Sunday, June 12, 2011

Perang Aceh: Calon Independen VS Partai Lokal

By: Adi Warsidi

Lima tahun lalu, Aceh mendobrak yang mustahil di Indonesia. Damai setelah perang, istimewa diberikan kepada rakyat; Partai Lokal dan Calon Independen sebagai amanah dari Kesepakatan Damai (MoU) Helsinki.


Calon Independen dan Partai Lokal kala itu menjadi syarat penghenti perang sesungguhnya, di luar kewenangan lain yang diberi republik, agar senjata dihancurkan. Keduanya diatur kemudian dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh, sebuah undang-undang yang juga khusus untuk Aceh setelah tak lagi meminta merdeka.

Partai Lokal dibuka kran, tak lagi berbatas dan bisa berjuang dengan Partai Nasional untuk meraih simpati di Aceh. Tapi independen cukup sekali, karena para pemikir Indonesia punya anggapan, bahwa para pejuang independen kemudian dapat membentuk sendiri partai lokalnya, untuk menciptakan pemimpin dan eksekutif di Aceh.

Tak banyak yang menyangka, kala Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2006, calon independen kemudian memimpin Aceh yang didukung oleh 38 persen lebih pemilih. Warga ingin yang baru kala itu, tak lagi memilih yang didukung partai-partai.

Selang setahun setelahnya, aturan teknis Peraturan Pemerintah untuk Partai Politik Lokal di Aceh kemudian lahir. Lalu ruang kosong itu kemudian dicoba isi oleh para politisi, aktivis, bahkan ulama pun mencetuskan partai. Sepertinya tempat kosong itu telah dipesan lama sekali, untuk sebuah himpunan politik tanpa konflik yang telah pergi jauh. Demokrasi baru itu sebagaimana sesuatu transformatif dibayangkan akan sanggup mengendapkan perilal lalu dan kemudian membentuk manusia baru; mungkin harapan kita yang seia-sekata.

Muncullah partai lokal seperti cendawan musim hujan. Pertama ada 12 partai yang kemudian hanya tinggal setengahnya yang berhak ikut pemilu legislatif 2009. Pemilu digelar, lagi-lagi Partai Lokal menang, tapi hanya satu yang menunjukan kekuatan luar biasa. Partai Aceh yang dirintis para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dulunya mengangkat senjata berperang melawan republik, menang mutlak, sekitar 43 persen suara, dari 2 juta lebih pemilik suara di Aceh.

Lima partai lokal lainnya, meradang. Bahkan tak sangup mencapai electoral treshold untuk bertahan di periode selanjutnya. Jika ingin terlibat lagi dalam pemilu 2014, harus mendaftarkan kembali dengan nama dan lambang yang lain.

Aturan istimewa untuk Aceh kemudian membuat wilayah lain meradang, mereka maju menantang Indonesia dan meminta hal yang diberikan ke Aceh juga dihadiahkan buat mereka. Sebanyak 32 provinsi lain berjuang bersama meminta partai lokal dan calon independen dalam memilih guburnur maupun bupati/walikota. Hanya calon independen yang disetujui Jakarta, Partai Lokal tidak.

***
Setelah independen dibuka pintu untuk seluruh penjuru angin nusantara, Aceh yang hanya kebagian sekali, ikut menggugat lagi. Beberapa pihak atas nama rakyat mengajukan judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), meminta satu pasal yang mengatur Independen sekali sahaja di Aceh dicabut.

Gugatan disetujui, Mahkamah Konstitusi selaku pemegang mandat tinggi hukum di Nusantara, kemudian memutuskan bahwa independen tetap terbuka untuk Aceh, seperti wilayah lain. Pasal 256 Undang Undang no 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengatur tentang itu dicoret.

Oleh banyak pihak, politisi partai umumnya, menyambut keputusan ini dengan dua versi. Banyak yang mendukung dan ada pula yang tidak, kendati malu-malu menyatakan sikapnya. Putusan MK kemudian membutuhkan aturan pelaksana, qanun Aceh, semacam Peraturan Daerah (Perda) di wilayah Indonesia lainnya.

Kisruh dimulai, awal perang (politik) dicetus oleh dua hal yang dulunya menjadi mahar penghenti perang; calon independen dan partai lokal, sebut saja begitu. Partai atau mungkin hanya partai Aceh, yang mempunyai kursi terbanyak di parlemen enggan, kalau calon independen dibuka lagi. Para calon pemimpin yang tak punya partai, tapi ingin memimpin terus mengeksiskan diri tanpa peduli, karena MK telah bicara. Satu menantang yang lain menentang.

Jelang Pilkada akhir 2011 mendatang, Partai Aceh telah menunjuk calonnya, Dr Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Lalu Gubernur Aceh sekarang, Irwandi Yusuf sudah menyatakan diri maju lewat jalur independen. Calon lain yang juga ingin seperti Muhammad Nazar, Darni M Daud, Mawardi Nurdin, belum berani mengumumkan diri, apakah maju dengan bergandeng partai atau calon perseorangan.

Qanun tentang Pilkada belum ada, katanya lagi dibahas yang termasuk Bab Independen di dalamnya. Ada kekhawatiran, bahwa calon independen nantinya akan menciutkan dukungan terhadap calon partai lokal, dua sisi dulu bersatu, kini berpisah.

Partai memang selalu dilema di Indonesia, mungkin juga yang berlabel lokal di Aceh. Hingga Independen kemudian diperjuangkan. Sama halnya dengan analisis The Indonesian Institute di Indonesia. Lembaga itu, dua bulan lalu merilis temuannya, bahwa masih ada kekecewaan masyarakat sebesar 75 persen terhadap partai politik. Lalu kecewa itulah yang menuntut adanya Calon Independen, sebagai jawaban dari kekecewaan masyarakat terhadap partai politik.

Penelitian yang sama khusus untuk Aceh belum ada, mungkin dapat segera dicoba lembaga penelitian. Untuk melihat, apakah hal juga berlaku sama di Bumi Serambi. Temuan saya di banyak tempat, masyarakat masih menilai partai lokal yang punya wakil di parlemen juga belum mampu membuat mereka sejahtera.

Alasannya beragam, misalnya anggota dewan masih sibuk dengan dana sewa rumah, saat rakyat masih ada yang tinggal di gubuk reot. Dewan masih sibuk bicara study banding ke luar negeri, saat rakyat tak sanggup lagi membeli bensin. Dewan masih sibuk memperjuangkan dana aspirasi, saat rakyat sibuk menulis proposal berlembar-lembar minta modal yang tak kunjung turun.

Karena itu, mungkin rakyat kembali lagi mulai menulis dosa-dosa partai lokal seperti pernah ditulis untuk partai nasional dulunya, yang panjangnya melebihi janggut Nabi Khaidir (meminjam kata Azhari, kawan saya yang seniman).

Rakyat mungkin juga kecewa kepada calon independen yang sekarang memimpin Aceh, karena juga ada penilaian bahwa pemerintahan belum menunjukan perubahan pada kesejahteraan rakyat. Lalu kenapa rakyat harus memberi suaranya? Atau terpaksa mencoblos pada hari H dan/atau hanya coba berlibur ke bilik suara sambil bersilaturrahmi layaknya hari raya, untuk sebuah harapan baru yang mungkin ada.

Kerap para pemimpin dalam mewujudkan cita-cita kolektif atas nama kemakmuran rakyat, bersikap arrangement focused, bukan kepada realization focused. Semua mengatur ulang mimpinya agar sempurna dan lupa kepada bagaimana merealisasikannya.

Pada dasarnya selama dua elemen masih tak saling mendukung, partai melalui legislatif serta gubernur dan bupati/walikota dengan pangkat eksekutif, maka sampai kiamat pun rakyat akan menuntut dan tak makmur. Mungkin sahaja, rakyat mengumpulkan tenaga sampai kemudian mendobrak lagi hal tak lazim, dan saya tak berani menulis apa gerangan selanjutnya. []

atjehpost.com, 11 Juni 2011

Sunday, June 5, 2011

Wartawan ‘L’ dan Penguasa Aceh

Oleh : Adi Warsidi

‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’. (Thomas Jefferson).


Ada pernyataan mengejutkan sekaligus mengelikan dari Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf saat menerima audensi pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Februari lalu. Sebuah komentar disampaikan gubernur bahwa 95 persen wartawan tidak menyukainya. Info tersebut diakui dibisikkan oleh seorang wartawan senior di Aceh.

Komentar itu kemudian disambut media dan ramai-ramai memberitakannya. Sebuah lakon yang wajar, sebab pernyataan gubernur mengena dan menghantam langsung ke para wartawan. Perenungannya dimulai, benarkah yang disampaikan Irwandi?

Hemat saya, suka atau tidak suka Irwandi adalah penilaian. Sementara suka atau tidak suka wartawan adalah pilihan yang kabur. Gubernur mungkin saja menilai bahwa banyak wartawan yang menuliskan kritik terhadap pemerintahan yang dipimpinnya, poin itu kemudian menjadi tidak suka. Padahal dulu, sebelum menjadi pejabat, Irwandi menilai wartawan begitu dekat.

Soal kedekatan ini juga punya pengaruh dalam penilaian. Gubernur adalah pemimpin 4 juta lebih masyarakat Aceh yang bukan hanya mengurus wartawan. Sulit ditemui dengan prosedur yang berlapis kadang membuat kuli berita enggan berkomunikasi dengan Irwandi, kecuali terpaksa untuk kepentingan pemberitaan. Ini kemudian membuat sebuah objek untuk penilaian, bahwa wartawan semakin jauh dengannya. Masih objektif.

Lalu masih ada koreksi dalam ucapan Irwandi. Bahwa dia mendengar dari seorang wartawan senior yang kemudian berembus kabar bernama inisial ‘L’. Kalaulah wartawan itu ada, bisa saja itu adalah semacam simpati yang disebarkan untuk menarik perhatian gubernur. Untuk mendekatkan pribadi ‘L’ dengan pemimpin dengan beragam tujuan, mendapatkan keuntungan finansial misalnya atau sedikitnya untuk kemudahan berkomunikasi bila ada kepentingan pemberitaan.

Kalaulah bisikan ‘L’ itu ada, saya yakin Irwandi tak mudah percaya.

Tapi, kalau bisikan itu tidak ada, berarti Irwandi sedang memainkan peran komunikasi media untuk menarik perhatian wartawan. Dia bukan orang awam yang tak paham berkomunikasi dengan media. Ilmu itu sudah dipraktekan nya sejak lama, jauh sebelum berkuasa.

Ketika ‘L’ disebut-disebut menjadi inisial wartawan pembisik, hampir semua wartawan bahkan para aktivis dan pejabat mencoba membuka tabir, siapa ‘L’ sebenarnya. Lidik dimulai, dan tak ada satupun wartawan di Aceh yang bernama awal huruf ‘L’.

Kemudian ini jadi canda. Dalam obrol di warung-warung banyak nama wartawan senior kemudian yang dibubuhkan dengan ‘L’ di depan. Jadilah nama Lukhtaruddin Lakob, Lurdin Lasan dan Luhammad Lamzah dan bahkan Lali Laban.

Irwandi telah mampu menarik wartawan dengan isu yang dihembuskan. Sebuah komunikasi media mungkin saja sedang dibangun, mengingat Pemilukada di depan mata. Apapun, wartawan adalah mereka yang menuliskan dan membangun opini para pejabat untuk meraih simpati rakyat.

***
Membangun komunikasi media, saya teringat kisah Thomas Jeferson saat masih duduk di Dewan Kongres Amerika Serikat tahun 1787. Dia mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkenal dan banyak dikutip media hingga sekarang. Bunyinya; ‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’.

Dia terkenal sebagai pembela kebebasan pers, beropini, berpendapat kala itu. Pandangannya terhadap media, menggambarkan bahwa hak rakyat berpendapat aadalah segala-galanya, dan ini terpresentasikan melalui kebebasan pers. Tapi kemudian, kekuasaan merubah persepsi Jeferson terhadap pers, saat pemilu AS pada 1800 mendudukkan Jeferson sebagai presiden.

Dia kemudian menjadi Presiden ketiga AS yang dikenal juga sebagai salah seorang penyusun The Declaration of Independence. Sikapnya terhadap pers berubah. Partainya memang mampu mengontrol pemerintahan, namun dalam perhitungan Jeferson, tiga per lima para editor masih mendukung lawan-lawan politiknya. Yang terjadi berikutnya adalah adanya klaim dari para pengikut Jeferson yang memulai pembatasan-pembatasan politik dengan menamakan sebagian wartawan dengan oposisi.

Itu sebuah fenomena yang terjadi jauh di AS dan sudah dua abad lalu. Tapi seperti itulah representasi hubungan antara penguasa dan pers yang hampir selalu punya batasan-batasan yang mirip permusuhan. Di banyak negara dan daerah, termasuk Indonesia dan Aceh khususnya, banyak mereka yang sebelumnya mesra dengan media dan pers, tetapi kemudian langsung berseberangan ketika menjadi penguasa.

Di Indonesia hal itu tercatat panjang. Dari masa Soekarno yang mencoba mengendalikan pers, kemudian Soeharto yang sempat membredel beberapa media karena dianggap tak berpihak pada politik berkuasa. Padalah sebelum presiden, Soeharto sangat dekat dengan pers. Abdurrahman Wahid juga sangat dekat dengan pers sebelumnya, tapi kemudian ketika menjadi presiden dia suka mengatakan media memelintir perkataannya.

Lebih gamblang lagi terlihat saat Megawati berkuasa. Pers nasional dan media umumnya memilih resiko mendukung Mega melalui berita mereka, karena dianggap PDI-nya mendapat tekanan dari pemerintah Orde Baru. Namun setelah menjadi presiden, Mega sempat mengkritik pers; ‘Pemberitaan pers tidak berimbang, berputar-putar dan menambah ruwet masalah’.

Secara umum sampai kapanpun, ketidak-harmonisan pers dengan pemegang kekuasaan akan terus terjadi, begitulah relnya. Karena yang dilakukan media adalah kontrol yang disampaikan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kalau tak ingin dikritik tak usah menjadi politisi. Tapi tak dipungkiri, ada juga hubungan yang harmonis, bila keputusan yang diambil kekuasaan berpihak rakyat.

Ada sebuah sisi lain yang perlu dilihat, bahwa media adalah sebagai alat untuk berkomunikasi politik para politisi. Kerap para politisi memakai ruang media massa untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya kepada rakyat, begitu sebaliknya. Media menyediakan ruang, karena disitulah tugasnya.

Sebagai media komunikasi, keberadan pers merupakan hak azasi bagi individu atau insan pers untuk mengemukakan pikiran dan pendapatnya. Sebagai media publikasi, pers mengemban kewajiban azasi untuk menyampaikan kepada masyarakat yang membutuhkan fakta yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia.

Pada dasarnya media mempunyai implikasi yang luas dalam mempengaruhi perilaku politik. Pada satu sisi media dapat menjadi perpanjangan tangan penguasa ketika regulasi tentang pemberitaan berada dalam cengkeraman negara yang bersikap sebagai polisi. Di sisi lain, media dituntut untuk menjadi sumber informasi, sarana sosialisasi, pendidikan dan sosialisasi politik bagi masyarakat.

Dalam konteks politik, zaman ini persaingan kekuasaan antar politisi kadang menguntungkan media dan masyarakat tapi juga kerap merugikannya pada sisi lain. Tak dipungkiri banyak politisi yang dibesarkan media dan surat kabar akan membesarkan sesuai dengan keinginannya. Media massa juga punya kepentingan untuk mendukung siapa saja. Walaupun itu kerap dilakukan dengan sebunyi-sebunyi di Indonesia.

Politisasi informasi akibat pengaruh kekuasaan dan bisnis media menyeabkan media kerap tak mampu menjalankan misinya sebagai pengawas. Kendati ada juga idealisme yang dimiliki media dalam menyampaikan informasi kepada rakyat.

Dalam berbagai perhelatan demokrasi meraih kekuasaan, kampanye kerap dilakukan dengan memakai media. Misalnya membeli tempat untuk iklan, mengelar acara hingga muncul berita, artikel, mengirimkan press release dan sebagainya. Sebut saja Aceh saat pilkada dan pemilu legislatif di Aceh beberapa waktu lalu.

Media kadang menjadi kawan baik bagi politisi atau pejabat sebelum berkuasa. Dan bisa dianggap menjadi lawan saat kuasa dipegang. Karena apa yang dituliskan adalah suara rakyat yang didapat dari hasil liputan.

Kalaulah berita adalah suara rakyat dan kalau benar ada sebanyak 95 persen wartawan tak suka gubernur, berarti secara teori ada 95 persen masyarakat yang tak menyukai Irwandi. Kalau ini tak benar, maka berarti salah. Dan apa yang disampaikan ‘L’ adalah fitnah. Kalau ‘L’ tak ada, berarti gubernur sedang memainkan komunikasi di media untuk mendukung politiknya.

Iseng saya coba membalikkan kata. ‘Ada 95 persen pejabat tak suka wartawan’. Benarkah atau mungkin salah. Yang jelas, kisah Thomas Jefferson bisa dijadikan renungan. Suka tak suka adalah penilaian dan pilihan. []

Maret 2011, Atjehpost