Saturday, March 10, 2012

Kopi Luwak untuk Pencinta Rasa



By; Adi Warsidi

Tangan Burhanuddin bergerak cepat meracik bubuk-bubuk kopi yang telah diolahnya sendiri. Selang hitungan menit kemudian, gelas kopi luwak espresso dihidangkan ke para tamu yang telah menunggu. Kental dan super nikmat.


Senin malam, 5 Maret 2012 lalu, Tempo menyambangi tempatnya, ‘Kedai Kopi Rumoh Aceh’ di Jeulingke, Banda Aceh. Sebuah tempat penjaga kualitas kopi di Aceh bagi pecandu. Kedai itu khas, sebuah bangunan Rumoh Aceh (rumah Adat Aceh) yang seperti panggung berdiri tegak. Di bawahnya kursi dan meja tersusun untuk pelanggan. Bagian dapur, ada mesin pengolah kopi dengan pajangan berbagai kemasan mereka kopi yang juga untuk diekspor.

“Andalan kami adalah kopi luwak espresso berkualitas baik dan kopi Arabica,” kata Burhanuddin, sang koki. Espresso adalah kopi pekat dan dibuat dengan cara menyemprotkan air panas dengan tekanan tinggi ke dalam bubuk kopi sehingga citarasa khas kopi lebih terasa.

Menurutnya, pelanggan yang berkunjung adalah para pecandu kopi kelas atas. Banyak wisatawan yang ke Aceh singgah ke sana, sekadar menikmati kualitas seperti starbuck. “Kami juga menjual bubuk yang telah dikemas dan mengekspor ke luar negeri,” kata Burhanuddin.

Pemilik kedai, Muhammad Nur mengatakan seharinya mereka mampu menjual minuman kopi untuk pelanggan Rp 2 juta lebih. Itu belum terhitung pembeli bubuk kemasan dan usaha ekspornya.

Muhammad Nur menyebut, warungnya tak sekadar menyajikan kopi, tapi juga menjaga kualitas, agar rasa kopi Aceh juga bisa dinikmati orang Aceh. “Selama ini banyak kopi Aceh yang diekspor, jarang yang diolah di Aceh untuk diminum sendiri. Kami memberikan rasa internasional itu di sini.”

Pecandu kopi di Aceh sangat besar, tapi mereka terbiasa dengan kopi tradisional yang tak berkualitas dunia. Bubuk kopi tradisional di Aceh umumnya menggabungkan kopi robusta dan sedikit arabika, kadang juga biji jagung.

“Saya ingin menyampaikan pesan, bahwa beginilah kopi yang biasa disajikan di starbuck dan biasa diminum pecandu kopi di eropa dan amerika,” kata M Nur.

Karenanya, kopi yang diracik berbagai versi dijual mahal. Satu gelas kupi luwak empat kali espresso dijual Rp 50 ribu per gelas. Sementara untuk satu kali espresso dijual Rp 20 ribu. Kopi Arabica grade satu dan red cherry dijual kisaran Rp 20 ribu pergelas.

Tempat itu juga menyediakan bubuk dalam kemasan, untuk kemasan satu ons bubuk kopi luwak dijual Rp 300 ribu, sedangkan bubuk kopi Arabica dijual Rp 30 ribu per ons. Kemasan itu juga diekspor ke luar negeri.

Menurut M Nur, kopi diambil dari Gayo, Aceh Tengah. Dia mempunyai kebun sendiri dan juga membina petani lainnya. Kopi luwak yang berasal dari bekas dimakan luwak sangat sulit didapat. “Sebulan biasanya hanya dapat 20 kilogram di kebun, karena luwaknya liar bukan peliharaan,” katanya.

Kedai Rumoh Aceh hanya untuk memuaskan para pecandu kopi berkualitas di Banda Aceh. M Nur mengakui, fokus usahanya adalah ekspor. “Warung hanya untuk memberi pengertian kepada generasi, bahwa kopi di Aceh sangat nikmat. Bahwa yang seperti inilah yang umunya diekspor ke luar dan kita di sini jarang menikmatinya.” ***
TEMPO.CO/Travel - Adi Warsidi

No comments: