Friday, September 30, 2016

Rumah Pengasuh Anak Kanker Aceh



Oleh: Adi Warsidi

Dua anak santai bercanda ditemani dua ibu di halaman rumah yang sempit. Satu dipanggil Azrina (4 tahun) dan satu lagi Dila (8 tahun). Tak seperti anak biasa, Azrina bertubuh kurus dan Dila dengan benjolan dan bekas luka di bagian matanya.

Saat sya datang bersama empunya rumah, Ratna Eliza, Rabu sore 27 Juli 2016, mereka menghampiri. “Ayo salami tamu,” kata Ratna. Mereka patuh.

Membangkitkan Seni Rapai, Indentitas Aceh



Oleh: Adi Warsidi

Usai ustad menutup doa pembukaan acara, satu persatu penari dan penabuh raik menjejak ke atas panggung utama. Di tangannya aneka rapai, besar kecil. Ada 150 orang akan menampilkan sebuah karya “Sa”.

Barisan dibentuk rapi geleng di depan, rapai pasee yang besar digantung pada rangka besi di kiri dan kanan panggung, penabuhnya berdiri. Ada juga penabuh rapai tuha lainnya yang duduk di tengah-tengah. Selanjutnya paling belakang, ada alat musik modern, drummer dan gitar.

Thursday, May 12, 2016

Susuri Hutan Aceh, Kiprah Pasukan Gajah dari Trumon

Adi Warsidi

Banda Aceh – Empat gajah berjalan beriringan. Tuah melangkah gagah di depan, disusul Siska lalu Nani dan terakhir Bayu. Di atasnya masing-masing Mahout memandu berjalan dari Corservation Response Unit (CRU) Trumon ke sebuah sungai. Ingin mandi pagi.

Tempo bermalam di rumah mereka Sabtu dua pekan lalu, 16 April 2016, Desa Naca, Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, sekitar 500 kilometer dari Banda Aceh. Kawasan itu berada dalam Koridor Alam Leuser, penghubung Suaka Marga Satwa dengan areal Taman Nasional Gunong Leuser (TNGL).

Monday, May 9, 2016

Susuri Hutan Aceh, Kisah Cinta Gajah di CRU Trumon

Oleh: Adi Warsidi


Banda Aceh – Pelepah kelapa yang disediakan dipatahkan dengan belalai dan kakinya, lalu dimasukan ke dalam mulutnya yang lebar. Gajah Nani tak berhenti mengunyah makanan paginya pada Sabtu pekan lalu, 16 April 2016, saat kami mengunjungi rumahnya di Conservation Response Unit (CRU) Trumon, Aceh Selatan.

Thursday, February 25, 2016

Mata Biru Entah Kemana (2)

Rep: Adi Warsidi
[Liputan 10 tahun tsunami Aceh, Majalah Tempo Desember 2014]


“Kalau beruntung (menemukan keturunan Portugis), saat Idul Adha banyak keturunan Lamno yang balik kemari, untuk mengikuti tradisi Seumuleng (menyuapi raja),” kata Aksa Mulyadi, Juru Pelihara Makam Raja Daya.

Upacara adat Seumuleng Raja Daya adalah tradisi turun temurun yang dijaga oleh para keturunan raja dan warganya, berlangsung hingga kini. Keturunan Raja dihiasi dan diberi singgasana. Upacara itu berlangsung di Makam Raya Daya dan diikuti oleh ribuan warga Lamno yang datang dari berbagai penjuru.

Mata Biru Entah Kemana (1)

Oleh Adi Warsidi
[Liputan 10 tahun tsunami Aceh, Majalah Tempo Desember 2014]


Matahari tepat di atas kepala, saat kami tiba di ujung jalan Desa Gle Njong, Kecamatan Jaya atau kerap disebut Lamno. Di sebuah warung kopi, persis di sisi pantai yang telah berjejer batu-batu sebagai tanggul, kami singgah. Sepi, Jumat siang dan warga-warga sedang bersiap menuju Masjid.

Tak jauh dari warung, sebuah bukit tempat Raja-raya Daya bersemayam menghadap laut. Dari situ lah asal usul Kerajaan Daya bermula, menguasai wilayah Lamno dan menebarkan kemakmuran. Juga meninggalkan kisah tentang penjelajah bangsa Portugis, yang berbaur dengan warga dan menghasilkan keturunannya. Tsunami sepuluh tahun lalu, menorehkan kisah lain, mata biru entah kemana?