Wednesday, May 28, 2008

Kerja

By: Adi W

Suatu hari di kedai kopi. “Aku tak bekerja lagi, kontrak itu baru saja diputuskan,” kata seorang sahabat saya. “Tolong kalau ada kerjaan, dibagi tahu.”

Kelakar saya berujar, “kau pandai, tak sulit bagi orang yang sepertimu mencari kerjaan lain.” Tapi, dia melanjutkan lagi dan sempat membuat saya terkesima. “Anakku bos, istriku bos, orangtuaku bos, rumahku yang belum lunas kreditnya, adik-adikku yang harus kubantu. Pening aku,” celotehnya. Saya tersenyum saja.


Sampai di sini kopi kami datang setelah sepuluh menit dipesan. Hujan masih deras saja di luar sana, berbicara seperti berteriak. Saya teringat masa kala bernasib sama, pengangguran. Pedih memang, gamang tak tahu berbuat apa.

Sahabat saya bukan orang sembarangan. Pendidikannya sarjana. Indek Prestasi Kumulatif (IPK)-nya saat tamat dulu tinggi; 3,8. Nyaris sempurna. Tapi, kenapa dia bisa seresah itu memikirkan pekerjaan, padahal dia orang pandai.

Saya membuka lagi diskusi ketika teringat sebuah petuah yang tak tahu lagi siapa pencetusnya. Katanya; ‘Pekerjaan itu bukan tujuan, tapi nasib’. Setuju atau tidak? Terserahlah kepada kita bagaimana menilainya. Yang jelas mencari pekerjaan itu gampang dan susah. Mudahnya; negeri ini begitu subur, jangankan mencari pekerjaan, membuat pekerjaan saja bisa. Tapi kadang tak terpikirkan, banyak kita yang terperangkap pada kerja-kerja yang praktis; pegawai negeri, bekerja di NGO, LSM Internasional, perusahaan-perusahaan dan lainnya yang selalu menyediakan gaji per bulan.

Artinya, masih tergantung pada yang kaya yang punya uang. “Apa kau tidak berpikir untuk menciptakan pekerjaan sendiri, membantu orang lain untuk mendapatkan pekerjaan. Karena kau orang hebat, kalau tidak kau robek saja izajah mu yang menabalkan tulisan cum laude itu,” kata saya. Dia tertawa. “Aku tak sepandai itu dan tak punya modal,” ujarnya.

Sisi susahnya, jenguklah bumi kita. Negeri yang baru saja dihempas petaka tsunami dan konflik ini, masih sedang menata diri. Pekerjaan susah didapat, kemiskinan merajalela, ekonomi masih morat-marit, investor masih belum unjuk diri, mungkin khawatir dengan konflik lama yang panjang. Konon pemimpin telah berjanji akan menciptakan lapangan kerja untuk memberangus pengangguran.

***
Pada sebuah lokasi di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Kampung Jawa, Banda Aceh. “Saya bukan pengangguran, saya pemulung. Saya punya penghasilan,” kata seorang Pak Pemulung.

Di Simpang Lima, Banda Aceh. “Mengemis adalah pekerjaan bagi saya, dari ini saya hidup. Kalau mau saya berhenti, beri pekerjaan lain buat kami,” kata Pak Pengemis.

Di Kecamatan Peusangan, Bireuen. “Pekerjaan saya menebang hutan dan kayu saya jual, saya tak tahu bekerja lain,” kata Penebang Hutan.

“Saya petani, hanya punya sawah sepetak, ini tak cukup. Saya tak tahu apa pekerjaan lain, sekolah saya tak tamat SD (sekolah dasar),” kata Pak Petani.

“Saya punya pekerjaan, saya nelayan,” kata seorang nelayan di Alue Naga.

Kenyataan-kenyataan itu masih saja menderu. Pemulung dalam kemiskinan, pengemis menentut, petani hidup tak cukup, nelayan tak berkecukupan, hutan jadi lahan. Sawah-sawah itu, laut-laut itu, hutan-hutan itu ada potensi yang besar yang harusnya cukup untuk hidup para pengolahnya. Khusus untuk hutan, tentu tak perlu mengganggu lingkungan.

Di luar itu pengangguran masih menjadi ancaman. Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.

Teorinya, ini disebabkan karena jumlah angkatan kerja yang tak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Kerap pengangguran menjadi masalah dalam perekonomian. Karena dengan adanya penganggur produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang, sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh pernah mengatakan kepada saya, banyaknya pengangguran bisa saja berpotensi mengganggu keamanan. “Karena orang menganggur itu sabarnya akan terganggu,” katanya.

Menanggapi itu, Irwandi berencana untuk menguatkan ekonomi berbasis rakyat. Kongkritnya, melakukan langkah untuk mengurangi pengangguran dengan penyediaan lapangan kerja. Ekonomi kerakyatan adalah prioritas yang dijalankan bersamaan dengan ekonomi berbasis kapital dan modal. Ini sudah mulai berjalan. Harapannya, “sehingga terciptalah golongan kelas menengah yang lebih banyak di Aceh,” katanya.

Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan memang, perlu kerja keras menyiapkan Sumber Daya Manusia yang tak lagi tergantung kepada orang lain, negara lain yang lebih maju. Artinya, saya mengutip kata Pak Islahuddin, pakar ekonomi Aceh; masyarakat jangan terlalu bergantung dengan lapangan kerja yang disediakan pemerintah maupun swasta. Tetapi lebih memikirkan bagaimana menciptakan lapangan kerja yang kreatif dan inovatif sehingga bisa menciptakan sesuatu yang baru.

Kita tunggu saja, entah sampai kapan? []

[Banda Aceh, Januari 2008]

Wednesday, May 21, 2008

Gila

By: Adi Warsidi

Siapakah orang gila? Melihat riset, pasca tsunami dan konflik di Aceh tak banyak pasien jiwa. Tapi sebuah pendapat dan kenyataan lain, orang gila di Aceh meningkat drastis setelah dua bencana itu.

Suatu hari, seperti biasa saya mengisi pagi dengan rutinitas ‘ngopi’, di warung Solong, Ulee Kareng. Tempat itu konon kedai kopi terbesar di Banda Aceh, dan telah menarik pelanggan dari para menteri, gubernur dan kelas bawahan. Tak ingin saya menyebutkan bahwa tukang becak dan tukang sapu sebagai kelas bawahan.


Sepele saja alasannya, karena sudut pandang bawahan dan atasan hanya pada isi kantong. Kalau soal moral, saya berani bertaruh, bahwa kadang tukang becak dan tukang sapu lebih mulia dari pejabat sekalipun. Lebih setia kawan, lebih bisa diajak bicara dan lainnya. Dari segi ekonomi memang mereka kalah, sama seperti saya. Sangat tak sopan, ada bawahan meledek dengan kata-kata itu untuk sesama kaum rendahan.

Ada sebuah status tak terbatas yang bercerita tentang kaum saya, para wartawan. Sering terkisah, wartawan bisa setara dengan presiden dan bisa lebih rendah dari pengemis atau pengangguran. Bayangannya: wartawan bisa seenak droe masuk ke Istana Presiden, apalagi ke pendopo gubernur di Banda Aceh, untuk sekedar bercengkrama atau tugas wawancara.

Tapi di lain pihak, jurnalis bisa seperti pengangguran atau pengemis. Tidur dimana saja saat melakukan liputan, mandi jarang jika harus turun ke kampung berhari-hari atau bahkan jarang sikat gigi. Kabarnya, juga ada yang seperti pengemis betulan hanya lebih terhormat. Sssttt, jangan meledek kaum sendiri..., sorry... terlepas dari hati.

Kembali ke warung yang juga banyak diserbu pengemis -yang sebenarnya- itu. Baru 10 menit saya duduk bersama rekan-rekan, seorang berpenampilan kusut dengan baju lusuh dan kotor, rambut panjang gimbal dan acak, masuk ke warung. Semua tahu dia, karena telah biasa. Dan semua meng-klaim-nya sebagai orang gila. Kendati tak ada yang berani menyebutnya di muka si gimbal itu. Kalaupun ada, mungkin dia akan cuek saja.

Tanpa bicara sepatah pun, dia merapat ke meja yang ada nasi bungkusnya. Satu diambil, dan bergegas mencari tempat kosong yang kebetulan ada di meja paling depan. Duduk sebentar saja sambil menyantap nasi, kopi sudah diantar ke tempatnya, walau tanpa memesan. Padahal saat itu, kedai sangat ramai. Bayangkan, kalau anda duduk di sana tanpa memesan dan lolos dari perhatian pramusaji, dijamin kopi anda tak bakalan datang sampai setengah jam kemudian.

Saya sering memperhatikan dia, ada tata krama sendiri dan tak pernah menganggu para pelanggan. Usai menyantap makan, masih dengan kebisuannya, dia bergegas pergi entah kemana, mencari peraduannya dalam pikiran yang tak berarah.

Setidaknya ada dua orang gila –seperti orang menyebutnya- yang beredar di Ulee Kareng. Satu yang tadi dan satu lagi Si Alu, dengan rambut ala ‘Bob Marley’-nya, dengan tanpa baju, yang melintas saban hari dari Darussalam ke Ulee Kareng. Hanya saja Si Alu tak pernah singah di Solong, mungkin ada tempat langganan lain.

Dulu saya sering mendengar tentang Si Alu, entah benar entah tidak. Kabarnya, dia adalah bekas mahasiswa di Unsyiah yang berubah prilakunya seperti sekarang, karena putus cinta dengan sang kekasih yang mengkhianatinya. Kalau benar, kasihan Si Alu, yang masih gelap dalam mencari cintanya yang hilang. Entahlah ...

Ada banyak kisah yang mengherankan saya tentang orang-orang seperti mereka, tentu dalam perilakunya tak pernah menganggu sesama, tak pernah meledek, mengejek dan sebagainya. Semua berjalan pada porosnya.

Lihatlah Nek Sion yang sudah renta tapi sanggup berjalan dari Darussalam ke Kutaraja. Misinya hanya mencari belas kasihan dengan selembar uang, “Bie peng sion (minta uang selembar),” katanya saat meminta.

Merenung mereka, teringat pada sebuah pagi di January 2005, sebulan setelah tsunami. Saya dan seorang rekan melakukan liputan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh. Memang saat tsunami banyak penghuninya yang lari menyelamatkan diri, karena pada saat gempa para pegawai membuka pintu-pintu.

Kata yang berwenang, banyak pasien yang sudah kembali, hanya tinggal beberapa lagi di luar atau mungkin telah menjadi korban. Unik, mereka tahu kembali ke asalnya.

Setelah liputan, saya menikmati sejenak sambil mengusili pasien yang telah hampir sembuh dan bisa berkeliaran di halaman, pikir saya sekedar melepas stres. Ada yang bercerita tentang keinginan menjadi tentara, ada yang putus cinta, dan berbagai lainnya. Ehh... tak lama, malah saya balik diganggu oleh seorang pasien wanita yang rambutnya dikepang dua.

“Aduh, abang artis ya, rambutnya panjang,” sebutnya sambil tertawa dengan kepada rekannya. Saat itu, rambut saya masih panjang ikal. Masih panik, si rambut kepang menyaru lagi, “minta uang dong abang artis.” Baru mau berkelit, dia sudah usil lagi, “artis, ganteng, tapi pelit, nggak kawan ahh...” Dia lalu pergi begitu saja.

Si Pria yang ingin jadi tentara berujar, “bang gak usah di-open, gilanya itu masih parah.” Duhhh... saya tergelak dan memutuskan untuk segera pergi, lama-lama saya bisa jadi gila juga, meladeni pasien jiwa.

Tapi saya tak mau membohongi, bahwa ada banyak kisah bijak terambil dengan penuh sadar, dari kegilaan mereka dalam mencari kehidupannya.

