Friday, July 25, 2008

Wayang

By : Adi Warsidi

Dalam sebuah tekad, ada pengabdian dan sikap yang mesti dicari, menentukan sendiri. Ketika sebuah tawaran hadiah datang, berharap tak salah. Ketika sebuah vonis dakwaan datang, berharap salah. Ada kehati-hatian dalam jalur timbangan kehidupan.

Hidup memang tak ada yang pasti, tak hitam-putih tapi juga ada abu-abu, tak siang-malam tapi juga ada senja. Tapi kadang, ‘kesempatan hanya datang sekali’, seperti yang pernah dilantunkan pemikir-pemikir yang mungkin juga tak bisa berpikir.


Tak ada pesan apa-apa yang ingin kukabarkan di sini, karena kisah ini hanya abu-abu yang kutuliskan dengan tinta hitam berlatar putih. Karena yang kuidolakan adalah karet dan bukan besi. Bunglon, bukan sapi. Iwan Fals bahkan menulis dalam lagunya, jadilah Durna dan bukan Bhisma, karena Durna punya lidah sejuta.

Dia adalah tokoh guru dalam kitab Mahabarata. Durna mengajarkan segala ilmu untuk anak-anak Pandu dan Destarata, para Pandawa dan Kurawa, yang kemudian berperang sesamanya.

Tak sanggup kita seperti Bhisma. Dia agung dan gilang-gemilang, tapi juga berlaku abu-abu. Dia hidup dalam ketimpangan yang brutal. Keputusannya mulia ketika menolak tahta Hastinapura. Tapi, penolakan itu untuk seorang ayah yang tak mau berkorban. Ia meneguhkan sebuah egoisme.

Ia memang teguh memegang sumpah, tak meneruskan keturunan. Membiarkan ayahnya memberikan gelar raja kepada cucu-cucu setiawati, sang permaisuri baru. Tapi ia tak mencegah ketika Hastina harus dipecah jadi dua untuk memuaskan para pangeran keluarga Bharata yang berasal dari rahim dua ibu, Ambika dan Ambalika, dua perempuan yang ketakutan yang masing-masing melahirkan Destarastra dan Pandu.

Destarata buta dan Pandu terlalu perkasa. Mereka memerintah bersama, dibantu Bhisma sebagai pelindung kerajaan. Pandu kemudian memilih bertapa bersama istrinya Kunti, ibu para Pandawa.

Ghandari mendampingi suaminya yang buta. Menjelang perang Pandawa dan Kurawa, kepada dayang dia berkata. “Kututup mataku karena aku tak ingin hidup hanya mengutamakan penglihatan yang tajam dan cahaya cemerlang, memuja keunggulan memanah, kemilau baju zirah, berkibarnya panji-panji, tegasnya tapal batas. Mata dan terang bisa menghadirkan benda di ruang yang jauh, di dalam dan di luar peta, tapi rabaanku menghargai apa yang dekat dan akrab, telingaku bertaut dengan bunyi dalam waktu.” Ghandari memilih hidup tanpa cahaya. Karena kehidupan baginya adalah hitam dan putih.

Tak ada pesan apa-apa yang tertulis di sini, karena itu hanya cerita yang sering diperankan wayang. Tapi aku rindu pada lirik Iwan Fals, yang mengingatkan; jadilah Durna dan bukan Bhisma, apalagi Ghandari atau Pandu. ***

Banda Aceh, 13 Juli 2008

No comments: