Saturday, April 21, 2012

Para Penyokong Kursi Darussalam


KARPET merah bermotif Turki masih terhampar di ruang tamu Mess Wali Nanggroe, Jalan Danubroto, Banda Aceh. Botol-botol air mineral berserak. Kenduri baru selesai dilaksanakan, mengundang anak-anak yatim. Doa didaraskan agar tuan rumah, Zaini Abdullah, bisa “menjalankan amanah”.

Berpasangan dengan Muzakkir Manaf, Zaini bakal memikul “amanah” baru. Hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei memperkirakan mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka itu akan menjadi Gubernur Aceh untuk lima tahun ke depan. Pasangan ini besar kemungkinan memenangi pemilihan Senin pekan lalu dalam satu putaran.

Pada usia 72 tahun, Zaini berusaha tampil kasual ketika menemui Tempo, Kamis pekan lalu. Ia mengenakan kemeja dan celana kain. Tapi, pada saat pemotretan, ia memakai jas. Di kakinya, ia tetap mengenakan sepatu Crocs. “Kami akan memangkas birokrasi, dan menekan korupsi,” ia berjanji.

Toh, usia tak bisa disembunyikan. Bicaranya sering terdengar bergetar. Beberapa kali, Muzakir Abdul Hamid, ajudan yang menemani wawancara, menegaskan maksud ucapan bosnya. Ia juga sempat berpindah kursi, dari sofa yang disebutnya “terlalu empuk” dan ia tak bisa duduk di situ. Sempat bergerilya di gunung, lalu lari ke Swedia, Zaini bakal memimpin birokrasi. Ia didampingi Muzakkir, yang juga bekas gerilyawan sebagai Panglima Militer Gerakan Aceh Merdeka.

Pencalonan keduanya tak lancar sejak awal, terutama karena perselisihan mereka dengan Irwandi Yusuf, juga bekas anggota GAM, yang memimpin Aceh pada 2006-2011. Perundingan, lobi-lobi, juga pertemuan dengan tokoh-tokoh Jakarta harus dilakukan, termasuk pertemuan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, menjelang akhir tahun lalu.
***

KETEGANGAN meruap di Restoran Sumire, lantai empat Hotel Grand Hyatt. Pentolan Partai Aceh, seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Muzakkir Manaf, berhadapan dengan tim Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah. Pertemuan pada 21 November 2011 malam itu membahas kesepakatan soal pemilihan Gubernur Aceh. Ini pertemuan kesekian kali, dan sesungguhnya sudah ada tiga butir kesepakatan yang diteken Djohan dan Muzakkir di Restoran Shima, Hotel Aryaduta, sebulan sebelumnya.

Kesepakatan mentah ketika Muzakkir tiba-tiba menelepon Djohan. Ia balik menolak butir ketiga kesepakatan yang membuka pintu bagi calon independen pada pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. “Padahal kami sebelumnya telah senang karena pemilihan bisa segera digelar,” kata Djohan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Kepada Djohan, Muzakkir beralasan, Undang-Undang Pemerintahan Aceh hanya sekali membolehkan calon independen, yakni pada 2006, ketika Partai Aceh belum terbentuk. Irwandi Yusuf, yang menggunakan jalur ini, memenangi pemilihan. Namun Mahkamah Konstitusi kemudian merevisi Pasal 256 sehingga calon gubernur yang tak diusung partai boleh mendaftar.

Partai Aceh menuding pencabutan pasal itu sebagai “pengkhianatan Jakarta” terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan damai Helsinki 2005. Mereka lalu mengungkit “pengingkaran Jakarta” terhadap Ikrar Lamteh, yang memantik perlawanan Daud Beureueh, pada 1958. Djohan berusaha melunakkan sikap petinggi Partai Aceh. Ia menjelaskan bahwa pencabutan itu keputusan lembaga yudikatif yang tak bisa dicampuri kekuasaan eksekutif. Usahanya gagal. Pertemuan di Hotel Hyatt buntu karena kedua pihak sama-sama bertahan. “Akhirnya, pemerintah menyerahkannya ke Komisi Independen Pemilihan Aceh,” kata Djohan.