Pasca tsunami dan konflik, tak banyak memang pertumbuhan jumlah pasien jiwa di Aceh, tapi ada. Begitu setidaknya hasil riset lembaga-lembaga kajian tentang ini. Artinya, tak banyak orang stres setelah dua bencana itu. Itu sedkit membanggakan kita.

Tapi pada sisi lain.
Sehari sebelum saya duduk di Ulee Kareng itu, saya Jumat-an di Mesjid Lamreng, Meunasah Papeun, Aceh Besar. Saya tercengang saat khatib mengutib sebuah hadist Nabi Muhammad. Kisahnya kira-kira seperti ini: Suatu hari saat Nabi Muhammad masih hidup, beberapa anak dilihatnya sedang menganggu orang gila. Nabi menegur, “jangan kau ganggu dia wahai anakku.”

“Kenapa wahai Rasul, dia kan orang gila,” seorang anak menyela. “Dia bukan gila, tapi sedang mendapat cobaan Allah,” kata Nabi. Para anak-anak itu berhenti, sampai kemudian beberapa sahabat menanyakan, “lalu siapa sebenarnya orang gila.”

Nabi pun menerangkan: “Orang gila adalah pemimpin yang sombong dan congkak, orang kaya yang sombong dengan hartanya, orang pintar yang sombong dengan kepintarannya dan orang miskin yang sombong dengan kemiskinannya.” Begitulah kira-kira yang saya rekam.

Sejak saat itu, saya merubah pendapat saya tentang orang gila yang sesungguhnya. Yang biasa disebut gila, saya sebut dengan sakit jiwa. Dan ‘orang gila’ sesungguhnya, saya tak berani menyebutnya siapa mereka. Semakin berpikir, saya bisa semakin gila.

Dua hari ini saya merenung tentang tatakrama orang yang sakit jiwa yang sering ditabalkan sebagai orang gila. Mereka sopan asal jangan diganggu, tak menganggu bila tak diusik. Tapi ada yang benar-benar gila seperti kata Nabi yang mengusik tanpa perlu diganggu.

Saya tak ingin berceramah, karena tidak sedang menjadi khatib. Tapi, sang khatib pada akhirnya menyampaikan kesimpulannya. “Kalau itu yang disebut gila, maka banyak sekali orang gila di Aceh,” sebutnya.

Mungkin saja. Pada sisi lain, pasca tsunami dan konflik orang gila semakin bertambah. Jika orang kaya sombong maka dia adalah ‘orang gila’, orang pintar angkuh maka di juga ‘orang gila’, si miskin sombong juga ‘orang gila’ dan pemimpin yang congkak bin sombong juga masuk kelompok ini.

Siapa saja mereka? Pembacalah yang menilai sendiri. Ketika zaman sudah saling sikut untuk merebut kuasa alam. Ketika bibir menjadi manis untuk merebut simpati orang. Banyak yang kadang mengumbar congkak dengan segepok uang. Ada juga yang sok tahu dalam kepintarannya yang bodoh.

Bahkan mungkin saja, saya sendiri juga masuk kategori orang gila. Kegilaan yang mengalahkan cueknya Si Kusut Kedai Solong, Si Alu yang tahan terik, Nek Sion yang tegar dalam rentanya, Si Pria yang ingin jadi tentara dan Si Rambut Kepang Dua yang mengatakan saya artis yang pelit.

Entahlah... saya masih merenung dengan kegilaan Aceh setelah tsunami dan konflik. [A]

Wednesday, May 14, 2008

Meredam Bara Kriminal Bersenjata

By: Adi Warsidi

Setelah damai ada, kriminalitas bersenjata dan teror menjadi masalah. Perlu dipadamkan

Rabu, 18 Maret 2007 lalu, masih terlalu muda. Jarum jam di tangan Muhammad Firdaus menunjukkan pukul 3.00 Wib dini hari. Seperti biasa, perwira Kepolisan Resort (Polres) Aceh Besar itu memimpin anak buahnya untuk melakukan patroli. Mengendarai mobil dinas polisi, mereka bergerak dari Kota Jantho menyisir jalan dengan tujuan Saree, Seulawah.


Tak ada misi khusus jelang subuh itu. Jalan sunyi senyap, hanya satu-dua bus yang melintas di ruas Banda Aceh – Medan. Kecurigaan dimulai di kawasan Lamtamot, saat tim patroli melihat sebuah mobil Toyota Kijang biru tua sedang mengisi bensin pada kios pengecer yang masih buka.

Dua polisi jelas melihat seorang lelaki menuangkan bensin ke tangki mobil. Anehnya, begitu melihat mobil patroli polisi, laki-laki tersebut kelihatan grogi, sehingga minyak yang seharusnya masuk ke tangki malah tertuang ke luar. Saat itu polisi belum menaruh curiga dan melaju seperti biasa. Selang beberapa menit kemudian, mobil kijang tadi mengekor di belakang dan tak berusaha mendahului patroli. Padahal, mobil polisi berjalan lamban dan sudah beberapa kali memberikan jalan dengan sedikit menepi ke kiri.

Kecurigaan mulai muncul. Kebiasaan polisi, strategi pun dijalankan dengan rapi. Mobil patroli tancap gas sampai ke pasar Saree yang lenggang. Di sana, polisi berhenti sambil menunggu sasaran muncul. Saat yang dicurigai tiba, polisi berusaha menghentikannya. Tapi mobil tersebut parkir agak jauh dan penumpangnya berhamburan ke luar sambil berlari ke semak belukar.

Ada enam laki-laki, salah satunya menenteng senapan atomatis M-16. Polisi tidak kalah cepat, terus mengejar sambil memberi tembakan peringatan. Perintah tak ditanggapi, malah dijawab dengan berondongan tembakan. Sekilas aksi seperti film laga perang pun menguak sunyi, jelang subuh itu.

Ini bukan kisah film, tapi nyata. “ Kompolotan bersenjata itu menghilang ke kawasan hutan, tapi kami tidak terpancing mengejar, kami mengontak ke markas meminta tambahan pasukan,” sebut Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Aceh Besar, Iptu Agung Prasetyo.

Sambil menunggu datangnya bantuan, polisi menggeledah mobil Kijang yang ditinggalkan komplotan. Beberapa barang ditemukan; satu stel seragam loreng, sebilah pisau, tiga buah magazen M-16, delapan butir peluru, dan tiga sebo plus sarung tangan. Dugaan awal disimpulkan, mereka akan melakukan tindakan kriminal.

Sekitar pukul 9.00 Wib pagi, personil bantuan datang dan pengejaran intensif dilakukan. Menariknya, pengejaran ini dipimpin langsung oleh Kapolres Aceh Besar AKBP Edy Suswanto. Hasilnya, empat orang berhasil diringkus aparat. Mereka adalah Zubir, 32 tahun, Efendi (25), Nurdin (30) dan Muhadi (36). Hanya Zubir yang terluka pada kakinya setelah dilumpuhkan, dua lainnya masih belum diketahui.

Yang tertangkap diboyong ke Rumah Tahanan Kota Jantho, sebagai titipan polisi. Ditahan karena tuduhan terlibat dalam aksi perampokan yang marak terjadi akhir-akhir ini. Satu pucuk M-16 juga berhasil disita dari tangan mereka.

Saat Aceh Magazine menemui para tahanan di rutan Jantho Akhir Mei 2007 lalu, mereka terlihat lesu. Nurdin berbicara panjang lebar tentang kondisi mereka. “Petugas tahanan memperlakukan kami dengan baik,” kata pria berambut cepak itu.

Pengakuannya sama dengan keterangan mereka ke polisi. Nurdin mengakui kalau dia adalah mantan prajurit GAM yang telah dibubarkan dan menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA). Tapi, soal senjata yang akan digunakan untuk merampok, ada bantahan darinya. Nurdin menyebutkan, senjata itu diambil di Banda Aceh dan sudah lama disembunyikan, namun dia tidak mau mengakui dimana senjata itu diambil.

“Senjata itu sudah saya sembuyikan sejak konflik, rencananya hari itu mau saya bawa pulang ke Aceh Timur, tapi di jalan kami kepergok dengan polisi. Kami dituduh merampok, kami sama sekali tidak bermaksud merampok, itu hanya rekayasa polisi dan kami hanya ingin membawa pulang kembali senjata itu” jelas Nurdin.

Sementara kepada polisi, seperti yang disampaikan Kasat Reskrim Agung Prasetyo, mereka mengaku ingin merampok sepeda motor, tapi cepat digagalkan pihak kepolisian. Motor yang direncanakan akan dirampok sejumlah 6 unit untuk dibagi rata. Pengakuan lain, senjata yang mereka bawa adalah milik Abu Geulumpang, yang disebutkan pelaku sebagai seorang anggota KPA di Aceh Timur. “Pengadilan nantinya yang akan menvonis, kita tunggu saja prosesnya.”

***
Bukan perang dan tak lagi konflik, tapi kriminal memang sedang tumbuh subur di Aceh. Kesepakatan damai di Helsinki hampir dua tahun lalu, bukan jaminan kriminal berhenti, bahkan bertambah lajunya di Aceh. Kerap tindak kriminal dilakukan dengan menggunakan senjata api.

Simak saja bebepapa kejadian lain. Awal Juni 2007 lalu, Di Desa Seuneubok Bayu, Makmur, Kabupaten Bireuen, dua orang tak dikenal mengusik malam dengan berondongan senapan di rumah Badruddin, 34 tahun. Akibatnya, Alfiaturrahmah, bocah berusia empat tahun meregang nyawa. Badruddin dan istrinya Ainul Mardhiah kritis setelah peluru juga menyapa tubuh mereka.

Anehnya, teror dan tindakan kriminal itu terkait kriminal sebelumnya. Penyelidikan polisi, korban terkait dengan perampokan sales rokok dan penyanderaan mobil milik NGO Cardi di Sawang, Medio Mei 2007. Badruddin adalah bekas combatan GAM dan disinyalir kelolisian mempunyai 10 anak buah dalam melakukan beberapa tindak kriminal di wilayah Bireuen, Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Badruddin akhirnya ditangkap di Rumah Sakit Bireuen. Dia masih dalam pengamanan polisi untuk mengembangkan kasus-kasus kriminal yang terjadi. Ada indikasi kuat, keterlibatan Badruddin sebagai korban penembakan dan pelaku kriminal selama ini terkait dengan sebuah kelompok yang terorganisir secara rapi.

Kapolresta Lhokseumawe Benny Gunawan melalui Kasat Reskrim AKP Bambang Eko Subandono mengakui Badruddin terindikasi sebagai pelaku kriminal bersenjata selama ini. "Kita telah amankan tiga orang lagi temannya Badruddin itu. Kita terus kembangkan kasus ini," paparnya.

Bahkan menurutnya, pelaku peledakan bom di rumah Suadi Yahya (Wakil Walikota Lhokseumawe) dan Sofyan Dawood (Mantan Juru Bicara GAM) beberapa waktu lalu mengarah ke Badruddin. “Arahnya ke kelompok Badruddin yang kita tangkap. Kita terus kembangkan kasus ini, dan kita upayakan terus untuk menjaga keamanan di wilayah ini,” sebut Eko.

Rumah mantan petinggi GAM itu dilempari granat pada akhir April 2007, hanya seminggu setelah granat meledak di Rumah Suadi Yahya dan Pendopo Bupati Aceh Utara. Kasus yang lain juga masih ada. Beberapa misalnya; pembakaran Kantor KPA di Lhoksukon yang terjadi pada akhir Maret 2007.

Untuk meminimalisir kriminal bersenjata di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, pihak kepolisian berinisiatif untuk meningkatkan razia dengan fokus pada senjata tajam, bahan peledak dan senjata api. Biasanya razia digelar malam hari, seminggu tiga kali.

