Monday, November 24, 2008

Rumah Baru Nek Ainsyah


Kurang dari empat tahun yang melelahkan di tenda dan rumah darurat, terbayar sudah. Nek Aisyah kini menikmati rumah baru di komplek yang nyaman.

Umurnya setengah abad lebih, 55 tahun. Ramah dia menyambut tamu-tamu yang datang melihat rumahnya, pada sebuah komplek perumahan di Desa Mukhan, Lamno, Aceh Jaya.


Hari itu, 6 November 2008, komplek tersebut kedatangan banyak tamu. Donatur yang membantu rumah bagi korban tsunami di sana datang untuk peresmian. Komplek lengkap sarana dan prasaranannya dibangun oleh Pemerintah Saudi Arabia melalui The Saudi Charity Campaign (SCC). Duta Besar negara itu, Mr Abdulrahman Alkhayyat, hadir langsung.

Nek Ainsyah tak ikut prosesi acara yang dipusatkan pada masjid komplek. Dia hanya memandang dari jarak sekitar 40 meter di teras rumahnya. “Saya senang mendapat rumah bantuan ini,” ujarnya kepada Independen.

Dia berkisah. Saat tsunami melanda pada akhir Desember 2004 silam, dia bersama anak perempuannya sedang berada di pasar Lamno. Air tak menyentuh pusat pasar, Ainsyah selamat. Tapi suami dan satu anak lelakinya menjadi korban tsunami. Desa Rukhan tinggal puing-puing.

Ainsyah mengungsi dari satu tenda ke tenda lain. Kemudian pada akhir 2006, dia kembali ke desa bersama warga lainnya. Tak lama kemudian, sebuah shelter alias rumah darurat menjadi tempatnya bermalam bersama keluarga.

Pemerintah Arab Saudi membangun rumah di sana, akhir 2007 silam. “Kami mulai tinggal di sini sejak ramadhan lalu (September 2008),” ujar Nek Ainsyah.

Menurutnya, rumah bantuan terebut bahkan lebih bagus dari rumahnya dulu. Rumah permanen bertype 45 itu, terdiri dari tiga kamar plus kamar mandi dan dapur. “Rumah saya dulu hanya semi permanen dan sangat sederhana.”

Rumah bantuan itu unik. Dibangun tak berpisah-pisah, tapi disatukan dalam sebuah komplek. Jadilah di sana perumahan dengan kapasitas 167 unit rumah. “Rumah-rumah yang dibangun Arab Saudi bukanlah rumah-rumah yang terpisah, tetapi rumah yang dibangun dalam satu komplek dilengkapi dengan sarana dan prasarananya,” sebut Direktur SCC Aceh, Najmi Al-Nahdi.

Dia menyebutkan, total rumah yang dibangun Arab Saudi untuk korban tsunami Aceh sekitar 1.500 unit dengan biaya sekitar U$ 9,9 juta. Semua rumah bantuan rencana akan diselesaikan sampai akhir tahun ini. *** [adi warsidi]

Kisah Usang Rompak Tanggung

Rep; Adi Warsidi dan Jamaluddin

Seratusan kapal nelayan mangkal di Lampulo, Banda Aceh, Jumat pagi pada penghujung Oktober lalu. Beberapa nelayan mempersiapkan keperluan, jaring, pancing sampai persediaan air bersih selama melaut.

Sudah tradisi para nelayan Aceh, Jumat adalah hari cuti. Aturan itu masuk dalam amaran Panglima Laot, sebagai organisasi tertinggi yang mengatur nelayan. Mereka patuh pada larangan yang telah telah ada semenjak Aceh dipimpin sultan-sultan. Tiada heran, segala aktivitas di laut berhenti dan semua merapat ke dermaga.


Tak terkecuali Syukur, 36 tahun, nelayan berpengalaman yang kerap melanglang buana di samudera. Saat ACEHKINI menyapa ke sana, dia sedang santai dengan dua kawannya, dalam sebuah kapal ukuran sedang, sepanjang 10 meter.

Bercelana jeans tanpa baju, dia dan rekannya akan mempersiapkan keperluan melaut, keesokan harinya. “Besok, Sabtu kami akan ke laut lagi,” ujarnya.

Pengakuannya, ikan hiu adalah target utama nelayan. Siripnya bernilai jual tinggi. Menangkap satu hiu akan mendapatkan delapan hingga sepuluh kilogram siripnya. Satu kilogramnya dihargai sekitar Rp500 ribu. “Bayangkan jika dalam sekali berlayar bisa mendapatkan 50 ekor hiu,” kata Syukur.

Karena itu juga, sejumlah nelayan Aceh lebih memilih memburu hiu ketimbang ikan-ikan lain. Persoalannya, di perairan Indonesia, jumlah hiu sangat sedikit. Sebagian nekat memburu sampai ke perairan negara tetangga, seperti Myanmar, India dan Thailand

Ada dua jenis hiu yang sering didapatkan nelayan di wilayah negara lain; Hiu Beton dan Hiu Nawan. Hiu Beton warnanya agak putih dan harga siripnya mahal, sementara Hiu Nawan warnanya agak hitam dan siripnya sedikit lebih murah. “Bila dibandingkan dengan perairan Indonesia, di perairan Myanmar lebih banyak hiunya, kadang sekali pulang bisa mendapatkan uang dari dua puluh lima juta sampai empat puluh juta. Makanya kami nekat ke sana,” kata Syukur.

Hal ini juga yang membuat Syukur pernah terjerat, ditangkap oleh polisi laut Negeri Bollywood. Kendati tak ditahan, dia takut dan trauma. Jera membuatnya berhati-hati bila melaut, menjaga agar tak melanggar batas negara. Pengakuannya, usai tsunami Desember 2004 lalu, dia hanya memburu hiu dan ikan-ikan lain di perairan Indonesia. “Dipenjara di negara sendiri aja nggak tahan, apalagi di negara orang.”

Syukur telah mulai memburu hiu sejak 1997. Trauma itu datang lima tahun lalu. Pada hari naas itu, dia bersama empat kawannya berangkat siang hari dari Lampulo. Esok siangnya, mereka sudah mengintip hiu di perairan India.

Belum sempat menebar pancing, dari kejauhan mereka melihat titik putih terapung. “Kami pikir busa yang dibawa air, ternyata makin lama keliatannya makin besar, rupanya kapal patroli India,” sebutnya mengumbar senyum.

Spontan, mereka balik arah. Kapal dipacu maksimal, namun kalah dengan laju kapal patroli. Mereka ditangkap dan diangkut ke kapal polisi India. “Tangan kami diikat ke belakang, tapi kami tidak dipukul.”

Mereka ditahan di dalam kapal. Menjelang dini hari, mereka dibangunkan oleh pasukan patroli India. Di dekat kapal itu, sebuah kapal lain nangkring. Gelap masih membuat pandangan mereka kabur untuk tahu identitas kapal yang baru tiba.

“Kami disuruh ke kapal yang berhenti itu, mulanya saya menolak dan minta dilepaskan saja, karena kita curiga pasti masuk penjara,” kisah Syukur.

Dia lalu coba bertanya dengan bahasa Inggrisnya yang patah-patah bercampur isyarat. “Indo, Andaman?” Lalu mereka menjawab, “no... no.... no, indo go.”

Syukur ketakutan, berpikir mereka akan dibawa ke India. Awak patroli terus mendesak agar mereka meninggalkan kapal, mereka lalu berpindah tempat. Syukur terkejut dan merasa beruntung, kapal yang menunggu itu berbendera Indonesia.

“Rupanya kapal Angkatan Laut dari Sabang, kami lalu dibawa ke Sabang. Di sana saya dan kawan-kawan ditahan satu bulan untuk proses penyelidikan.”

Syukur mengakui, sebelum tsunami menghancurkan kapalnya, dalam satu bulan sebanyak tiga kali mencari hiu. Lokasinya sering di perairan India, Myanmar dan Thailand.

Pernah juga suatu hari pada medio 2004 dia hampir tertangkap lagi. “Tanpa sadar kami sudah memasuki 100 mil ke perairan India.”

Tapi kemudian, dia berhasil mengelabui patroli dengan mengganti bendera kapal yang sudah disiapkan sejak semula. Dia lolos. “Sekarang hal itu sudah tidak mungkin lagi. Patroli laut negara lain sudah mengunakan kapal udara untuk mengawasi perairan mereka.”

“Kalau sudah ada kapal udara kita harus segera lari, karena tak lama kemudian pasti kapal patroli dari laut akan keliatan,” kenangnya. Memburu hiu memang menggiurkan, tapi trauma tertangkap lagi membuatnya berhenti mencari hiu di luar Indonesia.

***
Adli Abdullah, Sekretaris Panglima Laot Aceh, mengacungkan tangannya di depan forum Global Conference on Securing Rights of Small Scale Fisheries, yang diadakan di Bangkok, medio Oktober lalu. Dia hadir sebagai Anggota Badan Kehormatan International Collective Support of Fishworkers (ICSF) yang berpusat di Brussel, Belgia.

Menggebu dia bicara tentang nasib nelayan kecil di Aceh yang kadung dianggap rompak, saat tertangkap di perairan negara tetangga. “Bagaimana supaya diusahakan adanya perlindungan hukum bagi nelayan kecil di bagian negara manapun,” ujarnya di hadapan 323 peserta yang mewakili negara negara maju dan berkembang, organisasi nelayan dari seluruh dunia, serta Badan Badan Internasional lainnya yang menangani bidang perikanan.

Pertemuan tiga hari itu diprakarsai oleh UN FAO, South East Asia Fisheries Development (Seafdec) dan World Fish Center, Konferensi membahas pengakuan dan perlindungan terhadap hak nelayan kecil di seluruh dunia. “Perlindungan nelayan selama ini belum ada di Aceh,” kata Adli.

Menurutnya, soalan nelayan Aceh sering tidak muncul dalam pembicaraan tentang nelayan kecil di forum internasional. Pemerintah Indonesia sendiri lebih fokus kepada nelayan di wilayah timur,” ujarnya. Adli lebih banyak bicara Aceh di sana yang kerap bernasib sial di perairan India, Myanmar dan Thailand.

Hasilnya, konferensi merekomendasikan nelayan kecil dari belahan dunia manapun harus diberikan pengecualian, ada keringanan. Tak boleh disamakan dengan tahanan perang. “Setiap negara yang sering menghadapi permasalahan penangkapan nelayan kecil mengikuti ketentuan pasal 73 hukum laut Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCLOS) tahun 1981. Mereka dilindungi dan tidak mendapat hukuman seperti narapidana lainnya,” ujar Adli kepada ACEHKINI.

Menurut Adli, mengutip data dari World Fishers Forum People (WFFP) dan International Collective Support of Fishworkers (ICSF), sekarang terdapat 10 titik yang sering terjadi penahanan nelayan kecil pelintas batas oleh negara di dunia.

Nelayan yang sering tersandung masalah adalah nelayan asal Aceh di lautan India, nelayan Indonesia timur di Australia dan Papua Nugini, nelayan di Eriteria dan Yaman, nelayan di Senegal dan Mauritania, nelayan di Kenya dan Gabon serta Somalia, nelayan di India, Pakistan, Srilangka dan Bangladesh. Kemudian nelayan di Thailand, Malaysia dan Vietnam dan titik terakhir adalah nelayan di Cambodia, Chili dan Brazil.

Pada kesempatan sama, sebut Adli, Presiden World Fishers Forum People, Saseegh Jaffer menyerukan agar digagas perjanjian bilateral dan multilateral untuk melindungi nelayan nelayan kecil pelintas batas di dunia. “Nelayan kecil harus mendapat perlindungan dan lebih diutamakan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, karena mereka melaut bukan untuk memperkaya diri tetapi mencari sesuap nasi untuk memberi makan keluarga.”

Keputusan konferensi lainnya adalah, UN FAO mengagendakan lebih lanjut pertemuan para menteri perikanan dan maritim pada Maret 2009 di Roma, Italia. Itu khusus membahas tentang nelayan kecil yang melintasi batas negara.

Soal perjanjian bilateral tentang nelayan antar negara, Adli Abdullah menyebut, pihaknya terus memperjuangkan nasib nelayan Aceh. Sekterariat Panglima Laot juga telah meminta Pemerintah Aceh menginisiasi perjanjian bilateral antara Indonesia dengan India.

Perjanjian ini untuk melindungi nelayan kecil yang kerap terdampar di Kepulauan Andaman dan Nicobar yang berbatas langsung dengan Aceh. “Jika perjanjian ini terwujud, maka nelayan Aceh yang terdampar di Kepulauan Andaman dan Nicobar tidak dihukum lagi,” sebutnya.

Ide itu berawal dari Andi Ghalib, Duta Besar Indonesia untuk India yang pernah meminta kepada Adli, agar mengusahakan pemerintah daerah dapat mendorong pusat mengadakan perjanjian dengan India. “Pemerintah Aceh harus proaktif mendorong pemerintah pusat untuk membangun hubungan bilateral ini,” kata Andi Ghalib suatu ketika kepada Adli.

Menurutnya, hal itu sangat dimungkinkan, karena tidak ada sejarah konflik selama ini antara Aceh atau Indonesia dengan India. Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kelautan di India juga sudah memberikan sinyal membantu mendorong pemerintah mereka, untuk hubungan tersebut. “Kita punya banyak jaringan lembaga nelayan di India, kawan-kawan di sana sudah siap membantu. Tidak ada problem,” kata Adli.

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menyebut, memberi perhatian kepada nelayan dan usulan Panglima Laot itu telah diperjuangkan sejak akhir tahun lalu. Dalam kesempatan pertemuan dengan Kementrian Luar Negeri, Menteri Pertahanan dan gubernur se-Indonesia, kata Nazar, selalu disampaikan persoalan nelayan Aceh. “Kita minta bantuan pusat agar melobi pemerintah negara tetangga terkait masalah nelayan. Karena hubungan luar negeri adalah otoritas pusat,” ujarnya.

Harapannya, nelayan Aceh tertangkap di luar wilayah Indonesia tidak lagi dipenjara. Tapi bisa dipulangkan secepatnya ke Aceh. “Karena nelayan tidak sengaja terjebak batas negara, kadang dibawa angin dan arus. Kita terus upayakan lobi-lobi untuk hubungan bilateral terkait nelayan ini,” ujar Nazar.

***
Di India, Andi Ghalib juga terus mencari jalan. Dia banyak membantu nelayan Aceh yang terperangkap di sana. Salah satunya, ikut menfasilitasi ketika sepuluh nelayan Aceh dibebaskan India pada akhir Agustus 2008. “Kami juga diberi uang saku untuk beli baju, celana dan sepatu oleh Pak Andi. Jika tidak ada, maka dengan celana pendeklah kami pulang," sebut Fadhila Murpi, nelayan Aceh yang bebas kala itu.

“Ketika akan terbang ke Malaysia, Andi M Ghalib sengaja terbang dari New Delhi ke Chennal untuk menjamu kami di sebuah restoran.”

Mulyadi, 24 tahun, warga Kampong Jawa, salah seorang nelayan Aceh yang bebas bersama Fadila mengisahkan awal penangkapannya, 20 Agustus 2006 silam, saat memutuskan melaut mencari hiu.

Esok harinya, awak Boat Hakiki itu terus berputar-putar mengintip ikan, menebar jaring. Pulau Sabang, paling barat Indonesia sekilas tampak, lalu semakin jauh saja. Mulyadi, pawang (nakhoda) boat tak menyangka, itu adalah awal buruk baginya dan awak kapal. Mereka tak tau lagi arah sebenarnya, dengan hanya bermodal kompas.

Sekitar pukul 17.30 Wib, tiba-tiba sebuah kapal patroli milik polisi Port Blair, India, mendekat. Mulyadi dan anak buahnya; Suryadi, Adiyus, Supriadi dan Mul memacu boat untuk menjauh. Mereka kalah cepat dan tertangkap. Lalu tertuduhlah mereka sebagai rompak ikan di wilayah India, nelayan itu telah berada di sekitar Kepulauan Andaman.

Pasukan bersenjata mengiring mereka ke pulau, di dalam boat ada 18 ekor hiu. Mulyadi dan rekannya tak berkutik. “Saat ditangkap, kami tidak dipukuli, kami diperiksa dan mereka meminta pasport dan surat izin. Tapi kami tidak punya perlengkapan itu, sehingga kami ditangkap,” Mulyadi bercerita.

Tiga hari diperiksa di kantor Imigrasi Andaman, mereka dinyatakan bersalah. Ikan dan boat jadi barang bukti dan disita India. Enam bulan proses pengadilan, mereka kemudian divonis. Mulyadi sebagai komandan boat mendapat jatah dua tahun. “Empat kawan saya hanya dihukum satu tahun,” ujar Mulyadi yang bebas tepat 21 Agustus 2008.

Pengakuan Mulyadi, sampai saat ini belum memulai aktivitas sebagai nelayan kembali. “Saya masih trauma kalau mengingat bagaimana kami kehilangan arah di lautan. Ini harus menjadi pengalaman bagi kawan-kawan nelayan di Aceh dan Indonesia.”

Dia dan kawan-kawan, terus berharap sebuah perjanjian bilateral antar negara. Agar yang terjebak laut tak menjadi terpidana, dihukum penjara. ***

Majalah ACEHKINI, November 2008

Thursday, October 30, 2008

Mencari Pembubuh Nama

Puluhan tahun aku mencari, pembubuh namaku. Tapi tak bertemu. Bagi siapun pembaca, aku meminta, kalau bertemu, salam dari ku.

Aku mendengar cerita ini berulangkali dari kedua orang tuaku, Guru ‘kecil’ pada sebuah desa di pedalaman Peusangan, Kabupaten Bireuen. Ayahku dan ibu selalu mengatakan, bahwa ada seseorang yang namanya persis seperti namaku; Adi Warsidi.


Syahdan, 31 tahun yang lalu, seorang mahasiswa (tak tahu dari universitas mana) melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampungku. Dia berdua dengan seorang mahasiswa lainnya, belajar sambil membangun desa bersama warga.

Menjelang berakhir tugas, setelah 3 bulan di desa, aku lahir; 18 Mei 1977. Aku tak bernama hampir sebulan. Dua mahasiswa itu berkunjung ke tempat orang tuaku.

Entah siapa yang memulai ide, tetua desa berharap ada kenangan yang tinggal dari para mahasiswa tersebut sebelum meninggalkan desa. Mahasiswa itu lalu membubuhkan namnaya pada namaku, sama persis, Adi Warsidi.

Ini cerita ibu yang kupelihara sampai sekarang. Aku perkirakan, pemberi namaku itu saat ini berumur sekitar 55 tahun. Impianku bertemu dengannya.

Pernah suatu hari, saat aku SMA, guru kimia ku, Mustafa yang kerap disapa Pendekar alias pendek dan kekar, menyebut namaku pernah ditemuinya pada nama seorang dosen ilmu kimia saat mengikuti sebuah pelatihan tentang ilmu kimia di Pulau Jawa.

Kepada siapapun yang membaca, aku berharap, kabarkan ke saya di mana keberadaan pemberi namaku. Namanya persis sama; Adi Warsidi. [*]

Sunday, October 19, 2008

Mendesain Wali Nanggroe

By; Adi Warsidi

Kesibukan tampak jelas mendera para wakil rakyat Aceh, khususnya Pansus XI yang mendapat kebagian tugas; menyusun Qanun Wali Nanggroe. Tgk Muhammad Hasan Ditiro, mantan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah berada di Aceh, dia kembali, 11 Oktober 2008.

Mereka pun telah berembuk dengan pemerintahan Aceh, surat dilayangkan ke Komite Peralihan Aceh (KPA), meminta jadwal agar kesempatan bertemu Hasan Tiro terwujud. Semuanya demi menyempurnakan draft qanun yang akan disusun.


Pertemuan dengan orang tertinggi di tubuh GAM itu pernah dirancang sebulan lalu. Akhir September silam, Pansus XI yang diketuai Mukhlis Mukhtar baru saja kembali dari tiga negara, Swedia, Belanda dan Malaysia. Tujuannya, selain ingin bertemu Hasan Tiro, juga mencari literatur bagaimana seharusnya lembaga Wali Nanggroe di Aceh.

“Kami gagal bertemu Tgk Hasan Tiro saat itu, sekarang kami usahakan untuk dapat bertemu di Aceh,” kata Mukhlis Mukhtar pekan lalu.

Pertemuan dengan Hasan Tiro dianggap penting untuk berdikusi tentang bagaimana seharusnya lembaga yang menjadi amanah dari MoU Helsinki dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Belum lagi dasar keinginan dari petinggi GAM sendiri saat perundingan perdamaian putaran ketiga, 2005 lalu. “Dalam perundingan tersebut, secara lisan disepakati bahwa yang akan menduduki Wali Nanggroe pertama kali adalah Hasan Tiro,” kata Mukhlis.

Jelang kedatangan Hasan Tiro ke Aceh, Mukhlis mengaku belum mendapatkan jadwal pertemuan dengan tim pansus untuk membahas hal tersebut. “Kita telah meminta bantu kepada Pemda dan KPA sebagai panitia kedatangan Hasan Tiro. Jawaban pasti belum ada,” ujarnya.

Diakuinya, draft normatif qanun Wali Nanggroe hampir final. Tapi karena ingin pemyempurnaan yang lebih baik, DPRA tidak boleh lembaga lain untuk menyerap aspirasinya. Berbagai pertemuan telah digelar dan draft sendiri telah disempurnakan tujuh kali.

Persoalan utamnya adalah pada kewenangan lembaga tersebut. Di dalam UUPA pasal 96 disebutkan bahwa kewenangan lembaga wali nanggroe adalah sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Juga disebutkan, lembaga tersebut bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh.

GAM menganggap kewenangan itu terlalu kecil, sehingga harus banting tulang mencari referensi dan mencari jalan keluarnya. “Ada keinginan bahwa Wali Nanggroe harus lebih tinggi dari gubernur dan parlemen. “Kalau begitu bukan hanya melangar hukum, tapi juga MoU damai itu sendiri,” kata Mukhlis.

“Kita ingin cari jalan keluar, tapi sampai saat ini akses tertutup ke pemimpin tertinggi GAM (Hasan Tiro) itu,” sambungnya.

Sejauh ini, mereka terus berusaha merampungkan qanun Wali Nanggroe yang aspiratif. “Kami akan coba desain lembaga itu agar kuat, minimal setingkat gubernur.”

Qanun tersebut menjadi prioritas 2008 ini. Persoalan lain juga muncul, lembaga Wali Nanggroe tak ditemukan dalam literatur. Menariknya, istilah wali nanggroe hanya ditemukan di halaman 1271 kamus Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek (Kamus Aceh-Belanda) Jilid II. R.A Hoesein Djajadiningrat, penulis kamus keluaran tahun 1934, mengartikan wali nanggroe: bestuurder Van een land van een gebied (penguasa sebuah negeri). “Juga dicontohkan sama dengan istilah landvoogd atau gubernur jenderal,” jelas Mukhlis Mukhtar. Namun, namanya juga kamus. Tentu di sana tetap tidak ada paparan riwayat, kewenangan, struktur dan kedudukan wali nangroe yang dicari-cari tim Pansus.

Para legislator Aceh juga melaporkan bahwa mereka telah mewawancarai Prof. Dr. Teuku Iskandar di Leiden. Ahli sejarah dan kebudayaan Aceh ini mengaku pernah mendengar istilah wali nanggroe, tapi bagaimana kedudukan, fungsi dan wewenangnya tidak pernah dia temukan dalam literatur-literatur Belanda.

Istilah wali nanggroe hanya pernah ditemukan saat Belanda membentuk negara-negara federal (negara boneka) pada era revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Pimpinannya disebut ‘wali negara’, seperti wali negara Sumatera Timur, dr Tengku Mansur.

Malek Mahmud Al-Haytar, petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengatakan orang yang pantas menduduki jabatan Wali Nanggroe adalah Hasan Muhammad Tiro. “Untuk wewenang Wali Nanggroe kami masih tunggu hasil qanun. Orang yang pantas untuk Wali Nanggroe adalah Hasan Muhammad Tiro,” kata Malek, beberapa waktu lalu di Banda Aceh.

Menurutnya, muncul kembali lembaga Wali Nanggroe itu setelah adanya kesepakatan damai (MoU) RI-GAM. Tentunya dia juga merujuk kepada hasil perundingan pada putaran ketiga di Helsinki.

Belakangan beredar kabar, Hasan Tiro tak menginginkan menjadi Wali Nanggroe. Sayed Fuad Zakaria, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyebutkan seandainya Hasan Tiro tidak bersedia menjadi Wali Nanggroe, maka ada mekanisme untuk pemilihan Wali Nanggroe. “Dalam draft yang sudah mencapai tujuh kali perbaikan ini disebutkan, untuk memilih Wali Nanggroe ada semacam dewan yang terdiri dari unsur pemuda, DPRA dan DPRK. Mereka yang akan memilih Wali Nanggroe. Pastinya tunggu saja qanun selesai,” kata Sayed Fuad.

Tapi, dalam beberapa pertemuan dengan pejabat di Aceh dan Jakarta, Pansus pernah duduk mencari alternatif kalau seandainya Hasan Tiro tak mau menjadi Wali Nanggroe pertama. Hasilnya, tak ada sosok yang berwibawa dan sulit mencari orangnya. “Tak ada calon,” kata Mukhlis Muktar.

***
“Tgk Hasan Ditiro pulang ke Aceh bukan untuk kepentingan penyusunan qanun itu. Dia pulang ke Aceh untuk siraturrahmi dengan masyarakat Aceh. Dia pulang bukan untuk kepantingan siapa-siapa,” ujar Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin alias KBS.

Dalam pandangannya, mencari format Wali Nanggroe janganlah terburu-buru. Harus benar-benar matang dan GAM menginginkan lembaga tersebut nantinya punya kewenangan yang luas. “Seperti yang dipertuan agung di Melaka, Malaysia,” sebutnya.

“Kalau kewenangannya hanya sekadar mengurusi adat istiadat, bagusnya tidak usah dibuat aja qanun Wali Nanggroe,” sambungnya.

Soal Wali Nanggroe pertama akan diberikan kepada Hasan Tiro sesuai dengan perundingan damai dulunya, Ibrahim menyebutkan benar adanya. Apakah Hasan Tiro mau menjadi Wali Nanggroe? “No comment,” kata Ibrahim.

Menurutnya, Hasan Tiro bukanlah orang yang menginginkan jabatan tersebut. Dan Hasan Tiro juga belum memastikan akan tinggal di Aceh nantinya atau tidak. Kendati gubernur Aceh Irwandi Yusuf sendiri berharap agar pemimpin tertinggi GAM itu bisa menetap di Aceh.

Tentang siapa yang akan menjadi Wali Nanggroe, kalau Hasan Tiro tak mau menjadi yang pertama, Ibrahim belum mau berkomentar jauh. “Kita lihat saja bagaimana qanunnya dulu.”

Ibrahim menyebutkan, kewenangan lembaga Wali Nanggroe harusnya bisa setingkat di atas gubernur. Dan qanunnya harus di atas dari qanun yang lain. Pihaknya akan memperjuangkan hal tersebut. Kalau kewenangannya kecil dan hanya seperti yang tercantum di UUPA, maka pihaknya akan menolak qanun tersebut. Ibrahim sendiri duduk sebagai tim asistensi penyusunan qanun Wali Nanggroe.

Dia menyebutkan, UUPA sendiri juga masih belum selaras dengan semangat MoU Helsinki. “Bukan hanya lembaga Wali Nanggroe, tapi juga soal pembagian kewenangan pusat – daerah, kita nantinya juga akan upayakan agar UUPA direvisi ulang,” kata Ibrahim.

Sekretaris Partai Rakyat Aceh (PRA) Thamren Ananda menyebutkan bahwa Wali Nanggroe pertama kali usai qanun siap, haruslah diberikan perhormatan kepada Tgk Hasan Ditiro. “Ini untuk menjaga spririt perdamaian di Aceh.”