Kebuntuan itu rawan karena Komisi sudah membuka pendaftaran calon independen. Jika ini tetap dilanjutkan, Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Akibatnya, situasi keamanan dan politik di Aceh bisa goyah lagi. Partai lokal wadah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka ini menguasai hampir separuh kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. “Order Presiden cuma satu: bikin Aceh aman,” ujar Djohan. Tak mau situasi jadi tak menentu, Djohan mengajak Malik, Zaini, dan Muzakkir berunding lagi. Untuk meyakinkan mereka, Djohan meminta bantuan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Di kalangan tokoh Partai Aceh, Jusuf Kalla cukup dihormati. Kalla adalah perintis dan tokoh di balik kesepakatan damai Helsinki. Hingga kini, tokoh-tokoh Aceh terus menjalin kontak dengannya. “Saya menelepon Malik agar mau berunding lagi,” kata Kalla kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Sebagai Wali Nanggroe, Malik disegani di kalangan mantan gerilyawan GAM, terutama setelah Hasan di Tiro meninggal pada 2010. Malik melunak oleh bujukan Kalla. Mereka sepakat bertemu lagi dengan tim Djohan di Hotel Sahid pada 12 Desember 2011. Waktu itu, jadwal pemilihan kepala daerah sudah diundurkan satu bulan menjadi 24 Desember. Jusuf Kalla, dengan bantuan orang-orang dekatnya, termasuk mantan Menteri Hukum Hamid Awaludin, juga mencoba menjelaskan asal-usul aturan calon independen kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam pertemuan berikutnya dengan tim Djohermansyah, tim Malik bersedia berkompromi.

Mereka menerima dua pasal penundaan jadwal pemilihan sampai urusan pemilihan ini disahkan dalam qanun. Mereka juga setuju ada penunjukan penjabat Gubernur Aceh setelah masa jabatan Irwandi Yusuf berakhir pada 8 Februari 2012. Tanpa diduga, mereka juga menerima pasal tiga soal calon independen. Tapi mereka meminta catatan tambahan, yang menjamin tak ada lagi perubahan isi Undang-Undang Pemerintah Aceh tanpa konsultasi dengan DPR Aceh. Muzakkir dan Djohan meneken nota kesepakatan butir keempat ditulis tangan.

Kengototan Partai Aceh soal calon independen ini merupakan ekor perseteruan mereka dengan Irwandi Yusuf sejak awal pemerintahannya pada 2006. “Selama lima tahun memimpin Aceh, dia tak pernah sowan kepada kami, menjalankan program sesuka hati. Dia durhaka kepada kami,” kata Zaini Abdullah.

Dengan pemilihan diundurkan hingga masa jabatannya berakhir, Irwandi tak lagi bisa memakai fasilitas pejabat untuk berkampanye. Ini merupakan kemenangan Zaini dan Muzakkir atas Irwandi. Kemenangan sesungguhnya diperoleh Senin pekan lalu, pada hari pemilihan. Berdasarkan hitung cepat perolehan suara, Zaini-Muzakkir diperkirakan menang dalam satu putaran. Mereka meraih 55 persen suara dari tiga juta lebih pemilih.
***

PADA masa kampanye, tiga pensiunan jenderal mendukung Partai Aceh: bekas Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal Purnawirawan Soenarko dan Mayor Jenderal Purnawirawan Djali Yusuf serta bekas Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Brigadir Jenderal Purnawirawan M. Yahya. Ketiganya bahkan menjadi juru kampanye.

Menurut Zaini, tiga jenderal itu datang menyatakan bergabung dengan kubunya tahun lalu. Sejak deklarasi pencalonan Zaini-Muzakkir hingga kampanye selama Maret-April kemarin, ketiganya selalu duduk di barisan terdepan. “Saya kenal secara pribadi dengan mereka sejak zaman GAM,” kata Soenarko. Soenarko mengklaim membujuk Muzakkir mendaftar dalam pemilihan gubernur setelah Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Padahal, saat masih aktif di TNI, Soenarko termasuk keras menentang GAM. “Sekarang saya mengerti mereka memberontak karena ingin Aceh maju,” ujarnya.


Irwandi Yusuf, lawan Zaini, menyebutkan Soenarko datang membawa kepentingan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Soenarko adalah bekas bawahan Prabowo di Komando Pasukan Khusus. “Dia membawa misi Prabowo untuk pemilihan presiden 2014 dan bisnisnya di Aceh,” kata Irwandi.

Menurut Irwandi, Prabowo memiliki konsesi hutan tanaman industri yang mengelilingi Danau Lot Tawar sepanjang Kabupaten Bener Meriah hingga Aceh Tengah seluas 97.300 hektare. PT Tusam Hutani Lestari beroperasi sejak 1997, memasok kayu untuk PT Kiani Kertas Pulp & Paper. “Dia minta perpanjangan izin, tapi saya tolak,” katanya.