Di Banda Aceh, kriminal juga membludak, tapi yang bersenjata baru sekali dalam kurun tahun ini. Kasus itu terjadi pada Mei lalu, seorang staf PT. Kande Agung, Ibrahim Abbas dirampok siang bolong ketika hendak menyetor uang ke bank. Kejadiannya di Lueng Bata, Banda Aceh, akibatnya Rp 200 juta raib dan lebih tragis lagi korban harus menerima tiga luka akibat tembakan peluru oleh pelaku yang menggunakan pistol.

Polisi memang berhasil mengidentifikasi pelaku tersebut, tapi belum berhasil ditangkap. “Berdasarkan keterangan saksi-saksi korban, kita berhasil meyakini Bustaman sebagai pelakunya,” sebut Kepala Kepolisian Kota Besar (Kapoltabes) Banda Aceh, Zulkarnaen.

Menurutnya, sejauh ini kepolisian telah menyebar foto-foto Bustaman sebagai buronan. Pelaku juga sampai dikejar ke Aceh Utara, tapi hasilnya masih nihil. Kepolisian juga belum bisa mengindikasikan dari kelompok mana pelaku itu, artinya belum bisa menarik ‘garis merah’ terhadap kelompok tertentu. Masih tindak kriminal murni. “Kasus itu menurut penilaian kami saat ini, murni berdiri sendiri, diluar apa yang kita takutkan selama ini dalam konteks perdamaian GAM dan RI.”

Bicara data, dalam catatan kepolisian Banda Aceh kasus kriminal memang sedang marak. Dalam tahun 2006 tercatat 1.023 kasus yang mereka tangani. Paling tinggi ada pada kasus pencurian kendaraan bermotor (curanmor) mencapai angka 417 kasus, pencurian biasa 103 kasus dan selebihnya adalah kasus narkotika, teror, pembunuhan dan kriminal biasa. Penyelesaiannya hanya 211 kasus.

Sampai dengan Medio 2007 tercatat, sudah 404 kasus yang masuk. Urutan pertama juga kasus curanmor dan urutan kedua pada narkotika. Perampokan dengan senjata hanya satu kasus yang menimpa staf Kande Agung itu.

Menekan angka kriminal, Poltabes Banda Aceh juga menggelar razia. Khusus untuk curanmor, mereka memberi label ‘Operasi Sikat Rencong’. Kemudian juga mengembangkan konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas). Ide pemikiran ini pada intinya suatu kebijakan yang strategis yaitu mensetarakan polisi dan masyarakat serta pemecahan masalah. Fungsinya agar masalah ringan dapat diselesaikan pada tingkat masyarakat, tak perlu pada tingkatan yang lebih tinggi.

Selain masyarakat, polisi juga membangun kerjasama dengan TNI untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Selain itu, juga menjalin kerjasama yang bersifat koordinasi dengan Komite Peralihan Aceh (KPA) GAM. Polisi kerap menginformasikan kepada mereka, kalau masalahnya murni kriminalitas, janganlah dibela. “Ada juga KPA datang ke saya minta tolong untuk kasus tertentu, namun saya coba jelaskan bahwa polisi bekerjasama tetapi kerjasama dalam konteks membangun,” sebutnya.

***
Penilaian Jodi Heriadi, Kepala Humas Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, ada dua kemungkinan pelaku kriminal. Pertama adalah mereka yang datang dari luar daerah, karena sekarang ini merasa di Aceh sedang bangak uang yang beredar di masyarakat. Selanjutnya adalah pelaku-pelaku kejahatan lama yang kini bermain lagi. Jodi tak merinci siapa yang lama, sudah jadi rahasia umum.

Biasanya yang mahir menggunakan senjata adalah TNI, Polisi dan bekas petempur GAM. Tidak ada pengecualian di sini. Siapapun dia tetap akan ditindak secara hukum yang berlaku. “Kita tidak mentolerir, ada oknum polisi, ada oknum TNI atau oknum organisasi lain, semua kita tindak,” tegas Jodi.

Menurutnya, ada kemungkinan senjata illegal masih banyak beredar. Misalnya kasus bekas GAM di Aceh Timur yang melakukan perampokan dengan senjata api. Kemungkinannya mereka ada yang tidak menyerahkan senjata waktu pemusnahan senjata sesuai dengan mandat MoU dulu. Atau mungkin mereka dapatkan dengan cara lain dan kemudian melakukan kejahatan. Mereka adalah pelaku kriminalitas dan akan ditindak sesuai hukum.

Soal senjata illegal. Bisa jadi semasa konflik dulu banyak senjata yang disimpan dan kemudian ditemukan oleh orang-orang yang tak bertanggung-jawab. Sejauh ini polisi masih terus memburu para pelaku tindak kriminal di Aceh yang banyak belum terungkap.

Saat ini menurut Jodi, polisi punya strategi dalam meminimalkan kriminal dan ancaman keamanan di masyarakat. Mereka sudah menyusun rencana untuk mengaktifkan kembali pos keamanan lingkungan di desa-desa. “Sudah ada intruksi dari Kapolda ke polres dan polsek-polsesk, agar setiap desa mengaktifkan siskamling,” sebutnya.

Dengan itu, minimal kejahatan bisa dihindari. Dari data pihak kepolisian Aceh, pasca MoU Helsinki hinggal Medio 2007, Polda Aceh telah menemukan sekitar 50 pucuk senjata api illegal dari orang yang tidak berhak. Polisi juga telah mengamankan 1.134 butir peluru, 5 magazen AK-56 dan tujuh magazen M-16, 11 butir granat, 7 butir GLM dan 38 bom rakitan. “Kita ucapkan terimakasih kepada masyarakat yang ikut membantu memberikan laporan ke polisi,” sebut Jodi.

Untuk tindakan kriminal di seluruh Aceh sepanjang tahun 2007, yang terekam di Polda Aceh adalah sebanyak 3.196 kasus. Dari jumlah itu, 1.173 kasus telah diselesaikan.

Soal ini, Juru Bicara KPA GAM, Ibrahim Syamsuddin mendukung sepenuhnya kerja polisi untuk mengungkap pelaku kejahatan kriminal selama ini. Bagi intitusi KPA, semua senjata telah diserahkan untuk dimusnahkan dulunya, dan di atas kertas tak ada lagi senjata yang dipegang mereka. “Jika ada pelaku yang melakukan kejahatan dengan senjata, itu merupakan kriminal murni dan KPA tidak bertanggung jawab. Polisi yang berhak menghukum dengan UUD yang berlaku,” tegasnya. “Kita menjunjung hukum yang berlaku di Aceh,” tambahnya.

Panglima Kodam Iskandar Muda Supiadin AS, berpendapat bahwa kondisi keamanan di Aceh sudah kondusif. Tapi masih ada hal-hal yang disesalkan, banyaknya tindakan kekerasan yang terjadi dengan menggunakan senjata. “Kita sudah temukan sekitar seratus senjata api yang digunakan untuk merampok dan dimiliki secara ilegal. Jenisnya banyak yang rakitan, ini sangat kita sesalkan dan akan kita tertibkan,” ujar Pangdam, saat pertemuan dengan Ulama seluruh Aceh, awal September 2007.

Pengakuan Supiadin, pihaknya dan Pemerintah Daerah sudah mengedarkan maklumat yang ikut ditandatangani gubernur dan kepala kepolisian. Isinya adalah himbauan bagi yang memiliki senjata api secara ilegal, agar segera menyerahkannya kepada pihak polisi. ‘Untuk tahap awal kita mulai dengan himbauan dan pendekatan. Setelah sosialisasi ini, jika masih kita temukan di lapangan, maka akan berlaku tindak pidana.”

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf punya pandangan lain. “Kalau di daerah lain, kriminal adalah hari-hari. Kalau di Aceh, dulu memang kriminal kurang karena sedang konflik. Kalau ada hanya sekali-kali, tidak seperti sekarang ini. Dulu apa yang mau dirampok, apa mau merampok GAM atau TNI. Siapa yang berani,” ujarnya medio Agustus 2007.

Menurutnya, peningkatan kriminal di Aceh disebabkan suasana yang sudah damai dan banyaknya uang yang beredar di Aceh. Maklum, negeri ini sedang membangun usai tsunami tiga tahun lalu. “Mungkin banyak juga orang yang lengah. Inilah sasarannya, perampok bertebaran. Ada malah yang datang dari luar.”

Soal pengangguran juga menjadi masalah sendiri dalam meredam bara kriminalitas di Aceh. Diakui banyak mantan petempur GAM dan masyarakat yang menganggur dan ini sangat bisa memicu persoalan itu, “karena orang menganggur itu sabarnya akan terganggu,” kata Irwandi.

Pemerintahan Aceh, katanya, terus membangun ekonomi dan mencarikan pekerjaan buat mereka. Selain itu juga terus mencari senjata yang beredar ilegal, agar persoalan kriminal dan teror selesai. Agar tak ada lgi onak dalam damai yang masih muda di Aceh. [ ]

Akhir 2007

Monday, May 12, 2008

Belajar Demokrasi di Serambi

By: Adi Warsidi

Ini cerita lama, saat dua calon yang didukung GAM bersaing meraih dukungan. Aceh menempatkan mereka di tempat teratas. Belajar politik setelah konflik.
(Maret 2007)

MINGGU, 21 Mei 2006. Satu-persatu, petinggi dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu hadir pagi-pagi. Wartawan berebut mengambil gambar, memotret dan merekam pertemuan yang jarang. Ada pelukan saat tokoh itu bersalaman, ada canda dan sapa yang renyah.

“Apa kabar dek? Sehat kan...” dan seribu basa-basi lainnya meluncur begitu saja, dalam bahasa Aceh yang kental. Para petinggi GAM saling berangkulan.


Sesaat kemudian, Malek Mahmud, Perdana Mentri GAM tiba. Dia diapit oleh pengawal mantan pasukan. Di belakangnya ada Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM) Muzakkir Manaf (mantan Panglima GAM), Sofyan Daud (mantan Juru Bicara Tentara GAM), Bakhtiar Abdullah (Juru Bicara GAM), Tgk Usman Lampoh Awe (Ketua Majelis GAM), Ilyas Abed (Majelis GAM), Zakaria Saman (Menteri Pertahanan GAM) serta Irwandi Yusuf yang saat itu masih bertugas sebagai representatif GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM).

Sebelumnya telah datang para petinggi yang lain, Munawar Liza Zein, Nur Djuli dan para panglima di seluruh wilayah Aceh, para juru bicaranya, serta perwakilan komponen masyarakat Aceh. Ada banyak lagi yang datang, sampai seratusan lebih.

Diantara mereka ada banyak yang putra Aceh berkewarga-negaraan luar negeri, setelah bertahun-tahun tinggal di benua lain untuk mencari dukungan terhadap perjuangan GAM, menuntut keadilan untuk Aceh. Sebagai contoh; Malek Mahmud warga negara Malaysia, Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah (Swedia) dan Nur Djuli (Malaysia).

Ada banyak lagi GAM yang datang dari seantero dunia; Swedia, Denmark, Norweygia, Amerika Serikat, Australia dan Malaysia. Pertemuan pagi itu, Ahad 21 Mei 2006 bukan di luar negeri, tapi di salah satu gedung komplek AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Acara itupun ditabalkan sebagai; Pertemuan bangsa Aceh ban sigom donya – Pertemuan bangsa Aceh seluruh dunia.

Tanpa pengamanan kepolisian, hanya beberapa mantan TNA GAM bertugas menjaga gedung itu. Sebagian di luar sebagian menunggu di pintu masuk sebuah ruangan di lantai. Mereka sedang mengadakan hajatan, menentukan arah pilitik GAM pasca penandatangan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Sebuah kesepakatan damai menghentikan perang dengan pemerintah Indonesia.

“Pertemuan ini akan diadakan dua hari dan bersifat tertutup,” sebut Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Sofyan Dawood, mengawali penjelasan.

Katanya, tujuan mengadakan pertemuan akbar tersebut adalah untuk memperkuat gerakan sipil mereka di Aceh. Tokoh-tokoh GAM itu akan saling memberikan pandangan untuk menyusun strategi politik yang kuat, bahkan mereka yang selama ini bermukim di luar negeri, membawa konsep-konsep pilitik di negara Eropa maupun Amerika.

Beberapa agenda besar yang akan dibahas adalah sosialisasi MoU, persiapan pembentukan partai, pengawalan Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA), sampai strategi politik menjelang pilkada Aceh. “Kita akan membuat sebuah kekuatan untuk berpolitik sesuai dengan MoU,” sebut Sofyan.

Tujuan pertemuan juga tak lepas dari keinginan GAM untuk membentuk sebuah partai lokal setelah RUU-PA rampung disahkan oleh parlemen di Jakarta. Untuk itu, maksud GAM mengundang beberapa perwakilan masyarakat Aceh, sebagai bukti bahwa pembentukan partai lokal nantinya, bukanlah punya GAM tapi juga kepunyaan seluruh masyarakat Aceh.

“Apa yang kita bicarakan nanti menyangkut semua bentuk mekanisme-mekanisme untuk menyukseskan perdamaian ini,” jelasnya rinci.

Soal pilkada, apakah kemungkinan GAM bergabung dengan partai?
Sofyan membantah berita tersebut. GAM nantinya akan masuk ke pilkada melalui calon independen. “Kalau itu tidak terbuka, kita mungkin tidak terjun ke arena itu. Kita tidak bergabung dengan partai-partai yang lain,” tegasnya.

Juru Bicara KPA GAM itu juga membantah wacana penempatan Hasbi Abdullah sebagai tokoh GAM dengan Humam Hamid dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), untuk maju sebagai calon kepala daerah dalam pilkada Aceh. Saat itu, isu tersebut santer dibicarakan publik.

“Nanti semua hasilnya akan diumumkan dalam konferensi pers, usai pertemuan ini,” ujar Sofyan Dawood sambil berlalu memasuki ruangan.

***
SAMPAI waktu yang dijanjikan, 23 Mei 2006. Konferensi pers digelar menjelang sore. Hasilnya beberapa rekomendasi untuk memperkuat gerakan sipil di kalangan GAM, juga sebuah keputusan untuk mempersiapkan pembentukan partai politik GAM di Aceh. Tentunya usai pilkada nanti.

Ada yang megganjal dalam jangka pendek. Tak ada putusan pasti soal siapa yang diusung GAM sebagai calon independen yang maju bertarung dalam gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh ke depan.

“Sudah dipilih nama-nama, dalam kesempatan ini belum bisa diumumkan, kami masih menunggu RUU-PA disahkan pemerintah Indonesia,” sebut Malek Mahmud, kala itu. Seterusnya, Aceh dan khususnya pendukung GAM di masyarakat dalam kebimbangan.

29 Mei 2006, para tokoh GAM menggelar lagi pertemuan di Hotel Rajawali, Banda Aceh. Walaupun tak selengkap pertemuan pertama. Pertemuan itu ditutup untuk umum dan bersifat sangat rahasia. Beberapa mantan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA) GAM tampak berjaga-jaga di depan hotel, tentunya minus senjata. “Pertemuan yang lalu belum ada keputusan apa-apa, kita berembuk lagi untuk menentukan arah politik,” sebut Bakhtiar Abdullah, Juru Bicara GAM.

Sampai sore pertemuan berakhir, tak ada yang tahu apa kesimpulannya. Baru keesokan harinya, konferensi pers digelar di Markas Besar GAM, Lamdingin, Banda Aceh. Keputusannya sungguh mengagetkan. GAM memutuskan untuk tidak ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh.

“GAM secara organisasi tidak mengajukan calon untuk pilkada, tetapi kami memberikan kebebasan kepada semua anggotanya untuk mengajukan diri sebagai calon atas nama pribadi. Dengan tidak mengatas-namakan GAM,” sebutnya kepada wartawan, kala itu.

Keputusan GAM itu menjawab semua isu politik yang beredar selama ini berkaitan dengan mereka di Aceh. Awalnya, sempat beredar isu nama Nashiruddin – M. Nazar yang akan diusung GAM dalam pilkada, juga isu tentang koalisi GAM dengan PPP yang menjagokan Humam Hamid (PPP) – Hasbi Abdullah (GAM).

Menurut Bakhtiar, keputusan politik yang diambil itu sudah sah. GAM menyerahkan semua keputusannya kepada masyarakat untuk memilih siapapun calon yang akan ikut dalam pilkada nanti. GAM merestui semua calon, baik yang masuk lewat jalur independen maupun melalui partai.

Malek Mahmud, Perdana Menteri GAM mengakui dalam pertemuan para tokoh GAM, ada wacana untuk mencalonkan diri pada pilkada Aceh dan melihat calon-calon yang layak dikalangan GAM. Tapi kemudian, keputusan yang diambil tetap tidak ikut pilkada.

Saat ini menurut Malek, GAM sedang mempersiapkan diri untuk pembentukan partai politik lokal di Aceh. “Apabila GAM sudah siap menjadi partai politik lokal, kami akan berkonsentrasi untuk itu, kami ikut pada pemilihan umum mendatang, pada 2009,” sebutnya.

Artinya, “GAM tidak melibatkan diri pada pemilihan ini,” tambah Munawar Liza Zein, Deputi Juru Bicara GAM.

Dia mengatakan, saat ini GAM sudah menyusun kerangka dan struktur partai lokal mereka di Aceh. Program juga telah disiapkan bersama dalam beberapa kali pertemuan mereka. Partai Politik GAM ini akan diumumkan setelah Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) disahkan.

Sofyan Dawood, Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) GAM membantah bahwa keputusan politik yang diambil GAM karena adanya silang pendapat di tubuh mereka. “Tidak ada masalah ditubuh GAM, itu hasil keputusan bersama dalam pertemuan kami,” sebutnya.

Sofyan menegaskan, terserah kepada masyarakat Aceh untuk memilih pemimpin di Aceh dalam pilkada ke depan. Keputusan ini juga disosialisasikan kepada masyarakat melalui KPA GAM di daerah-daerah.

Keputusan GAM untuk maju pada 2009, dinilai tepat oleh Mawardi Ismail, Pengamat Sosial Politik di Aceh. Sebelum keputusan itu diambil, dia pernah menyebutkan kekuatan GAM akan kuat jika mereka bertarung setelah adanya partai lokal. “Waktu yang paling tepat untuk GAM adalah pada periode selanjutnya tahun 2009, karena telah punya kekuatan politik,” sebutnya kala itu.

***
BEGITU sederhanakah persoalannya?

Kendati tak ada yang mengakui perpecahan dalam tubuh GAM, tapi tersirat dalam keputusan-keputusan GAM berikutnya. Tgk Usman Lampoh Awe bercerita sepekan setelah keputusan itu diambil, kepada saya.

Beliau adalah Ketua Majelis GAM yang merupakan struktur tertinggi dalam tubuh gerakan itu pasca damai. Majelis bertugas untuk menggeser perjuangan dari bersenjata ke sipil. Juga menjembatani semua masalah berkaitan dengan pemerintah dan dalam tubuh GAM sendiri, termasuk membesarkan organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA) GAM, sampai Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) disahkan.

Saat pertemuan GAM di Unsyiah. “Salah satu bahasan yang menegang adalah saat memilih calon dari GAM untuk ikut memeriahkan pilkada Aceh secara independen atau pun koalisi,” sebut Tgk Usman.

Pendapat demi pendapat muncul, tokoh muda GAM ikut memberikan argumen diantara petinggi yang hadir. Dengan alasan demokrasi, tokoh muda bebas berapresiasi. Calon-calon pun bermunculan.

Petinggi GAM di Swedia mengusung satu unggulan, Hasbi Abdullah –adik Zaini Abdullah- sebagai calon gubernur. Usulan tunggal ini mendapat tantangan dari para tokoh muda di lapangan. Mereka menilai berhak juga untuk mengusulkan calon lainnya sebagai pilihan. Keberagaman pendapat untuk memilih calon membuat forum menegang, “hingga ada delapan calon yang diusung, semuanya dipilih dalam sistem setengah paket,” sebutnya.

Tgk Usman melanjutkan, sistem setengah paket adalah pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur secara terpisah. Dia hanya menyebutkan empat calon yang akan dipilih, Hasbi Abdullah dan Nashiruddin sebagai calon gubernur. Sementara untuk wakil diusulkan M. Nazar dan Humam Hamid.

Dari hasil pemungutan suara, mantan juru runding GAM Teungku Nashiruddin bin Ahmed mendapat suara terbanyak (39). Dia unggul lima angka dari Hasbi. Untuk calon wakil gubernur, Ketua Presidium SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) Muhammad Nazar unggul dengan 31 suara. Pada posisi kedua, meski bukan anggota GAM, Humam Hamid mendapat selisih tujuh suara. Nashiruddin sendiri tidak sempat hadir dalam forum tersebut.

Pengakuan Tgk Usman, dia menghubungi Nashiruddin untuk memberitahukan keputusan yang diambil forum. Tapi nyatanya, Nashiruddin menolak putusan dan mengundurkan diri dari calon dengan segala hormat. “Tiga puluh tahun saya berjuang bukan untuk itu, saya akan besar bukan dengan itu (menjadi gubernur), saya mundur,” Tgk Usman menirukan kutipan Nashiruddin.

Nashiruddin resmi menarik diri, otomatis Hasbi yang diperingkat selanjutnya mesti naik dan bergandengan dengan M. Nazar. Tapi kemudian menurut Tgk Usman, Hasbi tidak bersedia bergandeng dengan M. Nazar, alasannya tidak cocok.

Pertemuan GAM selanjutnya di Hotel Rajawali. Sebuah sumber menyebutkan dalam pertemuan itu pertentangan pendapat tokoh muda dan tokoh tua GAM muncul lagi. Sebagian menganggap Hasbi Abdullah tidak layak untuk mewakili GAM, karena bukan tokoh GAM murni. Sementara kaum tua menganggap M.Nazar masih terlalu muda.

Siapa tua dan muda? Sumber di kalangan petinggi GAM menjelaskan bahwa di barisan kelompok tua ada nama-nama seperti; Malek Mahmud, Zaini Abdullah, Tgk Usman Lampoh Awe, Ilyas Abed, Zakaria Saman. Kalangan GAM petempur, kabarnya seluruh alumni Libya –personil GAM yang pernah latihan kemiliteran di Libya- berada di belakang kelompok ini.

Sementara di kelompok muda berdiri Sofyan Dawood, Irwandi Yusuf, Bakhtiar Abdullah, Munawar Liza Zein dan beberapa panglima serta juru bicara GAM per wilayah. “Ada juga yang netral,” sebut sumber itu.

Soal Hasbi Abdullah bukan GAM murni. Bagi Tgk Usman, yang mengetahui Hasbi itu GAM atau bukan GAM adalah pimpinan. Pemahaman anggota GAM, tidak mesti memegang senjata. Muhammad Nazar sendiri diakui Usman sebagai anggota GAM yang duduk di Majelis. Sementara SIRA, organisasi pimpinan Nazar bukan bagian dari gerakan itu. “Agar tidak timbul masalah, kami berpikir tidak ikut pilkada, belum lagi calon independen pun belum terlalu jelas dalam RUU-PA yang belum disahkan,” jelas Tgk Usman kala itu.

Basa-basi dia menyebutkan, kebijakan yang diambil juga untuk menyimpan sedikit energi guna persiapan yang lebih matang dalam strategi politik selanjutnya. GAM akan mempersiapkan diri untuk pembentukan partai politik, guna melaju pada pesta politik 2009. Tapi pihak GAM mengizinkan semua anggotanya untuk maju atas nama pribadi dalam pilkada. “Saat ini keputusan itu sudah final.”

Ke depan kalau RUU-PA sudah disahkan? “Trik politik kita tidak tahu, kita saja bicara hari ini akan beda dengan besok,” sebutnya sambil meminta beberapa informasi jangan ditulis.

Usman sendiri mengakui soal ‘Tua-Muda’. Dalam mengambil keputusan ada perbedaan pendapat antara tokoh tua dan muda di tubuh GAM. Tapi, perbedaan pendapat hanya sebatas warna-warni dalam demokrasi, tidak sampai menimbulkan perpecahan. Keterkaitan tua-muda tidak bisa dipisahkan dalam pergerakan. “Di masyarakat memang ada kita dengar isu itu, tapi kita tidak pecah, mungkin masyarakat tidak tahu,” sebutnya.

Hal yang sama diakui oleh Sofyan Dawood, Juru Bicara KPA GAM. Menurutnya, dia tidak menganggap dirinya sebagai wakil dari tokoh GAM muda. Isu tentang Muzakkir Manaf, Ketua KPA GAM yang tidak bisa mewakili tokoh muda karena loyal kepada kelompok tua, dibantah Sofyan. Dia hanya menganggap sebuah kewajaran dalam pengabilan keputusan ada sedikit perbedaan pendapat. “Tidak ada perpecahan dalam tubuh GAM, semua jajaran KPA tidak ada masalah,” sebutnya kepada saya, beberapa jam setelah Tgk Usman memberikan keterangannya.

Sofyan menyebutkan, secara struktur memang ada tingkatan dalam tubuh GAM. Setidaknya dia menyebut tiga komponen, GAM yang duduk di Majelis, GAM pendukung dan GAM biasa. “Ada peringkatnya, karena tidak semua rahasia politik bisa diketahui oleh semua jajaran GAM.”

Pada pertemuan GAM seluruh dunia, Sofyan pernah memberikan saran siapapun yang naik mewakili harus dari GAM murni, alias benar-benar GAM. Sehingga sempat menimbulkan perdebatan menentukan sebuah calon yang tepat. Baru kemudian peserta menentukan beberapa calon untuk dipilih.

Menurutnya, keputusan yang diambil GAM untuk tidak ikut pilkada sudah bulat. GAM memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk mencalonkan diri secara independen, terserah kepada masyarakat untuk memilih mana yang terbaik.

Secara politik, dia menganggap keputusan itu sudah tepat. Andaikan GAM berkeras untuk naik sekarang dan kemudian menang di pilkada, tokoh gubernur dari GAM pasti akan sendirian, alias tidak didukung oleh parlemen di DPRD. Artinya sama saja dengan pemerintahan yang dulu, tanpa perubahan. Akibatnya, GAM akan tercoreng pada 2009. “Tetapi jika naik pada 2009, setelah siap dengan partainya, setidaknya akan ada anggota GAM di parlemen. Hal ini bisa membuat sedikit perubahan dalam pemerintahan Aceh.” Jelas Sofyan.

Demokrasi sedang berlangsung, mendalami politik setelah tak ada lagi konflik. Proses belajar kemudian berlangsung cepat bak kilat.

***
AHAD siang 4 Juni 2006, di Calang Aceh Jaya. Humam Hamid dan Hasbi Abdullah bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) resmi berdeklarasi sebagai calon gubernur. Mereka didukung sebagian GAM, sebut saja kubu tua.

Di kubu lain, kelompok muda menyusun kekuatan. Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar digandengkan guna mencalonkan diri melalui jalur independen, sesuai dengan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Calon independen silakan bertarung asal didukung oleh tiga persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk Aceh sekitar 4 juta lebih.

Rahasia umum, dukungan gerakan terbelah dua, bersaing bersama enam calon lainnya. Peta dukungan tak bisa ditarik dalam garis demarkasi. Sejumlah mantan anggota GAM masih bingung akan sikap para pemimpinnya, kala itu. Tak ada yang bisa menebak, kemana suara mengalir sampai pilkada dimulai, 11 Desember 2006.

“Saya akan memilih di Banda Aceh, surat sudah saya ambil dari Bireuen. Saya belum tahu TPS mana, besok aja saya kasih tahu,” jelas Irwandi ketika saya hubungi malam menjelang pilkada, 11 Desember 2006.

Benar saja, pagi itu Irwandi memilih di Banda Aceh, bukan di daerah kelahirannya, Bireuen. “Dulunya pernah tinggal di Kampung Laksana sekitar sembilan tahun,” sebutnya.

Pada pukul 08.30 Wib, Irwandi datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) III, Kampung Laksana, Banda Aceh. Puluhan wartawan memburu kehadirannya. Dia didampingi oleh Muhammad Nazar, wakilnya. Setelah mendaftar lalu mencoblos sambil menebarkan senyum ke warga yang padat.

Setelah Irwandi mencoblos, rombongan mereka langsung menuju ke Desa Lampulo. Muhammad Nazar terdaftar sebegai pemilih di TPS I Lampulo, Banda Aceh.

Irwandi sempat memberikan keterangannya kepada pers. Katanya, kalau ditemukan kecurangan dalam pilkada ada pemantau dan pihak berwenang yang akan menanganinya. “Saya meminta kepada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri jika adanya kecurangan.”

Berapa target suara? "Saya tidak pasang target apa-apa," sebut Irwandi.

Sementara itu, Humam Hamid melakukan pencoblosan di TPS IV Lampineung, Banda Aceh. Wakilnya Hasbi Abdullah, personil GAM yang pernah 13 tahun di penjara melakukan pencoblosan di TPS IV Kampung Laksana, Banda Aceh.

"Saya langsung pulang ke rumah usai pemilihan," sebut Humam kepada saya.

Hari itu, sebanyak 2.632.935 orang pemilih di seluruh Aceh memberikan suaranya untuk memilih delapan pasang calon gubernur/wakil gubernur Aceh, pada 8.471 TPS di seluruh Aceh. Kemudian ada 19 kabupaten/kota yang akan memilih bupati dan walikota-nya. Hanya masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan dan Bireuen yang belum memilih calon bupati.

Jelang sore hari. Irwandi dikalahkan Humam di TPS tempatnya memilih. Irwandi sempat kembali ke sana saat perhitungan suara, “Selamat, Humam menang ditempat saya,” ujarnya kala itu. Sementara Humam menang mutlak di TPS-nya sendiri. Irwandi hanya ada di posisi empat di TPS di TPS IV Kampong Pineung, Banda Aceh.

Malam hari, pukul 20.00 Wib. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil quick count yang dilakukan oleh mereka. Irwandi berada di posisi teratas dibandingkan tujuh calon gubernur lainnya, dengan perolehan suara 39,27 persen. Sementara hasil quick count yang dilakukan LSM Jurdil, Irwandi juga unggul dengan 38,57 persen suara. Humam hanya ada diperingkat kedua.

Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud mengatakan, pihaknya akan menerima apa pun hasil pilkada. “Kita terima apa saja yang sudah dipilih oleh rakyat Aceh,” kata Malik Mahmud usai menghadiri acara perpisahan dengan anggota Aceh Monitoring Mission di Meuligoe Gubernur Aceh, Kamis malam, 14 Desember 2006.

Saat menghadiri perpisahan dengan AMM, Malik Mahmud dan Irwandi Yusuf duduk satu meja. Posisi mereka hanya dipisahkan oleh Pj Gubernur Mustafa (duduk dekat Irwandi) dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, yang duduk di sebelah Malik.

Usai pertemuan, terlihat Malik dan Irwandi sempat berbicara sebentar. Saat ditanya apakah dia juga menerima jika Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar menang dalam Pilkada 11 Desember. “Of course,” jawabnya singkat sambil berlalu meninggalkan wartawan.

Pada 29 Desember 2006, KIP merilis hasil resmi perhitungan suara. Tak jauh berbeda dengan hasil dari quick count sebelumnya. Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar ditabalkan sebagai pemenang dengan 38,20 persen suara dengan total pemilih 768.745. Sementara Humam Hamid – Hasbi Abdullah berada di posisi kedua, 16,62 suara (334.484).

Bagaimana hubungan Irwandi dengan kubu tua dan GAM Swedia?

“Yang datang waktu pelantikan saya GAM dari Swedia (PM Malek Mahmud), yang mempeusijuk (upacara ada Aceh) saya, GAM dari Swedia juga. Jadi cukup bukti saja, tak perlu saya jelaskan dengan kata-kata,” sebut Irwandi kepada saya saat wawancara pertengahan Februari 2007 lalu.

Irwandi mengakui dulu sempar timbul perseteruan saat pilkada. “Itu dulu waktu pilkada, sekarang tidak ada lagi masalah. Itulah Aceh. Selesai –masalah- dalam sebuah demokrasi.” [ ]

Poin 2 Masih Buntu

by: Adi Warsidi

MoU Helsinki mengamanatkan pengadilan HAM dan KKR. Tercantum pada poin nomor dua, jalan ke sana masih buntu. Deadline pun telah lewat, rakyat parau dalam teriaknya.

Tak luntur semangat dua ratusan massa pagi itu, kendati hujan mengguyur Banda Aceh. Akhir Juli 2007 lalu, mereka punya unek-unek yang akan dilemparkan ke gedung dewan. Yel...yel ... membahana di tengah ocehan para orator, kadang parau diiringi isak tangis perempuan yang banyak ikut serta. Mereka datang dari -sedikitnya- 10 kabupaten/kota di Aceh.


Korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran (SPKP) HAM Aceh, menyodorkan sejumlah PR (pekerjaan rumah) yang belum terselesaikan. Soal Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh.

Serambi ini telah damai. Tugas itu adalah bagian dari amanat kesepakatan damai (MoU) yang lahir di Helsinki, Finlandia, dua tahun lalu. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang disahkan pada Juli 2006 lalu, juga mengamanatkan hal yang sama.

Massa menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar segera menindak lanjuti hasil MoU Helsinki dan UU-PA dengan memperjelas tindak lanjut dari pelanggaran HAM pada masa konflik dulu. “Sejarah kelam Aceh harus segera diungkap melalui instrumen KKR,” Ali Zamzami, koordinator aksi dalam orasinya.

“Dalam UU-PA kasus pelanggaran HAM akan diusut, tapi mana janji itu, sudah hampir setahun KKR aja belum ada,” sebut Ali Zamzami.

Memang KKR di Aceh masih mengambang. Padahal dalam UU-PA tercantum bahwa KKR Aceh harus dibentuk maksimal setahun setelah UU PA disahkan. Pembentukan KKR Aceh pun harus dibentuk oleh KKR Nasional. Di sinilah masalahnya, Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU KKR Nasional pada awal Desember 2006.

Mahkamah Konstitusi menyatakan produk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 27/2004 itu, praktis upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak azasi lewat jalur rekonsiliasi mandek. Demikian pula nasib 42 calon anggota Komisi Kebenaran hasil seleksi DPR.

Putusan Mahkamah itu menjawab gugatan uji material yang diajukan, antara lain oleh LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Imparsial. Setahun setengah silam lembaga-lembaga tersebut meminta Mahkamah membatalkan pasal 1 ayat 9, pasal 27, dan pasal 44 Undang-Undang Komisi Kebenaran. Mereka menyebut pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 45.

Pada pasal 1 ayat 9, misalnya, disebutkan amnesti diberikan presiden untuk pelaku pelanggaran berat terhadap hak asasi setelah memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut Mahkamah, untuk pelaku pelanggaran berat hak asasi tidak ada ruang sama sekali untuk amnesti. Jadi, pasal ini bertentangan dengan hukum internasional yang sudah diterima oleh hukum Indonesia.

Adapun pasal 27 menegaskan, kompensasi dan rehabilitasi untuk korban diberikan jika permohonan amnesti pelaku kejahatan dikabulkan presiden. Menurut Mahkamah, pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tidak bergantung pada satu kondisi, termasuk amnesti. Nah, pasal ini dinilai bertabrakan dengan konstitusi, yang memberikan jaminan warga Indonesia mendapat perlindungan hak asasi.

Sebenarnya hanya pasal 27 yang dibatalkan Mahkamah. Pasal itu, menurut Mahkamah, jelas bertubrukan dengan UUD 45. Namun, karena seluruh ”operasional” Undang-Undang Komisi Kebenaran dinilai bergantung dan bermuara pada pasal 27, Mahkamah pun ”membekukan” undang-undang tersebut. Menurut Mahkamah, dengan aturan-aturan seperti itu, undang-undang itu justru tidak mendorong pelaku menyelesaikan perkaranya lewat Komisi Kebenaran. ”Karena mengandung banyak ketidakpastian hukum,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie seperti dikutip dari Majalah Tempo.

Banyak yang kecewa putusan itu. Banyak juga usulan lain muncul dari aktivis hak azasi. Bekas Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, misalnya, mengusulkan pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). ”Atau masyarakat membuat sendiri Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya.

Bagaimana dengan Aceh?
Batalnya putusan di tingkat nasional itu memandekkan jalan bagi KKR Aceh. Padahal itu adalah amanat MoU Helsinki. Dalam kesepakatan yang ditanda-tangani pada 15 Agustus 2005 lalu, pihak GAM dan Pemerintah RI sepakat bahwa; “Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh” dan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.” (MoU Poin 2.2 dan 2.3).

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) menyebutkan; Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan UU ini akan dibentuk KKR di Aceh. Kemudian, KKR Aceh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KKR Pusat serta bekerja dengan aturan perundang-undangan. (Pasal 229)

Dalam pasal 259 dan 260 disebutkan bahwa Pengadilan HAM dan KKR sudah terbentuk di di Aceh maksimal satu tahun setelah UU-PA disahkan. UU-PA disahkan pada 11 Juli 2006. Deadline itu terlewat sudah. Pengadilan HAM dan KKR Aceh masih nihil.

Pemerintahan Aceh dan penggiat HAM di Aceh optimis, KKR tetap bisa dibentuk kendati UU tentang KKR telah dicabut Mahkamah Kontitusi. Acuannya tentu pada amanat UU-PA. Jalan itu sedang terus dirintis.

***
Satu jalan buntu. Analis politik Indra J. Piliang mengatakan, pembentukan KKR Aceh akan terhambat karena tidak mempunyai landasan hukum. “Kita harus menunggu adanya Undang Undang KKR yang baru,” katanya dalam sebuah seminar di Banda Aceh.

Dia mengatakan, masyarakat Aceh harus bekerja lebih keras dengan melakukan permintaan dan mengirim surat kepada Mahkamah Agung, Menteri Dalam Negeri serta Mahkamah Konstitusi. “Ajukan surat supaya Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi mendorong pemerintah dan DPR untuk cepat berbuat, supaya UU KKR yang baru segera lahir.”

Tapi Pemerintahan Aceh dan para aktivis azasi di Aceh punya pandangan lain. Mereka optimis, KKR tetap bisa dibentuk tanpa mengacu kepada UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR yang telah dicabut mahkamah.

Sayed Fuad Zakaria, Ketua DPR Aceh menilai pembentukan KKR di Aceh tidak harus mengacu pada KKR pusat. “Kita sudah ada UU khusus yaitu UU PA dan kita mengacu ke sana, ini bagian dari tugas pemerintah Aceh selaku pelaksana jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.”

Dalam hal ini, pemerintah Aceh terus mendesak Jakarta untuk segera mempersiapkan landasan hukum supaya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh bisa secepatnya dibentuk. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar mengatakan pihaknya telah menyampaikan desakan berkali-kali kepada Pusat untuk segera mempersiapkan landasan itu.
“Berkali-kali sudah kita sampaikan, seperti kepada Lemhanas, bahkan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kita harus mendorong pembentukan KKR Nasional,” sebutnya.

Sesuai amanat MoU dan UU-PA, harusnya Pengadilan HAM dan KKR Aceh sudah terbentuk di Aceh maksimal setahun usai UU-PA disahkan. Deadline itu sudah lewat sejak 11 Juli 2007 lalu, Pengadilan HAM dan KKR masih mengambang.

Aktivis HAM di Aceh terus merapatkan barisan berjuang untuk keadilan bagi korban. “Kalau kita bicara mandat, otomatis kedua-duanya menjadi penting dan memang dibutuhkan oleh korban,” sebut Asiah, Direktur Komisi untuk Orang hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh.

Dengan bekunya UU tentang KKR, Asiah berpendapat masih terbuka peluang bagi Aceh untuk membentuk KKR di Aceh. Alasannya, yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi adalah Undang-undangnya, bukan intitusi KKR. Lagi pula, Aceh punya UU-PA yang mengamatkan pengadilan HAM dan KKR. Jadi peluang untuk itu masih saja terbuka.

Afridar Darni, Direktur LBH Banda Aceh berpendapat, kalau ada niat semua masalah akan bisa diatasi. Tapi, masalah KKR di Aceh adalah pekerjaan besar dan mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama. “Sampai hari ini saya tidak tahu, apakah dibahas ulang atau bagaimana masalah KKR ini di tingkat pusat,” sebutnya.

***
Masyarakat Aceh banyak yang tak paham apa itu Pengadilan HAM dan KKR. Ini menjadi kesulitan tersendiri dalam menuntut keadilan bagi korban konflik di Aceh.

Asiah menilai, salah satu faktor pelanggaran HAM di Aceh banyak yang tidak terungkap, karena masyarakat tidak tahu mekanisme penyelesaian itu. “Ada yang keluarganya hilang, ada yang keluarganya disiksa atau dipukul, masyarakat tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan keadilan dari apa yang mereka alami.”

“Dari temuan kami, masyarakat sadar bahwa hak-hak mereka dilanggar tapi mereka tidak mengerti dengan aturan konstitusi yang ada,” sambung Asiah.

Sosialisasi yang dilakukan pun selama ini masih terbatas, hanya menyentuh kalangan atas.
Sosialisasi hanya terjadi antara Pemerintah Aceh ke Pemerintah Kabupaten. Kemudian juga ke beberapa LSM. Sedikit sekali yang menyentuh masyarakat bawah yang merasakan sendiri dampak langsungnya.

KontraS telah setahun terakhir mencoba melakukan penguatan korban konflik dan korban pelanggaran HAM di Aceh. “Kita juga melakukan sosialisasi tentang pengadilan HAM dan KKR,” urainya.

Apapun, keduanya penting karena merupakan amanat MoU dan UU-PA. Dua landasan yang lahir mengisi perdamaian di Aceh. “Satu lagi yang perlu diingat, problem konflik di Aceh karena adanya rasa ketidak-adilan. Kalau KKR dan pengadilan HAM terbentuk, asumsinya sebagian dari rasa keadilan korban itu terpenuhi,” sebut Afridar Darni.

“Maka dari itu Aceh bisa menjadi lebih damai.”

Masalah menghadirkan keadilan di Aceh itu memang komplek. Pengadilan HAM dan KKR masih sebatas merangkak. Pemerintahan Aceh dan aktivis HAM masih dalam perjuangannya Masyarakat terus berteriak dengan suara parau, meneriakkan sebuah amanat MoU yang lesu, dalam aksi-aksi itu. [ ]

Kebebasan.

By: Adi Warsidi

Tentang kebebasan pers di Aceh

Hari Kebebasan Pers Sedunia diperingati setiap 3 Mei. Semuanya bermula dari Seminar Kebebasan Pers yang diadakan para jurnalis di Afrika, yang disponsori UNESCO, pada 29April - 3 Mei 1991 di kota Windhoek, Namibia. Dari sana, mereka mengeluarkan deklarasi yang berisi penegasan dukungan para jurnalis se-Dunia terhadap isi Pernyataan Umum Hak-Hak Azasi Manusia PBB (Pasal 19) tentang pendirian, pemeliharaan, dan promosi pers yang independen, pluralistik dan bebas, sebagai bagian esensial bagi pengembangan ekonomi dan demokrasi di suatu negara.


Deklarasi Windhoek mendefinisikan independen sebagai pers yang bebas dari penguasaan pemerintahan, politik atau ekonomi, dan dari kontrol atas bahan-bahan serta infrastruktur produksi dan pendistribusian media massa. Deklarasi itu juga mengimbau adanya jaminan konstitusional bagi kebebasan pers dan hak untuk berasosiasi.

Setelah 16 tahun yang lalu, kebebasan hanya didapat oleh sebagian negara maju. Di wilayah konflik belahan dunia manapun, jauh panggang dari api. Bagaimana dengan Indonesia dan Aceh? Fokus saja ke Aceh, karena kawasan ini baru saja bebas dari konflik panjang.

Satu pertanyaan awal, bebaskah para wartawan meliput Aceh pasca damai? Bebaskah mereka menulis apa adanya di media? Ini tulisan untuk menjawab itu. Menggambar dengan kata yang mungkin kosong, tentang kondisi kawan-kawan yang masih merasa dikecam, diancam dan diintervensi oleh mereka. Umumnya para pimpinan –lembaga apapun- yang masih kebakaran jenggot dalam pemberitaan.

Awalnya iseng saja saya berceloteh tentang ini. Teringat suatu hari, baru-baru saja gubernur kita, Irwandi Yusuf yang terhormat, kecewa dengan pemberitaan sebuah harian lokal di Aceh.

Kira-kira kronologisnya seperti ini. Saat itu para wartawan di Aceh meliput suasana Ujian Nasional (UN) tingkat SMU sederajat di Aceh. Irwandi dan beberapa pejabat lainnya meninjau SMU 4 Lampineung Banda Aceh. Dia memegang harian lokal itu. Sesaat kemudian dia melihat ID card seorang wartawan foto media tersebut. Gubernur menunjuk pada judul berita ‘head line’ yang membuatnya kurang nyaman, ‘Gubernur Tutup kran Investasi Pertambangan’.

“Siapa yang nulis berita ini,” kurang lebih begitu beliau bertanya pada fotografer itu. Maklum, judulnya lumayan membuat investor untuk pertambangan menggigil, begitu mungkin pemikiran orang nomor satu Aceh ini. Si Fotografer sempat tercengang sesaat dan merasa malu menjadi pelampiasan kekesalan Irwandi.

Puncaknya, selesai meninjau pelaksaan UN, Irwandi memberikan koran yang dipegangnya kepada fotografer. Dia langsung masuk mobil dan melaju meninggalkan para insan pers yang kebingungan. “Kasian Aan, jadi sasaran, padahal dia fotografer,” sebut seorang rekan pascakejadian.

Irwandi tak salah, mungkin hanya sedikit keberatan, karena bisa jadi maksudnya tak semua kran investasi pertambangan ditutup di Aceh. Esok hari, harian tersebut membuat berita lagi soal investasi pertambangan itu. Memperbaiki yang dianggap salah ucap.

Saya tak bermaksud menghakimi kejadian itu dengan soal kebebasan pers di Aceh saat ini, juga tak bermaksud menghakimi Irwandi Yusuf. Tak bagus juga terlalu cengeng menanggapi hal tersebut. Karena konflik dulu telah menempa insan pers lebih dari itu. Penilaian ada pada nurani kita sendiri, nurani yang selalu merdeka jika otak berpikir merdeka dan terkekang jika berpikir ada pengekangan.

Sebuah fenomena lain juga perlu direnung, saat terjadi insiden pada akhir Maret 2007 lalu. Insiden pemukulan empat TNI sampai berdarah oleh masyarakat di Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.

Kejadian itu berlangsung menjelang siang. Beberapa wartawan di Lhokseumawe mendapat kabar itu sekitar pukul 13.00 Wib, memastikan kebenaran informasi tersebut, mereka sepakat meluncur ke lokasi. Mereka tiba di sana dulu setelah empat anggota Polisi Militer (POM) juga tiba di lokasi dan mengangkut rekan mereka ke Rumah Sakit TNI AD di Lhokseumawe.

Persoalannya, dua hari kemudian, pihak Komando Distrik Militer Aceh Utara dan POM datang datang lagi ke lokasi. Wartawan tetap setia menyertakan diri. Saat itulah, seorang wartawan harian lain lagi di Aceh, hampir saja bermasalah. Dia dipanggil kasar oleh seorang personel POM sambil diminta untuk hadir ke markas, terkait pemberitaan di media-nya dan pemuatan foto TNI yang dipukul warga. Kebetulan hanya media itu yang memuat foto satu hari pascakejadian.

Aparat TNI merasa kesal, kenapa wartawan yang lebih duluan tahu tidak melapor? Jangan-jangan wartawan juga terlibat menikmati pemukulan itu? Apakah wartawan membiarkan saja pemukulan? Apakah diperlukan kesaksiannya? Dan belakangan, semuanya berakhir damai.

Saya juga teringat apa yang telah terjadi terhadap sebuah media lain di Aceh. Dalam dua edisi akhir Maret 2007 lalu, tabloid satu mingguan tersebut mengeluarkan daftar gaji karyawan Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh – Nias.

Pada saat edisi kedua memuat list daftar gaji –dari tiga edisi yang direncanakan- media tersebut juga menulis soal mereka yang menerima gaji tanpa bekerja. Ada banyak foto yang dipasang di sana, yang menurut media itu tidak bekerja dengan barbagai ulasannya. Foto mereka juga terpampang.

Edisi selanjutnya, media tersebut tak lagi memuat daftar gaji staf BRR. Pada salah satu lembarannya, memuat permintaan maaf kepada pembaca. Publik binggung dan bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? “Saya merasa terancam dengan teror SMS dan telepon dari orang yang tak dikenal, terkait dengan pemuatan laporan tersebut,” sebut Saleh kepada saya.

Dia mengakui tak membuat pengaduan ke aparat penegak hukum. Karena pelaku teror biasanya sulit terungkap. Biasa... peneror adalah pengecut yang bersembunyi di balik suara dan kata, tak berani unjuk muka.

“Saya memilih jalan tengah untuk tidak menurunkan lagi daftar gaji di edisi selanjutnya, berani bukan berarti tabrak tembok,” sebut Saleh. Maklum, lawan pers yang meneror di sini tak terlihat.

Untuk kasus ini, mungkin banyak yang berani mengambil kesimpulan, itu adalah bentuk pengekangan pers di Aceh yang melanggar Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Lalu, bisik-bisik halus masih sering terdengar, kalau kebebasan pers di Aceh masih terkekang.

***
Mengenang Pers Aceh masa darurat, kerap membuat kening mengerut. Pers di sini punya catatan tersendiri. Saat darurat militer, Endang Suwarya sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) membatasi gerak wartawan dengan Maklumat No. 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita.

Membatasi ruang gerak, juga dilakukan dengan mengidentifikasi wartawan melalui kartu pers Merah Putih. Pengekangan kembali dilanjutkan pada masa dararut sipil, dengan Maklumat Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) No. 4 tahun 2004, yang mengatur tatacara jurnalis dalam meliput konflik di Aceh.

PDSD juga mengeluarkan himbauan untuk media di Aceh, agar menyiarkan iklan keberhasilan PDSD di medianya, pada 1 september 2004. Menurut PDSD, ada dasar yang kuat, UU No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan Keppres No 43 Tahun 2004, tentang penerapa status darurat sipil. Puncaknya, ketika PDSD juga mengeluarkan Maklumat khusus, melarang wartawan untuk meliput semua kegiatan GAM menjelang Milad GAM, 4 Desember 2004 lalu.

“Mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja,” sebut (Alm) Muharram M. Nur, Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Banda Aceh, kala itu. UU Pers Tahun 1999 terkunci rapat.

Stanley, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam sebuah tulisannya setelah Darurat Sipil dicabut (18 Mei 2005), menyebutnya dengan ‘Dua tahun masa darurat pers’. Stanley mencatat, selama dua tahun itu di Aceh ada wartawan diancam, dipukuli, diculik, disandera dan bahkan dibunuh. Walaupun ada beberapa yang menyebarkan berita dengan menembus berbagai kesulitan.

Pasca tsunami, para wartawan telah mampu menggalang munculnya solidaritas masyarakat dunia. Bayangkan bila pers tak hadir di Aceh saat itu, penguasa darurat sipil di Aceh ataupun aparat militer tak memiliki kekuatan untuk itu. “Barangkali ini adalah pelajaran mahal yang jangan diulang, menghalangi pers bekerja secara independen dan bekerja mengandalkan nurani,” tulis Stanley.

Penekanan pers dimasa konflik bukan hanya dilakukan oleh pemerintah melalui TNI/Polri, tapi juga GAM. Beberapa kasus, ketika mobil sirkulasi milik Media Serambi Indonesia ikut dibakar, sebagai tuntutan GAM terhadap pemberitaan yang seimbang. Kemudian penculikan Ersa Siregar serta Ferry Santoro di Aceh Timur. Kasus ini menjadi puncak terburuk perlakuan terhadap insan pers di Aceh, dalam masa konflik. Ersa kemudian meninggal dalam sebuah kontak senjata, 29 Desember 2003, di Peurelak, Aceh Timur. Sementara Ferry dibebaskan GAM pada 16 Mei 2004.

Damai kemudian yang disepakati di Helsinki, Filandia dan melahirkan sebuah MoU, memberi nuansa lain. Sedikit kebebasan lain dalam kerja jurnalistik. Titik awal di 15 Agustus 2005.

Sejak saat itu, pers begitu bebas mondar mandir, menuliskan apa saja yang terekam, tanpa ragu lagi menyebut nama GAM dan petingginya. Plus keberadaan Tim Misi Pemantau Keamanan (AMM) yang membuka akses lebih jauh terhadap para jurnalis. “Kita akan membuka informasi kepada semua kawan-kawan pers,” kata Pieter Feith, Ketua Tim AMM. Puncaknya, ketika amnesty untuk GAM diumumkan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Agustus lalu. Semua pihak, TNI/Polri dan GAM memberikan sinyal itu.

Setelah 15 Agustus 2005, banyak kemajuan kebebasan pers di Aceh. kendati belum sepenuhnya, tapi para jurnalis terus menggantung harap agar 3 Mei, bisa menjadi titik balik lainnya dalam melakukan kerja jurnalistiknya. Tentunya sesuai dengan kode etik dan keberpihakan kepada masyarakat.

Satu lagi, wartawan juga bukan manusia sempurna dan pemimpin juga bukan manusia setengah dewa. [A]

Banda Aceh, Mei 2007 (acehkita.com)



Thursday, May 8, 2008

Damai Setelah 60 Tahun Merdeka

By : Adi Warsidi

Sekilas sejarah setelah perang bersama Belanda dan Jepang berakhir. Aceh merdeka bersama Indonesia, ada kisah manis dan pahit. Sampai enam puluh tahun kemudian...

14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah dari sekutu. Tanda sebuah perang dunia kedua berakhir.

17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dua bulan kemudian beberapa perwira Belanda hadir ke Aceh untuk mengadakan penyelidikan. Aceh dijumpai dalam keadaan kacau balau, Belanda berpendapat perlu diadakan pendudukan sekutu untuk mencegah timbulnya pemberontakan. Belanda adalah salah satu negara sekutu bersama Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan beberapa negara eropa lainnya.


Pendudukan itu tidak pernah terjadi, sampai Jepang meninggalkan Aceh pada Desember 1945, sekutu masih sibuk mengurus Jawa. Sumatera dan Aceh mengambil jalannya sendiri, mandiri mengurus pemerintahan dalam sebuah pemerintahan republik yang telah didirikan. Gubernur pertama di Aceh dan Sumatera adalah Mr. Teuku Muhammad Hasan. Belanda tidak pernah lagi menembus Aceh, hingga membuat Aceh daerah yang benar-benar nyata kemerdekaannya, saat itu.

Mengawal kemerdekaan Indonesia, Aceh tercatat sebagai penyumbang dua pesawat yang menjadi cikal-bakal lahirnya Garuda Indonesia Air Ways. Tahun 1948, kala sekutu berhasil menguasai pemerintahan Indonesia di Pulau Jawa, Aceh menjadi daerah penyelamat. Melalui Radio Rimba Raya di Aceh Tengah, dengung kemerdekaan Indonesia masih dipancarkan dari sana.

Sejarah tercatat lagi, saat Gubernur Aceh Daud Beureueh menjabat. Dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tindakan politik. Antaranya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status Provinsi Aceh dicabut oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.

Kebencian rakyat Aceh kepada Soekarno, presiden RI saat itu menyala. Daud Bereueh, sang pemimpin Aceh masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang.
21 September 1953, Daud Beureueh pun memukul gong pemberontakan, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot.

Pertempuran demi pertempuran terjadi, kesepakatan gencatan senjata diambil dalam sebuah perjanjian, Ikrar Lamteh, 8 April 1957. Isinya, selain itu, ada kesepakatan antara pemerintah lokal dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959. Dan momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan.

Di masa itulah Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh Negara Islam Indonesia. Hasan Saleh menuntut kepada Djuanda agar Aceh dijadikan Negara Bagian di bawah Republik. Tuntutan berbau federalisme itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah berbentuk kesatuan. Meski begitu, Hasan Saleh setuju untuk mencari jalan damai.

Daud Beureueh meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan memulai lagi serangan gerilya besar-besaran. Daud letih bergerilya, setelah satu persatu karibnya meninggalkannya di tengah jalan. Di ujung masa pemberontakannya, Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula sejak 1961 nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA).

Pemerintahan Aceh belum kuat. Saat Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer Aceh. Jasin berhasil mendekati Daud Beureueh dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Beureueh, untuk berdialog empat mata.

Dengan berbagai bujukan dan jalan panjang Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa.
***
Istimewa tak membuat Aceh benar-benar lain. Kondisi kemakmuran rakyat masih morat-marit, meski sumber Migas melimpah ruah di Aceh, setelah ditemukan pada tahun 1970 di ladang Arun, Aceh Utara. Gas dan minyak bumi hanya menguntungkan pusat, Aceh hanya menonton kekayaan alam itu dari luar pagar.

Alasan itulah yang membuat Aceh kembali bergolak. Empat belas tahun setelah Beureueh turun gunung, Hasan Tiro memimpin pemberontakan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan pada tahun 4 Desember 1976 di Tiro, Pidie.

Seterusnya, terus-menerus kekacauan terjadi di Aceh, Hasan Tiro kemudian kabur ke Swedia, memimpim pemberontakan dari sana. Berbagai operasi digelar TNI di Aceh, untuk menumpas GAM, pemberontakan tak kunjung padam.

Tahun 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan operasi jaring merah-nya. Berlangsung selama 10 tahun, operasi itu tercatat banyak makan korban. Pasca kejatuhan Soeharto, presiden RI kala itu, suara rakyat menuntut pengadilan HAM makin gencar dilakukan. 7 Agustus 1998, operasi itu dicabut.

Tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema. Selain itu, muncul juga tuntutan referendum sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu dimobilisir oleh pada intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri.

Serajah mencatat, aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 dihadiri kurang dari sejutaan rakyat Aceh (sebagian sumber menyebutnya 2 jutaan) dari berbagai kabupaten. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.

Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, dengan mengusung isu Antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002, dengan aksi yang paling fenomenal, karena dalam aksinya mereka menuntut Cease-fire antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB.

Aksi yang berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM seperti Taufik Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam, Habibir, Ihsan, dan beberapa orang lagi. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa intervensi PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.

Dalam masa-masa itu, dialog-dialog terus dilanjutkan antara GAM dan RI untuk mencari jalan aman. Hasilnya mulai tampak. Upaya dialog perlu jeda perang. Kesepakatan mulai dirintis sejak Januari 2000, yang kemudian melahirkan Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani pada 12 Mei 2000. Keamanan di jeda ini, naik-turun.
Situasi yang relatif baik kemudian tercipta setelah pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai (Cessation of Hostilities Agreement – CoHA), 9 Desember 2002 di Jenewa. Kendati bentrok terus berlanjut, tetapi minimal kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Bersama, yang terdiri dari tiga pihak, Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC). Komite itu diketuai oleh Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi asal Thailand.

9 Februari 2003, perjanjian damai itu memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat sejak hingga lima bulan ke depan, melucuti senjata masing-masing. Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama itu. Masalahnya, proses perundingan kemudian gagal.

Pada Mei 2003, CoHA itu dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM, ditangkap dan dihukum penjara. Darurat Militer kemudian digelar pada 19 Mei 2003. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM. Satu tahun Darurat Militer, TNI mengklaim telah berhasil menewaskan 2.439 GAM, 2.003 lainnya ditangkap dan 1.559 menyerah. Sementara di pihak TNI, 147 orang tewas dan 422 luka-luka.

Dalam darurat itu, puluhan aktivis pembela rakyat yang kritis ditangkap, tak sedikit pula yang harus hengkang ke luar Aceh. Sebut saja salah satu yang ditangkap, Muhammad Nazar dari SIRA.

Habis Darurat Militer, status Aceh berganti menjadi Darurat Sipil pada 19 Mei 2004. kondisi hampir tidak jauh berbeda. Aceh seakan tertutup dari dunia luar, ratusan korban muncul, terbanyak di pihak sipil. Baik Pemerintah maupun TNI tidak pernah mengumumkan secara pasti berapa korban sipil yang muncul. Namun Dinas Penerangan Umum Mabes TNI mengakui, sejak darurat diberlakukan sampai September 2004, sekitar 662 warga sipil tewas, 140 luka berat dan 227 luka ringan.


***
26 Desember 2004, Aceh kembali mencatat Sejarah baru. Bencana hebat tsunami melanda, sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang hilang dan 174.000 orang menjadi pengungsi, yang hidup di tenda-tenda pengungsian.

Dari segi materil, 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 km jalan dan 2260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 sekolah rusak atau hancur. Kerugiannya, sekitar U$ 4,5 milyar.

Bencana itu, membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Status Darurat Sipil tenggelam dengan sendirinya, ratusan NGO asing masuk, berlomba-lomba untuk memberikan bantuan. Pelan-pelan Aceh mulai membangun kembali kehidupannya.

Darurat Sipil kemudian diganti dengan Tertip Sipil pada 19 Mei 2005, saat Aceh sedang membangun pasca tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah-daerah, kendati dalam intensitas yang makin kecil.

Pembahasan mencari damai di Aceh terus dilakukan. Kali ini Presiden RI Bambang Susilo Yodhoyono lebih serius. Difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) perundingan antara GAM dan RI pun digelar di Helsinki, Filandia. CMI sendiri diketuai oleh bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.

Setelah dialog lima babak di Helsinki, perunding RI yang diketuai oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin dan perunding GAM yang diketuai oleh Perdana Menteri-nya Malik Mahmud, perundingan mencapai kesepakatan. Ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kesepakatan itu dikenal dengan MoU Helsinki.
Awal masa damai di Aceh, setelah enam puluh tahun Jepang menyerah kalah kepada sekutu. Setelah mereka hengkang dari Aceh. []
Desember 2005

Sepotong Riwayat Militer GAM

By: Adi Warsidi

MINGGU, 21 Juli 2002, para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berkumpul di Stafanger, Norwegia. Saat itu mereka membicarakan tentang kelanjutan perjuangan pemerintahan GAM dan segala atributnya. Pertemuan itu melahirkan deklarasi Stafanger. Kesimpulannya, bentuk pemerintahan diatur kembali dan juga menetapkan berbagai struktur pemimpinnya. Nama negara menjadi Negara Acheh, lalu nama pemerintahan dikukuhkan menjadi Pemerintah Negara Acheh, dengan ibukotanya Kutaraja (Banda Aceh).


Pimpinan Negara dipegang oleh DR. M. Hasan di Tiro dengan Perdana Menteri, Malek Mahmud. Beberapa menteri GAM juga ditetapkan di sana. Untuk sayap militer, GAM menggati nama dari Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) menjadi Tentara Neugara Aceh (TNA).

Sebelumnya riwayat sayap militer GAM memang panjang. Berawal dari deklarasi GAM untuk menyatakan pisah dari Indonesia pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro sang deklarator saat itu, membentuk sayap militernya, AGAM. Markas pun dibangun di hutan untuk memulai gerilya di Tiro, Pidie.

Hasan tiro yang sebelumnya tinggal di Amerika Serikat, menganggap Aceh perlu hidup terpisah dari Indonesia, karena ketidakadilan dan kesadaran politik. Berangkat dari strategi gerilya ini, awalnya AGAM tak terlalu menonjolkan gerakan bersenjata. Teungku Hasan Tiro menulis dalam catatan hariannya, ”Kami hanya punya beberapa pucuk senjata,” tulisnya dalam ‘The Price of Freedom: Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro’, yang terbit di Kanada pada 1984.

Kepada saya -akhir 2005- Sofyan Dawood, mantan Juru Bicara TNA GAM menceritakan kisah TNA. Pada tahun 1979, Hasan Tiro berangkat ke luar negeri untuk mencari dukungan politik. Urusan perjuangan, diberikan kepada sayap militernya. Panglima militer pertama adalah Daud Husein alias Daud Panek.
Memperkuat gerakan bersenjata, Hasan Tiro mengeluarkan intruksi untuk mengumpulkan para pemuda Aceh yang gagah, untuk dikirim ke Libya. Sekitar tahun 1986, beberapa pemuda Aceh bergabung dan menjalani latihan di Maktabah Tajurra, kamp latihan militer GAM di Libya.

Lalu, satu persatu pulang kembali ke Aceh, ”gerakan bersenjata makin kuat, terutama setelah mereka yang dilatih di Libya kembali ke Aceh,” sebut Sofyan. Para jebolan camp militer inilah yang kemudian menjadi perintis gerilya di Aceh.
Menurut Sofyan, latihan ke Libya berlangsung dalam beberapa tahap, sekitar tahun 1986-1989. Selama itu pula, GAM telah mendidik sekitar 800 orang tentang taktik gerilya, senjata, dan teknik para komando. Lalu kembali untuk niat memerdekakan Aceh.

Tapi tak semuanya bisa tiba di Aceh, sebagian tersangkut di Malaysia, sambil menunggu bisa menyusup ke Aceh. Sebagian lagi memperkuat GAM dalam meminta dukungan pihak luar. Ratusan alumni Libya masih tersisa saat ini, “Sangat banyak, bukan hanya di Aceh, di luar juga ada,” sebut Sofyan.
Sebut saja, Panglima GAM, Muzakkir Manaf yang merupakan angkatan pertama Libya. Lainnya adalah Darwis Jeunieb, Ridwan Abu Bakar dan juga Nasaruddin. Tapi tak sedikit juga yang tewas akibat kontak senjata, seperti Ishak Daud, yang tewas September 2003 lalu, di Peurelak, Aceh Timur.

Alumni inilah yang mendidik para personil muda lainnya di Aceh, hingga kemudian muncul nama-nama seperti Tgk Muchsalmina, Darmansyah, Tgk Jamaica dan Tgk Muharram.

Sayap militer GAM, memakai kurikulum pendidikan militer Libya sebagai standar pengkaderan. Misalnya, dalam baris-berbaris, semua perintah masih memakai bahasa Arab. Cara mereka berbaris juga mirip tentara Libya. Seperti berjalan dengan dagu tegak, dan bergerak serempak dengan irama kaki yang dilambungkan tinggi-tinggi ke depan.

Sofyan Dawood menyebutkan, dalam sejarah sayap militer GAM, sebanyak empat orang telah mengisi jabatan panglimanya, setelah Daud Husein, ada Tgk Keuchik Umar, lalu Komandan Rasyid, sebelum Abdullah Syafii memegang tampuk. “Saat itu Muzakkir Manaf adalah wakilnya,” sebut Sofyan.

Abdullah Syafii meninggal pada 22 Februari 2001, dalam sebuah kontak senjata. Tampuk pimpinan AGAM kemudian dipegang oleh Muzzakir Manaf, tanpa wakil. Juru bicaranya, Sofyan Dawood. Kemudian pada tahun 2002, petinggi GAM mengganti nama sayap militernya dari AGAM menjadi Tentara Neugara Aceh (TNA).
Usai kesepakatan damai, MoU Helsinki, militer GAM berangsur-angsur didemobilisasi. Usai penghancuran semua senjata GAM pada 21 Desember 2005, TNA pun dibubarkan. Secara resmi dinyatakan pada 27 Desember 2005.
Pembubaran sayap militer itu, GAM membentuk Komite Peralihan Aceh (KPA). Menurut Sofyan, komite inilah yang akan mengorganisir semua mantan TNA, untuk kemudian dibantu secara organisasi sipil dalam mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak.

“Kita tetap akan membantu mantan TNA untuk beralih ke sipil,” sebut Sofyan yang saat ini mempunyai jabatan sebagai Juru Bicara KPA.
Mantan Panglima TNA, Muzzakir Manaf menyebutkan TNA dan segala atributnya sudah dibubarkan, “sekarang yang ada hanya KPA, sebuah organisasi sipil,” sebutnya dalam konferensi pers bersama wartwan di Kantor GAM, Lamdingin, Banda Aceh, 28 Desember 2005.

Keberadaan Muzakkir Manaf di hadapan pers adalah yang pertama, sejak MoU ditandatangani 15 Agustus 2005 lalu. Untuk yang pertama kali ini juga dia berbicara di hadapan pers.
Menurut Muzakkir, komite tersebut juga dipimpin olehnya, guna lebih bisa mengontrol kondisi dan keberadaan mantan TNA GAM, pasca damai. Menurut Muzakkir, KPA ini akan bekerja perlahan-lahan, untuk mengembalikan para mantan TNA ke masyarakat, “bisa mendapat pekerjaan dan perbaikan ekonomi, kita akan terus mengusahakan itu,” sebutnya.
Dua tahun lebih perdamaian berjalan, Muzzakir manaf tetap pada pucuk pimpinan. Sofyan Dawood tak lagi pada juru bicara. Dia digantikan Ibrahim Syamsudin pada 3 Mei 2007. Alasannya, regenerasi kepemimpinan.
Setelah mantan petempur GAM tak lagi di hutan. Bersama KPA, ribuan mereka telah berbaur dengan masyarakat. Kerap berkumpul, tapi tak lagi membicarakan kelanjutan perjuangan seperti di Stafanger, Norwegia dulu. Kini, hanya membicarakan bagaimana kelanjutan perdamaian di Aceh, dan mengisinya. [ ]
Akhir Desember 2005