Ketika perang berhenti, enam tahun silam, berseri wajah rakyat Aceh tak terkira. Tak ada yang berduka, lalu menumpahkan sukacita seperti kebiasaan budaya yang lama dilakoni sejak zaman raja-raja. Doa-doa disenandungkan di masjid, meunasah dan rumah-rumah.
Tepat pukul 3 sore, 15 Agustus 2005, para juru runding di Helsinki, Finlandia sana meneken naskah sepakat hentikan perang, Di Masjid Raya Banda Aceh misalnya, gaung itu bersahutan dengan lantunan ayat-ayat Tuhan dari mulut ribuan warga yang berkumpul menyaksikan momen, bahwa perang telah berhenti, bahwa Aceh telah bebas dari konflik panjang.
Enam tahun silam, damai itu datang setelah –katakanlah- adanya intervensi Tuhan yang mengirim bah lewat laut dan menggada Aceh, mematikan ratusan ribu korban. Terpikir oleh para pemimpin dari yang bertikai, bahwa cukup sudah korban yang timbul di Aceh. Bencana perang dan tsunami telah merengut banyak nyawa, dan kemudian lewat kesadaran penuh, damai lahir dengan janji marwah dan beradab bagi keadilan rakyat Aceh.
Ketika perjanjian Helsinki dimulai bersamaan dengan perdamaian yang sungguh-sungguh, maka Aceh sedang memulai sebuah proyek sejarah besar. Saat itu tak seorang pun mampu menduga apakah ini hanya sebuah pause konflik sesaat ataukah menjadi sebuah tonggak besar awal dari sebuah dis¬kontinutas konflik dan kekerasan. Maklum, Aceh telah lama bergelut dalam perang yang berlangsung lama, dengan jeda-jeda.
Bahwa konflik telah ada sejak Belanda mencetus Perang dengan Aceh April 1873, lalu setelah merdeka bersama Indonesia, gerakan kemerdekaan Aceh masih berdengung, sampai kemudian damai enam tahun silam dengan semangat keadilan, karena itulah yang mencetuskan perang.
Mencapai keadilan itulah yang masih berlangsung sampai kini, tentang janji kemakmuran bagi seluruh rakyat Aceh, tentang rekonsiliasi, tentang pembagian hak dengan pusat, tentang membuat senyum para janda dan anak yatim korban konflik dan tentang memperjuangkan demokrasi sesuai dengan semangat indatu-indatu yang pernah mempertahankan negeri dari penjajah Belanda dan Portugis dulunya.
Mencapai keadilan memang tak semudah membalik telapak tangan. Enam tahun masih terasa singkat dengan kenyataan belum semua warga Aceh merasakan kesejahteraan, angka kemiskinan masih tinggi, tak sebanding dengan alam yang kaya raya, lalu masih ada yang bersuara, ‘bahwa kami yang dulunya ikut berjuang, masih lapar. Bahwa kami janda dan anak yatim masih belum diperhatikan.’
Saban ulang tahun perdamaian, renungan tentang semangat perdamaian haruslah diingat oleh semua rakyat dan pemimpin di seluruh penjuru delapan mata angin di Aceh, bahwa masih ada ‘pekerjaan rumah’ yang belum terselesaikan. Bahwa teken damai, bukanlah sebuah tujuan dari menuntut keadilan.
Butuh lebih kerja keras untuk menggolkan kesejahteraan bagi rakyat. Bahwa banyak rakyat yang miskin dan jalan-jalan ke pelosok Aceh yang belum terakses baik, bahwa rakyat masih ada yang hidup tak berlistrik. Belum lagi soal keadilan bagi para korban konflik.
Soal uang, Aceh berlimpah sejak damai itu. Pusat dengan segala komitmennya dalam otonomi seluas-luasnya bagi Aceh, telah mengucurkan dana besar. Dalam kurun lima tahun terakhir saja, lebih dari Rp12 trilyun dana otonomi khusus dan bagi hasil sudah disalurkan ke Aceh.
Dana itupula yang dijanjikan berlangsung terus sampai 2025 mendatang. Hitung-hitung, Aceh akan mengantongi Rp 100 triliun lebih sepanjang itu. Bila cakap mengelola, mustahil tak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi kalau pemimpin tak berpikir, maka dana dengan embel otonomi itu hanya akan dinikmati oleh segelintir. Kasihan rakyat yang masih belum cukup, padahal damai telah dicetus. Tak ada alasan lagi untuk tak mampu membangkitkan ekonomi rakyat, padahal tak ada lagi suara bedil menyalak saban magrib.
Adalah miris ketika melihat angka yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merekap angka miskin di Aceh. Hasil data 2010, dari 4,3 juta penduduk Aceh, sebanyak 20,9 persennya masih hidup miskin.
Kemiskinan adalah pemicu perang. Tak tak adil kalau saya menulis prediksi perang selanjutnya, padahal kita belum semuanya tertawa menikmati damai. Solusi mengubah perilaku adalah yang bermoral untuk mengacu kepada keadilan bersama. Tentang konsep pemerintah yang bersih tanpa korupsi, tentang berpikir untuk rakyat dan bukan golongannya adalah jalan terbaik untuk membuang perang dalam pikiran kita.
Akibatnya, peacebuilding menjadi maha penting untuk upaya melupakan perang yang menjadi keahlian turun-temurun di Aceh. Rizal Sukma dari CSIS Jakarta, dalam sebuah tulisannya menyitir hasil penelitian yang dilakukan beberapa peneliti dunia, mengemukakan bahwa kemungkinan terjadinya konflik yang sempat dihentikan melalui kesepakatan damai, jauh lebih besar ketimbang terjadinya sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah mengalami konflik bersenjata. Angkanya hampir 50 persen dengan studi di Negara-negara yang pernah didera konflik. Pengulangannya kemungkinan terbesar dalam 10 tahun.
Merujuk pada data yang dikumpulkan Uppsala Conflict Termination Datase (UCTD) misalnya, pada periode 1989 – 2004 menunjukkan bahwa dari 118 konflik bersenjata yang terjadi antara tahun 1998 – 2004, sebanyak 52 konflik atau 44 persennya terulang kembali.
Ini menjadi pengingat kepada seluruh kita, bahwa belumlah waktu berpuas diri. Semua harus berpikir bagaimana menghadirkan kemakmuran bagi rakyat, bahwa damai masih perlu diisi.
Enam tahun kini damai Aceh, semua pasti sepakat bahwa MoU Helsinki cukuplah menjadi tonggak akhir dari resolusi konflik Aceh. Hasil penelitian yang melibatkan saya bersama SICD pada 2010 lalu, dengan melakukan survey terhadap Partai yang duduk di DPRA, sebagai representasi rakyat, bahwa seluruhnya komitmen pada menjaga perdamaian ini abadi, menolak munculnya kembali kekerasan di Aceh.
Tapi Johan Galtung dalam bukunya Positive and Negative Peace, menyebut bahwa perdamaian punya dua sisi pemahaman; negatif dan posistif. Perdamaian negatif disebuat sebagai ketiadaan konflik kekerasan, sementara perdamaian positif adalah bagaimana terpenuhinya keadilan, pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan yang dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat secara sama terlepas dari latar belakang sosial, budaya dan politiknya.
Jika yang disebut perdamaian dalam pemahaman negatif dan positif seperti yang disebut Galtung telah hadir di Aceh, maka damailah Aceh untuk selamanya. Pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi acuan, karena suaranya adalah suara tuhan. []
No comments:
Post a Comment