Monday, February 20, 2012

Uleebalang Pencatat Sejarah Melayu

Majalah TEMPO
Senin, 06 Februari 2012

Rumah berarsitektur Melayu itu berdiri kokoh di tengah Gampong Meunasah Lueng, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam. Atap rumah panggung itu dari ijuk dan dindingnya dari kayu, kontras dengan beberapa bangunan di sekitarnya yang beratap seng dan berdinding semen.


Rumah besar itu dulu menjadi istana Kerajaan Samalanga, tempat Tun Sri Lanang, raja pertamanya, bertakhta sejak 1615 hingga wafatnya pada 1659. Dia bukan orang asli Aceh, melainkan dari Malaysia. Bekas bendahara (semacam perdana menteri) di Kerajaan Pahang di Malaka (kini Malaysia) itu dibawa Sultan Aceh Iskandar Muda ke Sumatera dan diangkat menjadi uleebalang di Samalanga setelah Aceh menaklukkan Pahang.

Uleebalang adalah raja di kerajaan bawahan Kesultanan Aceh Darussalam yang kedudukannya sederajat dengan sultan dalam mengelola wilayah kekuasaannya, tapi harus mendapatkan persetujuan sultan dalam kebijakan luar daerah.

Sosok Tun Sri Lanang nyaris tak dikenal di Aceh, meskipun dia adalah pengarang Sulalatus Salatin atau dikenal sebagai Sejarah Melayu, kitab klasik yang jadi rujukan utama mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Dia juga menjadi penasihat tiga Sultan Aceh, yakni Iskandar Muda, Iskandar Thani, dan Safiatuddin.

Masyarakat sekitar daerah itu hanya mendengar kabar pernah ada orang Melayu yang jadi raja di Samalanga dan mati hanyut di laut tanpa meninggalkan keturunan, padahal makamnya berada tak jauh dari rumah besar tersebut.

Asnawi, Kepala Desa Meunasah Lueng, menuturkan keberadaan makam itu baru diketahui khalayak ramai setelah warga desa menonton film dokumenter Jejak Rasul yang disiarkan TV3 Malaysia, yang menyebutkan bahwa Tun Sri Lanang dimakamkan di kampung tersebut, pada 2008.

Makam itu dipastikan sebagai kuburan Tun Sri Lanang sekitar tahun 2000 setelah dilacak oleh keturunan Tun Sri Lanang dan M. Adli Abdullah, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh asal Samalanga. "Dulu masyarakat Aceh kurang tahu dan kurang peduli pada sejarah karena masih dalam masa konflik. Tapi kini nama Tun Sri Lanang sudah mulai dikenal lebih luas di kalangan masyarakat Aceh," kata Adli, yang sedang menyusun disertasi tentang sejarah Tun Sri Lanang di Universiti Sains Malaysia, Pulau Penang.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, melalui Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Yayasan Tun Sri Lanang, Masyarakat Sejarah Indonesia, serta Pemerintah Kabupaten Bireuen, menghidupkan kembali ketokohan Tun Sri Lanang. Mereka meresmikan bekas kompleks Kerajaan Samalanga, yang dikenal masyarakat sebagai Lampoh Kreung, seluas 1,5 hektare sebagai kawasan wisata sejarah Melayu Nusantara. Juga menggelar seminar "Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa" di halaman kantor Bupati Bireuen pada 8 Desember 2011. Selain itu, mereka membangun prasasti Tun Sri Lanang di pinggir lintas.

Seminar itu diikuti sekitar 450 peserta dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, yang terdiri atas akademisi, sejarawan, guru, peneliti, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat umum.

Ada 13 pembicara dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang menyampaikan makalah, seperti Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan, Ketua Persatuan Sejarah Malaysia Wilayah Pahang; Profesor Dien Madjid dari UIN Syarif Hidayatullah; Profesor Moh. Haji Saleh dari Universiti Sains Malaysia, Penang; Dr Oman Faturrahman dari UIN Syarif Hidayatullah; Djamal Tukimin, sastrawan Singapura; dan Talib Samat dari Universiti Pendidikan Sultan Idris Tanjung Malim, Perak. Ada juga Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh; E. Edwards McKinnon, peneliti Institute of Southeast Asian Studies, Singapura; dan Profesor Rusdi Ali Muhammad dari IAIN Ar Raniry, Banda Aceh.

Dalam seminar sehari penuh itu terungkap bahwa Tun Sri Lanang diakui ketokohannya di Malaysia, Singapura, dan Indonesia, terutama lewat karyanya, Sulalatus Salatin, dan perannya dalam politik kerajaan-kerajaan kuno di tiga negara serumpun tersebut. "Lantaran itu juga hubungan kekeluargaan di antara warisnya di kalangan pembesar dan rakyat biasa, khususnya di Indonesia dan Malaysia, turut menjadi jambatan mengerat silaturahmi yang telah terwujud di antara kedua bangsa serumpun ini," kata Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan.

Tun Sri Lanang hidup di masa ketegangan hubungan Semenanjung Malaka dengan Aceh. Berbagai kesultanan di Semenanjung Malaka sebenarnya mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dengan Aceh melalui pernikahan putra-putri mereka. Menurut Sulalatus Salatin, hubungan itu diawali dengan perkawinan Parameswara, anak Raja Sriwijaya di Palembang, dengan Putri Ratna Kemala, anak Sultan Perlak. Parameswara lalu mendirikan Kesultanan Malaka dan berganti nama menjadi Sultan Iskandar Syah. Keturunannya kemudian berkuasa di Malaka, Johor, Pahang, dan Perak.

Menurut Tun Sri Lanang, Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia Terungkap Setelah 380 Tahun (2011) karangan Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, keturunan kedelapan Tun Sri Lanang, hubungan kedua kawasan juga lahir melalui jalur Mani Purindan, putra Nizamul Muluk Akbar Syah, yang memerintah Pahili (Gujarat) pada pertengahan abad ke-14. Mani Purindan menikahi Canden Dewi, putri Sultan Samudra Pasai, yang menurunkan penguasa dan bangsawan di kerajaan Deli dan Serdang. Mani juga menikah dengan Tun Ratna Sundari, putri Raja Malaka, yang menurunkan para raja dan bangsawan di Aceh, Johor, Pahang, Perak, Terengganu, dan Selangor. Dari garis ibunya, Tun Sri Lanang adalah keturunan Mani Purindan.

Namun hubungan itu pecah, terutama setelah campur tangan Portugis, yang datang dengan armada pimpinan Alfonso de Albuquerque pada awal abad ke-16 untuk memonopoli jalur perdagangan Asia di Selat Malaka. Portugis berhasil merebut Malaka pada 1511 dan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Nusantara. Portugis bahkan dapat memaksa Johor bekerja sama dengan mereka pada 1536.

Aceh saat itu menjadi penentang utama rencana Portugis menguasai Selat Malaka dan menaklukkan kerajaan-kerajaan pendukung Portugis di sekitar kawasan tersebut. Peperangan Aceh dengan Portugis menelan banyak korban di pihak Aceh. Populasi penduduknya menurun drastis dan Iskandar Muda, yang kala itu menjadi Sultan Aceh selama 1607-1636, mengambil kebijakan baru menggalakkan penduduk di daerah taklukannya, seperti Pahang, Johor, dan Perak, untuk pindah ke Aceh.

Seperti dicatat W. Linehan dalam History of Pahang (1936), kebijakan itu berhasil memindahkan sekitar 22 ribu penduduk. Namun William Marsden, yang menggambarkan Iskandar Muda sebagai raja yang kejam, dalam History of Sumatra (terbit pertama kali pada 1783) menyatakan kebijakan ini gagal karena banyak penduduk yang mati kelaparan karena tidak diberi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Di masa itulah Iskandar Muda menaklukkan Batu Sawar, ibu kota Johor, pada 1613 dan membawa Sultan Johor, Alauddin Riayat Syah III, dan adiknya, Raja Abdullah, serta Bendahara Paduka Raja Tun Muhammad, yang nanti dikenal sebagai Tun Sri Lanang, ke Aceh. Dia juga menaklukkan Pahang pada 1617 dan membawa Sultan Pahang, Ahmad Syah, dan putranya, Raja Mughal, serta Putri Kamaliah, seorang putri Pahang.

Iskandar Muda kemudian menikahi Kamaliah, yang di Aceh dikenal sebagai Putroe Phang, dan menikahkan adiknya, Ratna Jauhari, dengan Raja Abdullah. Raja Mughal belakangan menikah dengan Safiatuddin, putri Iskandar Muda, dan mewarisi takhta kesultanan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani.

Menurut Abdul Wahid, Iskandar Muda mengembalikan takhta Johor ke tangan Alauddin. Namun, karena Alauddin malah membuat perjanjian kerja sama dengan Portugis, ia dihukum mati dan mangkat di Aceh. Raja Abdullah lalu menggantikan ayahnya memimpin Johor sebagai Sultan Abdullah Maayat Syah.

Sultan Iskandar Muda belakangan juga mengangkat Tun Sri Lanang sebagai raja perdana Samalanga. Tapi prosesnya berlika-liku. Menurut Pocut Haslinda, pada masa itu Samalanga adalah daerah taklukan Aceh yang juga mengalami kekosongan penduduk. Sultan lalu membawa orang-orang dari Pahang dan Johor, termasuk Tun Sri Lanang, ke sana untuk membangun wilayah itu dan memperluas wilayah dengan membuka hutan.

Seperti warga lain, Tun Sri Lanang bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi. Perlahan-lahan perekonomian Samalanga, yang terletak di tepi pantai utara Bireuen, membaik dan meluas ke bidang kelautan. "Tun Sri Lanang juga menjadi pelopor pembuatan perahu untuk kebutuhan mencari nafkah dan transportasi laut," tulis Pocut Haslinda.

Hakim Peut Misei dan 11 pemuka daerah yang memimpin daerah itu lalu bermusyawarah untuk menetapkan siapa yang berhak menjadi uleebalang di sana. Namun mereka gagal mencapai kata sepakat dan akhirnya memutuskan menghadap Sultan Iskandar Muda. Mereka meminta Tun Sri Lanang membawa mereka dengan perahu dari Kuala Samalanga ke Kuala Aceh. Di hadapan Sultan, mereka menyampaikan masalah ini.

Semula Sultan menyatakan Uleebalang Samalanga harus punya siwah (pisau kecil untuk upacara kerajaan) bergagang emas, sesuatu yang jelas tak mungkin dimiliki para pemuka itu. Atas saran Putri Kamaliah, akhirnya Sultan setuju memilih salah satu dari mereka asalkan cincin dan peci kerajaan yang disiapkan Putri Kamaliah pas di jari kelingking dan kepala mereka.

Para pemuka itu kemudian pulang dengan perahu Tun Sri Lanang. Di tengah laut, embusan angin menyingkap pakaian Tun Sri Lanang dan memperlihatkan siwah yang terselip di pinggangnya. Mereka kemudian memaksa Tun Sri Lanang menyerahkan siwah itu, tapi Tun Sri Lanang menolak sehingga dibuang ke laut. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Laut.

Untunglah Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh dan Teuku Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menyelamatkan Tun Sri Lanang dan melapor ke Sultan. Untuk menjebak para pemuka sesat itu, Putri Kamaliah lalu mengukur cincin dan peci yang pas untuk Tun Sri Lanang.

Para pemuka Samalanga dipanggil ke istana. Tak satu pun dari mereka yang dapat memakai cincin dan peci kerajaan. Tapi, ketika Tun Sri Lanang memakainya, cincin itu sesuai, sehingga Sultan menobatkannya sebagai Uleebalang Samalanga. Sultan, yang telah mendapat laporan mengenai Peristiwa Laut, menghukum pancung para pemuka itu.

Tun Sri Lanang menjadi uleebalang pertama Samalanga dan mangkat di Meunasah Lueng. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menjadikan Samalanga pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh. Beberapa masjid di sana dibangun pada zamannya, seperti Masjid Kuta Blang dan Masjid Matang Wakeuh. Dia juga mendirikan Dayah (pondok pesantren) Kuta Blang.

Banyak keturunan Tun Sri Lanang menjadi tokoh penting dalam perang kemerdekaan, seperti Teuku Tjik Di Blang Panglima Perkasa dan Pocut Meligo, salah satu tokoh perempuan pejuang Aceh. Teuku Abdul Hamid Azwar, keturunan ketujuh Tun Sri Lanang, adalah konseptor pemimpin Angkatan Pemuda Indonesia, embrio Angkatan Perang Indonesia. Teuku Hamid juga mendirikan perusahaan pengimpor senjata, Central Trading Corporation, di Bukittinggi, yang menyumbangkan kapal laut berbobot 100 ton dan pesawat terbang Avro Anson RI-004 kepada tentara Indonesia di masa perang kemerdekaan.

Sebagian keturunan Tun Sri Lanang kembali ke Johor dan menjadi bendahara di sana, seperti Tun Habib Abdul Majid, yang menjadi Bendahara Johor, Pahang, Riau, dan Lingga pada akhir abad ke-17. Keturunan Tun Abdul Majid kemudian menjadi sultan di Terengganu, Pahang, Johor, dan Selangor.

Sejarah Tun Sri Lanang menunjukkan betapa erat sebenarnya hubungan Indonesia dan Malaysia. "Dengan ini, semoga dapat terbangun kembali hubungan yang erat di antara dua bangsa yang memiliki hubungan darah ini dan jadi jembatan untuk merajut kembali hubungan di masa mendatang," kata Pocut Haslinda.

Kurniawan, Imran M.A., Adi Warsidi

Jejak Sang Bendahara

Majalah TEMPO
Senin, 06 Februari 2012

Desa Meunasah Lueng, 42 kilometer ke arah barat dari Bireuen, ibu kota Kabupaten Bireuen, mendadak ramai pada 9 Desember lalu. Tamu dari sejumlah negara datang ke sana dengan berbagai jenis mobil. Rombongan peserta seminar Tun Sri Lanang itu melintasi puluhan desa sebelum tiba di Kemukiman Kuta Blang di tengah desa tersebut. Di kiri dan kanan jalan terhampar sawah yang luas. Tampak pula sebuah masjid peninggalan Tengku Syekh Abdul Jalil, putra ulama besar Aceh, Tengku Chik Awe Geutah Peusangan.


Sebelum sampai jalan memasuki area masjid, berjarak 300 meter di antara kawasan persawahan, ada jalan selebar 3 meter yang terlihat baru diaspal. "Ini dulu dikenal dengan Jalan Raja," kata Anwar, 58 tahun, penduduk setempat.

Setelah melewati perkampungan, mereka bertemu dengan pekuburan berpagar beton cat kuning di sebuah persimpangan jalan. Tak jauh dari sana, berdiri tegak sebuah rumah panggung besar yang di depannya tumbuh pohon mangga besar. Di sisi kanan rumah ada deretan bangunan beton dan di hadapannya sebuah balai kecil. Di sinilah rombongan itu berhenti dan berziarah ke makam Tun Sri Lanang, yang dulu bermukim di rumah tersebut.

Kompleks kuburan itu milik Ampon Chik Muhammad Ali Basyah, Uleebalang Samalanga dan keturunan keenam Tun Sri Lanang. Di tengahnya ada nisan yang sangat berbeda dengan nisan lain. Nisan yang diyakini sebagai kuburan Tun Sri Lanang itu panjang, berwarna cokelat, dan berukir-ukir dengan pucuk nisan mengerucut menyerupai kubah masjid.

Makam itu nyaris tak dikenal selama puluhan tahun sebelum keturunan Tun Sri Lanang melacak dengan sungguh-sungguh keberadaannya. Pencarian berawal saat Teuku Hamid Azwar, putra Chik Muhammad Ali Basyah, berwasiat kepada anak-cucunya untuk mencari jejak leluhur menjelang wafatnya pada 1996. "Saya meneruskan wasiat Bapak. Bapak saya selalu mengatakan, ’Tidak akan bahagia hidupmu bila tidak menelusuri jejak leluhurmu’," kata Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, 66 tahun.

Pocut Haslinda menuturkan, sebelum ayahnya meninggal, U stad A. Yakobi, sahabat Hamid dan penulis buku Aceh dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI, mampir ke rumahnya untuk meminta izin kepada Hamid buat menulis riwayatnya. Dari perbincangan mereka, muncullah cerita tentang Tun Sri Lanang.

Setelah ayahnya wafat, Pocut Haslinda dan keluarganya mulai melacak jejak leluhurnya. Soal makamnya, semula ada kabar bahwa kuburan Tun Sri Lanang berada di Desa Lancok. Namun, setelah menelaah dan menghadirkan keturunan Tun Sri Lanang dari Malaysia, mereka tidak yakin karena kuburan itu tidak punya ciri yang meyakinkan. Informasi yang ada menggiring mereka ke Samalanga dan menemukan sebuah makam di Desa Meunasah Lueng. Mereka yakin makam itu kuburan Tun Sri Lanang setelah menemukan kecocokan dengan nisan kerabat Tun Sri Lanang di Malaysia.

Salah seorang akademikus yang melacak jejak Tun Sri Lanang di Aceh adalah M. Adli Abdullah, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Saat mengambil master di bidang perbandingan hukum di Universitas Islam Internasional Malaysia, ia mulai tertarik kepada Tun Sri Lanang. Sewaktu pulang ke Aceh pada 1993, ia mulai menelusuri dokumen-dokumen lama mengenai Bendahara Johor pada abad ke-17 itu.

