Thursday, March 8, 2012

Laga Sapi, Menjaga Tradisi

By; Adi Warsidi


Lima ratusan orang memadati lapangan sepakbola Limpuk Darussalam, Aceh Besar. Mata mereka terpusat ke tengah lapangan, layaknya menonton sepak bola. Adu sapi sedang berlangsung, riuh tepuk tangan menggema kala sapi-sapi mengganas berusaha menjatuhkan lawan.


“Hamok nyak (lawan nak),” ujar pemandu di tengah lapangan. Sapi itu lalu menerkam lawannya dengan tanduk yang diruncingkan. Lawan tak mau kalah, mundur lalu membalas.

Saat sapi terdesak sampai ke pinggir lapangan, penonton lari menjauh, lalu mendekat lagi. Satu sapi punya satu pemandu yang memegang tali kendali. Satu panitia memandu sorak dengan pengeras suara. “Ayo, jangan mau kalah.”

Sapi –yang diadu punya nama, sebut saja misalnya Cicem Pala Rimung, Apui Lam Seukem dan Aneuk Muda Keudah. Cicem Pala Rimung adalah sapi yang sudah belasan tahun diadu dan jarang kalah. Ukurannya super. “Sapi saya sudah mulai bertarung sejak 15 tahun lalu, sangat ganas dan pengalaman,” kata Effendi, sang pemilik.

Adu sapi adalah budaya Aceh Besar yang semakin jarang diperagakan. Olahraga untuk sapi itu hidup sejak jaman kerajaan Aceh, abad ke-16 dulunya. Tak ada kematian sapi, yang ada hanya luka-luka. “Ini adalah tradisi yang ada sejak dulu, masa raja-raja. Kami bertanggun jawab untuk mewariskannya ke generasi muda,’ kata Hamdani, katua panitia laga sapi, Minggu akhir Februari lalu.

Laga sapi di lapangan tersebut, terang Hamdani, diadakan saban akhir pekan. Biasanya akan berlangsung dari Januari sampai Juli 2012. Pada tahun 2009 – 2011, agenda itu sempat tak terlaksana di lapangan Limpuk, sebab ketidaksiapan panitia pelaksana.

Sapi-sapi didatangkan dari komunitas sapi adu yang berasal seluruh Aceh Besar. ada delapan kelompok sapi adu yang masing-masing punya 30 sapi siap laga. “Satu hari per pekan biasanya hanya tiga sampai lima pasang yang diadu,” ujar Hamdani.

Tak ada tropi untuk pemenang. Panitia hanya menyediakan uang jerih untuk sapi-sapi sesuai kelasnya. Kelas A dibayar Rp 1 juta sekali tampil, kelas B sebesar Rp 600 ribu dan kelas C sebesar Rp 400 ribu. Sekali tampil dalam aduan hanya 10 menit. Mereka ada diadu sesuai kelasnya, laiknya tinju.

Uang diambil dari karcis para penonton. Satu orang dipatok Rp 20.000 untuk menyaksikan laga itu. Penentuan kalah dan menang diserahkan kepada penonton yang melihatnya. “Jelas terlihat, yang kalah biasanya akan mundur dan menghindar,” jelas Hamdani.

Sapi yang kerap menang berharga mahal, bahkan mencapai Rp 25 juta. Penghargaan itu juga merupakan kebiasaan bagi para pencinta budaya. Pembeli umumnya orang-orang kaya yang kemudian meminta seorang pengasuh untuk perawatan. Jika sapi sudah tua dan tak sanggup berlaga lagi, harganya akan turun seperti biasa, dihargai dari dagingnya.

Budaya adu sapi punya manfaat sendiri bagi peternak sapi di Aceh. Mereka mendapatkan uang lebih dari jerihnya. Kerap sapi itu juga dipakai sebagai pejantan yang tangguh, yang mampu mewariskan kekuatan dan daya tahan kepada keturunannya. “Jadi bukan hanya sekadar adu dan ditonton, tapi juga banyak manfaat,” ujar Hamdani.

Sapi-sapi petarung makan tak seperti biasa. Selain rumput, mereka juga diasupi dengan buah-buahan, padi dan gula merah. Hal itu diyakini mampu membangkitkan kekuatan sapi adu kala bertarung di tengah lapangan.

Di lapangan, giliran ‘Cicem Pala Rimung’ dan ‘Singa Muda’ bertarung. Dua sapi itu salin menyerang, menjatuhkan lawan. Sesekali ‘Singa Muda’ menghindar dan balik menyerang. ‘Cicem Pala Rimung’ kayaknya terlalu perkasa dan sepuluh menit bertarung, sapi itu dinyatakan menang.

Riuh tepuk tangan memenuhi lapangan, memberi semangat bagi yang memang dalam adu sapi yang menjadi budaya warisan leluhur. “Kami harus menjaganya, agar tak punah,” kata Hamdani. [tempo.co/travel]

No comments: