Teks: Adi Warsidi | Foto: DOK HNS
Assalamualaikum peu haba/Kamo aneuk hiphop nanggro, soe nan gata/
Hana perle le that harta yang penteng beu na gaya/Aneuk gampong, aneuk ampon, sama saja//...
(Assalamuaikum apa kabar/Kami anak hiphop negeri, siapa nama anda/Tidak penting banyak harta, yang penting bergaya/Anak kampung, anak bangsawan, sama saja)
Begitulah lirik lagu yang dibawakan anak-anak Aceh yang tergabung dalam Hiphop NAD Syndicate (HNS) dalam bahasa daerah. Menonton videonya, gaya mereka persis penyanyi hiphop di luar negeri sana. Irama musiknya menghentak kaki, siapa saja yang mendengarnya.
Lagu berjudul ‘Ranup Lampuan’ menjadi andalan komunitas HNS yang kerap dibawakan jika latihan dan mengikuti festival maupun kompetisi. Saat ajang Banda Aceh Expo November 2013 lalu di Taman Sari, tingkah mereka mendapat banyak pujian dari para pengunjung. “Kami berusaha menghibur dan merangkul anak-anak muda Aceh dengan hiphop memakai bahasa daerah sendiri,” kata Nainunis (26 tahun), Koordinator HNS.
Menurut Nay, ada beberapa lagu andalan mereka selain Ranup Lampuan. Misalnya “Hana Peng Hana Inong” dan “Bunggong Jeumpa”.
Bahasa Aceh menjadi bahasa dominan dalam setiap lagu yang mereka bawakan. Sebagian dicampur dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bukan tanpa tujuan, “karena kami juga ingin eksis di ajang nasional dan internasional. Minimal ada sedikit bahasa yang dimengerti oleh orang-orang di luar Aceh,” jelas Nay yang jago breakdance.
HNS bermula dari sebuah forum anak-anak muda yang menyukai jenis musik rap dengan kalaborasi breakdance dan beatbox. Mereka yang kerap berkumpul di Taman Sari dan warung-warung kopi di seputaran Banda Aceh kemudian berinisiatif membentuk komunitas yang lebih besar.
Diinisiasi oleh Nay sendiri, Wawan alias Waka Timphan, Nandar, Habib dan Bule Amusing, lahirlah HNS yang mengabungkan komunitas Breakdance, kelompok Rap, Beatbox Community, Grafiti dan DJ Music. Mereka mendeklarasikan diri pada 16 Juni 2009. Dua bulan kemudian, mereka unjuk aksi pada launching perdana di Waroeng Kampong di Ulee Kareng, Banda Aceh. Setelah itu, mereka kerap tampil di berbagai pentas budaya sambil berkampanye mengenalkan budaya hiphop ke masyarakat luas, tentunya sarat muatan lokal.
Seiring waktu, anak-anak muda semakin banyak bergabung. Nay mengatakan komunitas NHS saat ini mempunyai sekitar 60 anggota yang tersebar di beberapa kota di Aceh. Berbagai kompetisi mereka ikuti di tingkat nasional dan internasional, juga kerap diundang ke Ibukota Jakarta. “Kami juga punya agenda rutin, buat acara Juni setiap tahunnya, merayakan hari jadi komunitas.”
Pada 14 – 15 Juni 2013 misalnya, mereka mengadakan peringatan ulang tahun yang ke-4 dengan acara Hiphop Jam. Acara menjadi ajang hiphop terbesar pertama kali diadakan di Aceh, yang dihadirkan seluruh Komunitas Hiphop Aceh dan juga dari Medan serta beberapa dari luar negeri.
Ajang lainnya juga kerap mereka isi, misalnya tampil di Aceh Culture Festival pada September 2013 lalu, bersamaan dengan kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh ke-6 di Banda Aceh. Komunitas HNS juga mewakili Aceh dalam ajang Rap Kompetisi yang diselenggarakan oleh BKKBN di Jakarta, November silam.
Beragam prestasi mereka raih, misalnya Juara I Kompetisi Breakdance di Penang Malaysia dan Juara II Kompetisi Hiphop di Kuala Lumpur, Malaysia. Keduanya diadakan pada November 2013. Selanjutnya mendapat penghargaan sebagai tim Radikal Forze dalam 13th Anniversary Bboy Jam di Singapura pada 2011 dan 2012, serta Top 16 dalam ajang Floor Combat 3 on 3 Battle di Malaysia pada 2011.
Di ajang Nasional, beberapa prestasi mereka diataranya adalah, Juara I dalam The King of Sumatera di Padang pada 2012, Juara I Rap Battle LA Streetball Jakarta (2011), Best Perform dalam ajang Blok Battle Plaza Ex Jakarta (2012) dan Finalis Urban Festival Jakarta (2011).
Komunitas mereka terdiri dari anak-anak muda usia sekolahan dan mahasiswa, juga ada beberapa pegawai negeri. “Kami masih muda-muda, karena hiphop umumnya disukai anak muda,” kata Riskal, Rapper yang anggota HNS. Riskal sendiri mengaku masih kuliah semester 5 di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Sementara Dicky yang berbasis DJ Music mengakui masih bersekolah di kelas 2 di sebuah SMU di Banda Aceh. “Saya bergabung untuk menyalurkan hobby,” ujarnya. Dia merasa nyaman berada di komunitas tersebut.
Pada setiap acara kumpul dan mengikuti ajang, mereka umumnya tak mengandalkan donatur. Masing-masing anggota mengumpulkan dana sendiri untuk mencetak album maupun mengikuti festival. “Sebenarnya banyak donatur perusahaan rokok yang menawarkan diri, kami untuk rokok kami tolak. Banyak anggota yang masih di bawah umur,” kata Dicky.
