Sunday, May 15, 2011

Perempuan Aceh dan Mengapa Kartini?

Adi Warsidi

Selalu saja saban peringatan Hari Kartini, 21 April, saya sering diajukan tanya oleh rekan di Aceh, kenapa Kartini punya hari yang dikenang sepanjang abad. Sementara ratu-ratu dan pahlawan perempuan Aceh yang terkenal seantero dunai, lupa dikenang bahkan oleh kerabatnya sendiri.


Sama seperti tadi pagi, seorang kawan pun bertanya. Singkat saya menjawab, “Oh ya, saya lupa ini hari Kartini.”

Pertanyaan itu mengiang terus di benak, hingga saat melewati beberapa ruas jalan di Banda Aceh, siswa berseragam SMU, perempuan semuanya, dikawal para Polisi Wanita (Polwan) keliling kota dengan sepeda motor. Saya langsung ingat, ini Hari Kartini.

Saat mengisi minyak di SPBU, dua perempuan dalam pakaian adat Aceh menyapa para pelanggan. Pemandangan tak biasa, membuat saya bertanya. “Kami diutus ke sini oleh pertamina, bagian dari peringatan Hari Kartini.”

Kenapa Kartini? Alasan itulah kemudian saya menulis ini. Bahwa perempuan asal Jepara itu, telah menjadi ikon kebangkitan perempuan Indonesia. Perempuan yang dianggap telah berhasil mengangkat citra wanita Indonesia melalui pendidikan, melawan adat istiadat di masyarakat Jawa yang tidak memihak kaumnya.

Ada iri dalam benak perempuan dan warga Aceh umumnya, kenapa tidak salah satu perempuan Aceh yang menjadi ikon perubahan perempuan di Indonesia, kebangkitan perempuan Indonesia dan lainnya. Padahal perempuan Aceh lebih lama muncul dari Kartini yang lahir pada 21 April 1879.

Misalnya, jauh sebelum Kartini lahir, Aceh telah dipimpim oleh empat ratu berturut-turut, dari tahun 1641 - 1699, setelah Iskandar Muda meninggal. Ada Tajul Alam Safiatuddin Syah, Nur Alam Nakiatuddin Syah, Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Kumala Syah.

Tak hanya di Aceh, dalam sejarah Nusantara sebelum ratu Aceh memimpin Negara, banyak ratu yang memimpin kerajaan dulunya di Jawa sana. Ada Ratu Sima misalnya, memimpin Kerajaan Kaling pada tahun 618. Kemudian ada Pramodawardhani pada 842 yang diangkat menjadi Ratu Dinasti Syailendra.

Lalu ada Tribuana Tungga Dewi yang memimpin Majapahit era 1328-1350. Saat itu Majapahit sedang bergejolak setelah Raja Hayam Wuruk mangkat. Di masa itulah, Gajah Mada terkenal sebagai patih kerajaan. Banyak lagi dan banyak lagi.

Lalu kenapa Kartini?
Dia hidup pada saat yang tepat untuk dianggap pendobrak, saat Jawa dikuasai Belanda dengan segala stuktur pemerintahan dikuasai oleh para lelaki pribumi, dari wedana sampai para demang. Pada saat penindasan terhadap perempuan dan hak-hak perempuan diabaikan.

Kartini dengan semangat ratu-ratu nusantara, Kartini yang ningrat banyak membaca dan lihai menulis. Karenanya kemudian dia menulis dan mengirim surat ke Eropa sana, menggugah para perempuannya, yang lebih maju dari Jawa dan nusantara umumnya.

Surat-suratnya sebagian masih tersimpan rapi dan menjadi dasar penilaian para kaum bahwa Karrtini telah berhasil membangkitkan semangat perempuan Jawa yang tertindas. Mendobrak tradisi wanita di bawah pria. Membalikan teori Aristoteles yang menyebut, perempuan adalah pria yang tak lengkap. Filsuf Yunani Kuno itu menilai, secara fisik dan psikologis, perempuan lemah, emosional, dan tak mandiri.

Kartini yang beruntung karena sempat mengecap pendidikan tatkala sebagian besar kaumnya hanya dianggap pelengkap kebutuhan lelaki. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer “Panggil Aku Kartini Sadja” (Djakarta, 1962) banyak mengutip perkataan Kartini sesuai suratnya.

Beginilah salah satu tulisan Kartini; ‘Duh, sekarang aku mengerti, mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang Jawa terpelajar, dia tidak akan jadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi. (Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 12 Januari 1900)’

Begitulah Kartini, yang tidak memiliki kekuatan maskulin kemudian mendobrak adat lewat tulisannya. Ingat, perempuan Jawa saat itu sedang dalam tekanan.

Pramoedya pula yang mengingatkan kita semua bawa tanpa menulis seseorang akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis membel kaumnya adalah kunci Kartini kala itu, sampai kemudian dikenang dan diperingati saban hari kelahirannya.

Saat Kartini sedang menulis, di Aceh, Cut Nyak Dhien maju ke medan perang melawan kolonial Belanda. Cut Nyak Dhien tak menulis dan tak perlu menulis soal tekanan terhadap kaumnya. Karena tak ada adat-istiadat yang merendahkan kaum perempuan di Aceh. Semua semua setara, bahkan dalam perang.

Kala Kartini menulis tentang hak-hak perempuan di Jawa yang diabaikan. Di Aceh, para telah lama memimpin, para pejuang perempuan telah lama ikut perang. Tak ada perilaku merendahkan perempuan di Aceh, yang membuat perempuannya harus bangkit dan beremansipasi.

Perempuan Aceh sejak lama tak perlu berjuang untuk bangkit, karena tak pernah duduk. Selalu berdiri sejajar dengan kaum lelaki. Bersama berjuang, membangun dan memimpin negeri. Tak ada perbedaan, apapun.

Ingat, Kartini adalah simbol kebangkitan perempuan Indonesia. Sementara di Aceh, perempuan tak perlu simbol itu, karena perempuan di sini sejak lama tak pernah tidur, artinya tak perlu bangkit. Itu juga yang membuat saya, yang tinggal di Aceh, lupa bahwa ini Hari Kartini. Semoga ini dapat menjawab, sebuah pertanyaan dari kawan saya… kenapa Kartini? []

21 April 2011 |www.atjehpost.com

Wartawan Aceh, Ayo Melawan

Adi Warsidi

“Informasi yang ditutup-tutupi justru membuka peluang pelanggaran.” (Muharram M Nur, 2003)

Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, (Alm) Muharram M Nur mengeluarkan komentar itu saat pengekangan terhadap pers dalam mengakses informasi publik banyak terjadi kala itu. Konflik masih mendera Aceh, di mana pekerja media bergelut dengan tekanan kiri-kanan.


Damai lima tahun lebih yang lalu, belum banyak membawa perubahan terhadap kebebasan pers di Aceh, kendati intensitas ancaman dan intimidasi berkurang. Pelaku masih pada status yang sama, para penguasa atau orang-orang yang merasa berkuasa.

Modus operandi memang beubah. Misalnya dulu wartawan dilarang keras meliput kegiatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perang melawan republik. Pemerintah menilai, peliputan terhadap gerakan akan membuat mereka besar dan kemudian menarik simpati negara luar untuk melihat, bersimpati dan bahkan membantu atau merencanakan sebuah inisiasi perdamaian.

Wartawan tak berhenti, mengambil risiko memberitakan mereka. Ada yang kemudian menjadi korban semisal meninggalnya Ersa Siregar, Wartawan RCTI dalam sebuah kontak senjata di Peureulak, 29 Desember 2003. Dia sebelumnya diculik oleh gerakan bersama kameramennya, Ferry Santoro, yang kemudian dibebaskan pada 16 Mei 2004.

Disadari atau tidak, wartawan ikut membesarkan gerakan sampai kemudian damai yang disambut sukacita. Wartawan tak beubah status, tetap. Tapi kombatan menjelma lebih hebat. Tokoh-tokohnya disegani oleh masyarakat dan sebagian menjadi pemimpin dan sebagian lagi menabalkan dirinya sebagai orang kaya dan penguasa.

Sekarang, batasan tak lagi pada mendukung gerakan atau NKRI. Ancaman dimunculkan tak lagi oleh GAM atau aparat keamanan, tetapi lebih oleh mereka yang merasa tak nyaman karena bersalah pada amanat rakyat. Bisa koruptor, kontraktor nakal atau bahkan siapa saja yang telah berbuat salah.

Miris, sebuah kejadian baru-baru ini di Pidie. Seorang wartawan dipukul oleh oknum anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) Sagoe Padang Tiji, Pidie. Sebuah komite yang dibentuk oleh mantan gerilyawan yang dulu dibesarkan media.

Saya tak menuding KPA sebagai sebuah intitusi, tapi perilaku tak bermoral yang diperankan satu anggotanya, sedikit mencoreng gerakan yang dulunya didukung sebagian besar rakyat. Memukul pekerja pers adalah tindakan intimidasi dan kriminal yang tak patut, apapun alasannya.

Puluhan wartawan di Aceh kemudian melancarkan kecaman terhadap oknum KPA itu. Ke polisi kasus dilapor, sambil berdoa hukuman setimpal bagi pemukul yang tak beradab. “Ini adalah aksi tak beradab, mereka yang dulu ikut kita besarkan dan kemudian merasa berkuasa, kemudian menindas kita, sungguh biadab,” kata seorang wartawan di Aceh dalam orasinya, saat aksi Mayday, 1 Mei lalu.

Lakon premaninisme masih saja berlaku di ranah serambi. Wartawan yang harusnya tak punya lawan, dibenci para pendosa saat menulis suara rakyat. Mereka yang ketakutan pada ketidak-becusan memimpin, mereka yang terindikasi korupsi, mereka yang menyalah-gunakan wewenang dan yang tak becus dalam mengerjakan proyek misalnya, akan selalu was-was terhadap insan pers.

Hukum harus ditegakan. Pada akhirnya polisi yang penegak hukum haruslah bekerja pada format yang menjadi wewenangnya. Itu yang kemudian diharapkan wartawan di Aceh dalam membela rekannya, agar si pemukul segera ditindak dan diberi hukuman setimpal. Agar polisi juga tak memukul lagi wartawan untuk kedua kalinya.

Saya masih teringat pada kata (Alm) Muharram kepada saya, awal 2004 silam. “Mereka (pemerintah) punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja.”

Komentar disampaikan sebagai tanggapan terhadap penekanan pers di masa Darurat Militer Aceh. saat itu, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) membatasi gerak wartawan dengan Maklumat Nomor 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.

Saat ini tak ada lagi pengekangan yang terang-terangan dan darurat pun tak berlaku lagi. Saya ingin menyampaikan kepada rekan untuk bersatu padu memberikan keadilan kepada kawan sendiri yang ditindas dan kemudian keluar dari segala macam penekanan.

Kebebasan itu kadang harus kita perjuangkan sendiri, bukan dengan meminta. Lawan penindasan, karena kita punya hukum. Kalau kita diam atau bertengkar pendapat dengan sesame, mereka akan memukul lagi, terus dan tak berhenti. []

Mei 2011 | www.atjehpost.com