“Informasi yang ditutup-tutupi justru membuka peluang pelanggaran.” (Muharram M Nur, 2003)
Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, (Alm) Muharram M Nur mengeluarkan komentar itu saat pengekangan terhadap pers dalam mengakses informasi publik banyak terjadi kala itu. Konflik masih mendera Aceh, di mana pekerja media bergelut dengan tekanan kiri-kanan.
Damai lima tahun lebih yang lalu, belum banyak membawa perubahan terhadap kebebasan pers di Aceh, kendati intensitas ancaman dan intimidasi berkurang. Pelaku masih pada status yang sama, para penguasa atau orang-orang yang merasa berkuasa.
Modus operandi memang beubah. Misalnya dulu wartawan dilarang keras meliput kegiatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perang melawan republik. Pemerintah menilai, peliputan terhadap gerakan akan membuat mereka besar dan kemudian menarik simpati negara luar untuk melihat, bersimpati dan bahkan membantu atau merencanakan sebuah inisiasi perdamaian.
Wartawan tak berhenti, mengambil risiko memberitakan mereka. Ada yang kemudian menjadi korban semisal meninggalnya Ersa Siregar, Wartawan RCTI dalam sebuah kontak senjata di Peureulak, 29 Desember 2003. Dia sebelumnya diculik oleh gerakan bersama kameramennya, Ferry Santoro, yang kemudian dibebaskan pada 16 Mei 2004.
Disadari atau tidak, wartawan ikut membesarkan gerakan sampai kemudian damai yang disambut sukacita. Wartawan tak beubah status, tetap. Tapi kombatan menjelma lebih hebat. Tokoh-tokohnya disegani oleh masyarakat dan sebagian menjadi pemimpin dan sebagian lagi menabalkan dirinya sebagai orang kaya dan penguasa.
Sekarang, batasan tak lagi pada mendukung gerakan atau NKRI. Ancaman dimunculkan tak lagi oleh GAM atau aparat keamanan, tetapi lebih oleh mereka yang merasa tak nyaman karena bersalah pada amanat rakyat. Bisa koruptor, kontraktor nakal atau bahkan siapa saja yang telah berbuat salah.
Miris, sebuah kejadian baru-baru ini di Pidie. Seorang wartawan dipukul oleh oknum anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Sagoe Padang Tiji, Pidie. Sebuah komite yang dibentuk oleh mantan gerilyawan yang dulu dibesarkan media.
Saya tak menuding KPA sebagai sebuah intitusi, tapi perilaku tak bermoral yang diperankan satu anggotanya, sedikit mencoreng gerakan yang dulunya didukung sebagian besar rakyat. Memukul pekerja pers adalah tindakan intimidasi dan kriminal yang tak patut, apapun alasannya.
Puluhan wartawan di Aceh kemudian melancarkan kecaman terhadap oknum KPA itu. Ke polisi kasus dilapor, sambil berdoa hukuman setimpal bagi pemukul yang tak beradab. “Ini adalah aksi tak beradab, mereka yang dulu ikut kita besarkan dan kemudian merasa berkuasa, kemudian menindas kita, sungguh biadab,” kata seorang wartawan di Aceh dalam orasinya, saat aksi Mayday, 1 Mei lalu.
Lakon premaninisme masih saja berlaku di ranah serambi. Wartawan yang harusnya tak punya lawan, dibenci para pendosa saat menulis suara rakyat. Mereka yang ketakutan pada ketidak-becusan memimpin, mereka yang terindikasi korupsi, mereka yang menyalah-gunakan wewenang dan yang tak becus dalam mengerjakan proyek misalnya, akan selalu was-was terhadap insan pers.
Hukum harus ditegakan. Pada akhirnya polisi yang penegak hukum haruslah bekerja pada format yang menjadi wewenangnya. Itu yang kemudian diharapkan wartawan di Aceh dalam membela rekannya, agar si pemukul segera ditindak dan diberi hukuman setimpal. Agar polisi juga tak memukul lagi wartawan untuk kedua kalinya.
Saya masih teringat pada kata (Alm) Muharram kepada saya, awal 2004 silam. “Mereka (pemerintah) punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja.”
Komentar disampaikan sebagai tanggapan terhadap penekanan pers di masa Darurat Militer Aceh. saat itu, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) membatasi gerak wartawan dengan Maklumat Nomor 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.
Saat ini tak ada lagi pengekangan yang terang-terangan dan darurat pun tak berlaku lagi. Saya ingin menyampaikan kepada rekan untuk bersatu padu memberikan keadilan kepada kawan sendiri yang ditindas dan kemudian keluar dari segala macam penekanan.
Kebebasan itu kadang harus kita perjuangkan sendiri, bukan dengan meminta. Lawan penindasan, karena kita punya hukum. Kalau kita diam atau bertengkar pendapat dengan sesame, mereka akan memukul lagi, terus dan tak berhenti. []
Mei 2011 | www.atjehpost.com
No comments:
Post a Comment