Soenarko tak menyangkal kedekatannya dengan Prabowo. Orang-orang dekatnya menyatakan Soenarko pernah diajak Prabowo bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas membicarakan pemilihan di Aceh ini. “Prabowo juga menyumbang (buat pasangan Zaini-Muzakkir),” kata Sofyan Dawood, bekas juru bicara GAM, yang menjadi anggota tim sukses Irwandi.

Djali Yusuf, bekas anggota staf khusus presiden, yang dimintai konfirmasi soal misi Soenarko, tak menyangkal atau membenarkan. “Pak Soenarko bukan anggota Gerindra, tapi kalau di 2014 dia mau masuk partai, itu hak dia,” katanya. Prabowo belum bisa dimintai komentar. Sejumlah orang dekatnya menolak pernyataannya dikutip, dengan alasan “bukan merupakan bagian pekerjaan”-nya. Kedua kubu juga berusaha menggandeng pengusaha Tomy Winata.

Tahun lalu, dua kali Irwandi menemui petinggi Grup Artha Graha itu untuk meminta bantuan dana kampanye. Keduanya akrab setelah Irwandi sebagai gubernur menuding Tomy membeli lima harimau Sumatera dari Aceh untuk hutan di Lampung pada 2008. Tomy, menurut Irwandi, berusaha mengontaknya setelah itu. Ia menolak dan meminta Tomy mengembalikan harimau ke Aceh. Tomy menolaknya. “Saya lawan,” kata Irwandi, lalu melanjutkan: “Dia (dituduh sebagai) mantan mafia, tapi saya mantan pemberontak. Derajatnya lebih tinggi, ha-ha-ha….”

Saat terserang stroke dan dirawat di Singapura, Irwandi mengatakan Tomy memberinya biaya pengobatan Rp 70 juta dan menyediakan apartemen. Sejak itu, mereka berteman. Jika ke Jakarta, Irwandi menginap di Hotel Borobudur milik perusahaan Tomy. Irwandi juga tak sungkan memakai pesawat Cassa milik Tomy untuk memantau kondisi Aceh. Ia sendiri kadang yang mengemudikannya karena pernah belajar menyetir pesawat ketika kuliah di Amerika Serikat. “Untuk pemilu ini, dua kali saya menagih dia di ruangannya di Artha Graha,” kata Irwandi. Tomy, kata Irwandi, hanya mengiyakan, tapi tak memenuhinya.

Sampai pemilihan berlangsung, ia menyatakan, tak sepeser pun Tomy mengeluarkan uang. Irwandi mengaku habis Rp 14 miliar untuk kampanye dan persiapan pemilu. Dari sakunya, ia mengeluarkan Rp 6 miliar. Sisanya pinjam sana-sini. “Sekarang pusing juga bagaimana membayarnya,” ujarnya.

Tak mengucurkan duit untuknya, Irwandi mendengar, Tomy malah bertemu dengan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Irwandi mengatakan tak paham terhadap alasan Tomy mendukung Zaini, kecuali dugaan taipan pemilik kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, ini berminat bisnis padi di Tangse, Pidie.

Muzakkir mengakui bertemu membahas dana kampanye dengan Tomy Winata pada November tahun lalu. Seusai pertemuan, kata dia, Tomy tak langsung mengeluarkan uang. “Baru pada saat Lebaran Haji, ajudannya memberi saya Rp 20 juta,” ujarnya. “Mungkin untuk ongkos atau apa saya tak tahu.” Hingga tulisan ini selesai, Tomy Winata tak merespons permintaan konfirmasi yang dikirimkan ke telepon selulernya.

Muzakkir mengatakan tak menerima sepeser pun dari Prabowo. “Tapi tak tahu kalau dia memberikannya ke yang lain,” katanya. Ia menyatakan hanya pernah sekali bertemu dengan Prabowo Subianto di Hotel Santika Bogor, Januari lalu. “Kami membicarakan pertanian di Aceh,” ujarnya. Soal sokongan dari banyak tokoh Jakarta, Zaini mengatakan, “Dukungan mereka tanpa konsensus. Mereka tak bertanya kami akan memberikan apa.”
***

[Majalah TEMPO, Edisi 16 – 22 April 2012]
[Bagja Hidayat, Kartika Candra, Angga Wijaya (Jakarta), Mustafa Silalahi, Adi Warsidi (Aceh)]

No comments: