Thursday, September 15, 2011

Masjid Raya Aceh, Saksi Perang dan Damai

By: Adi Warsidi

Perang silih berganti datang ke Aceh, Masjid Raya Baiturahman adalah saksinya. Di situ Jenderal Kohler pernah mati, pada 1873. Dua ratusan tahun kemudian, doa bersama melantun menyambut damai Aceh, pada 2005.


Senin 22 Agustus 2011. Ratusan jamaah mulai berdatangan jelang waktu Isya ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Lantunan ayat suci alquran merdu lewat pengeras suara. Lampu-lampu masjid menerangi setiap sudut dalam dan luar halaman.

Sesaat lagi shalat isya dan taraweh dimulai. “Saban malam Ramadan, masjid ini penuh,” kata Ramlan, warga sekitar yang selalu shalat di sana.

“Shalat di sini terasa lain, sejuk dan seakan ada hawa lain yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kita tenang di masjid ini,” sambungnya.

Rumah ibadah itu mewah. Arsitekturnya kelas kakap. Di dalam, lampu-lampu gantung yang sudah tua menjadi penerang dan berkesan mewah tapi klasik. Tiang penyangga besar juga dilapisi kuningan. Hiasan kaligrafi dan bersihnya lantai membuat banyak orang betah ibadah di sana.

Karenanya, masjid ramai dikunjungi dan tak pernah sepi saat siang. Bahkan di bulan Ramadan, banyak yang menghabiskan waktu di sana, mengaji dan tiduran sambil menunggu berbuka.

Masjid itu ada di pusat kota Banda Aceh. Luas seluruh pertapakan Masjid Raya Baiturrahman adalah 3,30 hektar dengan lima pintu gerbang. Masjid bisa menampung 10.000-13.000 jemaah di dalamnya. Tapi jika memakai halaman, jamaah bisa muat sampai 25.000 orang.

Di Banda Aceh, Baiturrahman adalah tempat wisata religi yang kesohor. Wisatawan mancanegara yang pernah ke Banda Aceh, tak pernah luput berkunjung ke sana. Pendatang dari lokal dan nasional juga. Bahkan ada semboyan yang berkembang di sana. ‘Belum sah ke Banda Aceh, kalau belum berfoto di Masjid Raya.’

***
Sejarah perang tercatat panjang di Masjid Raya. Masuk dari dari pintu gerbang sebelah kanan, pengunjung akan sambut oleh sebuah prasasti. Di sana tertulis, bahwa di tempat itulah Jenderal Kohler tewas tertembak pada April 1873 saat memimpin pasukan Belanda untuk penyerangan ke Aceh.

Pemerhati sejarah Islam sekaligus penceramah Masjid Baiturrahman, Tgk Ameer Hamzah kepada TEMPO bercerita, bahwa dalam penyerangan oleh Belanda itulah, masjid kemudian dibakar. Pejuang Aceh meninggalkan masjid dan keraton, membangun kekuatan di dekat hutan.

Asal muasal masjid, pertama kali dibangun oleh oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612. Kontruksinya tak seperti sekarang, tapi hanya beralas tanah keras, bertiang kayu dan beratap daun rumbia. “Pundak-berundaknya ada tujuh buah, tidak seperti masjid-masjid tua di Jawa, yang pundaknya hanya tiga,” kata Tgk Ameer.

Agresi militer tentara Belanda, terjadi perang besar di sana. Para pejuang mati-matian mempertahankan masjid, tapi tak kuasa. Masjid hangus terbakar saat perang dan pejuang mundur meninggalkan area. Kota Banda Aceh kemudian dikuasai Belanda.

Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada Maret 1877, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulakan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100 persen beragama Islam.

Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 9 Oktober 1879 , diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Arsiteknya Belanda dengan pekerja etnis Cina. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1883 dengan satu kubah saja.

Tgk Ameer mengatakan, usai masjid selesai, masyarakat Aceh tak mau shalat di sana. Alasannya karena dibangun penjajah. Hal ini berlangsung sampai sepuluh tahun kemudian. Kondisi Masjid ditumbuhi semak belukar di sebelah selatannya. Belanda kemudian sempat menjadikan masjid itu sebagai bar, sambil terus merayu orang Aceh agar mau mempergunakan masjid itu. “Kalau masjid sempat jadi bar, jarang orang ketahui, saya dengar kisah ini dari (alm) Pak Ali Hasjmy,” kata Tgk Ameer.

Prof Ali Hasjmy yang dimaksud adalah mantan gubernur Aceh era tahun 60-an yang juga ahli sejarah Islam.

Belanda kemudian berhasil membujuk masyarakat Aceh melalui Tgk Keumala dan Tgk Krueng Kalee. Tahun 1893, masjid itu dipakai oleh masyarakat shalat kembali.

Indonesia merdeka, Masjid itu jadi saksi. Masyarakat berduyun ke sana berdoa menyambut merdeka. Saat berakhirnya konflik DI/TII, setelah Tgk Daud Beureueh turun gunung setelah perdamaian, masjid itu juga jadi saksi perdamaian itu.

Perluasan masjid raya setelah merdeka terus berlangsung. Tahun 1935, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Dan pada tahun 1975 terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam tahun 1967.

Pada tahun 1991, masa Gubernur Ibrahim Hasan terjadi perluasan kembali yang meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya. Masjid kemudian menjadi 7 kubah seperti saat ini.

Masjid itu menjadi saksi perang dan damai Aceh. Gerakan menuntut referendum pada 1999, juga menjadikan masjid sebagai titik utama pertemuan bagi masyarakat yang datang dari daerah.

Tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, Masjid Raya Baiturrahman selamat tanpa kerusakan yang berarti dan banyak warga kota yang selamat di sini. Hanya menara depan yang miring dan kini telah diperbaiki kembali.

Sampai kemudian damai kembali hadir di Aceh, setelah Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat hentikan perang. Saat teken MoU damai di Helsinki, Filandia, 15 Agustus 2005 silam, di Masjid Raya Baiturrahman ribuan masyarakat menggelar acara sambut damai dalam doa dan zikir-zikir.

Di masjid kenangan Sultan dan Belanda itulah, doa-doa damai bersenandung. Setelah perang-perang. ***

Perawat Naskah Kuno Aceh

By: Adi Warsidi

Di ruang tamu rumahnya, Tarmizi Abdul Hamid, 46 tahun dan seorang rekannya, Herman sedang mempelajari beberapa naskah lama yang tergeletak di meja. Tarmizi adalah perawat naskah kuno Aceh yang berjuang sendiri menyelamatkan warisan leluhur.


Tarmizi punya hobby aneh, mengoleksi naskah-naskah lama masa kerajaan Aceh silam. Ratusan juta uang dihabiskan untuk tujuan itu. Dia sendiri bekerja sebagai pegawai di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh.

Saat Tempo berkunjung ke rumahnya, Jumat 5 Agustus lalu, Tarmizi mengisi waktu untuk mempelajari naskah lama, dibantu Herman yang master bidang naskah kuno. “Dia (Herman) membantu saya mengidentifikasi naskah-naskah lama yang ada di sini,” ujarnya.

Di rumahnya, Tarmizi punya 480 naskah kuno yang semuanya dikoleksi sendiri. “Naskah itu saya kumpulkan pelan-pelan dari seluruh daerah d Aceh. Saya berburunya sendiri,” ujarnya.

Bahasan kitab-kitab itu beragam; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fiqh Islam, termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq. Juga ilmu pengobatan dan hikayat-hikayat.

Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi, umumnya memakai bahasa melayu, sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Oleh karenanya, Tarmizi punya impian mengalihaksarakan naskah itu ke bahasa Indonesia, agar bisa dibaca semua kalangan saat ini.

Niat itu pula, Tarmizi mengajak rekannya seperti Herman dan lainnya, untuk identifikasi dan alih aksara naskah lama. Baru dua kitab saja yang telah rampung dialih-aksarakan, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Sedangkan Mirat Al Thullab, Tarjuman Multafiq (keduanya karangan Syeh Abdurrauf As Singkili); Durar Li Syarhi Al Aqaid karangan Syeikh Nuruddin Al Raniry; dan Tajjul Muluk, masih dalam proses alih-aksara.

