Friday, July 16, 2010

Hutan Ketambe Si Perawan Tua



ADI WARSIDI

Pesawat yang kami tumpangi terbang rendah. Di bawahnya hijau, pohon tumbuh di atas bukit-bukit yang membentang rapi. Sesekali gundul tampak jelas, kemudian hilang dengan mayoritas hutan yang masih perawan. Alur sungai tampak jelas meliuk-liuk seperti ular raksasa.



Pesawat yang kami tumpangi lebih rendah, sekitar 4.000 kaki di atas tanah. Di bawahnya Aceh Tengah yang indah. Sebuah danau besar tampak jelas, pilot pesawat kecil yang membawa 11 penumpang bicara, “itu danau laut tawar.”

Penumpang adalah para delegasi dari berbagai negara yang baru saja mengikuti forum Governors' Climate and Forest Taskforce Meeting (GCF) di Banda Aceh, akhir Mei 2010 lalu. Usai berbagai agenda di Banda Aceh, mereka diajak ke Aceh Tenggara, mengunjungi hutan yang masih dalam kawasan Ekosistem Leuser. Tiga pesawat, dua Cessna dan satu Cassa membawa sekitar 35 orang.

Dua jam terbang di atas hutan dan permukiman, pesawat mendarat mulus di bandara Alas Leuser, Aceh Tenggara. Para delegasi dan ikut serta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf disambut kalungan bunga dan tarian tamu kehormatan. “Selamat datang di Aceh Tenggara,” kata Bupati Aceh Tenggara Hasanuddin kepada setiap tamu.

Para penari remaja meliuk-liuk sambil mempersembahkan sirih, tari menyambut tamu itu dikenal dengan nama Tari Belo Meususun. Beberapa delegasi menari mengikuti irama gerak. Selanjutnya tari saman menghentak dari atas panggung yang telah disiapkan. Di antara delegasi terlihat Anthony Brunelo (Deputi Sekretaris untuk Perubahan Iklim dan Sumberdaya Energi Negara Bagian California, AS), William Boyd (penasehat senior dan kepala proyek GCF dari Colorado Law School), Natalie Unterstell (delegasi negara bagian Amazonas, Brazil), Ernesto Roessing (Koordinator GCF untuk Brazil), Odigha Odigha dari Cross River, Nigeria dan Penasehat GCF untuk Indonesia Marina Embiricos.

Selang 30 menit kemudian, para tamu dibawa ke Kecamatan Ketambe, sekitar 35 kilometer dari bandara. Di sana para tamu dibawa ke sebuah lokasi di hutan yang mempunyai villa-villa. Para tamu dijamu makan siang dengan ikan mas khas dari sungai alas. Hutan di kiri kanan membentang, di bawahnya sungai dengan air yang jernih.

Jelang sore, delegasi menyeberang sungai dengan perahu kayu yang terikat pada kawat baja yang membentang di atasnya, menjaga tak terbawa arus. Cuaca cerah hingga membuat arus tak deras, memudahkan perahu kayu yang muat enam penumpang sekali jalan mulus ke seberang.

Bolak-balik beberapa kali, puluhan orang terangkut ke seberang. Polisi dan anggota panitia setempat ikut serta menjaga keamanan. Kawasan itu adalah pusat penelitian Hutan Ketambe, Aceh Tenggara. Di sana berdiri beberapa bangunan mirip villa yang sudah lama ada. Biasanya tempat itu khusus bagi peneliti yang sedang melakukan studi. Para delegasi bermalam di sana, di tengah hutan Leuser yang masih perawan.

Pusat penelitian Hutan Ketambe terletak sekitar 30 kilometer dari Kutacane, Ibukota Aceh Tenggara atau sekitar 600 kilometer dari Banda Aceh. Kawasan itu berada dalam Ekosistem Leuser, lokasi hutan lindung terbesar di Aceh yang mempunyai luas sekitar 2,6 juta hektare. Sekitar 384.297 hektare di antaranya terletak dalam wilayah Sumatera Utara.

Ekosistem leuser masuk dalam kawasan hutan yang akan dijual karbonnya dalam project Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Selain kawasan itu, untuk project yang sama, juga ada kawasan Ekosistem Ulu Masen yang luasnya mencapai 750.000 hektar.

Kepala Sekretariat Aceh Green, Yakob Ishadamy yang menjadi pemandu para delegasi mengatakan mereka diajak untuk melihat kondisi hutan yang masih alami. “Untuk berkeliling melihat hutan dan ekosistem Leuser di Aceh yang menjadi salah satu kebanggaan daerah ini,” ujarnya.

***
Esok hari, Hutan Ketambe tenang, tiada suara chainsaw mengaung. Suara burung dan binatang hutan lainnya terdengar nyaring. Monyet-monyet dan orang hutan kerap muncul menyapa tamu yang berkunjung ke sana. Orang hutan adalah kebanggaan kawasan hutan yang dijaga warga sejak dahulu kala. Kawasan itu berada dalam pengawasan Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), lembaga yang dibentuk gubernur untuk bertanggung-jawab langsung terhadap Kawasan Leuser.

Sarapan pagi delegasi disuguhkan roti dan nasi. Mengambil sendiri nasi atau roti di bangunan yang disiapkan sebagai dapur umum, lalu duduk pada meja-meja yang telah disediakan panitia. Ruangan terbuka dikelilingi hutan menambah nikmat suasana. Kawanan monyet merapat sangat dekat seperti peminta-minta. Ada juga yang mencoba memberikan makanan sisa kepada monyet.

“Jangan diberikan, nanti mereka (monyet) manja dan berharap makanan terus. Memberikan makanan kepada mereka dilarang di sini,” ujar Rahma memberi intruksi. Dia adalah mahasiswa dari Banda Aceh yang sudah enam bulan melakukan penelitian di kawasan itu.

Menurut Rahma, perilaku monyet yang sangat bersahabat dengan manusia itu sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan, kalau para monyet hutan sering masuk dapur umum para peneliti untuk mencuri makanan-makanan yang ada.

Usai sarapan, sebagian delegasi masuk hutan, di antaranya Monica Julissa dari Provinsi Acre, Brazil. Sebagian lagi mencoba nyali rafting mengarungi sungai alas. Saya memilih masuk hutan dipandu oleh Muhammad Isa, Manager Penelitian BPKEL. Seorang mahasiswa luar negeri yang sudah setahun lebih di Ketambe menyelesaikan desertasinya, juga ikut serta memandu para tamu.

Segala sesuatunya dipersiapkan. Kami disarankan untuk memakai sarung kaki khusus sebatas lutut untuk penangkal pacet, binatang penghisap darah yang menempel di daun dan rumput-rumput. Semua kami memakainya.

Kami bergerak pelan mengikuti Isa yang memandu di depan. Dia sudah sangat akrab dengan kondisi hutan itu. Pohon-pohon besar terlihat menjulang, menutupi sinar matahari masuk. Suara burung, monyet dan sesekali orang hutan bersahutan. Mata kami kerap memandang mencari sumber suara.

Keringat kami bercucuran bukan karena panas mentari, tapi kelelahan berjalan pada jalur tikus yang sering dilalui para peneliti maupun pelancong hutan sebelumnya. “Banyak jalur di sini dan ada tanda masing-masing. Kalau tak paham dan belum pernah masuk, pasti tersesat,” ujar Isa.

Pada jarak sekitar 300-an meter atau di simpang jalur setapak, ada tanda yang disematkan pada pohon-pohon. Tanda itu berupa nomor yang ditulis pada lempeng aluminium dan diikatkan pita orange, agar mudah terlihat.

Sesaat kami berhenti, terkesima melihat sebatang pohon besar yang menjulang tinggi. Ukurannya hampir sebesar rumah type 36. Di sampingnya ada tangga yang dibuat untuk menaikinya. “Tangga itu sudah lama, dulu dibuat untuk memantau hutan dari atasnya,” jelas Isa.

Kami memeriksa badan. Beberapa pacet ditemukan menempel di baju. Kami saling membersihkannya. Lalu berjalan lagi, mendaki dan menurun. Melelahkan.

Isa membawa kami memutar. Berjalan sekitar 2 jam dengan menempuh jarak 4 kilometer, kami kembali ke camp awal, lalu membersihkan diri di sungai alas yang jernih.

***
Kawasan Ketambe punya sejarah lama sebagai lokasi yang dijaga lingkungannya oleh warga. Tak heran, hutan di sana masih perawan dan menjadi salah satu pusat penelitian tentang hutan. “Seluruh masyarakat dilibatkan di sini, untuk menjaga hutan. Banyak sarjana dan doktor yang lahir dari hasil penelitiannya di Ketambe,” sebut Rudi H Putra, Manager Konservasi BPKEL Aceh.

Menurutnya, kawasan tersebut telah dijaga warga semenjak masa penjajahan Belanda, sekitar tahun 1920-an. Kawan itu menjadi area konservasi yang melibatkan proaktif warga, bahkan jauh sebelum keterlibatan pemerintah. Menjaganya dengan hukum adat. Warga dilarang masuk merusak lingkungan, memotong kayu dan bahkan melarang menyetrum ikan di Sungai Alas. “Itu berlangsung sampai sekarang, dan sangat membantu program pemerintah menjaga lingkungan.”

BPKEL yang bertanggung jawab terhadap lingkungan kawasan tersebut, juga melibatkan warga sekitar dalam menjaga hutan. Beberapa anak muda kawasan itu diambil untuk menjadi personel Pengamanan Hutan (Pamhut).

Orang Utan menjadi andalan Ekosistem Leuser. Menurut Rudi, kawasan itu masih didiami sekitar 6.000 Orang Utan, yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem dengan luas sekitar 2,6 juta hektare, dalam wilah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Menurutnya, komunitas Orang Utan terus menurun. Hewan yang dilindungi tersebut banyak yang diburu untuk dijual sebagai hewan piaraan.

Di sekitar Pusat Penelitian Hutan Ketambe, Orang Utan terdeteksi sekitar 50 ekor. Mereka semuanya telah mempunyai nama yang dibubuhkan oleh para staf BPKEL maupun peneliti. “Mereka satu sama lain punya perbedaan seperti manusia, semua yang ada di sekitar sini telah kita beri nama,” ujarnya.

Kata Rudi, Orang Utan mempunyai wilayah sendiri-sendiri seperti layaknya perkampungan manusia. Jarang mereka berpindah selama wilayahnya masih aman. Kerap mereka terlihat saat pagi maupun sore ketika sedang mencari makan.

Rudi berharap, semua pihak dapat menjaga kelestarian hewan langka itu. “Karena hewan itu salah satu kebanggaan kawasan ekosistem leuser, banyak peneliti yang datang dari berbagai negara untuk melihat keberadaan mereka,” ujarnya.

Hutan Ketambe masih perawan, penunggunya Orang Utan. Menjelajahnya adalah menikmati nuansa alam yang belum terjamah tangan-tangan perusak. Bebas suara raungan chaisaw dan gumuruh pohon tumbang. ***

4 comments:

akmal said...

Artikel menarik Bung Warsidi.
Tetapi sedikit investigasinya kurang mendalam.
Jika Bung mau jalan 1 Km ke sisi belakang dari Base Came Stasiun riset Ketambe itu, bung akan terkejut, sebab disana bung akan menemukan banyak sekali jalan sarat kayu illegal.
Pada tahun 1999, ketika saya dan teman-teman riset STIK Pante Kulu berada di sana, sudah nyata sekali bahwa hutan ketambe sebenarnya tidaklah perawan lagi. Dia sudah diperkosa oleh "Jakal" pelaku illegal logging.

Salam,
Akmal

adi warsidi said...

makasih bung akmal
ini hanya reportase biasa, bukan investigasi.
nanti kalau saya berkunjung lagi akan saya coba telusuri lagi. kalau ke belakang stasiun... saya sudah jalan lebih dari 3 kilometer ...
terimakasih ...
salam kenal

akmal said...

Bung Warsidi,
Mohon izin untuk menukar Link Blog.
Salam kembali,...

panji said...

assalamuallaikum pak adi apa kabarnya ?saya orang bandung yang ingin memberikan kontribusi secara pemikiran ingin memajukan pariwisata kutacane jauh lebih terkenal dan diminati turis ,mohon sarannya terima kasih