia minta perpanjangan izin, tapi saya tolak,” katanya.

Soenarko tak menyangkal kedekatannya dengan Prabowo. Orang-orang dekatnya menyatakan Soenarko pernah diajak Prabowo bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas membicarakan pemilihan di Aceh ini. “Prabowo juga menyumbang (buat pasangan Zaini-Muzakkir),” kata Sofyan Dawood, bekas juru bicara GAM, yang menjadi anggota tim sukses Irwandi.

Djali Yusuf, bekas anggota staf khusus presiden, yang dimintai konfirmasi soal misi Soenarko, tak menyangkal atau membenarkan. “Pak Soenarko bukan anggota Gerindra, tapi kalau di 2014 dia mau masuk partai, itu hak dia,” katanya. Prabowo belum bisa dimintai komentar. Sejumlah orang dekatnya menolak pernyataannya dikutip, dengan alasan “bukan merupakan bagian pekerjaan”-nya. Kedua kubu juga berusaha menggandeng pengusaha Tomy Winata.

Tahun lalu, dua kali Irwandi menemui petinggi Grup Artha Graha itu untuk meminta bantuan dana kampanye. Keduanya akrab setelah Irwandi sebagai gubernur menuding Tomy membeli lima harimau Sumatera dari Aceh untuk hutan di Lampung pada 2008. Tomy, menurut Irwandi, berusaha mengontaknya setelah itu. Ia menolak dan meminta Tomy mengembalikan harimau ke Aceh. Tomy menolaknya. “Saya lawan,” kata Irwandi, lalu melanjutkan: “Dia (dituduh sebagai) mantan mafia, tapi saya mantan pemberontak. Derajatnya lebih tinggi, ha-ha-ha….”

Saat terserang stroke dan dirawat di Singapura, Irwandi mengatakan Tomy memberinya biaya pengobatan Rp 70 juta dan menyediakan apartemen. Sejak itu, mereka berteman. Jika ke Jakarta, Irwandi menginap di Hotel Borobudur milik perusahaan Tomy. Irwandi juga tak sungkan memakai pesawat Cassa milik Tomy untuk memantau kondisi Aceh. Ia sendiri kadang yang mengemudikannya karena pernah belajar menyetir pesawat ketika kuliah di Amerika Serikat. “Untuk pemilu ini, dua kali saya menagih dia di ruangannya di Artha Graha,” kata Irwandi. Tomy, kata Irwandi, hanya mengiyakan, tapi tak memenuhinya.

Sampai pemilihan berlangsung, ia menyatakan, tak sepeser pun Tomy mengeluarkan uang. Irwandi mengaku habis Rp 14 miliar untuk kampanye dan persiapan pemilu. Dari sakunya, ia mengeluarkan Rp 6 miliar. Sisanya pinjam sana-sini. “Sekarang pusing juga bagaimana membayarnya,” ujarnya.

Tak mengucurkan duit untuknya, Irwandi mendengar, Tomy malah bertemu dengan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Irwandi mengatakan tak paham terhadap alasan Tomy mendukung Zaini, kecuali dugaan taipan pemilik kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, ini berminat bisnis padi di Tangse, Pidie.

Muzakkir mengakui bertemu membahas dana kampanye dengan Tomy Winata pada November tahun lalu. Seusai pertemuan, kata dia, Tomy tak langsung mengeluarkan uang. “Baru pada saat Lebaran Haji, ajudannya memberi saya Rp 20 juta,” ujarnya. “Mungkin untuk ongkos atau apa saya tak tahu.” Hingga tulisan ini selesai, Tomy Winata tak merespons permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke telepon selulernya.

Muzakkir mengatakan tak menerima sepeser pun dari Prabowo. “Tapi tak tahu kalau dia memberikannya ke yang lain,” katanya. Ia menyatakan hanya pernah sekali bertemu dengan Prabowo Subianto di Hotel Santika Bogor, Januari lalu. “Kami membicarakan pertanian di Aceh,” ujarnya. Soal sokongan dari banyak tokoh Jakarta, Zaini mengatakan, “Dukungan mereka tanpa konsensus. Mereka tak bertanya kami akan memberikan apa.”
***

[Majalah TEMPO, Edisi 16 – 22 April 2012]
[Bagja Hidayat, Kartika Candra, Angga Wijaya (Jakarta), Mustafa Silalahi, Adi Warsidi (Aceh)]

Sate Gurita Pulau Sabang

Sabang – Sabang pulau paling ujung Indonesia terkenal dengan keindahan alamnya. Pantai dengan karang lautnya yang indah, mengundang banyak wisatawan. Tapi, jika ingin ke sana, jangan lupakan singah sejenak di pusat kota, nikmati kuliner khas, Sate Gurita.
Malam akhir pekan lalu, Tempo mencoba menyambangi tempat itu. Namanya Puja Sera, singkatan dari Pusat Jajanan Selera Rakyat. Semua warga Sabang tahu tempat itu. Terletak di pusat kota, lokasi seluas setengah lapangan bola itu selalu ramai dikunjungi malam hari oleh warga dan wisatawan yang sedang berlibur ke Sabang. Pusat jajajan menawarkan berbagai macam makanan, nasi soto, ayam penyet, sate jawa, sate padang dan segala macam minuman juice. “Tapi andalan di sini adalah Sate Gurita,” kata Taufik, pemandu saya. Saat tiba di sana, kami duduk pada kursi yang beratap langit. Saya langsung mengiyakan untuk mencicipi Sate Gurita dengan nasi putih. M Zein, penjual sate sigap mengambil dua puluh tusuk daging gurita untuk dibakar. Baunya harum menggugah selera. “Pakai bumbu kacang atau bumbu padang,” tanya Zein. Saya memilih bumbu kacang dan Taufik bumbu Padang yang merujuk pada bumbu cairan kental yang persis sama dipakai untuk sate padang. Hidangan siap saji, kami mencicipi. Rasanya sedap, tak jauh beda dengan rasa cumi-cumi. Tapi gurita yang lebih besar, dagingnya lebih kenyal. Membuat mulut bekerja lebih lama, menghancurkannya. Kata Zein, gurita memang banyak di perairan Sabang dan bukan barang langka. Saban melaut, nelayan selalu mudah mendapatkannya. “Gurita kalau tak tahu cara mengolahnya, mungkin saat dimakan seperti memakan karet,” ujarnya. Karenanya sebelum dibakar menjadi sate, gurita terlebih dahulu direbus untuk melembutkan dagingnya. Setelah itu dipotong kecil dan diberikan tusukan. Baru dibakar dan disajikan ke pelanggan. “Wisatawan umumnya menyukai makanan ini,” ujarnya. Dia tak hanya mengandalkan Sate Gurita di rak jualannya, tapi juga ada daging yang dikemas menjadi sate jawa dan sate padang. Memesan minuman, ada penjual di sebelahnya. Setiap hari Zein mengakui dagangannya laku rata-rata Rp 1,5 juta. Menurutnya, lokasi Puja Sera baru ada sejak awal 2011, setelah pemerintah merapikan dagangan makanan yang berserak di Kota Sabang. Ada sekitar 40 orang yang berjualan di sana. Yang menjajakan Sate Gurita tak sampai sepuluhan orang. Penasaran rasanya? Jika ke Sabang cobalah Sate Gurita. *** [tempo.co/travel, awal April 2012] Adi Warsidi

Saturday, March 10, 2012

Kopi Luwak untuk Pencinta Rasa



By; Adi Warsidi

Tangan Burhanuddin bergerak cepat meracik bubuk-bubuk kopi yang telah diolahnya sendiri. Selang hitungan menit kemudian, gelas kopi luwak espresso dihidangkan ke para tamu yang telah menunggu. Kental dan super nikmat.


Senin malam, 5 Maret 2012 lalu, Tempo menyambangi tempatnya, ‘Kedai Kopi Rumoh Aceh’ di Jeulingke, Banda Aceh. Sebuah tempat penjaga kualitas kopi di Aceh bagi pecandu. Kedai itu khas, sebuah bangunan Rumoh Aceh (rumah Adat Aceh) yang seperti panggung berdiri tegak. Di bawahnya kursi dan meja tersusun untuk pelanggan. Bagian dapur, ada mesin pengolah kopi dengan pajangan berbagai kemasan mereka kopi yang juga untuk diekspor.

“Andalan kami adalah kopi luwak espresso berkualitas baik dan kopi Arabica,” kata Burhanuddin, sang koki. Espresso adalah kopi pekat dan dibuat dengan cara menyemprotkan air panas dengan tekanan tinggi ke dalam bubuk kopi sehingga citarasa khas kopi lebih terasa.

Menurutnya, pelanggan yang berkunjung adalah para pecandu kopi kelas atas. Banyak wisatawan yang ke Aceh singgah ke sana, sekadar menikmati kualitas seperti starbuck. “Kami juga menjual bubuk yang telah dikemas dan mengekspor ke luar negeri,” kata Burhanuddin.

Pemilik kedai, Muhammad Nur mengatakan seharinya mereka mampu menjual minuman kopi untuk pelanggan Rp 2 juta lebih. Itu belum terhitung pembeli bubuk kemasan dan usaha ekspornya.

Muhammad Nur menyebut, warungnya tak sekadar menyajikan kopi, tapi juga menjaga kualitas, agar rasa kopi Aceh juga bisa dinikmati orang Aceh. “Selama ini banyak kopi Aceh yang diekspor, jarang yang diolah di Aceh untuk diminum sendiri. Kami memberikan rasa internasional itu di sini.”

Pecandu kopi di Aceh sangat besar, tapi mereka terbiasa dengan kopi tradisional yang tak berkualitas dunia. Bubuk kopi tradisional di Aceh umumnya menggabungkan kopi robusta dan sedikit arabika, kadang juga biji jagung.

“Saya ingin menyampaikan pesan, bahwa beginilah kopi yang biasa disajikan di starbuck dan biasa diminum pecandu kopi di eropa dan amerika,” kata M Nur.

Karenanya, kopi yang diracik berbagai versi dijual mahal. Satu gelas kupi luwak empat kali espresso dijual Rp 50 ribu per gelas. Sementara untuk satu kali espresso dijual Rp 20 ribu. Kopi Arabica grade satu dan red cherry dijual kisaran Rp 20 ribu pergelas.

Tempat itu juga menyediakan bubuk dalam kemasan, untuk kemasan satu ons bubuk kopi luwak dijual Rp 300 ribu, sedangkan bubuk kopi Arabica dijual Rp 30 ribu per ons. Kemasan itu juga diekspor ke luar negeri.

Menurut M Nur, kopi diambil dari Gayo, Aceh Tengah. Dia mempunyai kebun sendiri dan juga membina petani lainnya. Kopi luwak yang berasal dari bekas dimakan luwak sangat sulit didapat. “Sebulan biasanya hanya dapat 20 kilogram di kebun, karena luwaknya liar bukan peliharaan,” katanya.

Kedai Rumoh Aceh hanya untuk memuaskan para pecandu kopi berkualitas di Banda Aceh. M Nur mengakui, fokus usahanya adalah ekspor. “Warung hanya untuk memberi pengertian kepada generasi, bahwa kopi di Aceh sangat nikmat. Bahwa yang seperti inilah yang umunya diekspor ke luar dan kita di sini jarang menikmatinya.” ***
TEMPO.CO/Travel - Adi Warsidi

Thursday, March 8, 2012

Berebut Simpati Bekas Kombatan

By: Adi Warsidi

Puluhan ribu massa berseru, ‘Hidup Partai Aceh’, ketika Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf naik panggung. Stadion Lampineung Banda Aceh bergemuruh dan tak mampu menampung massa yang hadir. Sesekali mereka bersorak mengulang teriakan, ketika calon kandidat gubernur/wakil gubernur Aceh itu memaparkan program-programnya.


Hari itu, Ahad 12 Februari 2012, sekitar lima puluh ribu massa berdatangan ke ibukota provinsi dari 23 kabupaten/kota di Aceh. Partai Aceh punya hajatan, deklarasi calon gubernur dan 14 kandidat partai yang maju untuk pemilihan kepala daerah di kabupaten/kota. Banda Aceh pun merah dengan atribut partai yang berkibar di sana-sini.

Massa yang hadir adalah para pendukung partai yang berbaur bersama mantan kombatan. Di bawah koordinasi wilayah masing-masing. “Kami diundang untuk datang ke Banda Aceh, lalu kami datang untuk memeriahkan acara,” kata Julius, simpatisan Partai Aceh dari wilayah Aceh Timur.

Dalam kegiatan yang dirangkai bersama maulid Nabi Muhammad SAW itu, Muzakkir Manaf yang bekas Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh untuk tetap berkomitmen menjaga perdamaian di tanah rencong itu. “Partai lokal di Indonesia hanya ada di Aceh. Itu harus kita manfaatkan dengan baik.”

Beberapa mantan jenderal juga tampak pada deklarasi calon dari Partai Aceh. Mereka duduk di kursi kehormatan, di antaranya adalah mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen (Purn) Soenarko dan Mayjen (Purn) Djali Yusuf.

Empat hari setelah deklarasi digelar, calon kandidat gubernur Aceh yang lain, Irwandi Yusuf yang berpasangan dengan Muhyan Yunan mengumpulkan para bekas panglima GAM di Hermes Hotel. Mereka menggalang dukungan untuk pasangan tersebut. “Kami juga akan menjaga pelaksanaan Pilkada Aceh 9 April 2012 berlangsung damai dan tertib. Kami akan melawan segala bentuk intimidasi,” ujar Sofyan Dawod, mantan Juru Bicara GAM yang kini duduk sebagai Ketua Pemenangan untuk Irwandi – Muhyan.

Sofyan mengklaim, ada belasan bekas Panglimam Wilayah GAM yang mendukung mereka. Katanya, banyak mantan kombatan yang melawan kebijakan Partai Aceh yang mencalonkan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf sebagai calon gubernur Aceh mendatang. “Karena itu kami dipecat (dari Partai Aceh), karena tidak mendukung mereka,” ujarnya. Bahkan mereka berencana untuk mendirikan partai baru.

Sebelumnya beberapa Panglima Komite Peralihan Aceh (KPA - Organisasi bekas kombatan) dipecat dari jabatannya dan dari pengurus Partai Aceh. KPA terbentuk setelah Tentara Neugara Aceh (TNA) dibubarkan pada September 2005 silam, pasca-penandatanganan MoU Helsinki.

Penggalangan dukungan untuk Irwandi juga berlangsung di Kabupaten Pidie, 22 Februari silam. Yang dibidik juga mantan kombatan dan para ulama. Acara konsolidasi turut menghadirkan GAM angkatan 76, seperti Tgk Hanafiah Pasi Lhok. "Kami berharap Irwandi dapat meneruskan perjuangan, untuk rakyat Aceh,” ujarnya.

***
Dua kubu calon kandidat gubernur, Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf dan Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan sedang gencar mencari dukungan di Aceh. Fokus adalah merangkul mantan kombatan yang diyakini dekat dengan rakyat.

Dukungan kombatan pecah pada dua calon itu. Ini juga diakui oleh Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Tgk Mukhlis Abee. Menurutnya hanya sedikit perpecahan mantan kombatan dalam persoalan mendukung calon gubernur Aceh ke depan. “Iya hanya sebagian kecil, kami masih terus melakukan pembenahan soal itu,” ujarnya kepada Tempo.

Hal sama diakui oleh petinggi Partai Aceh, Zakaria Saman. “Hanya sebagian kecil yang pecah. Kamu kan lihat berapa ramai kombatan yang mendukung partai saat deklarasi calon dari Partai Aceh,” ujarnya. Soal perbedaan dukungan tersebut, Zakaria melihatnya sebagai sebuah bentuk demokrasi yang terjadi di Negara manapun di dunia.

Di kubu Irwandi – Muhyan, mantan Juru Bicara KPA Tgk Muchsalmina menilainya secagai bentuk demokrasi. “Sebenarnya yang terjadi bukan perpecahan. Tapi lebih kepada proses pembelajaran demokrasi kepada mantan kombatan. Ini juga akan berakhir setelah pilkada, seperti 2005 lalu,” ujarnya.

Zaini Abdullah, calon gubernur dari Partai Aceh kepada Tempo mengatakan keyakinannya untuk menang. Dukungan sebagian besar mantan kombatan dan rakyat adalah ke partainya. Dia juga banyak mengkritik kepemimpinan Irwandi Yusuf yang selama ini belum bisa menyejahterakan masyarakat Aceh. “(mantan) GAM kompak, kami kalau panggil mereka selalu datang,” ujarnya.

Dia menilai perpecahan adalah hal wajar dalam sebuah organisasi. Tidak ada perpecahan yang signifikan di tubuh mantan gerakan. Hanya segelintir saja dan hal ini bahkan akan menguatkan Partai Aceh sendiri.

Menurut Zaini, simpatisan Partai Aceh berjumlah jutaan, bahkan suku-suku Jawa yang tinggal di Aceh sudah menyatakan bergabung dengan Partai Aceh. “Bagi kami NKRI adalah harga mati dan demi perdamaian yang abadi.”

Kubu Partai Aceh yakin menang besar dalam pilkada Aceh mendatang. “Mungkin 60 persen suara lebih lah,” kata Zaini.

Mereka mengandalkan program yang kurang lebih sama dengan rivalnya, program pengobatan gratis, pendidikan dan pembangunan sampai pelosok. Itulah yang dinilai Zaini belum mampu dikerjakan maksimal oleh Irwandi yang telah memimpin lima tahun. Pihak Partai Aceh juga berjanji akan mengimplementasikan butir-butir kesepakatan damai (MoU) Helsinki dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Di pihak lain, Irwandi mengatakan soal sukses atau tidaknya memimpin Aceh selama, terpulang kepada penilaian masyarakat Aceh secara umum. Irwandi mengakui telah membawa masyarakat Aceh lebih makmur,salah satu buktinya adalah menurunkan angka kemiskinan di Aceh. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh melansir, pada tahun 2006 terdapat sebanyak 28,28 persen penduduk Aceh yang miskin. Angka itu menurun drastis pada 2010, menjadi 20,98 persen.

Irwandi yang juga mengandalkan kubu kombatan menilai dukungan mantan kombatan juga banyak ke pihaknya. “Secara persaudaraan (mantan) GAM satu, secara temporer pecah. Yang pecah Partai Aceh,” ujarnya kepada Tempo.

Dia mengklaim ada 14 mantan Panglima Wilayah GAM yang mendukungnya, minus Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Utara. Di arus bawah, Irwandi menilai sekitar 70 persen eks kombatan yang mengharapkannya memimpin lagi Aceh ke depan. Perkiraannya, saat ini ada sekitar 50.000 eks GAM di Aceh dari berbagai kalangan.

Berapa persen akan meraih suara? “Sisa dari orang lain dapat saja. Mudah-mudahan besar sisanya,” kata Irwandi diplomatis.

Fadhli Abdullah alias Petrus, salah seorang mantan kombatan mengakui mendukung Irwandi karena dinilai sosok itulah yang cocok memimpin Aceh ke depan dan sudah teruji. “Dia (Irwandi) berhasil dengan program kesehatan gratis dan beasiswa untuk anak miskin,” ujarnya.

Pengamat Politik Aceh, Teuku Kemal Fasya menilai dua kandidat tersebut adalah calon pemenang untuk memimpin Aceh ke depan. “Calon lainnya mungkin pasangan Muhammad Nazar - Nova Iriansyah bisa menjadi kuda hitam,” ujarnya kepada Tempo.

Menurutnya pasangan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf dan Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan adalah pasangan yang punya kekuatan hampir sama dan memiliki genetika serupa. Mereka didukung oleh kombatan yang mulai pecah soal dukungan politik.

Konsidi beberapa daerah yang mempunyai pemilih terbanyak seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen dan Aceh Besar, sangat menggambarkan perpecahan eks gerilyawan. “Belakangan saya lihat juga kombatan di Pidie yang sebelumnya saya nilai mendukung PA penuh. Tapi kemudian juga terbelah,” ujarnya.

Menurut Kemal, Irwandi adalah dilemma bagi Partai Aceh. Tantangan tersebut menjadi tentu berawal dari konflik internal terkait kebijakan KPA dan juga partai yang memecat sebagian panglima wilayah, yang memiliki arus politik sendiri. Dinamika belakangan membuat perpecahan semakin besar antara dua kubu.

Dia melihat eks kombatan lebih besar berada di kubu Zaini – Muzakkir dibandingkan di kubu Irwandi – Muhyan. Tapi kemudian yang perlu dicermati adalah pemilih tidak hanya eks kombatan, tapi juga masyarakat Aceh lainnya. “Kelompok pemilih bukan hanya itu, masih banyak warga miskin. Artinya yang menang adalah yang mampu menarik simpati kelompok masyarakat, bukan hanya sekadar merawat kombatan,” ujarnya.

Sebagian kombatan lain juga ada yang mendukung pasangan Muhammad Nazar – Nova Iriansyah serta Abi Lampisang – T Suriansyah. “Tapi jumlahnya tidak signifikan, hanya karena perkawanan saja. Ini dikarenakan Nazar sebagai sayap intelektual GAM dulunya dan Abi Lampisang juga dikenal dekat dengan GAM,” terang Kemal.

Pilkada Aceh akan digelar pada 9 April mendatang diramaikan oleh lima pasangan calon gubernur/wakil gubernur. Mereka adalah; Mereka adalah Abi Lampisang - Teuku Suriansyah (independen), Irwandi Yusuf - Muhyan Yunan (independen), Darni M. Daud - Ahmad Fauzi (independen), Muhammad Nazar - Nova Iriansyah (Demokrat, PPP, SIRA) dan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf (Partai Aceh). [KORAN TEMPO, Senin 27 Feb 2012]

Laga Sapi, Menjaga Tradisi

By; Adi Warsidi


Lima ratusan orang memadati lapangan sepakbola Limpuk Darussalam, Aceh Besar. Mata mereka terpusat ke tengah lapangan, layaknya menonton sepak bola. Adu sapi sedang berlangsung, riuh tepuk tangan menggema kala sapi-sapi mengganas berusaha menjatuhkan lawan.


“Hamok nyak (lawan nak),” ujar pemandu di tengah lapangan. Sapi itu lalu menerkam lawannya dengan tanduk yang diruncingkan. Lawan tak mau kalah, mundur lalu membalas.

Saat sapi terdesak sampai ke pinggir lapangan, penonton lari menjauh, lalu mendekat lagi. Satu sapi punya satu pemandu yang memegang tali kendali. Satu panitia memandu sorak dengan pengeras suara. “Ayo, jangan mau kalah.”

Sapi –yang diadu punya nama, sebut saja misalnya Cicem Pala Rimung, Apui Lam Seukem dan Aneuk Muda Keudah. Cicem Pala Rimung adalah sapi yang sudah belasan tahun diadu dan jarang kalah. Ukurannya super. “Sapi saya sudah mulai bertarung sejak 15 tahun lalu, sangat ganas dan pengalaman,” kata Effendi, sang pemilik.

Adu sapi adalah budaya Aceh Besar yang semakin jarang diperagakan. Olahraga untuk sapi itu hidup sejak jaman kerajaan Aceh, abad ke-16 dulunya. Tak ada kematian sapi, yang ada hanya luka-luka. “Ini adalah tradisi yang ada sejak dulu, masa raja-raja. Kami bertanggun jawab untuk mewariskannya ke generasi muda,’ kata Hamdani, katua panitia laga sapi, Minggu akhir Februari lalu.

Laga sapi di lapangan tersebut, terang Hamdani, diadakan saban akhir pekan. Biasanya akan berlangsung dari Januari sampai Juli 2012. Pada tahun 2009 – 2011, agenda itu sempat tak terlaksana di lapangan Limpuk, sebab ketidaksiapan panitia pelaksana.

Sapi-sapi didatangkan dari komunitas sapi adu yang berasal seluruh Aceh Besar. ada delapan kelompok sapi adu yang masing-masing punya 30 sapi siap laga. “Satu hari per pekan biasanya hanya tiga sampai lima pasang yang diadu,” ujar Hamdani.

Tak ada tropi untuk pemenang. Panitia hanya menyediakan uang jerih untuk sapi-sapi sesuai kelasnya. Kelas A dibayar Rp 1 juta sekali tampil, kelas B sebesar Rp 600 ribu dan kelas C sebesar Rp 400 ribu. Sekali tampil dalam aduan hanya 10 menit. Mereka ada diadu sesuai kelasnya, laiknya tinju.

Uang diambil dari karcis para penonton. Satu orang dipatok Rp 20.000 untuk menyaksikan laga itu. Penentuan kalah dan menang diserahkan kepada penonton yang melihatnya. “Jelas terlihat, yang kalah biasanya akan mundur dan menghindar,” jelas Hamdani.

Sapi yang kerap menang berharga mahal, bahkan mencapai Rp 25 juta. Penghargaan itu juga merupakan kebiasaan bagi para pencinta budaya. Pembeli umumnya orang-orang kaya yang kemudian meminta seorang pengasuh untuk perawatan. Jika sapi sudah tua dan tak sanggup berlaga lagi, harganya akan turun seperti biasa, dihargai dari dagingnya.

Budaya adu sapi punya manfaat sendiri bagi peternak sapi di Aceh. Mereka mendapatkan uang lebih dari jerihnya. Kerap sapi itu juga dipakai sebagai pejantan yang tangguh, yang mampu mewariskan kekuatan dan daya tahan kepada keturunannya. “Jadi bukan hanya sekadar adu dan ditonton, tapi juga banyak manfaat,” ujar Hamdani.

Sapi-sapi petarung makan tak seperti biasa. Selain rumput, mereka juga diasupi dengan buah-buahan, padi dan gula merah. Hal itu diyakini mampu membangkitkan kekuatan sapi adu kala bertarung di tengah lapangan.

Di lapangan, giliran ‘Cicem Pala Rimung’ dan ‘Singa Muda’ bertarung. Dua sapi itu salin menyerang, menjatuhkan lawan. Sesekali ‘Singa Muda’ menghindar dan balik menyerang. ‘Cicem Pala Rimung’ kayaknya terlalu perkasa dan sepuluh menit bertarung, sapi itu dinyatakan menang.

Riuh tepuk tangan memenuhi lapangan, memberi semangat bagi yang memang dalam adu sapi yang menjadi budaya warisan leluhur. “Kami harus menjaganya, agar tak punah,” kata Hamdani. [tempo.co/travel]

Monday, February 20, 2012

Uleebalang Pencatat Sejarah Melayu

Majalah TEMPO
Senin, 06 Februari 2012

Rumah berarsitektur Melayu itu berdiri kokoh di tengah Gampong Meunasah Lueng, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam. Atap rumah panggung itu dari ijuk dan dindingnya dari kayu, kontras dengan beberapa bangunan di sekitarnya yang beratap seng dan berdinding semen.


Rumah besar itu dulu menjadi istana Kerajaan Samalanga, tempat Tun Sri Lanang, raja pertamanya, bertakhta sejak 1615 hingga wafatnya pada 1659. Dia bukan orang asli Aceh, melainkan dari Malaysia. Bekas bendahara (semacam perdana menteri) di Kerajaan Pahang di Malaka (kini Malaysia) itu dibawa Sultan Aceh Iskandar Muda ke Sumatera dan diangkat menjadi uleebalang di Samalanga setelah Aceh menaklukkan Pahang.

Uleebalang adalah raja di kerajaan bawahan Kesultanan Aceh Darussalam yang kedudukannya sederajat dengan sultan dalam mengelola wilayah kekuasaannya, tapi harus mendapatkan persetujuan sultan dalam kebijakan luar daerah.

Sosok Tun Sri Lanang nyaris tak dikenal di Aceh, meskipun dia adalah pengarang Sulalatus Salatin atau dikenal sebagai Sejarah Melayu, kitab klasik yang jadi rujukan utama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Dia juga menjadi penasihat tiga Sultan Aceh, yakni Iskandar Muda, Iskandar Thani, dan Safiatuddin.

Masyarakat sekitar daerah itu hanya mendengar kabar pernah ada orang Melayu yang jadi raja di Samalanga dan mati hanyut di laut tanpa meninggalkan keturunan, padahal makamnya berada tak jauh dari rumah besar tersebut.

Asnawi, Kepala Desa Meunasah Lueng, menuturkan keberadaan makam itu baru diketahui khalayak ramai setelah warga desa menonton film dokumenter Jejak Rasul yang disiarkan TV3 Malaysia, yang menyebutkan bahwa Tun Sri Lanang dimakamkan di kampung tersebut, pada 2008.

Makam itu dipastikan sebagai kuburan Tun Sri Lanang sekitar tahun 2000 setelah dilacak oleh keturunan Tun Sri Lanang dan M. Adli Abdullah, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh asal Samalanga. "Dulu masyarakat Aceh kurang tahu dan kurang peduli pada sejarah karena masih dalam masa konflik. Tapi kini nama Tun Sri Lanang sudah mulai dikenal lebih luas di kalangan masyarakat Aceh," kata Adli, yang sedang menyusun disertasi tentang sejarah Tun Sri Lanang di Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, melalui Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Yayasan Tun Sri Lanang, Masyarakat Sejarah Indonesia, serta Pemerintah Kabupaten Bireuen, menghidupkan kembali ketokohan Tun Sri Lanang. Mereka meresmikan bekas kompleks Kerajaan Samalanga, yang dikenal masyarakat sebagai Lampoh Kreung, seluas 1,5 hektare sebagai kawasan wisata sejarah Melayu Nusantara. Juga menggelar seminar "Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa" di halaman kantor Bupati Bireuen pada 8 Desember 2011. Selain itu, mereka membangun prasasti Tun Sri Lanang di pinggir lintas.

Seminar itu diikuti sekitar 450 peserta dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yang terdiri atas akademisi, sejarawan, guru, peneliti, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat umum.

Ada 13 pembicara dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang menyampaikan makalah, seperti Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan, Ketua Persatuan Sejarah Malaysia Wilayah Pahang; Profesor Dien Madjid dari UIN Syarif Hidayatullah; Profesor Moh. Haji Saleh dari Universiti Sains Malaysia, Penang; Dr Oman Faturrahman dari UIN Syarif Hidayatullah; Djamal Tukimin, sastrawan Singapura; dan Talib Samat dari Universiti Pendidikan Sultan Idris Tanjung Malim, Perak. Ada juga Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh; E. Edwards McKinnon, peneliti Institute of Southeast Asian Studies, Singapura; dan Profesor Rusdi Ali Muhammad dari IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

Dalam seminar sehari penuh itu terungkap bahwa Tun Sri Lanang diakui ketokohannya di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, terutama lewat karyanya, Sulalatus Salatin, dan perannya dalam politik kerajaan-kerajaan kuno di tiga negara serumpun tersebut. "Lantaran itu juga hubungan kekeluargaan di antara warisnya di kalangan pembesar dan rakyat biasa, khususnya di Indonesia dan Malaysia, turut menjadi jambatan mengerat silaturahmi yang telah terwujud di antara kedua bangsa serumpun ini," kata Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan.

Tun Sri Lanang hidup di masa ketegangan hubungan Semenanjung Malaka dengan Aceh. Berbagai kesultanan di Semenanjung Malaka sebenarnya mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dengan Aceh melalui pernikahan putra-putri mereka. Menurut Sulalatus Salatin, hubungan itu diawali dengan perkawinan Parameswara, anak Raja Sriwijaya di Palembang, dengan Putri Ratna Kemala, anak Sultan Perlak. Parameswara lalu mendirikan Kesultanan Malaka dan berganti nama menjadi Sultan Iskandar Syah. Keturunannya kemudian berkuasa di Malaka, Johor, Pahang, dan Perak.

Menurut Tun Sri Lanang, Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia Terungkap Setelah 380 Tahun (2011) karangan Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, keturunan kedelapan Tun Sri Lanang, hubungan kedua kawasan juga lahir melalui jalur Mani Purindan, putra Nizamul Muluk Akbar Syah, yang memerintah Pahili (Gujarat) pada pertengahan abad ke-14. Mani Purindan menikahi Canden Dewi, putri Sultan Samudra Pasai, yang menurunkan penguasa dan bangsawan di kerajaan Deli dan Serdang. Mani juga menikah dengan Tun Ratna Sundari, putri Raja Malaka, yang menurunkan para raja dan bangsawan di Aceh, Johor, Pahang, Perak, Terengganu, dan Selangor. Dari garis ibunya, Tun Sri Lanang adalah keturunan Mani Purindan.

Namun hubungan itu pecah, terutama setelah campur tangan Portugis, yang datang dengan armada pimpinan Alfonso de Albuquerque pada awal abad ke-16 untuk memonopoli jalur perdagangan Asia di Selat Malaka. Portugis berhasil merebut Malaka pada 1511 dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Nusantara. Portugis bahkan dapat memaksa Johor bekerja sama dengan mereka pada 1536.

Aceh saat itu menjadi penentang utama rencana Portugis menguasai Selat Malaka dan menaklukkan kerajaan-kerajaan pendukung Portugis di sekitar kawasan tersebut. Peperangan Aceh dengan Portugis menelan banyak korban di pihak Aceh. Populasi penduduknya menurun drastis dan Iskandar Muda, yang kala itu menjadi Sultan Aceh selama 1607-1636, mengambil kebijakan baru menggalakkan penduduk di daerah taklukannya, seperti Pahang, Johor, dan Perak, untuk pindah ke Aceh.

Seperti dicatat W. Linehan dalam History of Pahang (1936), kebijakan itu berhasil memindahkan sekitar 22 ribu penduduk. Namun William Marsden, yang menggambarkan Iskandar Muda sebagai raja yang kejam, dalam History of Sumatra (terbit pertama kali pada 1783) menyatakan kebijakan ini gagal karena banyak penduduk yang mati kelaparan karena tidak diberi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Di masa itulah Iskandar Muda menaklukkan Batu Sawar, ibu kota Johor, pada 1613 dan membawa Sultan Johor, Alauddin Riayat Syah III, dan adiknya, Raja Abdullah, serta Bendahara Paduka Raja Tun Muhammad, yang nanti dikenal sebagai Tun Sri Lanang, ke Aceh. Dia juga menaklukkan Pahang pada 1617 dan membawa Sultan Pahang, Ahmad Syah, dan putranya, Raja Mughal, serta Putri Kamaliah, seorang putri Pahang.

Iskandar Muda kemudian menikahi Kamaliah, yang di Aceh dikenal sebagai Putroe Phang, dan menikahkan adiknya, Ratna Jauhari, dengan Raja Abdullah. Raja Mughal belakangan menikah dengan Safiatuddin, putri Iskandar Muda, dan mewarisi takhta kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani.

Menurut Abdul Wahid, Iskandar Muda mengembalikan takhta Johor ke tangan Alauddin. Namun, karena Alauddin malah membuat perjanjian kerja sama dengan Portugis, ia dihukum mati dan mangkat di Aceh. Raja Abdullah lalu menggantikan ayahnya memimpin Johor sebagai Sultan Abdullah Maayat Syah.

Sultan Iskandar Muda belakangan juga mengangkat Tun Sri Lanang sebagai raja perdana Samalanga. Tapi prosesnya berlika-liku. Menurut Pocut Haslinda, pada masa itu Samalanga adalah daerah taklukan Aceh yang juga mengalami kekosongan penduduk. Sultan lalu membawa orang-orang dari Pahang dan Johor, termasuk Tun Sri Lanang, ke sana untuk membangun wilayah itu dan memperluas wilayah dengan membuka hutan.

Seperti warga lain, Tun Sri Lanang bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi. Perlahan-lahan perekonomian Samalanga, yang terletak di tepi pantai utara Bireuen, membaik dan meluas ke bidang kelautan. "Tun Sri Lanang juga menjadi pelopor pembuatan perahu untuk kebutuhan mencari nafkah dan transportasi laut," tulis Pocut Haslinda.

Hakim Peut Misei dan 11 pemuka daerah yang memimpin daerah itu lalu bermusyawarah untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi uleebalang di sana. Namun mereka gagal mencapai kata sepakat dan akhirnya memutuskan menghadap Sultan Iskandar Muda. Mereka meminta Tun Sri Lanang membawa mereka dengan perahu dari Kuala Samalanga ke Kuala Aceh. Di hadapan Sultan, mereka menyampaikan masalah ini.

Semula Sultan menyatakan Uleebalang Samalanga harus punya siwah (pisau kecil untuk upacara kerajaan) bergagang emas, sesuatu yang jelas tak mungkin dimiliki para pemuka itu. Atas saran Putri Kamaliah, akhirnya Sultan setuju memilih salah satu dari mereka asalkan cincin dan peci kerajaan yang disiapkan Putri Kamaliah pas di jari kelingking dan kepala mereka.

Para pemuka itu kemudian pulang dengan perahu Tun Sri Lanang. Di tengah laut, embusan angin menyingkap pakaian Tun Sri Lanang dan memperlihatkan siwah yang terselip di pinggangnya. Mereka kemudian memaksa Tun Sri Lanang menyerahkan siwah itu, tapi Tun Sri Lanang menolak sehingga dibuang ke laut. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Laut.

Untunglah Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh dan Teuku Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menyelamatkan Tun Sri Lanang dan melapor ke Sultan. Untuk menjebak para pemuka sesat itu, Putri Kamaliah lalu mengukur cincin dan peci yang pas untuk Tun Sri Lanang.

Para pemuka Samalanga dipanggil ke istana. Tak satu pun dari mereka yang dapat memakai cincin dan peci kerajaan. Tapi, ketika Tun Sri Lanang memakainya, cincin itu sesuai, sehingga Sultan menobatkannya sebagai Uleebalang Samalanga. Sultan, yang telah mendapat laporan mengenai Peristiwa Laut, menghukum pancung para pemuka itu.

Tun Sri Lanang menjadi uleebalang pertama Samalanga dan mangkat di Meunasah Lueng. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menjadikan Samalanga pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh. Beberapa masjid di sana dibangun pada zamannya, seperti Masjid Kuta Blang dan Masjid Matang Wakeuh. Dia juga mendirikan Dayah (pondok pesantren) Kuta Blang.

Banyak keturunan Tun Sri Lanang menjadi tokoh penting dalam perang kemerdekaan, seperti Teuku Tjik Di Blang Panglima Perkasa dan Pocut Meligo, salah satu tokoh perempuan pejuang Aceh. Teuku Abdul Hamid Azwar, keturunan ketujuh Tun Sri Lanang, adalah konseptor pemimpin Angkatan Pemuda Indonesia, embrio Angkatan Perang Indonesia. Teuku Hamid juga mendirikan perusahaan pengimpor senjata, Central Trading Corporation, di Bukittinggi, yang menyumbangkan kapal laut berbobot 100 ton dan pesawat terbang Avro Anson RI-004 kepada tentara Indonesia di masa perang kemerdekaan.

Sebagian keturunan Tun Sri Lanang kembali ke Johor dan menjadi bendahara di sana, seperti Tun Habib Abdul Majid, yang menjadi Bendahara Johor, Pahang, Riau, dan Lingga pada akhir abad ke-17. Keturunan Tun Abdul Majid kemudian menjadi sultan di Terengganu, Pahang, Johor, dan Selangor.

Sejarah Tun Sri Lanang menunjukkan betapa erat sebenarnya hubungan Indonesia dan Malaysia. "Dengan ini, semoga dapat terbangun kembali hubungan yang erat di antara dua bangsa yang memiliki hubungan darah ini dan jadi jembatan untuk merajut kembali hubungan di masa mendatang," kata Pocut Haslinda.

Kurniawan, Imran M.A., Adi Warsidi

Jejak Sang Bendahara

Majalah TEMPO
Senin, 06 Februari 2012

Desa Meunasah Lueng, 42 kilometer ke arah barat dari Bireuen, ibu kota Kabupaten Bireuen, mendadak ramai pada 9 Desember lalu. Tamu dari sejumlah negara datang ke sana dengan berbagai jenis mobil. Rombongan peserta seminar Tun Sri Lanang itu melintasi puluhan desa sebelum tiba di Kemukiman Kuta Blang di tengah desa tersebut. Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah yang luas. Tampak pula sebuah masjid peninggalan Tengku Syekh Abdul Jalil, putra ulama besar Aceh, Tengku Chik Awe Geutah Peusangan.


Sebelum sampai jalan memasuki area masjid, berjarak 300 meter di antara kawasan persawahan, ada jalan selebar 3 meter yang terlihat baru diaspal. "Ini dulu dikenal dengan Jalan Raja," kata Anwar, 58 tahun, penduduk setempat.

Setelah melewati perkampungan, mereka bertemu dengan pekuburan berpagar beton cat kuning di sebuah persimpangan jalan. Tak jauh dari sana, berdiri tegak sebuah rumah panggung besar yang di depannya tumbuh pohon mangga besar. Di sisi kanan rumah ada deretan bangunan beton dan di hadapannya sebuah balai kecil. Di sinilah rombongan itu berhenti dan berziarah ke makam Tun Sri Lanang, yang dulu bermukim di rumah tersebut.

Kompleks kuburan itu milik Ampon Chik Muhammad Ali Basyah, Uleebalang Samalanga dan keturunan keenam Tun Sri Lanang. Di tengahnya ada nisan yang sangat berbeda dengan nisan lain. Nisan yang diyakini sebagai kuburan Tun Sri Lanang itu panjang, berwarna cokelat, dan berukir-ukir dengan pucuk nisan mengerucut menyerupai kubah masjid.

