Aku munafik jika menolak uang, yang kutahu halal untuk dimakan. Bahkan kadang ada yang haram dalam pandangan orang-orang. Tapi aku tak ingin melabelkan halal-haram seperti pada kemasan makanan ringan. Karena mungkin kita tak tahu teori Tuhan, dan malas bertanya.
Aku munafik jika loyal pada kursi tempatku, karena aku malu kepada guru semasa kecil yang mengajar; ‘bahwa loyal-lah pada perkerjaan, karena itu amanah’. Aku bahkan masih menimbang maksud ‘amanah’ guru ku sampai sekarang.
Tak ingin seperti umumnya wakil kita yang mendapat kursi, sampai lupa pada yang memberi di bawahnya. Tak ingin seperti Qabil, anak Adam yang rela membuhuh saudaranya Habil, demi si cantik kembarannya Aklima. Yang mungkin demi memberi pelajaran membunuh kepada manusia seterusnya.
Aku tak ingin seperti Sultan Iskandar Muda, yang pada tahun 1629 membunuh anaknya untuk menahan malu, -mungkin- karena kabar putra mahkota telah berzina. Tega menyembunyikan cinta, padahal para hakin dan orang dekat istana telah peringatkan sultan agar memaafkan pangeran. Hingga muncullah sebuah petuah yang hingga kini abadi; “Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita” (Mati anak jelas kuburan, mati adat-istiadat tak akan jelas keberadaannya).
Aku ingin saja seperti Ken Arok, perampok yang kemudian mendirikan kerajaan Singosari di Jawa sana. Dia membunuh Tunggul Ametung yang durhaka pada rakyat dengan keris made in Mpu Gandring, setelah membunuh terlebih dulu pembuat keris itu. Lalu dia mengambil janda Tunggul Ametung yang terkenal cantik, Ken Dedes.
Boleh Ken Arok mati kemudian setelah disuruh bunuh oleh anak tirinya, tapi dia telah mengubah nasib dan dikenang sampai sekarang. Perampok yang menjadi raja.
Aku tak munafik menolak juara, karena bagiku itu tak penting. Juara hanya label. Aku takut tak pantas juara itu ditabalkan pada yang belum mampu, kendati yang sering dikerjakan orang-orang yang tak mendapat piala, jauh di atas prediketnya.
Akibatnya aku tak ingin memimpin, karena sebenarnya aku takut, energiku tak mampu menggerakkan orang lain ke arah suatu tujuan. Kata-kata ku juga lemah dan kadang tak didengar. Aku tidak seperti mantan budak barbar bernama Tariq bin Ziyad yang menjadi pemimpin besar Islam penakluk Eropa.
Tariq punya ucapan yang cukup terkenal ketika memerintahkan pasukannya membakar kapal-kapal mereka sendiri. “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid.”
Aku munafik, kalau berkata tak ingin seperti Tariq. [*]
Banda Aceh, Agustus 2008
No comments:
Post a Comment