"Saya diuntungkan sempat berjumpa dengan beberapa orang tua di Samalanga, termasuk Kepala Mukim Masjid Raya, Idris; Cut Maimunah Batee Iliek; dan Cut Sakdiyah. Dari merekalah muncul titik terang bahwa Tun Sri Lanang pernah ada di Samalanga dengan gelar Dato’ Bendahara Sri Paduka Tun Seberang," kata putra Teungku Abdullah, pemimpin pondok pesantren Darus Syariah di Kuta Blang, Samalanga, itu. Selama kuliah, dia tinggal di rumah Dato’ Sri Abdul Wahid Wan Hasan, penasihat Sultan Pahang dan Ketua Persatuan Sejarah Malaysia Wilayah Pahang, yang sangat tertarik pada hubungan Aceh-Pahang, khususnya sejarah Tun Sri Lanang.

Adli juga melacak makam sang Bendahara hingga menemukannya di Meunasah Lueng pada 2000. "Di situ ada rumah lama dan kuburan tak diurus yang berada di tengah semak belukar. Tak ada pihak yang tertarik dan peduli," katanya.

Sejak itu, Adli sering diundang untuk mempertahankan temuan dia di depan para sejarawan Melayu, yang pada awalnya tak yakin Tun Sri Lanang wafat di Aceh. Pertemuan yang pernah dia hadiri adalah seminar di Johor, Kelantan, Universitas Syiah Kuala di Aceh, dan Universiti Sains Malaysia.

Anwar, 58 tahun, warga Meunasah Lueng, menyatakan sebelumnya kompleks kuburan itu disebut oleh warga sebagai Lampoh Reumoh Kreueng atau Kebun Rumah Kreueng milik Ampon Chik Muhammad Ali Basyah. Di depan kompleks itu terpasang papan jalan dengan tulisan "Jl. Pocut Firdaus". Pocut Firdaus adalah keturunan Ampon Chik Muhammad Ali Basyah yang meninggal saat menunaikan ibadah haji di Mekah.

Semasa kecilnya, para sesepuh kampung, seperti Teungku Imam Yusuf, Teungku Muhammad Dahlan, dan Teungku Muhammad Ali, sempat mengisahkan soal adanya kuburan orang Malaysia di kawasan tersebut. "Namun yang mana kami juga tidak tahu saat itu," ujar Anwar.

Imam desa waktu itu, kata Anwar, juga pernah bercerita bahwa Tun Sri Lanang bertubuh tinggi dengan warna kulit putih kemerahan. "Kitab Sulalatus Salatin kalau tidak salah dulu ada sama Teungku Dahlan, namun sekarang tidak ada yang tahu di mana dia menyimpannya. Tapi saya waktu itu masih kecil dan daerah ini kan konflik terus, kapan sempat orang ingat hal kek gituan," kata Anwar, yang sempat merantau ke Malaysia pada masa konflik terjadi di Aceh.

Nasir, 50 tahun, warga lainnya, menuturkan, pada 1960-an, di kuburan tersebut ada seekor harimau yang selalu berjalan dari kuburan di Reumoh Kreung, melintasi kuburan Syekh Abdul Jalil di sekitar Masjid Desa Meunasah Lueng, ke Masjid Kuta Blang, yang total berjarak sekitar 600 meter. "Itu harimau teungku (’harimau ulama’), tapi dia tidak mengganggu masyarakat," kata Nasir. Asnawi, kepala desa setempat, dan beberapa warga lain membenarkan cerita tersebut.

Pocut Naimah, 67 tahun, warga Kampung Baro, Samalanga, mengatakan Teuku Hamid Azwar masih saudara satu kakek dengannya. Pada 1980, Reumoh Kreueng sempat dibersihkan oleh Teuku Hamid Azwar dan dijadikan balai pengajian serta tempat perempuan desa belajar menjahit. "Saya tidak ingat entah berapa lama kegiatan itu bertahan," kata perempuan yang dipanggil Nyak oleh masyarakat di sana itu.

Kini Reumoh Kreueng telah berubah. Semak dan pepohonan sudah tak ada lagi. Yang tersisa hanya pohon mangga besar di halaman. Pada 2006, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh membangun pagar di sekeliling kuburan itu. Masyarakat juga membersihkan kompleks itu sebelum tamu peserta seminar Tun Sri Lanang berdatangan.

Imran M.A., Adi Warsidi, Kurniawan