Tentang kepulanganya ke Aceh yang bukan untuk kepentingan itu, Thamren mengatakan apapun tujuannya, yang lebih penting adalah pulangnya Hasan Tiro dapat dijadikan sebagai momentum untuk merawat damai abadi di Aceh. Lainnya adalah dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk berkoordinasi bagaimana qanun Wali Nanggroe diracik DPRA.

“Kalau Hasan Tiro tak mau menjadi Wali Nanggroe, itu persoalan lain. Pentingnya, untuk pertama harus diberikan perhormatan kepada beliau,” ujar Thamren.

Soal kewenangan Wali Nanggroe, Thamren setuju bahwa yang tercantum di UUPA masih sangat lemah. Hal ini perlu ditingkatkan dan harus dilakukan pembahasan ulang alias revisi UUPA. “Tidak ada yang tidak bisa diubah, semuanya bisa,” ujarnya.

Kata Wali Nangroe memang sering didendangkan kombatan GAM saat perang dulunya. Merujuk kepada Hasan Tiro. Usai konflik pergi, dalam formatnya lembaga itu sedang didesain oleh para dewan Aceh. Akankah Hasan Tiro menjadi Wali Nanggroe? ***

Saturday, October 18, 2008

Mendekap Keumala

By; Adi Warsidi

Novel ini merekonstruksi kembali sosok Keulamahayati, Laksamana ternama dari Nanggroe. Daerah yang dikabarkan pernah jaya di masa raja-raja.

Judul : Perempuan Keumala
Penulis : Endang Moerdopo
Penerbit : PT Grasindo, 2008
Tebal : 350 halaman + xii

Dapatkah sebuah kematian orang tercinta membelokkan jalan kehidupan seorang perempuan? Menjadikan sebuah ketegaran untuk membela kaumnya, para janda. Kendati tak begitu drastis, perubahan itu telah ditorehkan Endang Moerdopo penulis asal Jogjakarta dalam novelnya, Perempuan Keumala.


Novelnya berkisah tentang Keumalahayati, Laksamana Perempuan pertama kerajaan Aceh, yang hidup pada abad ke-16. Menjadi pemimpin armada laut selat malaka setelah kehilangan kakanda tercinta. Sebuah fakta (mungkin) sejarah yang pernah berlaku di tanah Aceh, dicampur bersama fiksi dalam sebuah perenungan yang dalam.

Keumala, perempuan itu sempat mengenyam indah dan kemudian roboh secara psikologis, setelah perang mengambil cintanya. Dia tak larut lama hingga bangkit memimpin sambil menyingkirkan fitnah yang mendera, dari kaum yang iri dan pengejar dirham di lingkaran istana.

Endang, sang penulis sedang berkisah tentang cinta, dendang kematian, hingga nasehat serta rekontruksi sebuah bangsa digambarkan besar, tapi tak pernah sepi dirudung perang. Bahkan bangsa yang masai oleh pertikaian tak kunjung henti dalam tubuhnya sendiri.

Kisah berawal saat Keumala, tokoh utama dalam remaja. Dia hidup dalam suka dan cinta ketika mengikuti pendidikan militer di Kutaraja. Cerita mengalir indah dalam dialog-dialog panjang tentang perkawanan para sahabat. Sampai kemudian Keumala melengkapkan kebahagiaan saat berjodoh dengan Tuanku Mahmuddin, si abang kelas yang menaruh hati pada mata indahnya.

Dengan cantelan naratif yang mengalir kuat sejak lembar awal, Perempuan Keumala bergerak cepat. Membawa pembaca menelusuri eksotisme Nanggroe dalam perang laut yang dipimpin langsung Sang Sultan Aceh, Alaiddin Riayat Syah dengan Panglima Laot Selat Malaka, Tuanku Mahmuddin, suami Keumala.

Perang bersama Portugis di Laut Haru, Selat Malaka tak digambarkan detail. Tapi disitulah kisah hidup Keumala direkatkan pada jalan perang. Tuanku Mahmuddin shyahid saat membela Sultan. Keumala janda.

Sultan membebaskan Keumala dari duka, dia dinobatkan untuk mengganti suaminya sebagai Panglima Laot Selat Malaka. Iri muncul dari petinggi istana lainnya. Lalu kisah diceritakan sebagai konflik dalam kerajaan, merebut simpati sultan.

Nanggroe adalah perang yang nyaris abadi sejak lama. Keumala menjadi kepercayaan sultan dan lahirlah Armada Inong Balee yang dipimpinnya sendiri. Pasukan berasal dari para janda yang suaminya meninggal bersama Mahmuddin.

Jadilah Laksamana Keumalahayati sebagai perempuan perkasa yang memimpin perang, menghibur para janda, berlatih bersama, menghitung strategi sampai kepada mengirimkan mata-mata untuk menelusuri pedagang-pedagang curang di sepanjang Selat Malaka.

Penulis mengakhiri kisah dengan perkelahian melawan pedagang dari Belanda. Cornelis de Houtman, orang yang dalam sejarah disebut sebagai Belanda pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Dia mati setelahnya di tangan Keumala dalam sebuah pesta di Laut Krueng Raya.

Perempuan Keumala menjadi penting karena inilah novel sejarah yang menulis tentang Laksamana Perempuan pertama Aceh itu. Endang menyuguhkan fiksi yang dicampur kisah sejarah di dalamnya. Membacanya adalah membaca perempuan Aceh yang gagah perkasa.

Alur cerita pas, tapi penulis sedikit berpretensi ketika menjadikan Keumala tokoh yang berani menghadapi segala tantangan. Pengecutnya digambarkan manusiawi dan magis, dan hanya sedikit, ketika anaknya diculik. Dia diguna-gunai dengan mantra Tapak Tuan dan setelah lepas, Keumala melesat tanpa cacat.

Lainnya, Perempuan Keumala menyuguhkan sebuah dialog-dialog yang kadang panjang dan membosankan. Percakapannya kurang makna, berlebihan di deskripsi alam dengan laut dan daratannya, tokoh dengan pakaian dan lakonnya serta suasana yang dibuat-buat, kadang terbaca tak indah lagi.

Tapi apapun, Endang telah menulisnya untuk Nanggroe, sebagai bahan renungan generasi depan. Bahwa perempuan Keumala pernah ada dalam bingkai pikiran kita. Merawatnya adalah tradisi, mengingatkan perempuan kita, telah jaya sejak silam, dalam fiksi ataupun nyata. ***

[Majalah Acehkini, Oktober 2008]

Tuesday, October 14, 2008

Mereka yang Merindukan 'Wali'


By; Adi Warsidi

Pagi-pagi sekali, Sabtu (11/10) Muklis berangkat dari tempat bermalamnya menuju bandara Sultan Iskandar Muda. Bersama rekan-rekan, Muklis yang tiba dari Bireuen sehari sebelumnya, menginap di Taman Ratu Safiatuddin, tempat massa penunggu ‘Wali’ berkumpul.

Di kalangan mantan Gerakan Aceh Merdeka dan masyarakat Aceh, Tgk Muhammad Hasan Ditiro akrab disebut ‘Wali’, merujuk kepada nama ‘Wali Nanggroe’, yang berarti pemimpin negeri.


“Saya sangat ingin melihat langsung wali dan berjabat tangan dengannya,” ujar Muklis yang simpatisan Partai Aceh. Sebuah partai lokal yang dipelopori oleh mantan anggota GAM.

Hari itu, Hasan Tiro tiba di Aceh menjelang siang. Pagi sudah ramai di bandara oleh mereka yang merindukannya. Nasib baik belum memihak Muklis, dia tak mengantongi kartu (id) khusus untuk tim penjemput. Alhasil, Muklis harus di luar bandara. “Saya tak bisa masuk, saya menunggu di luar saja. Padahal saya sangat rindu Wali,” ujarnya.

Pengamanan memang super ketat di pintu masuk Bandara Sultan Iskandar Muda. Puluhan pengawal khusus Hasan Tiro berjaga dengan pakaian serba hitam dan selempang merah putih hitam, mirip berdera GAM dulunya. Bedanya tanpa gambar bulan bintang.

Pengamanan minim polisi. Komite Peralihan Aceh (KPA) yang jadi panitia menjadi pengawal, umumnya eks Libya. Mereka yang pernah mendapat pendidikan militer di Maktabah Tanzura, Libya.

Muklis di luar pagar, saat pesawat yang membawa Hasan Tiro mendarat. Hasan Tiro dipapah saat menuruni tangga pesawat, senyum ditebarkan sambil melambai tangan. Massa mendongak dari luar pagar bandara. “Tak sempat melihat wali, pesawatnya juga boleh,” ujar Mursalin, seorang warga lainnya.

Lepas dari bandara, ratusan mobil dan sepeda motor berkonvoi mengikuti mobil yang membawa Hasan Tiro ke Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Di sana, Hasan Tiro akan menyapa seluruh masyarakat Aceh.

Ribuan massa lainnya sudah menunggu di sana. Umumnya mereka mengusung bendera, Partai Aceh. “Wali tak pulang untuk kepentingan siapa-siapa, termasuk partai Aceh,” kata Juru Bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin sebelumnya.

“Wali pulang karena rindu Aceh, ingin melihat kampung halaman. Dia pulang untuk seluruh masyarakat Aceh,” sambungnya.

Di Mesjid Raya Banda Aceh, Arman telah menunggu dari pukul 10.00 WIB. Dia tak datang ke bandara. “Saya merindukan ‘Wali’, begitu juga dengan semua masyarakat Aceh lainnya,” klaimnya.

Arman sudah dua hari sebelumnya datang ke Banda Aceh dari Aceh Timur bersama rekan-rekannya. “Kami berharap, ‘Wali’ bisa tinggal di Aceh selamanya.”

Dia memang tak sempat menjabat tangan ‘Wali’, karena massa berebut menyapa dari dekat panggung yang bertengger tiga meter dari tangga mesjid. Kendati begitu, kerinduannya sedikit terobati, dengan melihat dari dekat. “Selama ini kami hanya melihat foto-fotonya saja di media.”

Kerinduan juga dirasakan oleh Istri (Alm) Muhammad Usman Lampoh Awe, Pocut Sariwati binti Tgk Mahmud. Dia mendapat kehormatan mengalungkan bunga kepada Hasan Tiro. Suami Pocut Sari adalah Mantan Menteri Keuangan GAM dan juga sepupu Hasan Tiro. Tgk Usman meninggal pada 3 Oktober 2008 lalu, delapan hari sebelum ‘Wali’ pulang.

Pocut Sari menyebut bangga dapat mengalungkan bunga langsung kepada Hasan Tiro. “Saya dan mendiang suami saya dulu sangat merindukan dia pulang,” ujarnya.

Ribuan massa kembali ke daerah masing-masing menjelang sore hari. Rindu mereka sedikit terobati, kendati tak sempat berjabat tangan dengan yang mereka namanya ‘Wali’, Hasan Tiro. [*]

Koran Tempo, 12 Oktober 2008

Pesan Hasan Tiro

By; Adi Warsidi

Mantan Pemimpin Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan Ditiro, berpidato di depan ribuan masyarakat Aceh yang menanti kedatangannya di Mesjid Raya Banda Aceh, Sabtu (11/10) siang.

Hasan Tiro menyapa dengan salam dan menyebutkan, “lon katroh u Aceh, katroh u gampong (saya sudah sampai di Aceh, sudah sampai ke kampung halaman).”


Selanjutnya, Hasan Tiro yang sudah berumur 83 tahun itu meminta Mantan Perdana Menteri GAM, Malek Mahmud untuk membacakan amanatnya. Dalam amanatnya, Hasan Tiro menyampaikan rasa bahagianya dan rahmat yang diberikan Allah karena dapat bertemu dengan masyarakat Aceh.

“Belum pernah rakyat Aceh dari masa penjajahan mendapat kebebasan seperti ini. Rakyat mendapat kebebasan setelah adanya perdamaian di Aceh,” ujarnya.

Menurutnya, perdamaian lahir karena jerih payah rakyat Aceh yang telah bekorban. Perdamaian lahir setelah jatuhnya ratusan ribu korban semasa konflik dan bencana tsunami Aceh. Telah ada ribuan anak yatim di Aceh. “Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberi perhatian kepada mereka dan masyarakat Aceh sesuai kesepakatan Helsinki,” sebut Hasan Tiro.

Dia menyebutkan, 30 tahun konflik, Aceh hampir kehilangan segalanya. Hasan Tiro mengajak semua pihak untuk dapat bersama-sama membangun Aceh kembali. Membangun Aceh tentunya butuh pengorbanan, “biaya perang lebih mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal.”

“Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua,” sambung Hasan Tiro.

Mantan pemimpin tertinggi GAM yang telah 30 tahun meninggalkan Aceh dan menetap di Amerika Serikat dan Swedia, juga menyampaikan terimakasihnya kepada pemerintah Indonesia yang komitmen terhadap menjaga perdamaian di Aceh.

Rakyat Aceh juga diajak untuk menjaga persatuan dan kesatuan dan jangan terpancing kepada kelompok-kelompok yang ingin memecah belah rakyat Aceh, dan mengacaukan damai di Aceh.

“Terimakasih kepada rakyat Aceh yang telah menanti kedatangan saya dan menerima saya di Aceh,” ujarnya.

Ribuan massa bersorak dan meneriakkan Wali Nanggroe untuk Hasan Tiro. Jalan di sekitar mesjid terbesar di Aceh itu macet total selama empat jam lebih. Umumnya massa mengusung bendera Partai Aceh (PA), partai lokal di Aceh yang didirikan oleh para mantan anggota GAM.

Muhammad Ali, seorang simpatisan PA yang datang dari Bireuen menyebutkan, dia sengaja datang ke Banda Aceh untuk melihat secara langsung Tgk Hasan Tiro. “Kami datang bersama kawan-kawan dengan biaya sendiri,” ujarnya.

Massa mulai meninggalkan mesjid raya sekitar pukul 14.00 WIB, setelah Hasan Tiro menyelesaikan jadwal pidatonya di depan masyarakat Aceh. Setelah itu, massa mulai kembali ke daerah masing-masing dengan menggunakan truk terbuka, mobil pribadi dan sepeda motor.

Usai acara di Mesjid Raya, Hasan Tiro menuju ke Pendopo Gubernur Aceh untuk beristirahat dan juga berjumpa dengan pejabat dan tokoh Aceh lainnya. Rencananya, Hasan Tiro akan berada di Aceh selama dua pekan ke depan.

Hasan Tiro tiba menginjakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, pukul 11.25 WIB. Dia terbang dari Malaysia bersama rombongan dengan pesawat carteran dari Malaysia. Ikut bersamanya, Mantan Petinggi GAM, Malek Mahmud dan Zaini Abdullah. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Ketua KPA, Muzakkir Manaf juga terlihat bersama rombongan.

Rombongan disambut dengan pengawalan khusus dari anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dipimpin oleh Abu Razak, Wakil Ketua KPA. Ratusan masyarakat dan simpatisan Partai Aceh melihat kedatangan Hasan Tiro dari luar pagar bandara.

Istri (Alm) Muhammada Usman Lampoh Awe, Pocut Sariwati binti Tgk Mahmud mendapat kehormatan untuk mengalungkan bunga kepada Mantan Pemimpin Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan Ditiro.

Pocut Sariwati kepada Tempo menyebutkan, dia diminta khusus oleh panitia dari KPA untuk pengalungan bunga kepada Hasan Tiro. “Seharusnya sesuai adat orang Aceh, saya belum bisa keluar rumah, karena suami saya baru meninggal. Tapi karena yang pulang adalah saudara sepupu dan kawan dekat suami saya, saya ikut menyambut,” sebutnya.

Menurutnya, dia bangga dapat mengalungkan bunga langsung kepada Hasan Tiro yang telah 30 tahun mengasingkan diri ke Swedia. “Suami saya padahal sudah bersiap-siap untuk menjemput sendiri Hasan Tiro, tapi Allah berkehendak lain,” ujarnya. Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Mantan Menteri Keuangan GAM meninggal pada 3 Oktober 2008 lalu di RSU Sigli, Kabupaten Pidie karena menderita Leukeumia. [*]

Koran Tempo, 12 Oktober 2008

Friday, August 29, 2008

SENYUM

By: Adi Warsidi

Kawan, aku tersentak saat romantisme kau tawarkan. Ada keluguan dalam ketak-salahan ketika menyebut hanya senyum dan dengan senyum romatisme bisa dibangun. Itu sajakah? Dan tulisan kawan juga yang menggugah aku menuliskan senyum.

Kalau hanya senyum, siapapun mampu kapan saja bahkan dalam dusta. Aku mulai berpikir dan membuat analisa yang mungkin saja terlihat bodoh. Ketika di utara ada muka-muka tak berwajah seperti tembok, kadang di tempat ini kutuliskan juga sama. Bahkan aku sendiri seperti tembok, ketika senyum telah kuambil dan kutaruhkan di tembok belakangku.


Senyum yang semu tetap ada, dalam wajah mendung dan bukan berarti kugadaikan syukur. Karena senyum bukanlah syukur. Makanya aku lebih suka Peh Tem ketimbang Peh Besoe, karena dalam bunyi nyaring, aku terbawa iramanya dan minimal di situlah senyumku sendiri seperti orang gila.

Sementara Peh Besoe tak nyaring, apalagi besi berisi yang bisa membuat tangan bengkak dan jari-jari bernanah. Melunakkan besi butuh api yang asal muasal jin, setan dan iblis yang kerap tertawa terbahak-bahak melebihi senyum.

Aku lebih suka karet yang elastis. Atau ingin saja seperti Daud, sang Nabi yang mampu menempa besi dan membuat baju zirahnya sendiri untuk mengalahkan Goliath, raja raksasa kejam pada rakyatnya. Goliath sempat tersenyum ketika Daud menantang, lalu menangis.

Senyum tak selamanya romantis kawan. Sering kulihat tebaran senyum dengan bibir miring sebelah, sakitnya lebih menyayat daripada dibentak amarah dan dipukul besi. Aku tak suka senyum yang dibuat dengan lawak murahan, senyum yang dibuat dalam ketidak-pastian hingga terpaksa tersenyum.

Kalau hanya senyum, Hitler pun tersenyum ketika membantai kaum Yahudi, hingga memicu perang. Dan mengutip Iwan Fals; Kalau hanya senyum yang kau berikan, Westerling pun tersenyum...

Padahal Raymond Westerling adalah pembunuh, yang memimpin pembantaian ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan bersama pasukan Belanda berjuluk Depot Speciale Troepen, pada Desember 1946 sampai Februari 1947. Konon, pembantaian itu terjadi selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Senyum itu tak selamanya romantis kawan, karena cinta kadangkala bukan dengan senyum, tapi ikhlas. Dan ketidak-ikhlasan muncul ketika kita tahu, kenapa ada wajah yang seperti tembok. ***

Akhir Agustus 2008

Tuesday, August 12, 2008

Perjuangan Parlok di Aceh

By: Adi Warsidi

Pemilu 2009 di Aceh bakal unik, karena selain Partai Nasional, enam Partai Lokal juga bakal mengisi pertarungan kursi legislatif di tingkat daerah.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yang bertangung-jawab terhadap pemilu 2009 di Aceh, telah menetapkan enam Partai Lokal lulus verifikasi. Mereka adalah, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Daulat Atjeh (PDA).

Jelang pemilu 2009, partai lokal tersebut juga menebar taktik di lapangan, mengklaim dirinya terbaik. Masa kampanye terbatas yang telah dimulai sejak pertengahan Juli 2008 lalu, dipakai partai lokal dan partai nasional untuk sosialisasi internal dan pembinaan kader.


Saat ini partai lokal juga sibuk menjaring calon anggota legislatif daerah yang akan mewakili mereka nantinya. “Kita mengadakan test bagi kawan-kawan untuk calon legislatif dari tanggal 6 sampai 15 Agustus mendatang,” sebut Thamren Ananda, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Aceh (PRA), di Banda Aceh (08/08).

Thamren Ananda sesumbar partainya akan menjadi partai yang besar. Pihaknya sedang sibuk mengisi masa kampanye terbats dengan membina kader dan memasang bendera di jalan-jalan untuk sosialisasi partainya. “Kami menargetkan dapat memenangkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK), sekurang-kurangnya satu fraksi,” sebutnya.

Partai lokal ini dibangun oleh anak-anak muda mantan aktivis mahasiswa dulunya, serta masyarakat kecil lainnya. Akibatnya, pengakuan Thamren, mereka harus menggalang dana dari kader partai sendiri. Di sinilah salah satu kendala partai berlambang bintang kuning ini bergerak. “Karena kami bukan didirikan oleh pengusaha dan orang kaya,” sebutnya.

Penggalangan dana murni dari rakyat dan sudah lama berjalan. Tak hanya dana, tapi juga berupa material dan apapun yang dibantu kader. Kasarnya, seribu rupiah pun mereka kumpulkan dari sumbangan pendukung. “Ini sudah jalan dan pelan-pelan kendala logistik teratasi,” sebutnya. Thamren menolak menyebutkan berapa dana yang telah mereka kumpulkan untuk memperkuat kampanye.

Kendala lainnya, ada kelompok tertentu yang tidak terdeteksi (tidak jelas) yang menekan kader PRA di daerah-daerah. Bentuk ancamannya memang sebatas isu agar PRA jangan boleh ada di beberapa kecamatan wilayah Aceh. “Calon legislatif dari PRA juga ada yang mendapat tekanan, tidak jelas siapa yang menyebarkan isu, tapi beredar di masyarakat.”

PRA tak ambil pusing tekanan itu. Kader partai terus membina hubungan dengan siapa saja, baik masyarakat umum, kader partai lokal dan nasional lainnya. Menurutnya, jumlah struktur pengurus PRA yang telah didaftarkan ke KIP Aceh tersebar pada 18 kabupaten/kota di Aceh. Kemudian setingkat di bawahnya ada 176 kecamatan. Kata Thamren, anggota berjumlah; 54 orang di provinsi, 561 orang di kabupaten/kota dan 5.701 orang di kecamatan.

Soal afiliasi politik, banyak partai nasional yang mengajak melakukan afiliasi politik dengan PRA. Thamren menyebutkan, sejauh ini pihaknya masih pada keputusan tidak melakukan kerjasama secara lembaga dengan partai nasional. “Kita tidak akan melakukan afiliasi politik dengan partai nasional.”

Tetapi secara personal, mereka membebaskan kadernya untuk mendukung siapa saja wakil partai nasional yamng mencalonkan diri menjadi Calon Legislatif di Nasional. Tapi itupun harus calon yang tidak jahat, bukan koruptor dan tidak poligami.

Salah satu program kerja yang dipunyai PRA adalah memperjuangkan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Aceh bisa dinikmati rakyat. Artinya, setiap investor yang akan membuka industri di Aceh, harus berbagi hasil dengan rakyat dan pemerintah Aceh, minimal fifty-fifty. Uang tersebut nantinya akan dipergunakan untuk mensubsidi pendidikan dan kesehatan gratis. Kemudian, PRA juga punya program pembukaan lapangan kerja yang lebih besar di Aceh. “Minimal nanti, kami bisa menekan angka pengangguran,” katanya.

Di kubu lain, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) juga sedang gencar melakukan pembinaan kader mereka menjelang pemilu 2009. Kader partai ini kurang lebih sama dengan PRA, didirikan oleh anak muda yang mantan aktivis dulunya.

Kendala yang mereka hadapi salah satunya adalah mepetnya jadwal yang telah dibuat oleh KIP Aceh. “Kampanye terbatas, kami isi dengan pembinaan kader dan penjaringan caleg,” sebut Taufik Abda, Ketua Partai SIRA.

Taufik menyebut, mereka punya kekuatan pengurus 5.000 orang. Kadernya sampai ke pedesaan mencapai 25.000 orang. Pembinaan kader dilakukan melalui pendidikan politik. Mereka menamakannya Sekolah Politik SIRA. Di sana diajarkan dari analisa politik sampai kepada legislative skill.

Lainnya adalah soal dana. Mereka juga menghadapi keterbatasan dana. Pihaknya terpaksa melakukan penggalangan dana ke kader dan meminjam dana dari kader yang dianggap berkantong tebal. Sejauh ini, belum ada kalkulasi berapa dana yang dibutuhkan partai SIRA dalam menghadapi Pemilu 2009. “Kami akan mengadakan Rapat Kerja Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu –red) pada 19 Agustus nanti,” ujar Taufik.

Program kerja yang menonjol dari parta ini adalah memperkuat pemerintahan Aceh nantinya yang sesuai dengan Undang Undang no 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Artinya, pemerintah Aceh harus mempunyai kewenangan besar seperti yang diatur dalam UU tersebut. “Ini supaya benar-benar diwujudkan.”

Kemudian juga soal kemandirian ekonomi Aceh. Membalikkan kondisi Aceh yang selama ini konsumen menjadi produsen. Dan yang terpenting adalah merawat perdamaian berkelanjutan di Aceh.

Terkait afiliasi politik dengan partai nasional, Partai SIRA belum menetapkan suatu keputusan apapun. Taufik mengakui sejauh ini ada beberapa Partai Nasional dan kadernya yang mengajak afiliasi. “Kami belum memutuskan apapun sampai saat ini,” sebutnya.

Kendati demikian, dia mengakui terus membangun komunikasi politik dengan para kader partai nasional, tetapi lebih secara personal.

Partai Aceh (PA) juga sedang gencar kampanye terbatas dengan menyebarkan spanduk di seluruh daerah Aceh. Partai ini dipimpin oleh para punggawa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulunya. Juru bicara Partai Aceh, Adnan Beransah menyebutkan setelah partainya dinyatakan lewat verifikasi untuk tahap propinsi, mereka akan terus berupaya mensosialisasikan PA di seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh. Partai ini didukung oleh sebagian besar mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulunya.

Adnan mengakui punya pengurus pada seluruh kabupaten/kota di Aceh, artinya ada 23 kantor di daerah. Soal target, PA memasang tertinggi. “Target maksimal partai, dapat memperoleh setengah kursi di DPRA/DPRK seluruh kabupaten/kota di Aceh.”

Dia menjelaskan, Partai Aceh merupakan milik bersama masyarakat Aceh. Semua orang berhak memiliki partai tersebut, yang merupakan salah satu amanat dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Programnya adalah merawat perdamaian abadi. “Dengan perdamaian abadi, semuanya bisa dilakukan di Aceh,” ujarnya.

Lainnya adalah menguatkan platform Partai Aceh untuk negosiasi politik dengan pusat. PA berkeinginan untuk memperkuat kewenangan pemerintahan sendiri di Aceh yang sesuai dengan amanat MoU Helsinki dan UUPA.

Pengakuan Adnan, sejauh ini mereka tidak punya kendala apa-apa lagi. Soal dana, mereka mendapat sokongan kuat dari rakyat. Misalnya untuk cetak stiker, baju partai dan spanduk, itu umumnya dilakukan oleh personal kader PA. Sehingga pengurus partai tidak perlu memikirkan banak soal hal kecil seperti itu. Mereka juga belum punya keputusan terkait afiliasi politik dengan partai nasional.

Kampanye terbatas saat ini, mereka juga mengisi dengan pembinaan kader. Agar semua SDM yang ada mampu meningkatkan pengetahuan politik mereka. “PA sudah siap semuanya, tidak ada masalah berarti,” sebutnya.

Dari kubu partai Partai Daulat Atjeh (PDA), Ketua III Partai, Tgk Nurkhalis MY menjelaskan pihaknya belum berpikir jauh soal target kursi yang didapat nantinya. Masa kampanye terbatas mereka isi juga dengan sosialisasi ke masyarakat dan kader partai.

Partai ini disokong oleh sebagian ulama Aceh dan para santrinya serta masyarakat yang pro terhadap syariat Islam. Metode pembinaan kader pun lebih ke dakwah. Program utamanya adalah membuat ruh Islam dalam setiap tatanan kehidupan dan kebijakan politik di Aceh. Termasuk juga kebijakan pendidikan dan lainnya.

Kata Nurkhalis, partainya punya komitmen berpihak kepada rakyat, taat dan patuh pada fatwa ulama. Kebijakan secara umum? “Kami ingin melahirkan kebijakan pemerintahan yang dihasilkan oleh anggota dewan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah,” katanya.

Kendala utama ada pada dana. “Makanya bendera kami tidak terlalu banyak di jalan-jalan,” ujar Nurkhalis.

Kendala itu diatasi dengan memberikan keleluasaan kepada calon legislatif dari PDA mencari dana sendiri. Tentunya dibawah kontrol dari petinggi partai. Saat ini pihaknya belum punya keputuan untuk berkoalisi dengan parlok lain atau partai nasional.

Sementara itu, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang diketuai oleh Ghazali Abbas Adan juga mengaku siap bertarung. “Pemilu ke depan harus beradap, kami tidak menginginkan adanya politik preman, yang melakukan pemaksaan kepada para pemilih untuk mendukung salah satu parpol.”

Mereka telah melakukan berbagai sosialisasi dan memperkenalkan partainya. PAAS yang telah memiliki DPW di 19 kabupaten/kota ini, belum bisa menargetkan kuota kursi di parlemen. “Semuanya tergantung dari masyarakat nantinya dalam pemilihan yang akan dilakukan pada pesta demokrasi 2009,” kata Ghazali Abbas yang pernah menjadi salah satu calon gubernur dalam Pilkada akhir 2006.

Pertai lokal lainnya adalah Partai Bersatu Aceh (PBA). Diketuai oleh Ahmad Farhan Hamid, yang juga seorang anggota DPR-RI dan mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Farhan mengatakan, pihaknya sedang melakukan sosialisasi besar-besaran di Aceh.

Kemungkinan parlok itu berkoalisi juga dibuka lebar. Tapi sejauh ini, PBA juga belum memutuskan soal itu. Partai ini sudah memiliki DPW di 18 kabupaten/kota. “Kami belum menargetkan kursi yang akan dicapai nantinya,” jelas Farhan.

Partai-partai lokal ini terus bergerilya, mencari dukungan masyarakat dan memasang target. Tujuan pemenangan Pemilu 2009.

***
Pengurus partai nasional di Aceh juga sedang gencar melakukan kampanye politik. Pada umumnya mereka menyambut baik hadirnya partai lokal di Aceh. Katua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh, Azwar Abu Bakar menyebutkan kehadiran partai lokal bukanlah lawan untuk ditakuti, tapi harus menjadi patner untuk memperjuangakan hak-hak rakyat. “Semua kita sama untuk memajukan Aceh ke depan yang lebih damai, aman dan sejahtera.”

“Kami senang dengan kehadiran partai lokal dalam kancah perpolitikan di Aceh,” tambah Azwar. Saat ini, pihaknya sedang melakukan sosialisasi terhadap kadernya serta melakukan pendekatan dengan masyarakat.

Partai Golongan Karya (Golkar) Aceh juga melakukan hal sama, mengisi masa kampanye terbatas dengan kegiatan pelatihan peningkatan wawasan kader untuk menggaet simpatisan calon pemilih pada Pemilu 2009.

"Pelatihan kader ini penting dilakukan untuk membuka wawasan kader, agar mampu berkomunikasi dengan masyarakat calon pemilih di daerahnya masing-masing secara lebih baik terhadap berbagai isu aktual, baik nasional maupun lokal," kata Ketua DPD Partai Golkar Aceh, Sayed Fuad Zakaria.

Kehadiran partai lokal di Aceh menurutnya akan menambah tantangan bagi Golkar. Soal afiliasi dengan partai lokal, Golkar membuka kesempatan lebar bagi partai lokal mana saya yang menginginkannya. Hal itu juga telah dikabarkan ke pimpinan umum di Jakarta.

Secara formal, hal itu diakui Sayed Fuad belum ada keputusan final, dengan partai mana Golkar akan bergandeng di Aceh. Tetapi secara informal pihaknya terus mengadakan komunikasi politik untuk melahirkan rekomendasi yang baik nantinya. “Afiliasi politik terbuka lebar, asal sesuai dengan tujuan dan kepentingan Partai Golkar,” ujar Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) itu.

Soal prediksi partai lokal lebih unggul di Aceh, Sayed Fuad menyebutkan bisa saja hal itu terjadi. “Animo masyarakat untuk memilih partai lokal akan besar, tapi kita tetap akan berusaha semaksimal mungkin.”

***
Pemilu 2009 bakal ramai di Aceh, taktik dilancarkan oleh 34 partai nasional dan 6 partai lokal. Pengamat Politik Aceh M Jafar menyebutkan kecil kemungkinan pemilu di Aceh akan ricuh. “Dari segi jumlah peserta, semakin besar peserta kemungkinan ricuh semakin kecil,” sebut akademisi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu.

Faktor lain yang bisa mengakibatkan kacaunya Pemilu di Aceh bisa dimungkinkan dengan (misalnya) peraturan yang tidak jelas dipahami oleh peserta. Kemudian juga kalau penyelenggara pemilu nantinya berpihak ke satu partai. “Di sini penting kesadaran peserta itu sendiri,” sebutnya.

Penilaian Jafar, partai lokal belum begitu siap dalam menghadapi pesta demokrasi pemilu 2009. Terutama pembentukan struktur dan kepengurusan yang belum optimal sampai ke desa-desa. Lainnya ada indikasi partai lokal yang sulit mencari calon legislatif yang memenuhi syarat, termasuk kuota keterwakilan perempuan 30 persen.

Pengalaman Jafar yang juga mantan Ketua KIP Aceh periode lalu, dalam beberapa kesempatan menjadi pemateri terkait kesiapan partai, muncul sebuah kasus dimana tingkat pengetahuan kader partai lokal dalam memahami pemilu, kurang. “Banyak yang belum paham tentang jumlah kursi dan jumlah pemilih,” ujarnya. Dalam hal ini, perlu adanya sebuah sosialisasi yang kuat dalam internal partai sendiri.

Soal afiliasi politik, Jafar menyebutkan sangat perlu dilakukan partai lokal. Tapi sejauh ini, dia belum melihat jelas ke arah itu. Artinya belum mengarah adanya partai lokal yang melakukan afiliasi politik dengan partai nasional.

Secara kelembagaan, afiliasi penting karena partai lokal hanya bisa mencalonkan diri sebagai anggota dewan di tingkat daerah, tidak di tingkat pusat. “Dengan adanya afiliasi, mereka setidaknya juga bisa memperjuangkan partai dan daerah Aceh di tingkat pusat,” sebutnya.

Jafar berharap, pemilu 2009 di Aceh bisa berjalan damai dan aman. Semua kader partai bisa menjaga perdamaian abadi di Aceh yang telah terjaga selama tiga tahun.

Andi Firdaus, warga Banda Aceh juga mengharapkan hal yang sama. Partai lokal dinilai merupakan hal baru. Ini setidaknya akan menjadi contoh yang baik bagi pembelajaran politik kepada masyarakat di Aceh khususnya Indonesia umumnya.

Selanjutnya, dia menyebut kehadiran partai lokal di Aceh jangan hanya menjadi euforia politik di Aceh. tetapi dengan adanya partai lokal, haruslah membawa misi perubahan yang menyeluruh di Aceh. “Jadi manfaatnya jangan hanya untuk pengurus partai saja, juga untuk rakyat.”

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan, perlunya partisipasi masyarakat untuk menciptakan pemilu yang demokratis dalam tahapan-tahapan pemilu 2009 di Aceh. “Ini penting, karena agenda politik yang sedang berlangsung pada tahapan pelaksanaan kampanye ini diharapkan menjadi ajang kompetisi penyampaian program pembangunan dari masing-masing kontestan,” kata Irwandi.

Dia berharap pada pemilu nanti tidak ada pemaksaan aspirasi politik kepada masyarakat di Aceh. “Biarkan masyarakat menilai, untuk menentukan pilihan rasional (rational choice) pada pemungutan suara pemilu legislatif April 2009 nantinya,” kata Irwandi.

Saat penutupan Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah (Rakorpimda) Aceh, 7 Agusutus 2008, Wakil Gubenur Aceh, Muhammad Nazar menyebutkan enam Partai Lokal (Parlok) di Aceh sudah sepakat untuk mendukung pemilu damai dan berjanji tidak ada pemaksaan dalam pencoblosan nantinya.

Pemerintah Aceh sangat mengharapkan komitmen tersebut, agar pemilu di Aceh berjalan demokratis. “Kita harus memberi contoh yang baik, bahwa pemilu di Aceh dapat berlangsung damai, biarpun baru terlepas dari konflik yang sangat panjang.”

Nazar menyebutkan Pemerintah Aceh sudah meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) untuk dapat mengambil peran dalam menciptakan pemilu damai tersebut. “Kita minta KIP dapat memberi sanksi keras terhadap partai politik yang berbuat curang,” ujarnya.

Bupati dan Walikota se-Aceh juga sepakat untuk mengundang pemantau Internasional dan pihak independen untuk memantau pemilihan umum (Pemilu) yang akan berlangsung April 2009 mendatang di Aceh.

Kesepakatan tersebut adalah salah satu hasil Rakorpimda Aceh. “Semua Bupati dan Walikota, sepakat adanya pemantau asing di Aceh, dan semua mereka menginginkan pemilu berlangsung dengan damai,” kata Muhammad Nazar.

Partai nasional dan lokal di Aceh terus berjuang mengumpulkan simpati warga. Semua berharap, pemilu di Aceh bisa berlangsung damai, agar perdamaian yang telah diraih bisa abadi. [*]

Koran Tempo, 11 Agustus 2008

Saturday, August 9, 2008

Munafik

By: Adi Warsidi

Aku munafik jika menolak uang, yang kutahu halal untuk dimakan. Bahkan kadang ada yang haram dalam pandangan orang-orang. Tapi aku tak ingin melabelkan halal-haram seperti pada kemasan makanan ringan. Karena mungkin kita tak tahu teori Tuhan, dan malas bertanya.

Aku munafik jika loyal pada kursi tempatku, karena aku malu kepada guru semasa kecil yang mengajar; ‘bahwa loyal-lah pada perkerjaan, karena itu amanah’. Aku bahkan masih menimbang maksud ‘amanah’ guru ku sampai sekarang.


Tak ingin seperti umumnya wakil kita yang mendapat kursi, sampai lupa pada yang memberi di bawahnya. Tak ingin seperti Qabil, anak Adam yang rela membuhuh saudaranya Habil, demi si cantik kembarannya Aklima. Yang mungkin demi memberi pelajaran membunuh kepada manusia seterusnya.

Aku tak ingin seperti Sultan Iskandar Muda, yang pada tahun 1629 membunuh anaknya untuk menahan malu, -mungkin- karena kabar putra mahkota telah berzina. Tega menyembunyikan cinta, padahal para hakin dan orang dekat istana telah peringatkan sultan agar memaafkan pangeran. Hingga muncullah sebuah petuah yang hingga kini abadi; “Mate aneuk meupat jrat, mate adat pat tamita” (Mati anak jelas kuburan, mati adat-istiadat tak akan jelas keberadaannya).

Aku ingin saja seperti Ken Arok, perampok yang kemudian mendirikan kerajaan Singosari di Jawa sana. Dia membunuh Tunggul Ametung yang durhaka pada rakyat dengan keris made in Mpu Gandring, setelah membunuh terlebih dulu pembuat keris itu. Lalu dia mengambil janda Tunggul Ametung yang terkenal cantik, Ken Dedes.

Boleh Ken Arok mati kemudian setelah disuruh bunuh oleh anak tirinya, tapi dia telah mengubah nasib dan dikenang sampai sekarang. Perampok yang menjadi raja.

Aku tak munafik menolak juara, karena bagiku itu tak penting. Juara hanya label. Aku takut tak pantas juara itu ditabalkan pada yang belum mampu, kendati yang sering dikerjakan orang-orang yang tak mendapat piala, jauh di atas prediketnya.

Akibatnya aku tak ingin memimpin, karena sebenarnya aku takut, energiku tak mampu menggerakkan orang lain ke arah suatu tujuan. Kata-kata ku juga lemah dan kadang tak didengar. Aku tidak seperti mantan budak barbar bernama Tariq bin Ziyad yang menjadi pemimpin besar Islam penakluk Eropa.

Tariq punya ucapan yang cukup terkenal ketika memerintahkan pasukannya membakar kapal-kapal mereka sendiri. “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid.”

Aku munafik, kalau berkata tak ingin seperti Tariq. [*]

Banda Aceh, Agustus 2008

Monday, July 28, 2008

Kerinduan

By : Adi Warsidi

Kerinduan-ku bertaut pada angin yang membawa kabar dari empat penjurunya, bahwa telah tergali sumur-sumur untuk pelepas dahaga penduduk sejagad. Anggap saja jagad itu adalah Aceh, tempat lakon cerita ini kita mainkan.

Rekan telah melakukan itu pada setiap meter tanah target. Lalu dalam kerinduanku, rekan kirimkan pesan, ‘Semuanya telah tergali, tinggal menunggu petunjuk lanjut’.

Kusampaikan pesan itu pada panglima, bahwa perintah telah dijalankan sesuai perintah, jelas yang menurutku jelas, dan terbuka yang menurutku terbuka. Panglima keluarkan petuntuk, ‘hubungkan sumur-sumur itu hingga membentuk alur, dari hulu ke hilir’. Ku-teriakkan itu melalui angin dan mulailah lagi kawan-kawan pada tekadnya.


Sampai di sini, dalam kerinduan-ku, kabar muncul lagi. Ada yang ragu, menghubungkan sumur dengan laut tanpa menanam pohon-pohon pada tanah yang telanjur gersang, akan membawa wabah pada warga se-jagad, sumur-sumur akan asin. Laut terlalu sombong dengan airnya yang biru dan tak pernah kering. Dengan ombaknya, dengan luasnya yang mampu menaklukkan tanah-tanah yang telah digali.

Dalam kerinduan-ku, kawan-kawan berujar mari bahwa menanam pohon dulu, baru menghubungkan sumur dari hulu ke laut. Kusampaikan lagi ke panglima, dan aku terjaga dalam mimpi kerinduanku.

‘Keriduan sesungguhnya adalah kuman kematian’. Mungkin tak berlaku umum, karena itu tak datang dari Kitab Suci. Hanya sepotong catatan yang ditulis Leonardo da Vinci, pelukis terkenal itu pada ujung abad ke-15. Da Vinci menulis, ”…manusia, dengan rasa ingin tahu yang riang berharap mendapatkan musim semi baru, musim panas baru, dan bulan-bulan yang baru selamanya... tak sadar bahwa dalam kerinduannya itulah terbawa kuman kematiannya sendiri.”

Sebuah pandangan yang muram mungkin, tapi Da Vinci tak hendak membuyarkan kerinduan kita pada sesuatu. Pelukis zaman renaissance itu kemudian menyitir, kita tak harus menyesali, justru harus menyambut, nasib yang dibentuk oleh harapan yang tak pernah sampai.

Karena, ‘Kerinduan’ itulah, kata Da Vinci, sebagai ‘sifat dasar kehidupan’. Dan manusia adalah sebuah tauladan, minimal bagi dirinya sendiri.

Kerinduan bukan lah narsisme. Memang kadang ketika kita memandang ke dunia, yang kita temukan adalah wajah sendiri, kawan-kawan kita dan rekan-rekan kita. Lalu kita mengaguminya, tapi bukan berarti –selamanya- kawan adalah kita dan kita adalah kawan.

Ada batasan-batasan yang tak pernah bisa diungkapkan, karena manusia di jagad ini adalah ukuran segala-galanya. Karena juga kami sering menulis semua ‘Manusia’ dengan ‘M’, bukan ‘manusia’ dengan ‘m’. Minimal dalam kerinduan-ku sendiri, yang mungkin ikut membawa kuman untuk kematian-ku sendiri.

Banda Aceh, 11 Juli 2008

Sunday, July 27, 2008

Ziarah Iman Bekas Tahanan

Peresensi : Adi Warsidi

“Penangkapan oleh Taliban menandai titik balik dalam hidup Yvonne Ridley: awal perjalanannya menuju Islam dan keputusannya untuk berkomitmen menjadi aktivis perdamaian.” - The Guardian

Judul Buku : Dari Penjara Taliban Menuju Iman
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : Mizan Media Utama (MUU)
Tebal : 190 halaman

Bisakah status bekas tahanan membelokkan iman? Membuat sorang wartawati yang kritis membela korban perang berubah menjadi mualaf dalam dua tahun sesudahnya. Lalu kemudian berjuang untuk keadilan bagi Islam di Eropa. Yvonne Ridley telah melakoninya dalam sebuah kisah panjang ziarah iman.


Kisah ini ditulis oleh Anton Kurnia dengan rapi, untuk kosumsi lokal di Indonesia. Cerita bermula saat Yvonne Ridley mendapatkan tugas meliput perang di Afganistan, beberapa hari setelah serangan 11 September 2001, serangan teroris yang menghancurkan menara World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS).

AS menuduh Osama Bin Laden dengan Al-Qaida ada dibalik itu. Dan Afganistan di bawah rezim Taliban diduga melindungi Osama. AS pun merencanakan serangan balasan ke sana. Ivonne mendapat tugas berat dari medianya kala itu, Sunday Express dan Daily Express yang berpusat di Inggris. Liputan langsung dari medan yang bakal perang.

Yvonne adalah senior di jajarannya, diapun berangkat via Pakistan dan masuk dengan menyamar sebagai perempuang Afganistan ke wilayah itu. Yvonne terpaksa harus memakai burka (pakaian wanita Afganistan) yang panas dan tak bebas.

Di sinilah awal petualangannya, Anton sang penulis mulai memainkan ketegangan bagi pembaca. Yvonne tertangkap saat kedapatan memotret diam-diam, ketika hendak keluar dari Afganistan setelah melakukan liputan. Pemerintah Taliban melarang pemotretan di wilayahnya.

Sial baginya, mereka menuduhnya sebagai mata-mata Amerika atau Inggris. Dia pun ditahan di sebuah penjara yang jauh dari layak. Di luar sana, peluru-peluru kendali dijatuhkan dari pesawat pem-bom untuk serangan balasan bagi Afganistan yang menolak memberikan Tuan Osama.

Sepuluh hari ditahan adalah petualangan tersendiri bagi Yvonne. Dia diperlakukan dengan baik oleh Taliban, kendati balasan darinya sungguh buruk. Yvonne memberontak dengan meludahi dan mogok makan. Dia tak disentuh sampai akhirnya dibebaskan.

Perlakuan baik itulah yang menimbulkan kesan baginya terhadap Islam, dan diapun mempelajarinya kemudian di Inggris. “Aku terpukau oleh apa yang kubaca... menurutku kata-kata di Alquran amat menakjubkan dan masih relevan di zaman sekarang...,” kutipan Yvonne pada halaman 125.

Petualangan pun membuncah setelah dia kembali lagi ke Afganistan untuk tugas selanjutnya. Dan setelah dua tahun ditahan oleh Taliban, dia membaca syahadat menyatakan keislamannya. Ada juga pertentangan dari rekan-rekannya saat itu. Tekadnya bulat dan penuh intrik. Sampai rela meninggalkan kebiasaan buruk merokok, diskotik dan seks bebas.

Setelah Islam hiasi hatinya, Yvonne masih terus menulis sebagai aktivis pembela Islam atau setidaknya meluruskan pandangan dunia barat terhadap agama ini.

Anton meracik bukunya dengan baik, kendati tak bertemu langsung dengan Yvonne. Kisah utamanya diambil dari tulisan Yvonne sendiri dalam bukunya: In The Hands of Taliban dan Ticket of Paradise.

Penulis juga menyajikan info-info detail tentang Afganistan pada saat itu, dari jalan dan kondisi kota. Tetapi masih saja dengan memakai referensi buku-buku lain. Inilah salah satu kelemahan dari buku ini, Anton adalah orang ketiga dalam petualangan Iman Yvonne.

Lainnya, Anton kadang terlalu beropini lewat tulisannya. Memuji terlalu lambung sang wartawati muslimah itu. Misalnya pada halaman 133, Anton menulis: “... betapa dia telah menemukan ziarah yang menakjubkan. Dia akhirnya menemukan akar spriritualitasnya ribuan kilometer dari negeri kelahirannya saat disekap di sebuah negeri asing...”

Tapi apapun, Anton telah memulainya dengan bagus. Layak dibaca semua kalangan sebagai referensi bagi keteguhan iman bagi yang Islam, atau sekedar pengetahuan tentang dunia Islam bagi yang non Islam. Selamat membaca petualangan iman sang wartawati Inggris.

ACEHKINI, Maret 2008

Friday, July 25, 2008

Wayang

By : Adi Warsidi

Dalam sebuah tekad, ada pengabdian dan sikap yang mesti dicari, menentukan sendiri. Ketika sebuah tawaran hadiah datang, berharap tak salah. Ketika sebuah vonis dakwaan datang, berharap salah. Ada kehati-hatian dalam jalur timbangan kehidupan.

Hidup memang tak ada yang pasti, tak hitam-putih tapi juga ada abu-abu, tak siang-malam tapi juga ada senja. Tapi kadang, ‘kesempatan hanya datang sekali’, seperti yang pernah dilantunkan pemikir-pemikir yang mungkin juga tak bisa berpikir.


Tak ada pesan apa-apa yang ingin kukabarkan di sini, karena kisah ini hanya abu-abu yang kutuliskan dengan tinta hitam berlatar putih. Karena yang kuidolakan adalah karet dan bukan besi. Bunglon, bukan sapi. Iwan Fals bahkan menulis dalam lagunya, jadilah Durna dan bukan Bhisma, karena Durna punya lidah sejuta.

Dia adalah tokoh guru dalam kitab Mahabarata. Durna mengajarkan segala ilmu untuk anak-anak Pandu dan Destarata, para Pandawa dan Kurawa, yang kemudian berperang sesamanya.

Tak sanggup kita seperti Bhisma. Dia agung dan gilang-gemilang, tapi juga berlaku abu-abu. Dia hidup dalam ketimpangan yang brutal. Keputusannya mulia ketika menolak tahta Hastinapura. Tapi, penolakan itu untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah egoisme.

Ia memang teguh memegang sumpah, tak meneruskan keturunan. Membiarkan ayahnya memberikan gelar raja kepada cucu-cucu setiawati, sang permaisuri baru. Tapi ia tak mencegah ketika Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang berasal dari rahim dua ibu, Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan yang masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu.

Destarata buta dan Pandu terlalu perkasa. Mereka memerintah bersama, dibantu Bhisma sebagai pelindung kerajaan. Pandu kemudian memilih bertapa bersama istrinya Kunti, ibu para Pandawa.

Ghandari mendampingi suaminya yang buta. Menjelang perang Pandawa dan Kurawa, kepada dayang dia berkata. “Kututup mataku karena aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang, memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi dalam waktu.” Ghandari memilih hidup tanpa cahaya. Karena kehidupan baginya adalah hitam dan putih.

Tak ada pesan apa-apa yang tertulis di sini, karena itu hanya cerita yang sering diperankan wayang. Tapi aku rindu pada lirik Iwan Fals, yang mengingatkan; jadilah Durna dan bukan Bhisma, apalagi Ghandari atau Pandu. ***

Banda Aceh, 13 Juli 2008

Monday, July 14, 2008

Batas

By : Adi Warsidi

Tapal itu tak bergaris lurus seperti jembatan panjang yang berbatas pada pinggir, lalu jalan. Tapal itu sebuah abstrak yang tak bisa diraba, berliku-liku, berlekuk dan rumit. Kadang batas tak berbatas dan kadang batas juga tragedi, jurang mematikan.

Sekarang tinggal bagaimana ‘batas’ dibatasi pada pikiran yang bisa menumbuhkan sebuah jalan mulus. Jika itu bisa dilakukan, maka batas adalah sebuah perjuangan. Pada umumnya, perjuangan tak pernah mengenal batas, kendati pejuang telah berbatas mati.


Perbatasan hanya dua sisi, siang berbatas malam, baik berbatas buruk, madu berbatas racun dan putih berbatas hitam. Tapi bukan tak mungkin, sebuah batasan ada yang abu-abu, atau antara keduanya. Kadang berbaur, kalau begini berarti tak berbatas.

Suatu hari pernah kami bertanya tentang batas pada tuan rumah yang tak pernah mengenal kami. Apa yang kami kerjakan sudah benar? Siapa kami? Kenapa kami selalu menkhawatirkan batas kami sendiri? Kenapa kami berlekuk, rumit dan abu-abu? Kenapa kami tidak ini dan kenapa tidak itu?

Tuan rumah itu heran dan memberi jawaban. Siapa anda? Kami pun binggung dan balik memfatwa, kami pun berhak bertanya kepada kawan, siapa kami?

Batas juga bermakna pergi dan kembali. Teringat sajak Sultan Takdir Alisjahbana sekitar tahun 1930-an. Pengarang roman Grotta Azzura itu menulis ‘Telah kutinggalkan engkau,’ pada batas untuk teluk teduh tempat asalnya. Dalam sajak itu, ia putuskan untuk mening¬galkan alam tenang yang dilindungi gunung. Sultan memilih laut luas tanpa proteksi; ia bebas, sebab itu ia berani menghadapi mara bahaya dalam ketakpastian cuaca.

Mara bahaya dan kacaunya cuaca mungkin adalah tidak adanya batasan dalam pilihan Sultan, ketika dia sudah berani meninggalkan tempat asal sebagai batas. Tapi kadang tak berbatas yang dicari adalah awal langkah mencari batas. Dan bukankah perjuangan juga tak berbatas? Lalu kenapa perlu putih atau hitam? Siang dan malam dan seribu lainnya.

Entahlah, di akhir biarkan kami menulis, ‘boleh biarkan batas perjuangan tak berbatas, karena batasku adalah mati’. ***

Banda Aceh, 28 Juni 2008

Wednesday, June 11, 2008

Komunikasi

By: Adi W

Kerap aku menghempaskan kata pada laptop di depanku. Biasanya saat kelabakan ketika deadline hampir dekat, tulisan kurang, kepala sakit, istirahat semakin minim saja. “Laporan tak masuk, kenapa anak-anak semakin malas?”

“Apa yang salah..., monyet.... monyet,” serapahku lagi. Tak ada yang menjawab, kawan-kawan hanya mendengar. Hening tak ada komentar. Maklum saja itu pertanyaan retorik, tak butuh dan tak ada jawaban. Aku tak sedang berbicara dengan kawan-kawan di sini. Aku sedang bicara pada laptop, meja, kursi, gelas, asbak dan bahkan sepatu. Benda itu sama saja diam.


Andai saja aku sedang memakai baju dengan label ‘Pasien RSJ’, maka orang pasti akan mendakwa ‘orang gila’. Tapi tidak, semakin besar suara memaki meja, aku malah semakin tenang, bukan semakin gila. Aneh.

Ajaibnya lagi, itu juga dilakukan oleh sebagian besar kawan-kawan di sini. Lelah ketika harus berkutat dengan masalah itu-itu saja, nol perubahan. Itu adalah sekelumit peristiwa yang mungkin bodoh, tapi aku menganggap itu bentuk komunikasi. Minimal untuk pribadi.

Komunikasi kadang tak mengenal objek, tidak mengenal lawan bicara, tak peduli lawan bisa mendengar atau tidak. Sebut saja itu namanya komunikasi ‘tak wajar’. Tapi ada kebiasaan, komunikasi seperti itu akan lahir bila si pelaku telah berkomunikasi se’wajar’nya kepada lawan yang bisa bicara, mendengar dan merasa.

Bicara komunikasi, pada prinsipnya tak ada di antara kita makhluk Tuhan yang tidak melakukan komunikasi. Semua yang hidup bisa, bahkan alam pun mampu melakukan itu ketika mengirim banjir bandang akibat rusaknya hutan. Apalagi harimau yang ganas memangsa apa saja, bila merasa diganggu habitatnya.

Komunikasi beragam definisi, hampir tak ada satu yang baku. FEX Dance dari Universitas Winsconsin pada tahun 1970 pernah mencoba mengumpulkan definisi komunikasi yang ada. Hasilnya adalah 98 arti alias maksudnya.

Kemudian Severin dan Tankard dari Universitas Texas pernah menyebut bahwa komunikasi terbagi dalam tiga kelompok, yaitu menekankan pada berbagi, persuasi dan respon.
Komunikasi mengandung unsur art, science dan technology. Artinya dalam komunikasi terdapat hal-hal yang tidak bisa dilakukan berdasarkan common sense belaka. Di samping ada hal-hal yang alamiah, namun ada elemen yang perlu diketahui atau dipelajari supaya komunikasi bisa berjalan baik.

Lebih khusus lagi, perlu diketahui komunikasi itu mengandung isi dan pesan. Kadang ada juga komunikasi yang tidak jelas apa isi dan pesan yang mau disampaikan. Ini mungkin menyangkut profesionalisme. Atau lawan bicara yang seperti meja, kursi, asbak dan sepatu.

Kurasa komunikasi penting untuk jalannya sebuah sistem. Menulis ini, juga komunikasi.
[]

Banda Aceh, Mei 2008 [AI]

Wednesday, June 4, 2008

TA Sakti : Perawat Hikayat Aceh

By : Adi Warsidi

Di kamar ukuran 4 x 3 meter itu, sebuah lemari penuh buku menempel di dinding. Tak ada meja dan kursi, hanya selembar ambal berwarna biru. Itulah ruang kerja Drs. Teuku Abdullah Sakti (DTA Sakti), perawat hikayat Aceh yang telah lebur dan tercerai berai bersama waktu.

Suatu hari, saya diajak menyelami ruangan yang terletak pada sudut rumahnya di Desa Tanjong, Darussalam, Banda Aceh. Mesin tik model lama tergeletak persis di depan lemari. Tak ada komputer, dengan mesin itulah DTA Sakti bekerja merangkai kata.


Lemari bagian atas berisi buku-buku hikayat Aceh dan Melayu yang telah dialih-bahasakan olehnya, sebagian lagi adalah buku-buku sejarah Aceh. Pak TA –begitu orang memanggilnya- adalah dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Sejarah di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Harta karun ada di bagian bawah lemari kayu itu. Dokumen-dokumen tua berumur ratusan tahun tertata rapi, sebagian hampir tak terbaca. “Ini adalah kumpulan-kumpulan hikayat lama Aceh, sempat basah direndam tsunami,” sebutnya. Hikayat adalah cerita-cerita dongeng yang bersyair dan bisa berupa petunjuk dalam kehidupan. Seringkali hikayat hanya diketahui secara turun temurun yang diceritakan secara lisan.

Kumpulan yang dimaksudkan adalah buku-buku tua yang lebih tepat disebut lembaran, tak mirip lagi sebuah buku. Berisikan hikayat-hikayat lama dalam bahasa Aceh dan Melayu, tulisan dalam kertas-kertas kusam itu berhuruf arab, bukan latin. Di sinilah peran TA bermain dalam merawat hikayat-hikayat lama, menuliskan kembali kisah dalam huruf latin, bahasa Aceh atau Melayu persis aslinya. “Agar semua orang bisa tahu dan membaca.”

TA menyebutnya alih aksara, tak kurang 28 buku yang memuat hikayat lama telah berhasil disusunnya kembali, beberapa lagi masih dalam tahap pengerjaan. Kesibukan itulah yang dilakoninya setiap hari, ketika tak sibuk mengajar. Hikayat-hikayat yang dialih-bahasakan kembali, kerap muncul di media massa Aceh, seperti di Harian Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh.

Selain itu, juga dituangkan dalam buku-buku kecil seukuran saku, untuk dijual bebas. Uangnya dipakai untuk mencetak lagi sebanyak-banyaknya, agar hikayat lama dikenali luas dan tak mudah punah. Jika ditotalkan, kisah lama yang telah berhasil dialih-aksarakan sebanyak 7.000 halaman buku saku.

Hikayat yang dituliskan kembali beragam, ada Hikayat Meudehak (cerita tentang keberhasilan raja), Gomtala Syah (kisah binatang), Hikayat Prang Sabi (membangkitkan semangat perang melawan Belanda) Hikayat Tajussalatin (pedoman dan nasehat untuk raja-raja) dan lain sebagainya. Cerita itu telah berumur lama, Tajussalatin misalnya telah dikarang sejak 1603 oleh Bukhari Al-Jauhari atas perintah Sultan Aceh saat itu. Memakai bahasa Melayu, dongeng itu ditulis dalam huruf arab.

Naskah yang menjadi tuntunan para raja-raja di Aceh itu kemudian menyebar di seluruh nusantara. Pernah Sultan Hamengkubuwono V menerjemahkannya dalam bahasa jawa pada abad ke-18. Konon, salinannya masih tersimpan rapi di ruangan klasik meseum Suno Bodoyo, Jokyakarta.

***
ketertarikan TA terhadap hikayat telah lama. Dilahirkan di Desa Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie pada Tahun 1954 lalu, kehidupannya sudah biasa dengan cerita-cerita dongeng Aceh alias hikayat. Darah budaya mengalir sejak belajar di dayah Titue- Keumala, yang diasuh oleh T. Muhammad Syeh Lemeulo, saat itu.

Selain itu, rumah orang tuanya di desa juga banyak tersimpan dokumen hikayat dulu warisan moyangnya. “Umumnya, kitab hikayat lama yang ada sama saya adalah warisan keluarga,” sebutnya.

Saat kecil, dia sudah bisa menghafal Hikayat Akhbarul Karim, yang bercerita tentang agama. Kehidupan di desanya juga tak jauh dari hikayat, setiap pesta perkawinan di Aceh dulunya, selalu dihiasi dengan hikayat syair yang didendangkan siang dan malam. Perlahan-lahan kebiasaan itu hilang berganti musik.

Umur 13 tahun, TA mengenal (Alm) Adnan PMTOH saat pementasan di Lapangan Kota Bakti, Sigli. Adnan adalah penutur hikayat Aceh yang telah meninggal pertengahan 2006 lalu. Diakuinya, begitu terpana menyaksikan keahlian Adnan yang mahir membacakan hikayat-hikayat diluar kepala, ditambah dengan peragaan alat-alat yang sangat bagus dan menghibur. Saat itu, ribuan orang hadir menyaksikan keahlian Adnan.

Setelah itu, TA muda menjadi rajin mengumpulkan kembali hikayat-hikayat yang tersebar di kumpulan buku-buku usang rumahnya. Dihafalnya dan diingatnya setiap kisah yang dibaca.

Tahun 1985, TA meneruskan sekolah ke Jogya. Di sana kecintaannya kepada hikayat menipis. Sampai suatu hari dia mendapat kecelakaan tabrakan mobil yang ditumpanginya. Hanya setahun di Jogya, TA kembali ke Aceh untuk penyembuhan kakinya, dia kemudian berobat satu tahun di Beutong, Aceh Barat. “Kendati sembuh, kaki saya tak sempurna lagi, saya mulai menggunakan tongkat sejak itu,” sebutnya.

Tapi di Beutong lah, hari-harinya diisi dengan lantunan hikayat yang pernah dihafalnya. Kecintaannya bertambah lagi sampai kembali ke Jogya meneruskan study yang sempat macet. Tahun 1990, TA resmi menjadi dosen dan rutin menuliskan dan sekaligus merawat hikayat-hikayat lama.

Bukan tanpa kendala, menurutnya pemerintah Aceh masih kurang bisa merawat budaya. Buktinya, TA kerap mencari dukungan kepada Pemda Aceh untuk mencetak hikayat-hikayat lama yang telah dialih-aksarakan kembali, tapi tak ada perhatian. TA tak patah arang, menyisihkan sedikit gajinya hikayat itu tetap dicetaknya dan dikeluarkan sendiri, dijual murah dan kemudian hasilnya untuk dicetak lagi. “Saya ingin cerita-cerita lama di Aceh tetap terpelihara,” sebutnya.

Mengumpulkan bahan juga hal yang susah. Banyak kitab lama yang hilang bersama konflik di Aceh, tsunami menambahnya lagi. Misalnya, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) yang rata dengan tanah. Padahal, tempat itu kaya dengan cerita Aceh dulunya.

TA yang pernah mendapatkan ‘Bintang Budaya Parama Dharma’ –untuk mereka yang memelihara budaya nasional- semasa Presiden Megawati dulunya, sering menyelami di mana karya budaya Aceh banyak tersangkut. Temuannya, hikayat Aceh sebanyak 600 judul pernah di-latin-kan semasa perang Belanda di Aceh.

Adalah Hosein Djayadiningrat yang menggubah saat itu. Dia merupakan ajudan dari Snock Hungronje, peneliti Belanda yang dianggap berjasa dalam perang Belanda di Aceh. Indonesia merdeka, karya itu dibeli oleh Muhammad Yamin, menteri era Soekarno. Setelah itu, tidak diketahui lagi keberadaan kisah itu.

Baru tahun 1994, TA mendapatkan kabar kalau hikayat 600 judul itu berada di Museum Pertamina, Jakarta. Dulunya, (Alm) Aboe Bakar (budayawan Aceh dan pendiri PDIA) pernah mengusulkan agar hikayat itu dibeli kembali oleh Pemda Aceh untuk dibawa ke Serambi. Tapi, tak pernah digubris. “Saya sendiri berkali-kali menuliskan di koran tentang itu,” sebut TA.

Menurutnya, Snock Hungronje pernah menuliskan pujian terhadap Aceh dulunya dalam sebuah buku. “Satu-satunya cerita dongeng lisan tentang binatang yang pernah dibukukan di Nusantara adalah di Aceh,” sebut TA mengulang pujian. Cerita binatang yang dimaksud adalah Hikayat Gomtala Syah.

TA sendiri sempat heran terhadap orang Aceh yang tidak begitu serius merawat cerita budaya. “Masak orang luar Aceh yang lebih peduli, kita sendiri tidak.”

Kekhawatirannya terhadap hikayat yang hampir punah, membuatnya terus bekerja merawat kembali kisah-kisah dalam bentuk syair itu. Kemampuannya tentu terbatas, apalagi tak banyak yang melakukannya. Hanya beberapa orang, salah satunya adalah (Alm) Adnan PMTOH.

***
Tertarik hikayat Aceh, TA Sakti tak bisa melepas kenangan pada sang fenomenal Adnan PMTOH. Ingatannya melenting ke tahun 1967, pada alun-alun Kota Bakti, saat pertama kali melihatnya beraksi. Hikayat-hikayat Malem Diwa dan Sang Deuria meluncur bebas dari mulut penutur PMTOH itu.

Dengan berbagai alat peraga, Adnan melakonkan Malem Diwa, sang tokoh cerita. Lalu berubah jadi Putri Bungsu dengan perubahan suaranya, sesaat kemudian jadi Banta Muda lalu berubah lagi menjadi Raja Muda Negeri Antara.

Kisah Malem Diwa menurut TA adalah cerita yang bukan sepenuhnya dongeng, ada kejadian sebenarnya dan tokoh sejarahnya. Inti cerita, bagaimana penyebaran agama Islam di Aceh saat itu. Kisah dimulai dari turunnya tujuh putri dari negeri Antara (Aceh Tengah) untuk mandi di Krueng Peusangan (Bireuen).

Malem Diwa mengintip para putri mandi dan tertarik dengan si Bungsu alias Putroe Bungsu. Singkat kisah, diapun mencuri baju terbang Putroe Bungsu, hingga tak bisa kembali ke negerinya. Malem muncul sebagai pahlawan dan kemudian menikahi putri jelita itu. Berbilang tahun kemudian, mereka dikaruniai anak, bernama Banta Muda.

Banta lewat masa balita, saat Putroe Bungsu menemukan baju terbangnya yang disembunyikan Malem Diwa di bawah dapur rumah. Kerinduan pada kerajaannya, membuat Putroe terbang kembali ke Negeri Antara membawa Banta Muda, tanpa sepengetahuan suami.

Inti kisah dimulai. Malem dirudung duka lalu berusaha mencari istrinya ke Negeri Antara. Dia menyamar menjadi seorang guru mengaji dan mengajarkan ngaji di kerajaan. Salah satu murid adalah anaknya sendiri, Banta Muda. Di sini hikayat menggambarkan bagaimana penyebaran Islam dilakukan.

Tak lama setelah pertemuan itu, Putroe Bungsu akan dipersunting oleh seorang Raja yang belum beragama Islam. Malem Diwa dan Banta Muda bersekutu melawan Raja. Penguasa itu kalah dan Malem Diwa bahagia kembali bersama seluruh keluarga.

Di tangan Adnan PMTOH, kisah itu disajikan dengan unik. “Semua orang pasti akan tertawa, merenung dan sedih mendengarnya,” sebut TA.

Terus terang, TA resah resah akan kelanjutan hikayat lama Aceh yang umumnya masih terkubur. Takut suatu saat tak ada yang memperdulikan lagi dan membacakan lagi. Harapannya, Pemda Aceh bisa terjun labih dalam lagi untuk melestarikan budaya, terutama hikayat Aceh. Selain itu, bisa mendirikan sebuah Fakultas Sastra di Aceh, setidaknya anak-cucu bisa terus membaca dan tahu cerita lama.

Di ruang kerjanya, TA masih meneruskan tugasnya mengalih-aksarakan kitab berhuruf Arab ke huruf latin. Tik...tik... mesin ketik masih menemaninya dalam kengundahan memikirkan kelanjutan hikayat lama Aceh. Tugasnya masih belum selesai, impiannya masih bergantung, mungkin sampai dia tak bisa bermimpi lagi. ***

[acehkini, medio 2007]

Wednesday, May 28, 2008

Kerja

By: Adi W

Suatu hari di kedai kopi. “Aku tak bekerja lagi, kontrak itu baru saja diputuskan,” kata seorang sahabat saya. “Tolong kalau ada kerjaan, dibagi tahu.”

Kelakar saya berujar, “kau pandai, tak sulit bagi orang yang sepertimu mencari kerjaan lain.” Tapi, dia melanjutkan lagi dan sempat membuat saya terkesima. “Anakku bos, istriku bos, orangtuaku bos, rumahku yang belum lunas kreditnya, adik-adikku yang harus kubantu. Pening aku,” celotehnya. Saya tersenyum saja.


Sampai di sini kopi kami datang setelah sepuluh menit dipesan. Hujan masih deras saja di luar sana, berbicara seperti berteriak. Saya teringat masa kala bernasib sama, pengangguran. Pedih memang, gamang tak tahu berbuat apa.

