Thursday, September 15, 2011

Masjid Raya Aceh, Saksi Perang dan Damai

By: Adi Warsidi

Perang silih berganti datang ke Aceh, Masjid Raya Baiturahman adalah saksinya. Di situ Jenderal Kohler pernah mati, pada 1873. Dua ratusan tahun kemudian, doa bersama melantun menyambut damai Aceh, pada 2005.


Senin 22 Agustus 2011. Ratusan jamaah mulai berdatangan jelang waktu Isya ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Lantunan ayat suci alquran merdu lewat pengeras suara. Lampu-lampu masjid menerangi setiap sudut dalam dan luar halaman.

Sesaat lagi shalat isya dan taraweh dimulai. “Saban malam Ramadan, masjid ini penuh,” kata Ramlan, warga sekitar yang selalu shalat di sana.

“Shalat di sini terasa lain, sejuk dan seakan ada hawa lain yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kita tenang di masjid ini,” sambungnya.

Rumah ibadah itu mewah. Arsitekturnya kelas kakap. Di dalam, lampu-lampu gantung yang sudah tua menjadi penerang dan berkesan mewah tapi klasik. Tiang penyangga besar juga dilapisi kuningan. Hiasan kaligrafi dan bersihnya lantai membuat banyak orang betah ibadah di sana.

Karenanya, masjid ramai dikunjungi dan tak pernah sepi saat siang. Bahkan di bulan Ramadan, banyak yang menghabiskan waktu di sana, mengaji dan tiduran sambil menunggu berbuka.

Masjid itu ada di pusat kota Banda Aceh. Luas seluruh pertapakan Masjid Raya Baiturrahman adalah 3,30 hektar dengan lima pintu gerbang. Masjid bisa menampung 10.000-13.000 jemaah di dalamnya. Tapi jika memakai halaman, jamaah bisa muat sampai 25.000 orang.

Di Banda Aceh, Baiturrahman adalah tempat wisata religi yang kesohor. Wisatawan mancanegara yang pernah ke Banda Aceh, tak pernah luput berkunjung ke sana. Pendatang dari lokal dan nasional juga. Bahkan ada semboyan yang berkembang di sana. ‘Belum sah ke Banda Aceh, kalau belum berfoto di Masjid Raya.’

***
Sejarah perang tercatat panjang di Masjid Raya. Masuk dari dari pintu gerbang sebelah kanan, pengunjung akan sambut oleh sebuah prasasti. Di sana tertulis, bahwa di tempat itulah Jenderal Kohler tewas tertembak pada April 1873 saat memimpin pasukan Belanda untuk penyerangan ke Aceh.

Pemerhati sejarah Islam sekaligus penceramah Masjid Baiturrahman, Tgk Ameer Hamzah kepada TEMPO bercerita, bahwa dalam penyerangan oleh Belanda itulah, masjid kemudian dibakar. Pejuang Aceh meninggalkan masjid dan keraton, membangun kekuatan di dekat hutan.

Asal muasal masjid, pertama kali dibangun oleh oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612. Kontruksinya tak seperti sekarang, tapi hanya beralas tanah keras, bertiang kayu dan beratap daun rumbia. “Pundak-berundaknya ada tujuh buah, tidak seperti masjid-masjid tua di Jawa, yang pundaknya hanya tiga,” kata Tgk Ameer.

Agresi militer tentara Belanda, terjadi perang besar di sana. Para pejuang mati-matian mempertahankan masjid, tapi tak kuasa. Masjid hangus terbakar saat perang dan pejuang mundur meninggalkan area. Kota Banda Aceh kemudian dikuasai Belanda.

Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada Maret 1877, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulakan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100 persen beragama Islam.

Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 9 Oktober 1879 , diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Arsiteknya Belanda dengan pekerja etnis Cina. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1883 dengan satu kubah saja.

Tgk Ameer mengatakan, usai masjid selesai, masyarakat Aceh tak mau shalat di sana. Alasannya karena dibangun penjajah. Hal ini berlangsung sampai sepuluh tahun kemudian. Kondisi Masjid ditumbuhi semak belukar di sebelah selatannya. Belanda kemudian sempat menjadikan masjid itu sebagai bar, sambil terus merayu orang Aceh agar mau mempergunakan masjid itu. “Kalau masjid sempat jadi bar, jarang orang ketahui, saya dengar kisah ini dari (alm) Pak Ali Hasjmy,” kata Tgk Ameer.

Prof Ali Hasjmy yang dimaksud adalah mantan gubernur Aceh era tahun 60-an yang juga ahli sejarah Islam.

Belanda kemudian berhasil membujuk masyarakat Aceh melalui Tgk Keumala dan Tgk Krueng Kalee. Tahun 1893, masjid itu dipakai oleh masyarakat shalat kembali.

Indonesia merdeka, Masjid itu jadi saksi. Masyarakat berduyun ke sana berdoa menyambut merdeka. Saat berakhirnya konflik DI/TII, setelah Tgk Daud Beureueh turun gunung setelah perdamaian, masjid itu juga jadi saksi perdamaian itu.

Perluasan masjid raya setelah merdeka terus berlangsung. Tahun 1935, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Dan pada tahun 1975 terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam tahun 1967.

Pada tahun 1991, masa Gubernur Ibrahim Hasan terjadi perluasan kembali yang meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya. Masjid kemudian menjadi 7 kubah seperti saat ini.

Masjid itu menjadi saksi perang dan damai Aceh. Gerakan menuntut referendum pada 1999, juga menjadikan masjid sebagai titik utama pertemuan bagi masyarakat yang datang dari daerah.

Tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, Masjid Raya Baiturrahman selamat tanpa kerusakan yang berarti dan banyak warga kota yang selamat di sini. Hanya menara depan yang miring dan kini telah diperbaiki kembali.

Sampai kemudian damai kembali hadir di Aceh, setelah Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepakat hentikan perang. Saat teken MoU damai di Helsinki, Filandia, 15 Agustus 2005 silam, di Masjid Raya Baiturrahman ribuan masyarakat menggelar acara sambut damai dalam doa dan zikir-zikir.

Di masjid kenangan Sultan dan Belanda itulah, doa-doa damai bersenandung. Setelah perang-perang. ***

Perawat Naskah Kuno Aceh

By: Adi Warsidi

Di ruang tamu rumahnya, Tarmizi Abdul Hamid, 46 tahun dan seorang rekannya, Herman sedang mempelajari beberapa naskah lama yang tergeletak di meja. Tarmizi adalah perawat naskah kuno Aceh yang berjuang sendiri menyelamatkan warisan leluhur.


Tarmizi punya hobby aneh, mengoleksi naskah-naskah lama masa kerajaan Aceh silam. Ratusan juta uang dihabiskan untuk tujuan itu. Dia sendiri bekerja sebagai pegawai di Badan Pengembangan Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh.

Saat Tempo berkunjung ke rumahnya, Jumat 5 Agustus lalu, Tarmizi mengisi waktu untuk mempelajari naskah lama, dibantu Herman yang master bidang naskah kuno. “Dia (Herman) membantu saya mengidentifikasi naskah-naskah lama yang ada di sini,” ujarnya.

Di rumahnya, Tarmizi punya 480 naskah kuno yang semuanya dikoleksi sendiri. “Naskah itu saya kumpulkan pelan-pelan dari seluruh daerah d Aceh. Saya berburunya sendiri,” ujarnya.

Bahasan kitab-kitab itu beragam; ilmu pengetahuan, soal tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum fiqh Islam, termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq. Juga ilmu pengobatan dan hikayat-hikayat.

Manuskrip itu beraksara Arab-Jawi, umumnya memakai bahasa melayu, sedikit saja yang ditulis dalam bahasa Aceh. Oleh karenanya, Tarmizi punya impian mengalihaksarakan naskah itu ke bahasa Indonesia, agar bisa dibaca semua kalangan saat ini.

Niat itu pula, Tarmizi mengajak rekannya seperti Herman dan lainnya, untuk identifikasi dan alih aksara naskah lama. Baru dua kitab saja yang telah rampung dialih-aksarakan, yaitu Nazam Aceh (Syair Perempuan Tasawuf Aceh) karangan Pocut di Beutong dan Hujjah Baliqha Ala Jama Mukhashamah karya Jalaluddin bin Syekh Jamaluddin Ibnu Al Qadhi.

Sedangkan Mirat Al Thullab, Tarjuman Multafiq (keduanya karangan Syeh Abdurrauf As Singkili); Durar Li Syarhi Al Aqaid karangan Syeikh Nuruddin Al Raniry; dan Tajjul Muluk, masih dalam proses alih-aksara.

Naskah Mirat Al Thullab adalah kebanggaan Tarmizi, itu adalah kitab yang berisi masalah hukum syariat Islam masa lalu yang ditulis dalam bahasa Melayu Jandi. Kitab itu dibuat pada kisaran tahun 1641 – 1675, masa Aceh diperintah oleh Ratu Safiatuddin.

“Kitab ini bukti kalau syariat Islam di Aceh sudah diterapkan sejak dulu kala. Harusnya kitab ini bisa dipelajari oleh semua orang, untuk perbandingan pelaksaan syariat Islam sekarang,” ujarnya.

Tarmizi mengaku tertarik mengoleksi naskah kuno Aceh pada awal 1995. Saat itu dia mendapat tugas ke Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia dari kantornya. Di sana, mengisi waktu luang, Tarmizi mengunjungi museum.

Di Museum negeri tetangga itulah dia menyaksikan banyak sekali naskah kuno yang berasal dari Aceh. Dia penasaran, kenapa di Aceh sulit ditemui usaha untuk menyelamatkan naskah atau masyarakat sendiri menjual manuskrip lama itu ke luar negeri.

Sekembalinya ke Aceh, mulailah dia berburu naskah kuno. Impiannya hanya mengumpulkan naskah agar bisa tetap berada di Aceh, tak dibawa ke luar. “Ini demi pendidikan bagi generasi ke depan,” ujarnya.

Manuskrip pertama yang dia peroleh yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani. Kitab ini diperoleh dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, pada pertengahan 1995. Ia juga berburu hingga ke Riau.

Usahanya memburu naskah seorang diri. Tak ada bantuan dari pemerintah daerah dan Tarmizi tak mengharapkannya. Alasannya, kalau pemerintah peduli, pasti sudah duluan naskah-naskah itu terkumpul. Naskah itu banyak tersebar di tengah masyarakat Aceh.

Pelbagai macam cara digunakan untuk memperoleh literatur kuno yang sarat dengan ilmu pengetahuan itu. Kadangkala, ia menukar naskah dengan Alquran cetakan masa kini. Di lain waktu, ia melakukan barter: naskah ditukar dengan beras atau padi. “Kalau diminta beli dalam harga tinggi, saya juga tak punya dana.”

Tapi tak sedikit uang yang dikeluarkan Tarmizi, dia tak tahu persis berapa jumlahnya. Beberapa petak sawah ludes. Tapi keluarnya mendukung usahanya. “Istri dan anak saya selalu member semangat, mereka mendukung. Kadang gaji istri saya juga disumbangkan untuk mencari naskah,” ujarnya.

Karena Aceh dulu pusat peradaban islam di Nusantara, Tarmizi memperkirakan banyak sekali naskah yang ada di masyarakat yang harus segera diselamatkan, kalau tidak bisa saja naskah itu dijual ke luar Aceh. Tarmizi tak kuasa dengan sekadar abakadabra, butuh dana yang besar.

“Saya berharap ada donatur yang kuat untuk membeli naskah-naskah itu. Kalau ada uang, naskah yang diluar pun bisa dibawa pulang,” ujarnya. “Saya hanya ingin museum naskah ada di Aceh,” sambungnya.

Merawat naskah itu, Tarmizi juga kewalahan. Awal tsunami sebuah lembaga swadaya masyarakat bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, datang ke tempat Tarmizi. Dia mendapat bantuan untuk restorasi naskah yang rusak dan dimakan rayab. Kertas restorasi itu harganya mahal, sampai 23 juta per meternya.

Saat itulah, dia mendapat wejangan dari Prof Arai, ahli kertas Jepang yang mengatakan kertas-kertas naskah kuno tersebut sesuai dengan kondisi suhu di Aceh dan dapat disimpan berabad-abad. “Artinya tidak terlalu butuh sebuah ruangan yang dijaga suhunya,” kata Tarmizi.

Tarmizi hanya menyimpan naskah-naskah itu di rumahnya, di lemari dan di kamar. Kadang terongok di ruang tamu saat dia dan kawannya sedang mempelajari naskah-naskah. Tarmizi hanya merawat manuskrip itu dengan cara menaburinya dengan kapur barus, lada hitam, lada putih, dan cengkeh. Biar jauh dari rayap.

Perpustakaan Nasional pernah meminta Tarmizi menjual manuskrip itu. Namun ia menolak. Jika dijual, naskah-naskah itu akan diangkut ke Jakarta. Ia juga mendapat tawaran Museum Aceh untuk menyimpan naskah itu di sana. Tapi tak jelas bagaimana mekanisme perawatan dan penyimpanan di museum, termasuk bagaimana kalau naskah itu hilang dan terbakar. Hal-hal teknis itulah yang kemudian membuat Tarmizi mengabaikan tawaran museum.

Dia berharap, pemerintah dapat membantunya melestarikan manuskrip dengan mendukung apa yang dilakukannya sekarang, yaitu proses untuk digitalisasi dan mengkaji kembali naskah untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Yang penting, bagaimana ilmu dalam naskah-naskah itu mampu dibaca dan dipelajari semua orang.”

“Saya akan terus berusaha mengumpulkan naskah-naskah untuk bisa diwariskan dan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Bukan bangga soal kejayaan lama, tapi untuk ilmu pengetahuan,” kata Tarmizi pada akhirnya. *** KORAN TEMPO | 17 Agustus 2011

Pesan Keadilan dari Perang (Renungan 6 Tahun Perdamaian)

By: Adi Warsidi

Ketika perang berhenti, enam tahun silam, berseri wajah rakyat Aceh tak terkira. Tak ada yang berduka, lalu menumpahkan sukacita seperti kebiasaan budaya yang lama dilakoni sejak zaman raja-raja. Doa-doa disenandungkan di masjid, meunasah dan rumah-rumah.


Tepat pukul 3 sore, 15 Agustus 2005, para juru runding di Helsinki, Finlandia sana meneken naskah sepakat hentikan perang, Di Masjid Raya Banda Aceh misalnya, gaung itu bersahutan dengan lantunan ayat-ayat Tuhan dari mulut ribuan warga yang berkumpul menyaksikan momen, bahwa perang telah berhenti, bahwa Aceh telah bebas dari konflik panjang.

Enam tahun silam, damai itu datang setelah –katakanlah- adanya intervensi Tuhan yang mengirim bah lewat laut dan menggada Aceh, mematikan ratusan ribu korban. Terpikir oleh para pemimpin dari yang bertikai, bahwa cukup sudah korban yang timbul di Aceh. Bencana perang dan tsunami telah merengut banyak nyawa, dan kemudian lewat kesadaran penuh, damai lahir dengan janji marwah dan beradab bagi keadilan rakyat Aceh.

Ketika perjanjian Helsinki dimulai bersamaan dengan perdamaian yang sungguh-sungguh, maka Aceh sedang memulai sebuah proyek sejarah besar. Saat itu tak seorang pun mampu menduga apakah ini hanya sebuah pause konflik sesaat ataukah menjadi sebuah tonggak besar awal dari sebuah dis¬kontinutas konflik dan kekerasan. Maklum, Aceh telah lama bergelut dalam perang yang berlangsung lama, dengan jeda-jeda.

Bahwa konflik telah ada sejak Belanda mencetus Perang dengan Aceh April 1873, lalu setelah merdeka bersama Indonesia, gerakan kemerdekaan Aceh masih berdengung, sampai kemudian damai enam tahun silam dengan semangat keadilan, karena itulah yang mencetuskan perang.

Mencapai keadilan itulah yang masih berlangsung sampai kini, tentang janji kemakmuran bagi seluruh rakyat Aceh, tentang rekonsiliasi, tentang pembagian hak dengan pusat, tentang membuat senyum para janda dan anak yatim korban konflik dan tentang memperjuangkan demokrasi sesuai dengan semangat indatu-indatu yang pernah mempertahankan negeri dari penjajah Belanda dan Portugis dulunya.

Mencapai keadilan memang tak semudah membalik telapak tangan. Enam tahun masih terasa singkat dengan kenyataan belum semua warga Aceh merasakan kesejahteraan, angka kemiskinan masih tinggi, tak sebanding dengan alam yang kaya raya, lalu masih ada yang bersuara, ‘bahwa kami yang dulunya ikut berjuang, masih lapar. Bahwa kami janda dan anak yatim masih belum diperhatikan.’

Saban ulang tahun perdamaian, renungan tentang semangat perdamaian haruslah diingat oleh semua rakyat dan pemimpin di seluruh penjuru delapan mata angin di Aceh, bahwa masih ada ‘pekerjaan rumah’ yang belum terselesaikan. Bahwa teken damai, bukanlah sebuah tujuan dari menuntut keadilan.

Butuh lebih kerja keras untuk menggolkan kesejahteraan bagi rakyat. Bahwa banyak rakyat yang miskin dan jalan-jalan ke pelosok Aceh yang belum terakses baik, bahwa rakyat masih ada yang hidup tak berlistrik. Belum lagi soal keadilan bagi para korban konflik.

Soal uang, Aceh berlimpah sejak damai itu. Pusat dengan segala komitmennya dalam otonomi seluas-luasnya bagi Aceh, telah mengucurkan dana besar. Dalam kurun lima tahun terakhir saja, lebih dari Rp12 trilyun dana otonomi khusus dan bagi hasil sudah disalurkan ke Aceh.

Dana itupula yang dijanjikan berlangsung terus sampai 2025 mendatang. Hitung-hitung, Aceh akan mengantongi Rp 100 triliun lebih sepanjang itu. Bila cakap mengelola, mustahil tak mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi kalau pemimpin tak berpikir, maka dana dengan embel otonomi itu hanya akan dinikmati oleh segelintir. Kasihan rakyat yang masih belum cukup, padahal damai telah dicetus. Tak ada alasan lagi untuk tak mampu membangkitkan ekonomi rakyat, padahal tak ada lagi suara bedil menyalak saban magrib.

Adalah miris ketika melihat angka yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merekap angka miskin di Aceh. Hasil data 2010, dari 4,3 juta penduduk Aceh, sebanyak 20,9 persennya masih hidup miskin.

Kemiskinan adalah pemicu perang. Tak tak adil kalau saya menulis prediksi perang selanjutnya, padahal kita belum semuanya tertawa menikmati damai. Solusi mengubah perilaku adalah yang bermoral untuk mengacu kepada keadilan bersama. Tentang konsep pemerintah yang bersih tanpa korupsi, tentang berpikir untuk rakyat dan bukan golongannya adalah jalan terbaik untuk membuang perang dalam pikiran kita.

Akibatnya, peacebuilding menjadi maha penting untuk upaya melupakan perang yang menjadi keahlian turun-temurun di Aceh. Rizal Sukma dari CSIS Jakarta, dalam sebuah tulisannya menyitir hasil penelitian yang dilakukan beberapa peneliti dunia, mengemukakan bahwa kemungkinan terjadinya konflik yang sempat dihentikan melalui kesepakatan damai, jauh lebih besar ketimbang terjadinya sebuah konflik baru dalam masyarakat yang belum pernah mengalami konflik bersenjata. Angkanya hampir 50 persen dengan studi di Negara-negara yang pernah didera konflik. Pengulangannya kemungkinan terbesar dalam 10 tahun.

Merujuk pada data yang dikumpulkan Uppsala Conflict Termination Datase (UCTD) misalnya, pada periode 1989 – 2004 menunjukkan bahwa dari 118 konflik bersenjata yang terjadi antara tahun 1998 – 2004, sebanyak 52 konflik atau 44 persennya terulang kembali.

Ini menjadi pengingat kepada seluruh kita, bahwa belumlah waktu berpuas diri. Semua harus berpikir bagaimana menghadirkan kemakmuran bagi rakyat, bahwa damai masih perlu diisi.

Enam tahun kini damai Aceh, semua pasti sepakat bahwa MoU Helsinki cukuplah menjadi tonggak akhir dari resolusi konflik Aceh. Hasil penelitian yang melibatkan saya bersama SICD pada 2010 lalu, dengan melakukan survey terhadap Partai yang duduk di DPRA, sebagai representasi rakyat, bahwa seluruhnya komitmen pada menjaga perdamaian ini abadi, menolak munculnya kembali kekerasan di Aceh.

Tapi Johan Galtung dalam bukunya Positive and Negative Peace, menyebut bahwa perdamaian punya dua sisi pemahaman; negatif dan posistif. Perdamaian negatif disebuat sebagai ketiadaan konflik kekerasan, sementara perdamaian positif adalah bagaimana terpenuhinya keadilan, pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan yang dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat secara sama terlepas dari latar belakang sosial, budaya dan politiknya.

Jika yang disebut perdamaian dalam pemahaman negatif dan positif seperti yang disebut Galtung telah hadir di Aceh, maka damailah Aceh untuk selamanya. Pada akhirnya, rakyatlah yang menjadi acuan, karena suaranya adalah suara tuhan. []