Nay mengungkapkan, komunitas HNS saat ini baru melahirkan satu album. Penyanyi umumnya mengandalkan mereka yang berbasis Rapper. Instrumen juga diciptakan anggota komunitas sendiri, yang berlomba untuk membuat komposisi terbaik dan kemudian dipilih. “Pada 2014 ini, kami sedang menggarap satu album lagi.” []
Lagu berjudul ‘Ranup Lampuan’ menjadi andalan komunitas HNS yang kerap dibawakan jika latihan dan mengikuti festival maupun kompetisi. Saat ajang Banda Aceh Expo November 2013 lalu di Taman Sari, tingkah mereka mendapat banyak pujian dari para pengunjung. “Kami berusaha menghibur dan merangkul anak-anak muda Aceh dengan hiphop memakai bahasa daerah sendiri,” kata Nainunis (26 tahun), Koordinator HNS.
Menurut Nay, ada beberapa lagu andalan mereka selain Ranup Lampuan. Misalnya “Hana Peng Hana Inong” dan “Bunggong Jeumpa”.
Bahasa Aceh menjadi bahasa dominan dalam setiap lagu yang mereka bawakan. Sebagian dicampur dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bukan tanpa tujuan, “karena kami juga ingin eksis di ajang nasional dan internasional. Minimal ada sedikit bahasa yang dimengerti oleh orang-orang di luar Aceh,” jelas Nay yang jago breakdance.
HNS bermula dari sebuah forum anak-anak muda yang menyukai jenis musik rap dengan kalaborasi breakdance dan beatbox. Mereka yang kerap berkumpul di Taman Sari dan warung-warung kopi di seputaran Banda Aceh kemudian berinisiatif membentuk komunitas yang lebih besar.
Diinisiasi oleh Nay sendiri, Wawan alias Waka Timphan, Nandar, Habib dan Bule Amusing, lahirlah HNS yang mengabungkan komunitas Breakdance, kelompok Rap, Beatbox Community, Grafiti dan DJ Music. Mereka mendeklarasikan diri pada 16 Juni 2009. Dua bulan kemudian, mereka unjuk aksi pada launching perdana di Waroeng Kampong di Ulee Kareng, Banda Aceh. Setelah itu, mereka kerap tampil di berbagai pentas budaya sambil berkampanye mengenalkan budaya hiphop ke masyarakat luas, tentunya sarat muatan lokal.
Seiring waktu, anak-anak muda semakin banyak bergabung. Nay mengatakan komunitas NHS saat ini mempunyai sekitar 60 anggota yang tersebar di beberapa kota di Aceh. Berbagai kompetisi mereka ikuti di tingkat nasional dan internasional, juga kerap diundang ke Ibukota Jakarta. “Kami juga punya agenda rutin, buat acara Juni setiap tahunnya, merayakan hari jadi komunitas.”
Pada 14 – 15 Juni 2013 misalnya, mereka mengadakan peringatan ulang tahun yang ke-4 dengan acara Hiphop Jam. Acara menjadi ajang hiphop terbesar pertama kali diadakan di Aceh, yang dihadirkan seluruh Komunitas Hiphop Aceh dan juga dari Medan serta beberapa dari luar negeri.
Ajang lainnya juga kerap mereka isi, misalnya tampil di Aceh Culture Festival pada September 2013 lalu, bersamaan dengan kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh ke-6 di Banda Aceh. Komunitas HNS juga mewakili Aceh dalam ajang Rap Kompetisi yang diselenggarakan oleh BKKBN di Jakarta, November silam.
Beragam prestasi mereka raih, misalnya Juara I Kompetisi Breakdance di Penang Malaysia dan Juara II Kompetisi Hiphop di Kuala Lumpur, Malaysia. Keduanya diadakan pada November 2013. Selanjutnya mendapat penghargaan sebagai tim Radikal Forze dalam 13th Anniversary Bboy Jam di Singapura pada 2011 dan 2012, serta Top 16 dalam ajang Floor Combat 3 on 3 Battle di Malaysia pada 2011.
Di ajang Nasional, beberapa prestasi mereka diataranya adalah, Juara I dalam The King of Sumatera di Padang pada 2012, Juara I Rap Battle LA Streetball Jakarta (2011), Best Perform dalam ajang Blok Battle Plaza Ex Jakarta (2012) dan Finalis Urban Festival Jakarta (2011).
Komunitas mereka terdiri dari anak-anak muda usia sekolahan dan mahasiswa, juga ada beberapa pegawai negeri. “Kami masih muda-muda, karena hiphop umumnya disukai anak muda,” kata Riskal, Rapper yang anggota HNS. Riskal sendiri mengaku masih kuliah semester 5 di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Sementara Dicky yang berbasis DJ Music mengakui masih bersekolah di kelas 2 di sebuah SMU di Banda Aceh. “Saya bergabung untuk menyalurkan hobby,” ujarnya. Dia merasa nyaman berada di komunitas tersebut.
Pada setiap acara kumpul dan mengikuti ajang, mereka umumnya tak mengandalkan donatur. Masing-masing anggota mengumpulkan dana sendiri untuk mencetak album maupun mengikuti festival. “Sebenarnya banyak donatur perusahaan rokok yang menawarkan diri, kami untuk rokok kami tolak. Banyak anggota yang masih di bawah umur,” kata Dicky.
Nay mengungkapkan, komunitas HNS saat ini baru melahirkan satu album. Penyanyi umumnya mengandalkan mereka yang berbasis Rapper. Instrumen juga diciptakan anggota komunitas sendiri, yang berlomba untuk membuat komposisi terbaik dan kemudian dipilih. “Pada 2014 ini, kami sedang menggarap satu album lagi.” []
No comments:
Post a Comment