Friday, July 16, 2010

Menulis Sabang; Antara Bandar dan Wisata

Adi Warsidi

Menulis Sabang, saya teringat pada sejarah yang membentang di atasnya. Tentang keindahan, kejayaan dan pelabuhan alam. Kisah Sabang di Pulau Weh seakan tiada pernah luntur terusik zaman. Suka-duka mengisi lembar riwayatnya kini.



Dalam kisah dulu, Pulau Weh telah nama tertoreh. Ma-Huan pada awal abad ke-15, menulis setelah menjelajah dengan kapal induk dinasti Ming, bersama nakhoda Cheng Ho. Dia meriwayatkan ada sebuah kerajaan di ujung Sumatera yang disebut Nan-Po-li. Kerajaan itu terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus.

Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei atau Pulau Weh.

Digambarkan, pulau itu terletak sekitar sembilan mil laut di lepas pantai Timur Laut Aceh. Di sana terdapat pelabuhan alami yang bagus. Dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina pulau itu juga disebut sebagai ’pulau Hat’, daerah yang banyak menghasilkan kayu gaharu.

Ma Huan menggambarkan kapal-kapal yang datang dari samudera di dekatnya banyak sianggah di sana dengan melihat pegunungan sebagai penunjuk arah. Kapal singgah untuk mengambil air tawar atau sekadar berisirahat menunggu ombak tak tinggi dan laut bersahabat. Masyarakatnya ramah, mereka mengumpulkan rumput-ruput laut dan pohon-pohon untuk kemudian menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Juga karang-karang mati yang indah sebagai cendera mata.

Pulau Weh dengan Kota Sabang-nya menjadi terkenal terus dari cerita mulut ke mulut para pelaut. Pulau itu kemudian dikenal luas dengan pelabuhan alamnya dan air tawarnya yang mudah didapat. Kerajaan Aceh menjadikan tempat itu bebas, setiap kapal yang singgah tiada dipungut biaya.

Masa kerajaan Aceh, Sabang maju. Membuktikan bahwa ketika Iskandar Muda misalnya berkuasa, Aceh telah dapat ditumbahkan menjadi wilayah yang maju dengan Sumber Daya Manusia yang baik pula. Kedua sisi Selat Malaka tumbuh menjadi kawasan-kawasan perdagangan yang ramai lewat pelabuhan-pelabuhan laut yang yang punya peran penting memuluskan lada dan rempah-rempah terbawa sampai ke Eropa dan Amerika sana.

Pengelolaan laut menjadi prioritas. Pelabuhan Johor, Perak, Pahang, dan Kedah di semenanjung Malaysia dan Sabang serta Banda Aceh, Deli, dan Bintan adalah kawasan perdagangan bebas masa Iskandar Muda. Ia menempatkan para panglimanya untuk memerintah kawasan-kawasan strategis itu.

Sabang oleh pemerintah Belanda, sejak tahun 1881 mendirikan Kolen Station. Pada tahun 1887, lembaga Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas yang modern di Sabang pun dimulai pada 1895, dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola oleh Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij.

Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang. Pada tahun 1942, Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibombardir pesawat Sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga kemudian pelabuhan terpaksa ditutup.

Masa kemerdekaan, kondisi sabang naik turun. Sabang pernah menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.

Gagasan kemudian diwujudkan dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dan atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang kemudian dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Kemudian pada tahun 1993 dibentuk Kerja Sama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat Kota Sabang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan.

Tahun 2000, Sabang dirancang kembali sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid. Terbit Inpres Nomor 2 tahun 2000 pada tanggal 22 Januari 2000. Dan kemudian diterbitkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Terasa hanya sesaat denyut pelabuhannya tercipta dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Tetapi pada tahun 2003 aktifitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.

Sabang kemudian tak pernah berdenyut lagi. Sepi saja sampai kini. Undang Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir setelah setahun Aceh bebas dari konflik, juga belum bisa menjamin pelabuhan itu maju pesat. Tak ada geliat yang berarti di sana kini, hanya ada beberapa hal yang ada di sana kini, mobil impor, gula Sabang.

Pemerintah pusat yang kemudian membentuk Badan Pengelolaan Kawasan Sabang (BPKS) juga belum menampakkan kemajuan yang berarti. Mungkin baru pondasi kemajuan yang sedang dibangun, untuk menyongsong seperti kemajuan silam. Publik sedang menunggu kiprah lembaga itu, mendambakan kembali yang pernah hadir di sana.

***
Menulis Sabang, saya teringat pada seorang sahabat yang dari luar negeri yang pertama kali berkunjung ke sana, akhir 2008 lalu. Katanya kira-kira begini; tak perlu pelabuhan bebas untuk memajukan daerah ini, cukup kelola saja parawisata.

Saya tak mengaminkan perkataannya. Mungkin saja pendapatnya benar, kalau lah melihat Sabang yang indah dengan taman lautnya, dengan species lautnya, dengan pegunungannya, dengan hutan manggrovenya, dengan pasir putihnya dan dengan ramah tamah penduduknya.

Setiap jengkal Pulau Weh adalah keindahan yang harusnya mampu mendatangkan kemajuan lewat parawisatanya. Tapi kemudian saya terbayang konflik yang pernah berlaku lama di Aceh. Keamanan dulunya menjadi faktor utama, bagi wisatawan untuk ke pulau itu. Tapi setelah damai 15 Agustus 2005 silam tercapai, sepertinya tiada alasan untuk tinggal diam, untuk tidak berusaha memajukan Sabang.

Saya tak meragukan kemampuan warga Sabang dalam soal ramah-tamah dalam menerima pendatang. Tapi kemudian perlu sebuah dukungan dan stimulan sebagai perangsang warga dalam mendukung upaya menghidupkan parawisata.

Perlahan denyut ekonomi telah dibangkitkan sendiri oleh warga yang tidak tinggal diam. Sektor wirausaha pelan berkembang, minimal sudah ada baju yang tercetak dengan kemegahan Sabang, yang dapat dibeli sebagai cinderamata. Tapi kemudian saya sempat bertanya, darimana baju itu dan sablon dibuat. Penjual berkata; kalau baju-baju itu disablon di Bandung sana.

Penting kemudian untuk menumbuhkan ketertarikan warga terdapat wirausaha dalam mendukung parawisata. Penting dipikirkan oleh siapa saja pemegang kebijakan, bagaimana agar minimal cindera mata dapat dibawa pulang oleh mereka yang ke sana. Seperti menjenguk Pulau Bali, ada kerajinan tangan khas di sana dari tas, sepatu, sandal, baju sampai gantungan kunci.

Kecil memang, tapi barang inilah kemudian yang membawa pesan sampai jauh. Bayangkan, jika seorang wisatawan pulang ke negerinya membawa barang yang bertuliskan ‘Sabang’. Maka itu adalah promosi gratis, mereka yang pernah berkunjung akan bercerita tentang keindahannya.

Menulis Sabang, saya teringat Pak Mahyuddin alias Pak Doden, pria paruh baya yang tinggal di kawasan Iboih. Semangatnya pada memajukan parawisata patut diacungi jempol. Dia mengelola dan menjaga kawasan Pantai Iboih untuk menyedot wisatawan yang ingin berlibur dan menikmati kehidupan bawah laut.

Semangat itu telah lama, bahkan sebelum damai Aceh. Tapi gaungnya baru terpantau usai bencana tsunami melanda akhir 2004 silam. Usai ombak gergasi menghantam itu, karang-karang laut tercabut dari tanah. Kerusakan tumbuhan yang menjadi pesona alam bawah laut parah sudah.

Melihatnya Doden bersama kawan-kawannya tak tinggal diam. Lewat pengalamannya, dia kemudian menanam kembali karang-karang, jengkal demi jengkal. Beberapa lembaga ikut membantu. Hasilnya terlihat kini, perlahan alam bawah laut normal kembali. Dan yang lebih penting, banyak yang datang kemudian bercerita, bahwa kawasan Iboih menarik untuk dikunjungi siapa saja.

Kiprah Pak Doden menembus batas wilayah. Namanya terukir tak hanya di media-media lokal dan nasional, bahkan internasional. Saat saya menjengguknya awal September 2009 lalu, dia menunjukkan kopian media yang memuat usahanya membangun parawisata Pulau Sabang.

Dia juga ikut serta membangun dan mengajak warga untuk peduli terhadap pembangunan Pulau Sabang, terutama kawasan lingkungannya yang indah. Doden punya harapan yang disampaikan, bahwa ingin melihat Pulau Sabang maju dan dikenal dengan wisatanya. Hingga kemudian mendatangkan para turis dan investor yang kemudian mampu mensejahterakan seluruh masyarakat. Tak hanya Sabang, bahkan juga Aceh secara umum.

Menulis Sabang, tak boleh hanya dengan lisan dan berharap aturan yang timpang. Perlu usaha nyata untuk menempatkannya dalam kisah-kisah dunia. Parawisata sangat mungkin dan menjanjikan dalam menumbuhkan kembali kejayaan. Penting melakukan berbagai usaha, membangun infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia yang berorientasi pada parawisata. Mengingat kejayaan pelabuhan bebas memang perlu, tapi janganlah melupakan potensi lain, memajukan wisata yang bisa diraih dengan mudah. Karena setiap jengkal tanahnya adalah keindahan.

Menulis Sabang, saya hanya ingin mengingatkan bahwa ada sebuah kisah sejak kerajaan Aceh dulunya, daerah ini telah dikenal dengan baik dan maju dengan pelabuhannya. Kalaupun kemudian langkah untuk mengembalikan kejayaan pelabuhan ditingkatkan dan berhasil, janganlah puas. Karena masih ada pariwisata yang menjanjikan untuk pembangunan ekonomi. Tinggal kepada kita semua dan para pengambil kebijakan, ingin memajukan Sabang atau sebaliknya.

Andai saja Ma-Huan masih hidup dan melihat Pulau Sabang atau sebagai Pulau Wei yang dikenalnya, mungkin dia akan menulis, tentang pelabuhan yang tak ramai lagi, tapi masih ada mimpi yang ingin digapai dari warganya. Dan satu lagi, bahwa ada keindahan yang terselubung dari alamnya, untuk dikembangkan. Kembali kepada kita, bagaimana mau melukis Sabang selanjutnya. ***

No comments: