RUMAH dua lantai bercat kuning gading di daerah Lamteumen, Banda Aceh, itu kini dipenuhi penjaga. Sepuluh polisi pamong praja berjejer di depan pagar. Di dalam pekarangan, tiga orang duduk di rumah jaga. ”Paduka yang Mulia Wali belum bisa ditemui,” kata seorang penjaga kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
”Paduka yang Mulia Wali” itu adalah Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra (NLFAS), organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka. Ia memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976.
Kini, Hasan melewatkan hari di rumah yang disewa khusus selama ia berada di Indonesia itu. Ia ditemani dua ajudan pribadi, pengawal pribadi, dan anggota pengamanan rumah—total 30 orang. Anggota pengamanan merupakan bekas tentara Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa di antaranya pernah mengikuti latihan militer di Libya, pada 1986.
Hasan datang ke Aceh sejak Oktober lalu dengan pesawat carteran dari Malaysia. Ia kemudian terbang ke Kuala Lumpur pada pertengahan Desember, untuk pemeriksaan kesehatan dan perawatan gigi. ”Beliau ingin tinggal terus di Aceh selama sisa hidupnya,” kata Musanna Tiro, ajudan pribadi.
Hasan, 84 tahun, lahir di Kampung Tiro, Aceh Pidie, dari keluarga bangsawan. Pada awal 1948, ia menjadi anggota staf Wakil Perdana Menteri II Syafruddin Prawiranegara. Hasan Tiro pernah menjadi duta Aceh untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Ia juga pernah menjadi pengusaha di bidang minyak, emas, timah, dan permukiman.
Kekecewaannya terhadap pemerintah membuat Hasan angkat senjata di hutan Aceh, pada 1976. Beberapa tahun di gunung, ia hengkang ke Malaysia karena diburu tentara. Dari Malaysia ia kemudian mendapat suaka politik—disusul kewarganegaraan—di Swedia, pada akhir 1979.
Situasi berubah ketika Indonesia dan kelompok GAM menyetujui perundingan damai, pada 2005. Bekas Perdana Menteri GAM Malik Mahmud serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin menandatangani kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia.
Dalam kesepakatan damai itu, GAM diberi kompensasi ekonomi dan politik sebagai syarat tak lagi melakukan per-lawanan. GAM diperbolehkan mendirikan partai lokal. Hasan pun kembali ke tanah kelahirannya, tiga tahun setelah perjanjian itu.
Pada kunjungan pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sedang menggodok Qanun Wali Nanggroe Aceh Darussalam. Hasan disebut-sebut akan menjadi wali itu. Hingga kunjungan kedua, 17 Oktober lalu, Qanun belum rampung juga karena ada perdebatan wewenang lembaga tersebut. Ada yang menganggap wali hanya lembaga adat. Ada juga yang menganggap wali lembaga politik di atas gubernur dan Dewan.
Juru bicara Komite Peralihan Aceh, Ibrahim Syamsuddin, mengatakan Hasan pulang ke Aceh bukan untuk kepentingan penyusunan qanun. ”Dia pulang untuk silaturahmi dengan masyarakat Aceh,” kata Ibrahim, pada kunjungan pertama Hasan Tiro. ”Bukan untuk kepentingan siapa-siapa.”
l l l
SEBELUM azan subuh, ia sudah beranjak dari tempat tidurnya. Seraya menunggu waktu salat, Hasan Tiro berjalan-jalan di dalam rumah. Ia baru muncul di halaman sekitar setengah enam. Kadang ia tampak di balkon lantai dua, berolahraga ringan. ”Sarapan pagi roti antara pukul tujuh dan delapan,” kata Darmansyah, bekas tentara GAM wilayah Aceh Rayeuk yang mengawal Hasan.
Setelah sarapan, Hasan membaca koran. Sesekali ia berbincang dengan ajudan dan pengawalnya. Ia lalu bersiram dan siap menerima tamu, seperti pejabat daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, dan masyarakat umum. Jadwal terima tamunya pukul 10.00-13.00 dan 16.00-18.00.
Paduka yang Mulia selalu memakai jas kalau menerima tamu. Begitu juga kalau bepergian. ”Tamunya lebih banyak sore,” kata Darmansyah. ”Sehari bisa tiga puluh orang.”
Hasan kembali membuka buku setelah salat magrib. Kadang ia menelepon anaknya, Karim Tiro, yang bermukim di Amerika. Ia baru masuk ke kamarnya setelah salat isa. Semua jadwal disusun Musanna Tiro, saudara sepupunya.
Darmansyah bercerita, Hasan kerap bercakap-cakap dengan pengawal dan ajudannya dalam bahasa Aceh yang jelas. Tema pembicaraan sering kali serius, misalnya mengenai sejarah Aceh dan kondisi sekarang. Hasan juga tak bosan berbicara tentang pelaksanaan kesepakatan damai Helsinki.
Anwar, pengawal pribadi Hasan, mengatakan ingatan Wali masih kuat. Bekas tentara GAM yang berlatih di Libya ini masih diingat Hasan, meski sudah puluhan tahun tak bertemu. Hasan melantik Anwar ketika lulus pendidikan militer dulu.
Anwar menambahkan, Hasan kerap mengajak semua orang berpikir membangun Aceh. Ajakan itu selalu muncul ketika bertemu dengan tamu, atau sekadar mengobrol dengan pengawalnya. ”Pue payah phok ulee lom, ta pasoe ilme,” kata Anwar, menirukan Hasan. Artinya, ”Apa perlu dibelah kepala, lalu dimasukkan ilmu?”
Hasan kadang bercanda di waktu istirahatnya. Dia menanyakan keberadaan tentaranya dulu. Anwar dan pengawal lainnya lalu menunjuk semua yang di rumah. Mereka adalah bekas tentara GAM yang siap menjaga keamanan. ”Wali lalu tersenyum,” kata Anwar.
Awal Desember lalu, Hasan berkunjung ke kampung halamannya di Kabupaten Pidie, sekitar 110 kilometer dari Banda Aceh arah ke timur. Sekembali dari sana, Hasan kelelahan dan dirawat di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin selama lima hari. Ia lalu terbang ke Kuala Lumpur untuk pemeriksaan kesehatan.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan Hasan selalu memeriksakan kesehatannya jika merasa letih dan merasakan kadar gula darahnya tak stabil. Hasan memang sering mengeluhkan kadar gulanya yang rendah.
Musanna, pengawal yang lain, mengatakan kondisi Hasan pada umumnya baik, tapi ia memerlukan istirahat. Apakah sang Wali sudah menyiapkan wasiat di usianya yang ke-84 ini? ”Saya tak bisa terang-terangan,” kata Musanna. ”Nanti banyak yang tidak suka.”
Yandi M.R. (Jakarta), Adi Warsidi (Aceh)
No comments:
Post a Comment