Makam itu nyaris tak dikenal selama puluhan tahun sebelum keturunan Tun Sri Lanang melacak dengan sungguh-sungguh keberadaannya. Pencarian berawal saat Teuku Hamid Azwar, putra Chik Muhammad Ali Basyah, berwasiat kepada anak-cucunya untuk mencari jejak leluhur menjelang wafatnya pada 1996. "Saya meneruskan wasiat Bapak. Bapak saya selalu mengatakan, ’Tidak akan bahagia hidupmu bila tidak menelusuri jejak leluhurmu’," kata Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, 66 tahun.

Pocut Haslinda menuturkan, sebelum ayahnya meninggal, U stad A. Yakobi, sahabat Hamid dan penulis buku Aceh dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI, mampir ke rumahnya untuk meminta izin kepada Hamid buat menulis riwayatnya. Dari perbincangan mereka, muncullah cerita tentang Tun Sri Lanang.

Setelah ayahnya wafat, Pocut Haslinda dan keluarganya mulai melacak jejak leluhurnya. Soal makamnya, semula ada kabar bahwa kuburan Tun Sri Lanang berada di Desa Lancok. Namun, setelah menelaah dan menghadirkan keturunan Tun Sri Lanang dari Malaysia, mereka tidak yakin karena kuburan itu tidak punya ciri yang meyakinkan. Informasi yang ada menggiring mereka ke Samalanga dan menemukan sebuah makam di Desa Meunasah Lueng. Mereka yakin makam itu kuburan Tun Sri Lanang setelah menemukan kecocokan dengan nisan kerabat Tun Sri Lanang di Malaysia.

Salah seorang akademikus yang melacak jejak Tun Sri Lanang di Aceh adalah M. Adli Abdullah, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Saat mengambil master di bidang perbandingan hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia, ia mulai tertarik kepada Tun Sri Lanang. Sewaktu pulang ke Aceh pada 1993, ia mulai menelusuri dokumen-dokumen lama mengenai Bendahara Johor pada abad ke-17 itu.

"Saya diuntungkan sempat berjumpa dengan beberapa orang tua di Samalanga, termasuk Kepala Mukim Masjid Raya, Idris; Cut Maimunah Batee Iliek; dan Cut Sakdiyah. Dari merekalah muncul titik terang bahwa Tun Sri Lanang pernah ada di Samalanga dengan gelar Dato’ Bendahara Sri Paduka Tun Seberang," kata putra Teungku Abdullah, pemimpin pondok pesantren Darus Syariah di Kuta Blang, Samalanga, itu. Selama kuliah, dia tinggal di rumah Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan, penasihat Sultan Pahang dan Ketua Persatuan Sejarah Malaysia Wilayah Pahang, yang sangat tertarik pada hubungan Aceh-Pahang, khususnya sejarah Tun Sri Lanang.

Adli juga melacak makam sang Bendahara hingga menemukannya di Meunasah Lueng pada 2000. "Di situ ada rumah lama dan kuburan tak diurus yang berada di tengah semak belukar. Tak ada pihak yang tertarik dan peduli," katanya.

Sejak itu, Adli sering diundang untuk mempertahankan temuan dia di depan para sejarawan Melayu, yang pada awalnya tak yakin Tun Sri Lanang wafat di Aceh. Pertemuan yang pernah dia hadiri adalah seminar di Johor, Kelantan, Universitas Syiah Kuala di Aceh, dan Universiti Sains Malaysia.

Anwar, 58 tahun, warga Meunasah Lueng, menyatakan sebelumnya kompleks kuburan itu disebut oleh warga sebagai Lampoh Reumoh Kreueng atau Kebun Rumah Kreueng milik Ampon Chik Muhammad Ali Basyah. Di depan kompleks itu terpasang papan jalan dengan tulisan "Jl. Pocut Firdaus". Pocut Firdaus adalah keturunan Ampon Chik Muhammad Ali Basyah yang meninggal saat menunaikan ibadah haji di Mekah.

Semasa kecilnya, para sesepuh kampung, seperti Teungku Imam Yusuf, Teungku Muhammad Dahlan, dan Teungku Muhammad Ali, sempat mengisahkan soal adanya kuburan orang Malaysia di kawasan tersebut. "Namun yang mana kami juga tidak tahu saat itu," ujar Anwar.

Imam desa waktu itu, kata Anwar, juga pernah bercerita bahwa Tun Sri Lanang bertubuh tinggi dengan warna kulit putih kemerahan. "Kitab Sulalatus Salatin kalau tidak salah dulu ada sama Teungku Dahlan, namun sekarang tidak ada yang tahu di mana dia menyimpannya. Tapi saya waktu itu masih kecil dan daerah ini kan konflik terus, kapan sempat orang ingat hal kek gituan," kata Anwar, yang sempat merantau ke Malaysia pada masa konflik terjadi di Aceh.

Nasir, 50 tahun, warga lainnya, menuturkan, pada 1960-an, di kuburan tersebut ada seekor harimau yang selalu berjalan dari kuburan di Reumoh Kreung, melintasi kuburan Syekh Abdul Jalil di sekitar Masjid Desa Meunasah Lueng, ke Masjid Kuta Blang, yang total berjarak sekitar 600 meter. "Itu harimau teungku (’harimau ulama’), tapi dia tidak mengganggu masyarakat," kata Nasir. Asnawi, kepala desa setempat, dan beberapa warga lain membenarkan cerita tersebut.

Pocut Naimah, 67 tahun, warga Kampung Baro, Samalanga, mengatakan Teuku Hamid Azwar masih saudara satu kakek dengannya. Pada 1980, Reumoh Kreueng sempat dibersihkan oleh Teuku Hamid Azwar dan dijadikan balai pengajian serta tempat perempuan desa belajar menjahit. "Saya tidak ingat entah berapa lama kegiatan itu bertahan," kata perempuan yang dipanggil Nyak oleh masyarakat di sana itu.

Kini Reumoh Kreueng telah berubah. Semak dan pepohonan sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya pohon mangga besar di halaman. Pada 2006, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh membangun pagar di sekeliling kuburan itu. Masyarakat juga membersihkan kompleks itu sebelum tamu peserta seminar Tun Sri Lanang berdatangan.

Imran M.A., Adi Warsidi, Kurniawan