Naskah Mirat Al Thullab adalah kebanggaan Tarmizi, itu adalah kitab yang berisi masalah hukum syariat Islam masa lalu yang ditulis dalam bahasa Melayu Jandi. Kitab itu dibuat pada kisaran tahun 1641 – 1675, masa Aceh diperintah oleh Ratu Safiatuddin.

“Kitab ini bukti kalau syariat Islam di Aceh sudah diterapkan sejak dulu kala. Harusnya kitab ini bisa dipelajari oleh semua orang, untuk perbandingan pelaksaan syariat Islam sekarang,” ujarnya.

Tarmizi mengaku tertarik mengoleksi naskah kuno Aceh pada awal 1995. Saat itu dia mendapat tugas ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia dari kantornya. Di sana, mengisi waktu luang, Tarmizi mengunjungi museum.

Di Museum negeri tetangga itulah dia menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip lama itu ke luar negeri.

Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu naskah kuno. Impiannya hanya mengumpulkan naskah agar bisa tetap berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi ke depan,” ujarnya.

Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau.

Usahanya memburu naskah seorang diri. Tak ada bantuan dari pemerintah daerah dan Tarmizi tak mengharapkannya. Alasannya, kalau pemerintah peduli, pasti sudah duluan naskah-naskah itu terkumpul. Naskah itu banyak tersebar di tengah masyarakat Aceh.

Pelbagai macam cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan Alquran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi. “Kalau diminta beli dalam harga tinggi, saya juga tak punya dana.”

Tapi tak sedikit uang yang dikeluarkan Tarmizi, dia tak tahu persis berapa jumlahnya. Beberapa petak sawah ludes. Tapi keluarnya mendukung usahanya. “Istri dan anak saya selalu member semangat, mereka mendukung. Kadang gaji istri saya juga disumbangkan untuk mencari naskah,” ujarnya.

Karena Aceh dulu pusat peradaban islam di Nusantara, Tarmizi memperkirakan banyak sekali naskah yang ada di masyarakat yang harus segera diselamatkan, kalau tidak bisa saja naskah itu dijual ke luar Aceh. Tarmizi tak kuasa dengan sekadar abakadabra, butuh dana yang besar.

“Saya berharap ada donatur yang kuat untuk membeli naskah-naskah itu. Kalau ada uang, naskah yang diluar pun bisa dibawa pulang,” ujarnya. “Saya hanya ingin museum naskah ada di Aceh,” sambungnya.

Merawat naskah itu, Tarmizi juga kewalahan. Awal tsunami sebuah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, datang ke tempat Tarmizi. Dia mendapat bantuan untuk restorasi naskah yang rusak dan dimakan rayab. Kertas restorasi itu harganya mahal, sampai 23 juta per meternya.

Saat itulah, dia mendapat wejangan dari Prof Arai, ahli kertas Jepang yang mengatakan kertas-kertas naskah kuno tersebut sesuai dengan kondisi suhu di Aceh dan dapat disimpan berabad-abad. “Artinya tidak terlalu butuh sebuah ruangan yang dijaga suhunya,” kata Tarmizi.

Tarmizi hanya menyimpan naskah-naskah itu di rumahnya, di lemari dan di kamar. Kadang terongok di ruang tamu saat dia dan kawannya sedang mempelajari naskah-naskah. Tarmizi hanya merawat manuskrip itu dengan cara menaburinya dengan kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. Biar jauh dari rayap.

Perpustakaan Nasional pernah meminta Tarmizi menjual manuskrip itu. Namun ia menolak. Jika dijual, naskah-naskah itu akan diangkut ke Jakarta. Ia juga mendapat tawaran Museum Aceh untuk menyimpan naskah itu di sana. Tapi tak jelas bagaimana mekanisme perawatan dan penyimpanan di museum, termasuk bagaimana kalau naskah itu hilang dan terbakar. Hal-hal teknis itulah yang kemudian membuat Tarmizi mengabaikan tawaran museum.

Dia berharap, pemerintah dapat membantunya melestarikan manuskrip dengan mendukung apa yang dilakukannya sekarang, yaitu proses untuk digitalisasi dan mengkaji kembali naskah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Yang penting, bagaimana ilmu dalam naskah-naskah itu mampu dibaca dan dipelajari semua orang.”

“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” kata Tarmizi pada akhirnya. *** KORAN TEMPO | 17 Agustus 2011

Pesan Keadilan dari Perang (Renungan 6 Tahun Perdamaian)

By: Adi Warsidi

Ketika perang berhenti, enam tahun silam, berseri wajah rakyat Aceh tak terkira. Tak ada yang berduka, lalu menumpahkan sukacita seperti kebiasaan budaya yang lama dilakoni sejak zaman raja-raja. Doa-doa disenandungkan di masjid, meunasah dan rumah-rumah.


Tepat pukul 3 sore, 15 Agustus 2005, para juru runding di Helsinki, Finlandia sana meneken naskah sepakat hentikan perang, Di Masjid Raya Banda Aceh misalnya, gaung itu bersahutan dengan lantunan ayat-ayat Tuhan dari mulut ribuan warga yang berkumpul menyaksikan momen, bahwa perang telah berhenti, bahwa Aceh telah bebas dari konflik panjang.

Enam tahun silam, damai itu datang setelah –katakanlah- adanya intervensi Tuhan yang mengirim bah lewat laut dan menggada Aceh, mematikan ratusan ribu korban. Terpikir oleh para pemimpin dari yang bertikai, bahwa cukup sudah korban yang timbul di Aceh. Bencana perang dan tsunami telah merengut banyak nyawa, dan kemudian lewat kesadaran penuh, damai lahir dengan janji marwah dan beradab bagi keadilan rakyat Aceh.

Ketika perjanjian Helsinki dimulai bersamaan dengan perdamaian yang sungguh-sungguh, maka Aceh sedang memulai sebuah proyek sejarah besar. Saat itu tak seorang pun mampu menduga apakah ini hanya sebuah pause konflik sesaat ataukah menjadi sebuah tonggak besar awal dari sebuah dis¬kontinutas konflik dan kekerasan. Maklum, Aceh telah lama bergelut dalam perang yang berlangsung lama, dengan jeda-jeda.

Bahwa konflik telah ada sejak Belanda mencetus Perang dengan Aceh April 1873, lalu setelah merdeka bersama Indonesia, gerakan kemerdekaan Aceh masih berdengung, sampai kemudian damai enam tahun silam dengan semangat keadilan, karena itulah yang mencetuskan perang.

Mencapai keadilan itulah yang masih berlangsung sampai kini, tentang janji kemakmuran bagi seluruh rakyat Aceh, tentang rekonsiliasi, tentang pembagian hak dengan pusat, tentang membuat senyum para janda dan anak yatim korban konflik dan tentang memperjuangkan demokrasi sesuai dengan semangat indatu-indatu yang pernah mempertahankan negeri dari penjajah Belanda dan Portugis dulunya.

Mencapai keadilan memang tak semudah membalik telapak tangan. Enam tahun masih terasa singkat dengan kenyataan belum semua warga Aceh merasakan kesejahteraan, angka kemiskinan masih tinggi, tak sebanding dengan alam yang kaya raya, lalu masih ada yang bersuara, ‘bahwa kami yang dulunya ikut berjuang, masih lapar. Bahwa kami janda dan anak yatim masih belum diperhatikan.’

Saban ulang tahun perdamaian, renungan tentang semangat perdamaian haruslah diingat oleh semua rakyat dan pemimpin di seluruh penjuru delapan mata angin di Aceh, bahwa masih ada ‘pekerjaan rumah’ yang belum terselesaikan. Bahwa teken damai, bukanlah sebuah tujuan dari menuntut keadilan.

Butuh lebih kerja keras untuk menggolkan kesejahteraan bagi rakyat. Bahwa banyak rakyat yang miskin dan jalan-jalan ke pelosok Aceh yang belum terakses baik, bahwa rakyat masih ada yang hidup tak berlistrik. Belum lagi soal keadilan bagi para korban konflik.

Soal uang, Aceh berlimpah sejak damai itu. Pusat dengan segala komitmennya dalam otonomi seluas-luasnya bagi Aceh, telah mengucurkan dana besar. Dalam kurun lima tahun terakhir saja, lebih dari Rp12 trilyun dana otonomi khusus dan bagi hasil sudah disalurkan ke Aceh.

Dana itupula yang dijanjikan berlangsung terus sampai 2025 mendatang. Hitung-hitung, Aceh akan mengantongi Rp 100 triliun lebih sepanjang itu. Bila cakap mengelola, mustahil tak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi kalau pemimpin tak berpikir, maka dana dengan embel otonomi itu hanya akan dinikmati oleh segelintir. Kasihan rakyat yang masih belum cukup, padahal damai telah dicetus. Tak ada alasan lagi untuk tak mampu membangkitkan ekonomi rakyat, padahal tak ada lagi suara bedil menyalak saban magrib.

Adalah miris ketika melihat angka yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merekap angka miskin di Aceh. Hasil data 2010, dari 4,3 juta penduduk Aceh, sebanyak 20,9 persennya masih hidup miskin.

Kemiskinan adalah pemicu perang. Tak tak adil kalau saya menulis prediksi perang selanjutnya, padahal kita belum semuanya tertawa menikmati damai. Solusi mengubah perilaku adalah yang bermoral untuk mengacu kepada keadilan bersama. Tentang konsep pemerintah yang bersih tanpa korupsi, tentang berpikir untuk rakyat dan bukan golongannya adalah jalan terbaik untuk membuang perang dalam pikiran kita.

Akibatnya, peacebuilding menjadi maha penting untuk upaya melupakan perang yang menjadi keahlian turun-temurun di Aceh. Rizal Sukma dari CSIS Jakarta, dalam sebuah tulisannya menyitir hasil penelitian yang dilakukan beberapa peneliti dunia, mengemukakan bahwa kemungkinan terjadinya konflik yang sempat dihentikan melalui kesepakatan damai, jauh lebih besar ketimbang terjadinya sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah mengalami konflik bersenjata. Angkanya hampir 50 persen dengan studi di Negara-negara yang pernah didera konflik. Pengulangannya kemungkinan terbesar dalam 10 tahun.

Merujuk pada data yang dikumpulkan Uppsala Conflict Termination Datase (UCTD) misalnya, pada periode 1989 – 2004 menunjukkan bahwa dari 118 konflik bersenjata yang terjadi antara tahun 1998 – 2004, sebanyak 52 konflik atau 44 persennya terulang kembali.

Ini menjadi pengingat kepada seluruh kita, bahwa belumlah waktu berpuas diri. Semua harus berpikir bagaimana menghadirkan kemakmuran bagi rakyat, bahwa damai masih perlu diisi.

Enam tahun kini damai Aceh, semua pasti sepakat bahwa MoU Helsinki cukuplah menjadi tonggak akhir dari resolusi konflik Aceh. Hasil penelitian yang melibatkan saya bersama SICD pada 2010 lalu, dengan melakukan survey terhadap Partai yang duduk di DPRA, sebagai representasi rakyat, bahwa seluruhnya komitmen pada menjaga perdamaian ini abadi, menolak munculnya kembali kekerasan di Aceh.

Tapi Johan Galtung dalam bukunya Positive and Negative Peace, menyebut bahwa perdamaian punya dua sisi pemahaman; negatif dan posistif. Perdamaian negatif disebuat sebagai ketiadaan konflik kekerasan, sementara perdamaian positif adalah bagaimana terpenuhinya keadilan, pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan yang dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat secara sama terlepas dari latar belakang sosial, budaya dan politiknya.

Jika yang disebut perdamaian dalam pemahaman negatif dan positif seperti yang disebut Galtung telah hadir di Aceh, maka damailah Aceh untuk selamanya. Pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi acuan, karena suaranya adalah suara tuhan. []

Sunday, June 12, 2011

Perang Aceh: Calon Independen VS Partai Lokal

By: Adi Warsidi

Lima tahun lalu, Aceh mendobrak yang mustahil di Indonesia. Damai setelah perang, istimewa diberikan kepada rakyat; Partai Lokal dan Calon Independen sebagai amanah dari Kesepakatan Damai (MoU) Helsinki.


Calon Independen dan Partai Lokal kala itu menjadi syarat penghenti perang sesungguhnya, di luar kewenangan lain yang diberi republik, agar senjata dihancurkan. Keduanya diatur kemudian dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh, sebuah undang-undang yang juga khusus untuk Aceh setelah tak lagi meminta merdeka.

Partai Lokal dibuka kran, tak lagi berbatas dan bisa berjuang dengan Partai Nasional untuk meraih simpati di Aceh. Tapi independen cukup sekali, karena para pemikir Indonesia punya anggapan, bahwa para pejuang independen kemudian dapat membentuk sendiri partai lokalnya, untuk menciptakan pemimpin dan eksekutif di Aceh.

Tak banyak yang menyangka, kala Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2006, calon independen kemudian memimpin Aceh yang didukung oleh 38 persen lebih pemilih. Warga ingin yang baru kala itu, tak lagi memilih yang didukung partai-partai.

Selang setahun setelahnya, aturan teknis Peraturan Pemerintah untuk Partai Politik Lokal di Aceh kemudian lahir. Lalu ruang kosong itu kemudian dicoba isi oleh para politisi, aktivis, bahkan ulama pun mencetuskan partai. Sepertinya tempat kosong itu telah dipesan lama sekali, untuk sebuah himpunan politik tanpa konflik yang telah pergi jauh. Demokrasi baru itu sebagaimana sesuatu transformatif dibayangkan akan sanggup mengendapkan perilal lalu dan kemudian membentuk manusia baru; mungkin harapan kita yang seia-sekata.

Muncullah partai lokal seperti cendawan musim hujan. Pertama ada 12 partai yang kemudian hanya tinggal setengahnya yang berhak ikut pemilu legislatif 2009. Pemilu digelar, lagi-lagi Partai Lokal menang, tapi hanya satu yang menunjukan kekuatan luar biasa. Partai Aceh yang dirintis para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dulunya mengangkat senjata berperang melawan republik, menang mutlak, sekitar 43 persen suara, dari 2 juta lebih pemilik suara di Aceh.

Lima partai lokal lainnya, meradang. Bahkan tak sangup mencapai electoral treshold untuk bertahan di periode selanjutnya. Jika ingin terlibat lagi dalam pemilu 2014, harus mendaftarkan kembali dengan nama dan lambang yang lain.

Aturan istimewa untuk Aceh kemudian membuat wilayah lain meradang, mereka maju menantang Indonesia dan meminta hal yang diberikan ke Aceh juga dihadiahkan buat mereka. Sebanyak 32 provinsi lain berjuang bersama meminta partai lokal dan calon independen dalam memilih guburnur maupun bupati/walikota. Hanya calon independen yang disetujui Jakarta, Partai Lokal tidak.

***
Setelah independen dibuka pintu untuk seluruh penjuru angin nusantara, Aceh yang hanya kebagian sekali, ikut menggugat lagi. Beberapa pihak atas nama rakyat mengajukan judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), meminta satu pasal yang mengatur Independen sekali sahaja di Aceh dicabut.

Gugatan disetujui, Mahkamah Konstitusi selaku pemegang mandat tinggi hukum di Nusantara, kemudian memutuskan bahwa independen tetap terbuka untuk Aceh, seperti wilayah lain. Pasal 256 Undang Undang no 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengatur tentang itu dicoret.

Oleh banyak pihak, politisi partai umumnya, menyambut keputusan ini dengan dua versi. Banyak yang mendukung dan ada pula yang tidak, kendati malu-malu menyatakan sikapnya. Putusan MK kemudian membutuhkan aturan pelaksana, qanun Aceh, semacam Peraturan Daerah (Perda) di wilayah Indonesia lainnya.

Kisruh dimulai, awal perang (politik) dicetus oleh dua hal yang dulunya menjadi mahar penghenti perang; calon independen dan partai lokal, sebut saja begitu. Partai atau mungkin hanya partai Aceh, yang mempunyai kursi terbanyak di parlemen enggan, kalau calon independen dibuka lagi. Para calon pemimpin yang tak punya partai, tapi ingin memimpin terus mengeksiskan diri tanpa peduli, karena MK telah bicara. Satu menantang yang lain menentang.

Jelang Pilkada akhir 2011 mendatang, Partai Aceh telah menunjuk calonnya, Dr Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Lalu Gubernur Aceh sekarang, Irwandi Yusuf sudah menyatakan diri maju lewat jalur independen. Calon lain yang juga ingin seperti Muhammad Nazar, Darni M Daud, Mawardi Nurdin, belum berani mengumumkan diri, apakah maju dengan bergandeng partai atau calon perseorangan.

Qanun tentang Pilkada belum ada, katanya lagi dibahas yang termasuk Bab Independen di dalamnya. Ada kekhawatiran, bahwa calon independen nantinya akan menciutkan dukungan terhadap calon partai lokal, dua sisi dulu bersatu, kini berpisah.

Partai memang selalu dilema di Indonesia, mungkin juga yang berlabel lokal di Aceh. Hingga Independen kemudian diperjuangkan. Sama halnya dengan analisis The Indonesian Institute di Indonesia. Lembaga itu, dua bulan lalu merilis temuannya, bahwa masih ada kekecewaan masyarakat sebesar 75 persen terhadap partai politik. Lalu kecewa itulah yang menuntut adanya Calon Independen, sebagai jawaban dari kekecewaan masyarakat terhadap partai politik.

Penelitian yang sama khusus untuk Aceh belum ada, mungkin dapat segera dicoba lembaga penelitian. Untuk melihat, apakah hal juga berlaku sama di Bumi Serambi. Temuan saya di banyak tempat, masyarakat masih menilai partai lokal yang punya wakil di parlemen juga belum mampu membuat mereka sejahtera.

Alasannya beragam, misalnya anggota dewan masih sibuk dengan dana sewa rumah, saat rakyat masih ada yang tinggal di gubuk reot. Dewan masih sibuk bicara study banding ke luar negeri, saat rakyat tak sanggup lagi membeli bensin. Dewan masih sibuk memperjuangkan dana aspirasi, saat rakyat sibuk menulis proposal berlembar-lembar minta modal yang tak kunjung turun.

Karena itu, mungkin rakyat kembali lagi mulai menulis dosa-dosa partai lokal seperti pernah ditulis untuk partai nasional dulunya, yang panjangnya melebihi janggut Nabi Khaidir (meminjam kata Azhari, kawan saya yang seniman).

Rakyat mungkin juga kecewa kepada calon independen yang sekarang memimpin Aceh, karena juga ada penilaian bahwa pemerintahan belum menunjukan perubahan pada kesejahteraan rakyat. Lalu kenapa rakyat harus memberi suaranya? Atau terpaksa mencoblos pada hari H dan/atau hanya coba berlibur ke bilik suara sambil bersilaturrahmi layaknya hari raya, untuk sebuah harapan baru yang mungkin ada.

Kerap para pemimpin dalam mewujudkan cita-cita kolektif atas nama kemakmuran rakyat, bersikap arrangement focused, bukan kepada realization focused. Semua mengatur ulang mimpinya agar sempurna dan lupa kepada bagaimana merealisasikannya.

Pada dasarnya selama dua elemen masih tak saling mendukung, partai melalui legislatif serta gubernur dan bupati/walikota dengan pangkat eksekutif, maka sampai kiamat pun rakyat akan menuntut dan tak makmur. Mungkin sahaja, rakyat mengumpulkan tenaga sampai kemudian mendobrak lagi hal tak lazim, dan saya tak berani menulis apa gerangan selanjutnya. []

atjehpost.com, 11 Juni 2011

Sunday, June 5, 2011

Wartawan ‘L’ dan Penguasa Aceh

Oleh : Adi Warsidi

‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’. (Thomas Jefferson).


Ada pernyataan mengejutkan sekaligus mengelikan dari Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf saat menerima audensi pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Februari lalu. Sebuah komentar disampaikan gubernur bahwa 95 persen wartawan tidak menyukainya. Info tersebut diakui dibisikkan oleh seorang wartawan senior di Aceh.

Komentar itu kemudian disambut media dan ramai-ramai memberitakannya. Sebuah lakon yang wajar, sebab pernyataan gubernur mengena dan menghantam langsung ke para wartawan. Perenungannya dimulai, benarkah yang disampaikan Irwandi?

Hemat saya, suka atau tidak suka Irwandi adalah penilaian. Sementara suka atau tidak suka wartawan adalah pilihan yang kabur. Gubernur mungkin saja menilai bahwa banyak wartawan yang menuliskan kritik terhadap pemerintahan yang dipimpinnya, poin itu kemudian menjadi tidak suka. Padahal dulu, sebelum menjadi pejabat, Irwandi menilai wartawan begitu dekat.

Soal kedekatan ini juga punya pengaruh dalam penilaian. Gubernur adalah pemimpin 4 juta lebih masyarakat Aceh yang bukan hanya mengurus wartawan. Sulit ditemui dengan prosedur yang berlapis kadang membuat kuli berita enggan berkomunikasi dengan Irwandi, kecuali terpaksa untuk kepentingan pemberitaan. Ini kemudian membuat sebuah objek untuk penilaian, bahwa wartawan semakin jauh dengannya. Masih objektif.

Lalu masih ada koreksi dalam ucapan Irwandi. Bahwa dia mendengar dari seorang wartawan senior yang kemudian berembus kabar bernama inisial ‘L’. Kalaulah wartawan itu ada, bisa saja itu adalah semacam simpati yang disebarkan untuk menarik perhatian gubernur. Untuk mendekatkan pribadi ‘L’ dengan pemimpin dengan beragam tujuan, mendapatkan keuntungan finansial misalnya atau sedikitnya untuk kemudahan berkomunikasi bila ada kepentingan pemberitaan.

Kalaulah bisikan ‘L’ itu ada, saya yakin Irwandi tak mudah percaya.

Tapi, kalau bisikan itu tidak ada, berarti Irwandi sedang memainkan peran komunikasi media untuk menarik perhatian wartawan. Dia bukan orang awam yang tak paham berkomunikasi dengan media. Ilmu itu sudah dipraktekan nya sejak lama, jauh sebelum berkuasa.

Ketika ‘L’ disebut-disebut menjadi inisial wartawan pembisik, hampir semua wartawan bahkan para aktivis dan pejabat mencoba membuka tabir, siapa ‘L’ sebenarnya. Lidik dimulai, dan tak ada satupun wartawan di Aceh yang bernama awal huruf ‘L’.

Kemudian ini jadi canda. Dalam obrol di warung-warung banyak nama wartawan senior kemudian yang dibubuhkan dengan ‘L’ di depan. Jadilah nama Lukhtaruddin Lakob, Lurdin Lasan dan Luhammad Lamzah dan bahkan Lali Laban.

Irwandi telah mampu menarik wartawan dengan isu yang dihembuskan. Sebuah komunikasi media mungkin saja sedang dibangun, mengingat Pemilukada di depan mata. Apapun, wartawan adalah mereka yang menuliskan dan membangun opini para pejabat untuk meraih simpati rakyat.

***
Membangun komunikasi media, saya teringat kisah Thomas Jeferson saat masih duduk di Dewan Kongres Amerika Serikat tahun 1787. Dia mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkenal dan banyak dikutip media hingga sekarang. Bunyinya; ‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’.

Dia terkenal sebagai pembela kebebasan pers, beropini, berpendapat kala itu. Pandangannya terhadap media, menggambarkan bahwa hak rakyat berpendapat aadalah segala-galanya, dan ini terpresentasikan melalui kebebasan pers. Tapi kemudian, kekuasaan merubah persepsi Jeferson terhadap pers, saat pemilu AS pada 1800 mendudukkan Jeferson sebagai presiden.

Dia kemudian menjadi Presiden ketiga AS yang dikenal juga sebagai salah seorang penyusun The Declaration of Independence. Sikapnya terhadap pers berubah. Partainya memang mampu mengontrol pemerintahan, namun dalam perhitungan Jeferson, tiga per lima para editor masih mendukung lawan-lawan politiknya. Yang terjadi berikutnya adalah adanya klaim dari para pengikut Jeferson yang memulai pembatasan-pembatasan politik dengan menamakan sebagian wartawan dengan oposisi.

Itu sebuah fenomena yang terjadi jauh di AS dan sudah dua abad lalu. Tapi seperti itulah representasi hubungan antara penguasa dan pers yang hampir selalu punya batasan-batasan yang mirip permusuhan. Di banyak negara dan daerah, termasuk Indonesia dan Aceh khususnya, banyak mereka yang sebelumnya mesra dengan media dan pers, tetapi kemudian langsung berseberangan ketika menjadi penguasa.

Di Indonesia hal itu tercatat panjang. Dari masa Soekarno yang mencoba mengendalikan pers, kemudian Soeharto yang sempat membredel beberapa media karena dianggap tak berpihak pada politik berkuasa. Padalah sebelum presiden, Soeharto sangat dekat dengan pers. Abdurrahman Wahid juga sangat dekat dengan pers sebelumnya, tapi kemudian ketika menjadi presiden dia suka mengatakan media memelintir perkataannya.

Lebih gamblang lagi terlihat saat Megawati berkuasa. Pers nasional dan media umumnya memilih resiko mendukung Mega melalui berita mereka, karena dianggap PDI-nya mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Namun setelah menjadi presiden, Mega sempat mengkritik pers; ‘Pemberitaan pers tidak berimbang, berputar-putar dan menambah ruwet masalah’.

Secara umum sampai kapanpun, ketidak-harmonisan pers dengan pemegang kekuasaan akan terus terjadi, begitulah relnya. Karena yang dilakukan media adalah kontrol yang disampaikan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kalau tak ingin dikritik tak usah menjadi politisi. Tapi tak dipungkiri, ada juga hubungan yang harmonis, bila keputusan yang diambil kekuasaan berpihak rakyat.

Ada sebuah sisi lain yang perlu dilihat, bahwa media adalah sebagai alat untuk berkomunikasi politik para politisi. Kerap para politisi memakai ruang media massa untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada rakyat, begitu sebaliknya. Media menyediakan ruang, karena disitulah tugasnya.

Sebagai media komunikasi, keberadan pers merupakan hak azasi bagi individu atau insan pers untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya. Sebagai media publikasi, pers mengemban kewajiban azasi untuk menyampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan fakta yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia.

Pada dasarnya media mempunyai implikasi yang luas dalam mempengaruhi perilaku politik. Pada satu sisi media dapat menjadi perpanjangan tangan penguasa ketika regulasi tentang pemberitaan berada dalam cengkeraman negara yang bersikap sebagai polisi. Di sisi lain, media dituntut untuk menjadi sumber informasi, sarana sosialisasi, pendidikan dan sosialisasi politik bagi masyarakat.

Dalam konteks politik, zaman ini persaingan kekuasaan antar politisi kadang menguntungkan media dan masyarakat tapi juga kerap merugikannya pada sisi lain. Tak dipungkiri banyak politisi yang dibesarkan media dan surat kabar akan membesarkan sesuai dengan keinginannya. Media massa juga punya kepentingan untuk mendukung siapa saja. Walaupun itu kerap dilakukan dengan sebunyi-sebunyi di Indonesia.

Politisasi informasi akibat pengaruh kekuasaan dan bisnis media menyeabkan media kerap tak mampu menjalankan misinya sebagai pengawas. Kendati ada juga idealisme yang dimiliki media dalam menyampaikan informasi kepada rakyat.

Dalam berbagai perhelatan demokrasi meraih kekuasaan, kampanye kerap dilakukan dengan memakai media. Misalnya membeli tempat untuk iklan, mengelar acara hingga muncul berita, artikel, mengirimkan press release dan sebagainya. Sebut saja Aceh saat pilkada dan pemilu legislatif di Aceh beberapa waktu lalu.

Media kadang menjadi kawan baik bagi politisi atau pejabat sebelum berkuasa. Dan bisa dianggap menjadi lawan saat kuasa dipegang. Karena apa yang dituliskan adalah suara rakyat yang didapat dari hasil liputan.

Kalaulah berita adalah suara rakyat dan kalau benar ada sebanyak 95 persen wartawan tak suka gubernur, berarti secara teori ada 95 persen masyarakat yang tak menyukai Irwandi. Kalau ini tak benar, maka berarti salah. Dan apa yang disampaikan ‘L’ adalah fitnah. Kalau ‘L’ tak ada, berarti gubernur sedang memainkan komunikasi di media untuk mendukung politiknya.

Iseng saya coba membalikkan kata. ‘Ada 95 persen pejabat tak suka wartawan’. Benarkah atau mungkin salah. Yang jelas, kisah Thomas Jefferson bisa dijadikan renungan. Suka tak suka adalah penilaian dan pilihan. []

Maret 2011, Atjehpost

Sunday, May 15, 2011

Perempuan Aceh dan Mengapa Kartini?

Adi Warsidi

Selalu saja saban peringatan Hari Kartini, 21 April, saya sering diajukan tanya oleh rekan di Aceh, kenapa Kartini punya hari yang dikenang sepanjang abad. Sementara ratu-ratu dan pahlawan perempuan Aceh yang terkenal seantero dunai, lupa dikenang bahkan oleh kerabatnya sendiri.


Sama seperti tadi pagi, seorang kawan pun bertanya. Singkat saya menjawab, “Oh ya, saya lupa ini hari Kartini.”

Pertanyaan itu mengiang terus di benak, hingga saat melewati beberapa ruas jalan di Banda Aceh, siswa berseragam SMU, perempuan semuanya, dikawal para Polisi Wanita (Polwan) keliling kota dengan sepeda motor. Saya langsung ingat, ini Hari Kartini.

Saat mengisi minyak di SPBU, dua perempuan dalam pakaian adat Aceh menyapa para pelanggan. Pemandangan tak biasa, membuat saya bertanya. “Kami diutus ke sini oleh pertamina, bagian dari peringatan Hari Kartini.”

Kenapa Kartini? Alasan itulah kemudian saya menulis ini. Bahwa perempuan asal Jepara itu, telah menjadi ikon kebangkitan perempuan Indonesia. Perempuan yang dianggap telah berhasil mengangkat citra wanita Indonesia melalui pendidikan, melawan adat istiadat di masyarakat Jawa yang tidak memihak kaumnya.

Ada iri dalam benak perempuan dan warga Aceh umumnya, kenapa tidak salah satu perempuan Aceh yang menjadi ikon perubahan perempuan di Indonesia, kebangkitan perempuan Indonesia dan lainnya. Padahal perempuan Aceh lebih lama muncul dari Kartini yang lahir pada 21 April 1879.

Misalnya, jauh sebelum Kartini lahir, Aceh telah dipimpim oleh empat ratu berturut-turut, dari tahun 1641 - 1699, setelah Iskandar Muda meninggal. Ada Tajul Alam Safiatuddin Syah, Nur Alam Nakiatuddin Syah, Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Kumala Syah.

Tak hanya di Aceh, dalam sejarah Nusantara sebelum ratu Aceh memimpin Negara, banyak ratu yang memimpin kerajaan dulunya di Jawa sana. Ada Ratu Sima misalnya, memimpin Kerajaan Kaling pada tahun 618. Kemudian ada Pramodawardhani pada 842 yang diangkat menjadi Ratu Dinasti Syailendra.

Lalu ada Tribuana Tungga Dewi yang memimpin Majapahit era 1328-1350. Saat itu Majapahit sedang bergejolak setelah Raja Hayam Wuruk mangkat. Di masa itulah, Gajah Mada terkenal sebagai patih kerajaan. Banyak lagi dan banyak lagi.

Lalu kenapa Kartini?
Dia hidup pada saat yang tepat untuk dianggap pendobrak, saat Jawa dikuasai Belanda dengan segala stuktur pemerintahan dikuasai oleh para lelaki pribumi, dari wedana sampai para demang. Pada saat penindasan terhadap perempuan dan hak-hak perempuan diabaikan.

Kartini dengan semangat ratu-ratu nusantara, Kartini yang ningrat banyak membaca dan lihai menulis. Karenanya kemudian dia menulis dan mengirim surat ke Eropa sana, menggugah para perempuannya, yang lebih maju dari Jawa dan nusantara umumnya.

Surat-suratnya sebagian masih tersimpan rapi dan menjadi dasar penilaian para kaum bahwa Karrtini telah berhasil membangkitkan semangat perempuan Jawa yang tertindas. Mendobrak tradisi wanita di bawah pria. Membalikan teori Aristoteles yang menyebut, perempuan adalah pria yang tak lengkap. Filsuf Yunani Kuno itu menilai, secara fisik dan psikologis, perempuan lemah, emosional, dan tak mandiri.

Kartini yang beruntung karena sempat mengecap pendidikan tatkala sebagian besar kaumnya hanya dianggap pelengkap kebutuhan lelaki. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer “Panggil Aku Kartini Sadja” (Djakarta, 1962) banyak mengutip perkataan Kartini sesuai suratnya.

Beginilah salah satu tulisan Kartini; ‘Duh, sekarang aku mengerti, mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang Jawa terpelajar, dia tidak akan jadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi. (Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 12 Januari 1900)’

Begitulah Kartini, yang tidak memiliki kekuatan maskulin kemudian mendobrak adat lewat tulisannya. Ingat, perempuan Jawa saat itu sedang dalam tekanan.

Pramoedya pula yang mengingatkan kita semua bawa tanpa menulis seseorang akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis membel kaumnya adalah kunci Kartini kala itu, sampai kemudian dikenang dan diperingati saban hari kelahirannya.

Saat Kartini sedang menulis, di Aceh, Cut Nyak Dhien maju ke medan perang melawan kolonial Belanda. Cut Nyak Dhien tak menulis dan tak perlu menulis soal tekanan terhadap kaumnya. Karena tak ada adat-istiadat yang merendahkan kaum perempuan di Aceh. Semua semua setara, bahkan dalam perang.

Kala Kartini menulis tentang hak-hak perempuan di Jawa yang diabaikan. Di Aceh, para telah lama memimpin, para pejuang perempuan telah lama ikut perang. Tak ada perilaku merendahkan perempuan di Aceh, yang membuat perempuannya harus bangkit dan beremansipasi.

Perempuan Aceh sejak lama tak perlu berjuang untuk bangkit, karena tak pernah duduk. Selalu berdiri sejajar dengan kaum lelaki. Bersama berjuang, membangun dan memimpin negeri. Tak ada perbedaan, apapun.

Ingat, Kartini adalah simbol kebangkitan perempuan Indonesia. Sementara di Aceh, perempuan tak perlu simbol itu, karena perempuan di sini sejak lama tak pernah tidur, artinya tak perlu bangkit. Itu juga yang membuat saya, yang tinggal di Aceh, lupa bahwa ini Hari Kartini. Semoga ini dapat menjawab, sebuah pertanyaan dari kawan saya… kenapa Kartini? []

21 April 2011 |www.atjehpost.com

Wartawan Aceh, Ayo Melawan

Adi Warsidi

“Informasi yang ditutup-tutupi justru membuka peluang pelanggaran.” (Muharram M Nur, 2003)

Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, (Alm) Muharram M Nur mengeluarkan komentar itu saat pengekangan terhadap pers dalam mengakses informasi publik banyak terjadi kala itu. Konflik masih mendera Aceh, di mana pekerja media bergelut dengan tekanan kiri-kanan.


Damai lima tahun lebih yang lalu, belum banyak membawa perubahan terhadap kebebasan pers di Aceh, kendati intensitas ancaman dan intimidasi berkurang. Pelaku masih pada status yang sama, para penguasa atau orang-orang yang merasa berkuasa.

Modus operandi memang beubah. Misalnya dulu wartawan dilarang keras meliput kegiatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perang melawan republik. Pemerintah menilai, peliputan terhadap gerakan akan membuat mereka besar dan kemudian menarik simpati negara luar untuk melihat, bersimpati dan bahkan membantu atau merencanakan sebuah inisiasi perdamaian.

Wartawan tak berhenti, mengambil risiko memberitakan mereka. Ada yang kemudian menjadi korban semisal meninggalnya Ersa Siregar, Wartawan RCTI dalam sebuah kontak senjata di Peureulak, 29 Desember 2003. Dia sebelumnya diculik oleh gerakan bersama kameramennya, Ferry Santoro, yang kemudian dibebaskan pada 16 Mei 2004.

Disadari atau tidak, wartawan ikut membesarkan gerakan sampai kemudian damai yang disambut sukacita. Wartawan tak beubah status, tetap. Tapi kombatan menjelma lebih hebat. Tokoh-tokohnya disegani oleh masyarakat dan sebagian menjadi pemimpin dan sebagian lagi menabalkan dirinya sebagai orang kaya dan penguasa.

Sekarang, batasan tak lagi pada mendukung gerakan atau NKRI. Ancaman dimunculkan tak lagi oleh GAM atau aparat keamanan, tetapi lebih oleh mereka yang merasa tak nyaman karena bersalah pada amanat rakyat. Bisa koruptor, kontraktor nakal atau bahkan siapa saja yang telah berbuat salah.

Miris, sebuah kejadian baru-baru ini di Pidie. Seorang wartawan dipukul oleh oknum anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Sagoe Padang Tiji, Pidie. Sebuah komite yang dibentuk oleh mantan gerilyawan yang dulu dibesarkan media.

Saya tak menuding KPA sebagai sebuah intitusi, tapi perilaku tak bermoral yang diperankan satu anggotanya, sedikit mencoreng gerakan yang dulunya didukung sebagian besar rakyat. Memukul pekerja pers adalah tindakan intimidasi dan kriminal yang tak patut, apapun alasannya.

Puluhan wartawan di Aceh kemudian melancarkan kecaman terhadap oknum KPA itu. Ke polisi kasus dilapor, sambil berdoa hukuman setimpal bagi pemukul yang tak beradab. “Ini adalah aksi tak beradab, mereka yang dulu ikut kita besarkan dan kemudian merasa berkuasa, kemudian menindas kita, sungguh biadab,” kata seorang wartawan di Aceh dalam orasinya, saat aksi Mayday, 1 Mei lalu.

Lakon premaninisme masih saja berlaku di ranah serambi. Wartawan yang harusnya tak punya lawan, dibenci para pendosa saat menulis suara rakyat. Mereka yang ketakutan pada ketidak-becusan memimpin, mereka yang terindikasi korupsi, mereka yang menyalah-gunakan wewenang dan yang tak becus dalam mengerjakan proyek misalnya, akan selalu was-was terhadap insan pers.

Hukum harus ditegakan. Pada akhirnya polisi yang penegak hukum haruslah bekerja pada format yang menjadi wewenangnya. Itu yang kemudian diharapkan wartawan di Aceh dalam membela rekannya, agar si pemukul segera ditindak dan diberi hukuman setimpal. Agar polisi juga tak memukul lagi wartawan untuk kedua kalinya.

Saya masih teringat pada kata (Alm) Muharram kepada saya, awal 2004 silam. “Mereka (pemerintah) punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja.”

Komentar disampaikan sebagai tanggapan terhadap penekanan pers di masa Darurat Militer Aceh. saat itu, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) membatasi gerak wartawan dengan Maklumat Nomor 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.

Saat ini tak ada lagi pengekangan yang terang-terangan dan darurat pun tak berlaku lagi. Saya ingin menyampaikan kepada rekan untuk bersatu padu memberikan keadilan kepada kawan sendiri yang ditindas dan kemudian keluar dari segala macam penekanan.

Kebebasan itu kadang harus kita perjuangkan sendiri, bukan dengan meminta. Lawan penindasan, karena kita punya hukum. Kalau kita diam atau bertengkar pendapat dengan sesame, mereka akan memukul lagi, terus dan tak berhenti. []

Mei 2011 | www.atjehpost.com

Monday, January 10, 2011

Desa Penjaga Rumoh Aceh

Oleh : Adi Warsidi

Rumah adat Aceh kian sulit ditemui pada kampung-kampung di Bumi Serambi. Keberadaannya kian terusik. Tapi satu desa di Aceh Besar, punya kearifan lokal, menjaga adat Rumoh Aceh.


Rumah panggung itu kokoh. Ukiran kayunya menarik dengan atap daun rumbia. Tiang-tiang sebesar batang kelapa menjadi penyangga, menyisakan ruang setinggi dua meter di bawahnya, yang telah dimodifikasi multiguna.

Memang tak ada lagi jingki (alat penumbuk padi), sebagai bagian tak terpisahkan dari Rumoh Aceh yang kerap menghiasi bagian bawahnya, tempo dulu. Gantinya, ada dua set kursi untuk tamu dipajang di bawah dengan lantai yang telah disemen, tak lagi tanah. Rapi tertata, tanpa cela.

Halamannya luas, berhias bunga-bunga. Kontras dengan rumah yang bercat coklat. Itulah rumah almarhum Cek Mat Rahmani, tokoh desa setempat yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk beberapa negara di timur tengah, era 1970-an. Desa itu bernama Lubuk Sukun, terletak di pinggiran Krueng Aceh dalam Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Kini rumah itu dijaga dan dirawat baik oleh anak dan cucunya. Naik ke rumah panggung itu, rapi tertata perabotan. Ada serambi depan, tengah dan belakang. Pada bagian depan, foto-foto almarhum terpajang, ada juga dalam baju tentara. “Pangkat terakhirnya Letnan Kolonel sebelum menjadi duta besar,” sebut Kepala Desa setempat, Fauzi Yunus kepada saya, awal Maret lalu. Kami didampingi seorang cucu Cek Mat, keliling rumah.

Pada bagian belakang Rumoh Aceh itu, ada rumah tambahan yang berlantai rendah, seperti lazimnya rumah kini. Menempel pada bangunan utama, berfungsi sebagai dapur dan beberapa kamar tidur.

Fauzi bercerita. Cek Mat Rahmani adalah pelopor menjaga kearifan lokal di sana. Rumoh-rumoh Aceh banyak yang masih tegak di Kemukiman Lubuk yang terdiri dari lima desa; Lubuk Sukun, Lubuk Gapoy, Dham Pulo, Dham Ceukuk dan Pasi Lubuk.

Cek Mat Rahmani sendiri seperjuangan dengan Daud Beureueh, ulama besar dan mantan gubernur Aceh yang pernah memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1953. Cek Mat juga pernah memimpin desa itu pada kurun 1941 – 1943, masa pendudukan Jepang.

Amanah menjaga tradisi Rumoh Aceh kental di Lubuk. Awalnya, kata Fauzi, model rumah panggung adalah sebuah pilihan, maklum wilayah itu rawan banjir. Nama daerah itu awalnya Lubok, yang artinya wilayah yang rendah. Kemudian nama itu disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, jadilah Lubuk.

Kerap banjir, karena lokasinya bersisian dengan Krueng Aceh yang saban tahun mengirimkan bencana. ‘Kalau banjir, air mengenani sampai satu meter. Dengan rumah Aceh, semuanya aman,” ujar Fauzi.

Tapi itu cerita dulu, sebelum proyek Krueng Aceh dikerjakan pada tahun 1990, dalam masa gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Proyek itu melebarkan sungai dan membagi alur, satu bermuara ke Lampulo, Banda Aceh dan satunya lagi ke Alue Naga. Manfaatnya untuk meminimalkan banjir, bahkan di Kota Banda Aceh. “Setelah itu, wilayah Lubuk aman, tidak air meluap dari sungai.”

Perlahan, warga mulai berani membangun rumah rendah. Tapi umumnya tak merusak rumah lama, hanya menambah di bagian belakang atau samping. Mereka komitmen menjaga tradisi dulu, merawat Rumoh Aceh.

Semangat menjaga kearifan lokal, kata Fauzi, juga karena dorongan para tokoh besar yang berasal dari sana. Cek Mat Rahmani misalnya, semasa tinggal di Jakarta dan luar negeri, kerap meluangkan waktu menjenguk tanah lahirnya. Selalu dia berpesan, jaga rumah dan budaya.

Amanah juga disampaikan oleh A. Muzakkir Walad, Gubernur Aceh pada kurun 1967 – 1978. Pejabat itu juga berasal dari desa Lubuk Sukun. Sampai sekarang rumahnya yang khas Aceh masih dirawat anak cucunya.

Keuchik desa itu dan warga di sana masih ingat pesan Muzakkir Walad, semasa hidupnya, yang kemudian turun-temurun diceritakan ke generasi selanjutnya. “Himbauannya begini, kalau bisa dipelihara Rumoh Aceh di tempat kita,” kata Fauzi menirukan.

Bahkan, semasa menjadi gubernur Muzakkir Walad selalu saban Minggu pulang ke desa itu, memberi semangat kepada warga menjaga rumah dan kebersihan desa. Hasilnya, Desa Lubuk Sukun pernah berjuluk kampung teladan se-Provinsi Aceh pada tahun 1971 dan 1974.

Semangat menjaga rumah, juga diakui oleh Nurmala, 59 tahun, warga setempat. Menurutnya, hingga kini dia masih merawat Rumoh Aceh peninggalan orang tuanya. “Awalnya memang karena kebutuhan, karena daerah kami sering banjir, tapi kemudian sudah sayang kalau dirusak dan kami memeliharanya.”

Nurmala mengatakan, menjaga Rumoh Aceh juga menjaga budaya sekaligus warisan orang tua. Karena itu pula, saat dia membangun rumah permanen untuk keluarganya, Rumoh Aceh peninggalan ayahnya tak dirusak. Rumah rendah gaya sekarang, dibangunnya di sisi rumah panggung itu.

Ada juga warga yang membangun baru Rumoh Aceh, seperti yang dilakukan oleh tokoh desa setempat, Syamaun, 58 tahun. Dia membangun kembali Rumoh Aceh dengan membeli perangkat rumah itu dari tempat lain. Jadilah rumah baru layaknya rumah masa lalu. Bagian belakang ditambah dengan rumah rendah.

Syamaun mengatakan, warga di desanya punya kekerabatan sosial yang tetap terjaga. Banyak orang hebat dari sana. Ibaratnya, yang belum ada adalah presiden yang berasal dari sana, lainnya sudah, dari pengawai negeri biasa sampai gubernur dan duta besar. “Mereka tetap memperhatikan desa, kendati tidak tinggal di desa,” ujarnya.

Tak Rumoh Aceh saja, kearifan lokal yang berlaku di sana. Desa itu masih kental dengan kegiatan adatnya yang lain, semisal pengajian, dalail khairat, khanduri blang, khanduri babah jurong, khanduri maulid, musyawarah desa sampai kepada gotong-royong saban minggu. “Ibaratnya, di sini kami besar dalam gotong-royong,” ujar Syamaun bertamsil.

Karenanya, desa selalu bersih terjaga. Bahkan tak ada kotoron ternak yang terlihat di jalan. Ada aturan yang tak terlulis soal ini. Bila ditemukan kotoron lembu, kata Syamuan, maka binatang peliharaan itu akan ditangkap warga dan dipajang di balai desa. Sampai kemudian, pemiliknya mengambil dengan perjanjian akan menjaga, tak lagi melepasnya sembarangan.

Dari data desa, total luas Lubuk Sukun 98 hektar. Sebesar 12,8 hektar di antaranya dipakai sebagai pemukiman warga. Lebihnya adalah area pinggir Krueng Aceh, lahan pertanian, perkebunan dan tanah kosong.

Jumlah penduduk di sana sekitar 778 jiwa dengan 194 kepala keluarga. Setengah dari angkatan kerja di sana berprofesi sebagai pegawai negeri, selebihnya pedagang dan petani.

Wilayah Lubuk masih khas dengan nuansa ke-Acehan, menjenguknya adalah melihat Aceh dalam bingkai silam. Syamaun ingin kondisi tersebut tetap terjaga sepanjang zaman. Dia berharap pemerintah Aceh memperhatikan keberadaan tersebut. Katanya, akan sangat bagus jika ada program menjadikan Kemukiman Lubuk sebagai cagar budaya. “Kalau ada wisatawan yang ingin berkunjung ke Aceh dan ingin melihat rumoh-rumoh Aceh, Lubuk bisa menjadi referensi,” ujarnya.

Menurutnya tanpa perhatian serius dari masyarakat Aceh umumnya, suatu saat nanti para generasi akan semakin lupa bagaimana sebenarnya Rumah Adat Aceh. Sehingga dikhawatirkan Aceh akan kehilangan budayanya, rumahnya yang telah diwariskan para indatu sejak lama.

Saat ini, warga Lubuk Sukun masih menjadi penjaga tradisi Rumoh Aceh bersama kearifan lokal lainnya. Masih ada ruang luas di bawah rumah tempat anak-anak bermain, masih ada serambi depan, tengah dan belakang. Paling penting, masih ada warisan budaya dan cerita nyata bagi anak cucu. ***

Saturday, January 8, 2011

Wartawan - wartawan (Renungan Perdamaian)

Oleh : Adi Warsidi

Selalu saja saat ulang tahun perdamaian, saya teringat Kak Nur, seorang warga Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Ada satu pertanyaannya yang masih mengiang di pikiran saya, tentang sebuah keraguan, pemahaman warga dan tentang sebuah kebebasan kerja para kuli tinta yang tercatat dulunya hingga kini.


Suatu pagi, 13 Desembar 2004 silam. Saya baru saja kembali dari Tapak Tuan, Aceh Selatan, untuk meliput pengungsi konflik di Lhok Bengkuang. Menumpang mobil L-300 tujuan Banda Aceh, mobil singgah sebentar ke Samadua, mengambil penumpang di Desa Meunasah Dalam.

Penumpang itu Kak Nur yang naik bersama seorang anaknya. Ada yang ganjil di rumahnya, pada dinding sisi pintu ada tulisan merah sebuah nama, lalu di atasnya bertulis “GAM“. Hanya tulisan, bukan tanda silang seperti yang kerap dijumpai di Aceh Besar atau Aceh Utara kala itu. Sebagai penanda rumah yang salah seorang anggota keluarganya gerilyawan.

Mungkin itu pula yang menyebabkan Kak Nur selalu bisu dan menundukkan wajahnya di dalam mobil, merasa malu dengan seisi mobil yang sempat memelototi tulisan merah. Dia duduk di depan saya. Sampai di Blang Pidie, mobil berhenti di warung nasi, memberi kesempatan kepada penumpang rehat.

Kak Nur tidak turun di warung itu. Sepertinya dia membawa bekal. Bersama anaknya, dia menyantap makan siang di dalam mobil tak ber-AC itu. Saya coba jurus wartawan, ramah-tamah mengorek keterangan. Saat bertanya tentang tanda merah di rumahnya, Kak Nur dengan penuh kecurigaan balik bertanya. ”Adik anggota, ya?”

Anggota merujuk pada sebutan untuk personel militer atau polisi. ”Wartawan, Kak, dari Banda Aceh,” ujar saya. Kak Nur masih menatap curiga. Sejurus kemudia dia berujar, ”Wartawan TNI atau wartawan GAM?”

Lemas saya mendapat tanya seperti itu, sulit dijawab. Pilihannya hanya dua. Lalu saya coba jelaskan sebatas kemampuan saya dan apa tugas wartawan. Dia masih terlihat membantah, dia yakini bahwa wartawan TNI/Polri dan wartawan GAM itu ada. Saya tak ingin berdebat, karena ragu untuk tidak setuju dengannya.

Tak lama kemudian, Kak Nur bercerita tentang kisahnya. Dari situ saya tahu, betapa dia tak mudah lagi percaya sama orang-orang asing yang belum dikenalnya. Bertapa dia selalu curiga pada sekitar, bertapa mentalnya ditempa setiap saat dengan tanya-tanya dan mungkin interogasi dan diawasi oleh dua pihak bertikai.

Curiga tak hanya Kak Nur, tapi juga para penguasa kala itu. Kecurigaan membuat ruang gerak dibatasi, sampai maklumat dikeluarkan. Misalnya masa Darurat Militer, gerak wartawan dibatasi dengan Maklumat Penguasa Darurat Militer (PDMD) No 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.

Membatasi ruang gerak, juga dilakukan dengan mengidentifikasi wartawan melalui kartu pers Merah Putih, keluaran media center PDMD. Pengekangan kembali dilanjutkan pada masa dararut sipil, dengan Maklumat Penguasa Darurat Sipil daerah (PDSD) No. 4 tahun 2004, yang mengatur tatacara jurnalis dalam meliput konflik di Aceh.

Bahkan PDSD juga pernah mengeluarkan himbauan untuk media di Aceh, agar menyiarkan iklan keberhasilan PDSD di medianya, pada 1 september 2004. Menurut PDSD, hal itu mempunyai dasar yang kuat, UU No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan Keppres No 43 Tahun 2004, tentang penerapan status darurat sipil. Puncaknya, ketika PDSD juga mengeluarkan Maklumat khusus, melarang wartawan untuk meliput semua kegiatan GAM menjelang Milad GAM, 4 Desember 2004 lalu.

Saya ingat apa kata (Alm) Muharram M. Nur, Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Banda Aceh, kala itu. “Mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja.”

Tercatat, beberapa kasus penekanan terhadap pers juga dilakukan oleh GAM. Beberapa mobil sirkulasi milik media ini ikut dibakar, sebagai tuntutan GAM terhadap pemberitaan yang dianggap tak seimbang. Masih ada kasus penculikan Ersa Siregar serta Ferry Santoro di Aceh Timur. Kasus ini menjadi puncak terburuk perlakuan terhadap insan pers di Aceh, dalam masa konflik. Ersa kemudian meninggal dalam sebuah kontak senjata, 29 Desember 2003, di Peureulak, Aceh Timur. Sementara Ferry dibebaskan GAM pada 16 Mei 2004.

Masa konflik, ruang wartawan memang sulit, hampir tak punya pilihan bebas meliput sepuas-sepuasnya. Kendati semu, label wartawan yang kerap tersebut tak banyak, hanya wartawan TNI/Polri atau wartawan GAM. Jarang terdengar wartawan bodrex, wartawan peresmian atau wartawan pejabat.

Usai tsunami melanda Aceh, kendati belum damai, wartawan sedikit mendapat ruang bahkan pujian. Melalui liputan, para wartawan telah mampu menggalang munculnya solidaritas masyarakat dunia. Bayangkan bila pers tak hadir di Aceh saat itu, penguasa darurat sipil di Aceh ataupun aparat militer tak memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dunia dengan dasyat seperti itu. “Barangkali ini adalah pelajaran mahal yang jangan diulang, menghalangi pers bekerja secara independen dan bekerja mengandalkan nurani,” tulis Stanley, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam sebuah artikelnya.

Damai membuka lagi sedikit gerak bebas wartawan dalam melakukan aktivitasnya. Sesaat pers bebas mondar mandir, menuliskan apa saja yang terekam, tanpa ragu lagi menyebut nama GAM dan petingginya. Bahkan, beberapa petinggi GAM di lapangan, mengundang wartawan ke markasnya.

Jaminan kebebasan disampaikan ketua Tim Misi Pemantau Keamanan (AMM) yang membuka akses lebih jauh terhadap keberadaan para jurnalis. “Kita akan membuka informasi kepada semua kawan-kawan pers,” Pieter Feith, Ketua Tim AMM dalam konferensi pers pertamanya di Media Center Infokom NAD, Banda Aceh, 15 Agustus 2005. Puncaknya, ketika amnesty untuk GAM diumumkan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Agustus lalu. Semua pihak, TNI/Polri dan GAM memberikan sinyal itu.

Seakan setelah damai, aktivitas pers tidak ada gangguan lagi. Tapi bebas bukan berarti tiada cela, masih ada kecurigaan yang membayangi kerja jurnalis. Masih ada intelijen aparat keamanan yang menyamar sebagai wartawan. Masih ada curiga di kalangan pejabat pemerintahan, lalu masih ada kekang, yang mungkin lebih ringan dalam menjalankan tugas dibandingkan masa konflik. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, masih ada puluhan kasus ancaman bunuh sampai pemukulan dari masa damai hingga sekarang.

Terakhir yang mungkin masih teringat jelas adalah kasus pemukulan wartawan oleh oknum TNI di Simeulu, 21 Mei lalu. Kasus ini mendapat penanganan serius dari organisasi wartawan dan juga pihak TNI. Ada dua hal menarik dalam kasus ini, pertama masih belum bebasnya wartawan dalam menjalanankan tugasnya di Aceh.

Kedua, saya teringat sebuah pertemuan wartawan di Haba Cafe beberapa Minggu setelah kasus itu. Pertemuan itu rencananya akan membahas rencana aksi yang akan dilakukan oleh wartawan di Banda Aceh, untuk menuntut keadilan terhadap rekannya. Tapi acara bubar sebelum gagasan disampaikan. Penyebabnya ada tiga wartawan yang dianggap intel oleh kawan-kawan, menyusup dalam pertemuan.

Satu lagi saat wartawan di Aceh meliput sakitnya (alm) ‘Wali Nanggroe’ Tgk Hasan Tiro di RSUZA. Ramai wartawan yang menunggu di sana, berbagi ruang dengan para mantan kombatan. Beberapa wartawan mendengar satu hal yang sangat melecehkan profesi, seorang yang diduga mantan kombatan berujar (kira-kira begini), “wartawan dari masa perang sampai sekarang, selalu mencari uang atas tubuh orang-orang GAM.” Banyak kawan tak mau panjangkan masalah, memilih pergi menjauh, Wali sedang sakit.

Setelah lima tahun damai, saya kembali teringat tanya Kak Nur, ”Wartawan TNI atau wartawan GAM?” Mungkin kalau Kak Nur membaca, saya sudah siratkan jawaban saya. [ ]

Serambi Indonesia 19-08-10