Sahabat saya bukan orang sembarangan. Pendidikannya sarjana. Indek Prestasi Kumulatif (IPK)-nya saat tamat dulu tinggi; 3,8. Nyaris sempurna. Tapi, kenapa dia bisa seresah itu memikirkan pekerjaan, padahal dia orang pandai.

Saya membuka lagi diskusi ketika teringat sebuah petuah yang tak tahu lagi siapa pencetusnya. Katanya; ‘Pekerjaan itu bukan tujuan, tapi nasib’. Setuju atau tidak? Terserahlah kepada kita bagaimana menilainya. Yang jelas mencari pekerjaan itu gampang dan susah. Mudahnya; negeri ini begitu subur, jangankan mencari pekerjaan, membuat pekerjaan saja bisa. Tapi kadang tak terpikirkan, banyak kita yang terperangkap pada kerja-kerja yang praktis; pegawai negeri, bekerja di NGO, LSM Internasional, perusahaan-perusahaan dan lainnya yang selalu menyediakan gaji per bulan.

Artinya, masih tergantung pada yang kaya yang punya uang. “Apa kau tidak berpikir untuk menciptakan pekerjaan sendiri, membantu orang lain untuk mendapatkan pekerjaan. Karena kau orang hebat, kalau tidak kau robek saja izajah mu yang menabalkan tulisan cum laude itu,” kata saya. Dia tertawa. “Aku tak sepandai itu dan tak punya modal,” ujarnya.

Sisi susahnya, jenguklah bumi kita. Negeri yang baru saja dihempas petaka tsunami dan konflik ini, masih sedang menata diri. Pekerjaan susah didapat, kemiskinan merajalela, ekonomi masih morat-marit, investor masih belum unjuk diri, mungkin khawatir dengan konflik lama yang panjang. Konon pemimpin telah berjanji akan menciptakan lapangan kerja untuk memberangus pengangguran.

***
Pada sebuah lokasi di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Kampung Jawa, Banda Aceh. “Saya bukan pengangguran, saya pemulung. Saya punya penghasilan,” kata seorang Pak Pemulung.

Di Simpang Lima, Banda Aceh. “Mengemis adalah pekerjaan bagi saya, dari ini saya hidup. Kalau mau saya berhenti, beri pekerjaan lain buat kami,” kata Pak Pengemis.

Di Kecamatan Peusangan, Bireuen. “Pekerjaan saya menebang hutan dan kayu saya jual, saya tak tahu bekerja lain,” kata Penebang Hutan.

“Saya petani, hanya punya sawah sepetak, ini tak cukup. Saya tak tahu apa pekerjaan lain, sekolah saya tak tamat SD (sekolah dasar),” kata Pak Petani.

“Saya punya pekerjaan, saya nelayan,” kata seorang nelayan di Alue Naga.

Kenyataan-kenyataan itu masih saja menderu. Pemulung dalam kemiskinan, pengemis menentut, petani hidup tak cukup, nelayan tak berkecukupan, hutan jadi lahan. Sawah-sawah itu, laut-laut itu, hutan-hutan itu ada potensi yang besar yang harusnya cukup untuk hidup para pengolahnya. Khusus untuk hutan, tentu tak perlu mengganggu lingkungan.

Di luar itu pengangguran masih menjadi ancaman. Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.

Teorinya, ini disebabkan karena jumlah angkatan kerja yang tak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Kerap pengangguran menjadi masalah dalam perekonomian. Karena dengan adanya penganggur produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang, sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh pernah mengatakan kepada saya, banyaknya pengangguran bisa saja berpotensi mengganggu keamanan. “Karena orang menganggur itu sabarnya akan terganggu,” katanya.

Menanggapi itu, Irwandi berencana untuk menguatkan ekonomi berbasis rakyat. Kongkritnya, melakukan langkah untuk mengurangi pengangguran dengan penyediaan lapangan kerja. Ekonomi kerakyatan adalah prioritas yang dijalankan bersamaan dengan ekonomi berbasis kapital dan modal. Ini sudah mulai berjalan. Harapannya, “sehingga terciptalah golongan kelas menengah yang lebih banyak di Aceh,” katanya.

Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan memang, perlu kerja keras menyiapkan Sumber Daya Manusia yang tak lagi tergantung kepada orang lain, negara lain yang lebih maju. Artinya, saya mengutip kata Pak Islahuddin, pakar ekonomi Aceh; masyarakat jangan terlalu bergantung dengan lapangan kerja yang disediakan pemerintah maupun swasta. Tetapi lebih memikirkan bagaimana menciptakan lapangan kerja yang kreatif dan inovatif sehingga bisa menciptakan sesuatu yang baru.

Kita tunggu saja, entah sampai kapan? []

[Banda Aceh, Januari 2008]

Wednesday, May 21, 2008

Gila

By: Adi Warsidi

Siapakah orang gila? Melihat riset, pasca tsunami dan konflik di Aceh tak banyak pasien jiwa. Tapi sebuah pendapat dan kenyataan lain, orang gila di Aceh meningkat drastis setelah dua bencana itu.

Suatu hari, seperti biasa saya mengisi pagi dengan rutinitas ‘ngopi’, di warung Solong, Ulee Kareng. Tempat itu konon kedai kopi terbesar di Banda Aceh, dan telah menarik pelanggan dari para menteri, gubernur dan kelas bawahan. Tak ingin saya menyebutkan bahwa tukang becak dan tukang sapu sebagai kelas bawahan.


Sepele saja alasannya, karena sudut pandang bawahan dan atasan hanya pada isi kantong. Kalau soal moral, saya berani bertaruh, bahwa kadang tukang becak dan tukang sapu lebih mulia dari pejabat sekalipun. Lebih setia kawan, lebih bisa diajak bicara dan lainnya. Dari segi ekonomi memang mereka kalah, sama seperti saya. Sangat tak sopan, ada bawahan meledek dengan kata-kata itu untuk sesama kaum rendahan.

Ada sebuah status tak terbatas yang bercerita tentang kaum saya, para wartawan. Sering terkisah, wartawan bisa setara dengan presiden dan bisa lebih rendah dari pengemis atau pengangguran. Bayangannya: wartawan bisa seenak droe masuk ke Istana Presiden, apalagi ke pendopo gubernur di Banda Aceh, untuk sekedar bercengkrama atau tugas wawancara.

Tapi di lain pihak, jurnalis bisa seperti pengangguran atau pengemis. Tidur dimana saja saat melakukan liputan, mandi jarang jika harus turun ke kampung berhari-hari atau bahkan jarang sikat gigi. Kabarnya, juga ada yang seperti pengemis betulan hanya lebih terhormat. Sssttt, jangan meledek kaum sendiri..., sorry... terlepas dari hati.

Kembali ke warung yang juga banyak diserbu pengemis -yang sebenarnya- itu. Baru 10 menit saya duduk bersama rekan-rekan, seorang berpenampilan kusut dengan baju lusuh dan kotor, rambut panjang gimbal dan acak, masuk ke warung. Semua tahu dia, karena telah biasa. Dan semua meng-klaim-nya sebagai orang gila. Kendati tak ada yang berani menyebutnya di muka si gimbal itu. Kalaupun ada, mungkin dia akan cuek saja.

Tanpa bicara sepatah pun, dia merapat ke meja yang ada nasi bungkusnya. Satu diambil, dan bergegas mencari tempat kosong yang kebetulan ada di meja paling depan. Duduk sebentar saja sambil menyantap nasi, kopi sudah diantar ke tempatnya, walau tanpa memesan. Padahal saat itu, kedai sangat ramai. Bayangkan, kalau anda duduk di sana tanpa memesan dan lolos dari perhatian pramusaji, dijamin kopi anda tak bakalan datang sampai setengah jam kemudian.

Saya sering memperhatikan dia, ada tata krama sendiri dan tak pernah menganggu para pelanggan. Usai menyantap makan, masih dengan kebisuannya, dia bergegas pergi entah kemana, mencari peraduannya dalam pikiran yang tak berarah.

Setidaknya ada dua orang gila –seperti orang menyebutnya- yang beredar di Ulee Kareng. Satu yang tadi dan satu lagi Si Alu, dengan rambut ala ‘Bob Marley’-nya, dengan tanpa baju, yang melintas saban hari dari Darussalam ke Ulee Kareng. Hanya saja Si Alu tak pernah singah di Solong, mungkin ada tempat langganan lain.

Dulu saya sering mendengar tentang Si Alu, entah benar entah tidak. Kabarnya, dia adalah bekas mahasiswa di Unsyiah yang berubah prilakunya seperti sekarang, karena putus cinta dengan sang kekasih yang mengkhianatinya. Kalau benar, kasihan Si Alu, yang masih gelap dalam mencari cintanya yang hilang. Entahlah ...

Ada banyak kisah yang mengherankan saya tentang orang-orang seperti mereka, tentu dalam perilakunya tak pernah menganggu sesama, tak pernah meledek, mengejek dan sebagainya. Semua berjalan pada porosnya.

Lihatlah Nek Sion yang sudah renta tapi sanggup berjalan dari Darussalam ke Kutaraja. Misinya hanya mencari belas kasihan dengan selembar uang, “Bie peng sion (minta uang selembar),” katanya saat meminta.

Merenung mereka, teringat pada sebuah pagi di January 2005, sebulan setelah tsunami. Saya dan seorang rekan melakukan liputan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh. Memang saat tsunami banyak penghuninya yang lari menyelamatkan diri, karena pada saat gempa para pegawai membuka pintu-pintu.

Kata yang berwenang, banyak pasien yang sudah kembali, hanya tinggal beberapa lagi di luar atau mungkin telah menjadi korban. Unik, mereka tahu kembali ke asalnya.

Setelah liputan, saya menikmati sejenak sambil mengusili pasien yang telah hampir sembuh dan bisa berkeliaran di halaman, pikir saya sekedar melepas stres. Ada yang bercerita tentang keinginan menjadi tentara, ada yang putus cinta, dan berbagai lainnya. Ehh... tak lama, malah saya balik diganggu oleh seorang pasien wanita yang rambutnya dikepang dua.

“Aduh, abang artis ya, rambutnya panjang,” sebutnya sambil tertawa dengan kepada rekannya. Saat itu, rambut saya masih panjang ikal. Masih panik, si rambut kepang menyaru lagi, “minta uang dong abang artis.” Baru mau berkelit, dia sudah usil lagi, “artis, ganteng, tapi pelit, nggak kawan ahh...” Dia lalu pergi begitu saja.

Si Pria yang ingin jadi tentara berujar, “bang gak usah di-open, gilanya itu masih parah.” Duhhh... saya tergelak dan memutuskan untuk segera pergi, lama-lama saya bisa jadi gila juga, meladeni pasien jiwa.

Tapi saya tak mau membohongi, bahwa ada banyak kisah bijak terambil dengan penuh sadar, dari kegilaan mereka dalam mencari kehidupannya.

Pasca tsunami dan konflik, tak banyak memang pertumbuhan jumlah pasien jiwa di Aceh, tapi ada. Begitu setidaknya hasil riset lembaga-lembaga kajian tentang ini. Artinya, tak banyak orang stres setelah dua bencana itu. Itu sedkit membanggakan kita.

Tapi pada sisi lain.
Sehari sebelum saya duduk di Ulee Kareng itu, saya Jumat-an di Mesjid Lamreng, Meunasah Papeun, Aceh Besar. Saya tercengang saat khatib mengutib sebuah hadist Nabi Muhammad. Kisahnya kira-kira seperti ini: Suatu hari saat Nabi Muhammad masih hidup, beberapa anak dilihatnya sedang menganggu orang gila. Nabi menegur, “jangan kau ganggu dia wahai anakku.”

“Kenapa wahai Rasul, dia kan orang gila,” seorang anak menyela. “Dia bukan gila, tapi sedang mendapat cobaan Allah,” kata Nabi. Para anak-anak itu berhenti, sampai kemudian beberapa sahabat menanyakan, “lalu siapa sebenarnya orang gila.”

Nabi pun menerangkan: “Orang gila adalah pemimpin yang sombong dan congkak, orang kaya yang sombong dengan hartanya, orang pintar yang sombong dengan kepintarannya dan orang miskin yang sombong dengan kemiskinannya.” Begitulah kira-kira yang saya rekam.

Sejak saat itu, saya merubah pendapat saya tentang orang gila yang sesungguhnya. Yang biasa disebut gila, saya sebut dengan sakit jiwa. Dan ‘orang gila’ sesungguhnya, saya tak berani menyebutnya siapa mereka. Semakin berpikir, saya bisa semakin gila.

Dua hari ini saya merenung tentang tatakrama orang yang sakit jiwa yang sering ditabalkan sebagai orang gila. Mereka sopan asal jangan diganggu, tak menganggu bila tak diusik. Tapi ada yang benar-benar gila seperti kata Nabi yang mengusik tanpa perlu diganggu.

Saya tak ingin berceramah, karena tidak sedang menjadi khatib. Tapi, sang khatib pada akhirnya menyampaikan kesimpulannya. “Kalau itu yang disebut gila, maka banyak sekali orang gila di Aceh,” sebutnya.

Mungkin saja. Pada sisi lain, pasca tsunami dan konflik orang gila semakin bertambah. Jika orang kaya sombong maka dia adalah ‘orang gila’, orang pintar angkuh maka di juga ‘orang gila’, si miskin sombong juga ‘orang gila’ dan pemimpin yang congkak bin sombong juga masuk kelompok ini.

Siapa saja mereka? Pembacalah yang menilai sendiri. Ketika zaman sudah saling sikut untuk merebut kuasa alam. Ketika bibir menjadi manis untuk merebut simpati orang. Banyak yang kadang mengumbar congkak dengan segepok uang. Ada juga yang sok tahu dalam kepintarannya yang bodoh.

Bahkan mungkin saja, saya sendiri juga masuk kategori orang gila. Kegilaan yang mengalahkan cueknya Si Kusut Kedai Solong, Si Alu yang tahan terik, Nek Sion yang tegar dalam rentanya, Si Pria yang ingin jadi tentara dan Si Rambut Kepang Dua yang mengatakan saya artis yang pelit.

Entahlah... saya masih merenung dengan kegilaan Aceh setelah tsunami dan konflik. [A]