Wednesday, February 27, 2013

DALAM PELUKAN LAUT SABANG

oleh : Adi Warsidi

Nakhoda paruh baya itu berdiri di belakang kemudi ‘boat kaca’ yang melaju di atas perairan iboih, Sabang. Kakinya menggerakan tuas kemudi, tangannya memegang tali yang bergantung seperti ular mengait atap, kadang berpindah pada tangkai kotak kaca di depannya. Boat perlahan meninggalkan pantai Iboih, nyaris tanpa goyang.

Hanafiah, tubuhnya nyaris tanpa lemak dengan otot-otot. Kulitnya hitam tak legam. Saban hari perpapar terik matahari dan air laut. Angin Timur berhembus, membuat rambutnya tersibak awut-awutan, sama seperti pepohonan yang menari di pantai sana. Panas menyamarkan pandangan bungalow-bugalow yang tersusun berjejer di Iboih.


“Kita akan keliling Rubiah dan melihat karang-karang,” kata lelaki itu, Akhir Maret 2012. Saya ditemani Taufik, kawan dari Sabang. Ikut serta Nasir, pemilik boat berserta tiga orang anak usia Sekolah Dasar. Seorang anak memanggil Nasir dengan sebutan Ayah.

Antara Iboih dan Rubiah hanya dua ratusan meter. Rubiah, pulau kecil yang terongok tersusun tanah, bebatuan dan pohon-pohon rindang seluas sepuluh kali stadion bola. Beberapa bangunan bekas Belanda masih tersisa di sana. Burung-burung menukik terbang dan hinggap pada ranting-ranting mangrove, tak terusik.

Boat melambat, berputar-putar. Kotak kaca sepinggang orang dewasa yang ada di tengahnya dibenamkan perlahan, menyisakan ruang kosong untuk menikmati bawah laut. Saya merapat jongkok melongok ruang kaca, anak-anak kecil itu juga. Mereka girang dan riuh menunjuk karang-karang. Nasir memandu menerangkan.

Pemandangan karang beragam bentuk, seperti otak dan ukiran batik. Ikan-ikan menari, bergerak warna-warna. Saya mencoba membidik kamera, merekam apa saja yang terlihat seperti gambar permadani di bawah sana. Buih di bawah ruang kaca itu mengganggu. Hanafiah sesekali mengosongkan kotak itu dari air yang merembes masuk, ada bocoran halus. Sesakali terang lalu kabur, sinar matahari masuk dasar membagi sisi terang berpadu tutupan bayangan boat pada sisi lainnya. “Air di dasar sedang keruh,” kata Nasir.

Tak sedikit karang berwarna kusam, seperti batu-batu, putih coklat. “Yang tanpa warna-warni itu adalah karang yang mati,” kata Nasir yang hafal betul kondisi tempat wisata itu.

Tsunami 26 Desember 2004 adalah neraka alam taman laut Pulau Sabang. Gelombang raya membuat arus yang mematahkan karang-karang, membenamnya dengan lumpur-lumpur. Meremukkan dengan tumpukan sampah bertebaran. Tsunami mematikan lebih setengah dari 250 populasi terumbu karang di kawasan pulau Rubiah dan Iboih, yang luasnya mencapai 2.600 hektar. Perairan dangkalnya pada 1 – 3 meter paling parah.

Warga bahu-membahu memperbaiki karang lewat transplatansi, menciptakan kembali surga yang hilang gemerlap. Kondisi perlahan pulih sampai pemanasan global membuat momok lain, penyakit pemutihan karang yang mematikan.

Panas laut itu datang pada April – Mei 2010 silam melanda laut seluruh dunia. Laut Andaman yang berbatas langsung dengan Sabang mencatat suhu tertinggi, mencapai 34 derajat Celsius. Terumbu karang gerah dan mengusir pergi alga berukuran mikroskopis, Zooxanthellae, yang menjadi selaput bagi karang. Zooxanthellae inilah yang mengeluarkan warna-warni saat berfotosintesis, itulah yang dikenal dengan warna terumbu karang.

Akibatnya karang tak hanya kehilangan warna sehingga menjadi putih dan abu-abu, tapi juga menjadi kelaparan. Karang tak mampu tumbuh, padahal 90 persen makanannya didapat dari nutrien sisa Zooxanthellae yang melakukan fotosintesis. Ada memang sejumlah karang yang sanggup bertahan hidup dengan energy, tanpa alga. Tapi di Sabang, populasi karang terbanyak adalah acropora, yang gampang mati jika ditinggal pergi makhluk selaputnya.

Kata Nasir, karenanya makin banyak karang mati, mungkin kini hanya tinggal 25 persen lagi yang bagus. Dia sering menyelam untuk melihat kerusakan dan juga menanam karang. Mungkin empat tahun lagi, karang akan normal kembali.

“Itu mobil bekas yang kami tenggelamkan untuk rumah ikan,” Nasir menunjuk ke bawah. Terlihat beberapa mobil masih berbentuk, tenggelam di dasar dikelilingi ikan-ikan.

Boat terus bergerak memutar Pulau Rubiah. Seekor penyu merah tua terlihat mengapung terombang-ambil di permukaan. Anak-anak menunjuk riuh. Di sini, binatang itu tak langka. Hanafiah paham lokasi, di mana ada karang bagus, mesin dimatikan dan kotak kaca diturunkan, kami menikmatinya lagi. Terlihat jelas, yang dangkal banyak karang berwarna kusam, lebih dalam semakin bagus.

Di sisi lain rubiah yang langsung menghadap Andaman, ada sebuah tempat singgah. Ada café dengan bungalow yang bisa ditinggali. Para pencinta snorkling mengapung dengan pelampung merah, bergerak dan kadang diam.

Tak jauh dari Rubiah, ada Pulau Selako yang berdiri kukuh selebar Gedung Dewan Senayan. Tampak dua boat fiber putih parkir dan para penyelam menikmati karang-karang. Sesekali mereka muncul, di pulau kecil itulah umumnya para penyelam melakukan diving. Di sana karang-karang umumnya masih utuh karena berada pada perairannya dalam, 5 – 12 meter. Pemanasan global dan tsunami tak berpengaruh besar.

Saya meminta Hanafiah menunjuk tempat dalam, boat melaju agak ke tengah. Arus mulai kencang, terasa oleng. Hampir antara Rubiah dan Selako, suara mesin pada posisi langsam, melambat. Nasir menurunkan kota kaca, kami melihat dasar yang mencapai 6 meter. Hampir tak terlihat karang kusam.

Takjub saya menikamti warna laksana hamparan permadani. Terumbu besar kecil berbagai bentuk, dominan seperti tumbuhan kaktus, lalu ada karang otak dan batang-batang berlengan seperti sirip Tangkai karang lunak merah muda melambai, bergerak dikelilingi ikan hias warna warni, ada hijau-putih, ada merah bermotif seperti jerapah, dan yang kuning dengan kepala biru. Gerombolan ikan jingga bergerak malas memutar karang, berlatar bintang bulu warna delima yang tidur di sela-sela.

Puas menikmati, kami memutar kembali ke Iboih. Suasana makin ramai di pinggir pantai, beberapa wisatawan menikmati snorkling, dengan pelampung dan kacamata yang banyak disewakan oleh warga di sekitarnya. Ikan-ikan kecil mencoba berlindung di bawah boat-boat yang parkir menunggu pelanggan.

Untuk satu kali keliling, pelancong dikenakan biaya beragam tergantung dari jenis boat yang dipilihnya. Ada dua jenis boat; boat kaca dan fiber yang dipasangin mesin berkekuatan 200 tenaga kuda. Boat kaca adalah gandengan dua boat yang menyisakan ruang di tengahnya, di situlah kotak kaca ditaruh. Boat fiber lebih kecil. Sekali naik untuk satu jam, biayanya Rp 300 ribu. Penyewaan satu hari untuk snorkling trip dikenakan biaya satu juta.

Alat snorkling juga disewakan, baju pelampung, kacamata air dan pembantu pernafasan serta sepatu renang. Harga satu set lengkap dapat disewa Rp 50 ribu. Tempat penyewaaan boat dikelola satu pintu di Iboih, oleh masyarakat yang tergabung dalam kelompok wisata Teupin Layeue View.

Pendatang lalu lalang, beberapa menawar souvenir, lainnya makan di warung-warung atau menikmati kelapa muda. Mobil-mobil dan sepeda motor terparkir rapi, dijamin tak kecurian. Warga saling menjaga.

Dari situ, Saya dan Taufik mencoba naik ke atas tebing curam yang telah dibuat anak tangga menuju bagian lain yang berpantai Iboih. Di sisi dan kanan, bungalow-bugalow seperti rumah panggung terpacak. Lewat bukit itu, laut berpantai terlihat lagi. Tak kalah ramai, para turis asing berbaur bersama yang lokal.

Ada tempat penyewaan alat diving dan snorkling, lengkap dengan jasa pemandu serta kapal fiber, Rubiah Tirta Divers. Tempat itu dirintis (Alm) Mahyuddin alias Doden, penerima Kalpataru 2010 atas jasanya menyelamatkan lingkungan di Sabang. Dialah yang merintis menanam kembali terumbu karang yang terancam punah di pesisir Sabang, karena tsunami. Dia juga menghijaukan pantai dengan mangrove.

Doden meninggal Januari 2011 lalu. Saat terakhir bertemu dengannya pada September 2009, dan banyak mendengar kisahnya tentang karang dan harapan untuk kemajuan wisata laut Sabang. Rubiah Tirta Divers (RTD) kini dikelola anaknya, Isfanuddin. “Selamat datang kembali bang,” sapanya kepada saya. Dia punya beberapa rekan yang membantunya saban hari memandu pelancong mengenal bawah laut. Tempat itu lengkap dengan fasilitas internet.

Pukul 14.15 WIB, saya belum makan siang, lalu memesannya pada sebuah warung di samping RTD. Warung menyediakan nasi, indomie, kopi dan teh, ada juga minuman dan makanan ringan lainnya. Di sisinya ada kios yang menjual souvenir seperti baju-baju tulisan ‘I Love Saban’ dan kain-kain selendang panjang. Juga kalung-kalung berliontin Pulau Weh, gelang dan asbak terpurung kelapa.

Usai makan, padangan saya lepaskan ke birunya air yang memantul langit bersapu awan tipis. Di kejauhan sana, Rubiah cercetak hijau membuat air laut sedikit gelap. Rasa gerah makin bertambah, ingin segera menyatu. Lalu, saya turun lengkap dengan pelampung dan kacamata, bersamaan dengan lima turis asing yang menuju boat fiber. Mereka membawa serta tabung selam dan peralatan lainnya. Mereka akan ke sekitar Pulau Selako menikmati dunia bawah, terumbu karang dan biota laut.

Mengapung pada kedalaman satu sampai dua meter, kadang bergerak sejajar permukaan dan kadang diam. Enggan mata berkedip, terhipnotis dengan pandangan pada karang-karang. Ada yang mati dan yang berwarna. Ikan-ikan hias bergerombol dan satu-satu, tak menjauh. Lobster laut terbujur di balik karang, mencoba raih, lalu udang besar itu berkelebat hilang. Satu ular laut sebesar tali sepatu bergoyang mengikut arus, tengadahkan kepala menyembunyikan ekornya di balik terumbu.

Saya berdiri sebentar melihat Taufik yang lebih berpengalaman di kawasan itu. Dia memanggil saya mendekat, “di sini lebih indah, ikannya lebih banyak.” Tak terasa, sejam lebih saya berada di airnya, enggan beranjak. Naik ke darat, hembusan angin membuat dingin, matahari kian teduh.

Dari Iboih, kami singgah sebentar di Gapang, surga lain yang jaraknya hanya tiga kilometer. Gapura ‘Selamat Datang di Gapang Sabang’ menyambut dengan puluhan rumah panggung yang rapi di dalamnya, Gapang Resort yang menjadi aset Pemerintah Sabang.

Lebih dekat ke laut, bungalow-bugalow yang lebih sederhana milik warga berhadapan menantang pasir putih yang terhampar berpadu karang-karang yang tampak keluar mengintip darat. Dua boat putih terongok, dengan tali panjang mengikat pada pohon-pohon besar.

Dua anak berayun pada tali yang dilingkarkan di dahan pohon. Senja menjelang, wisatawan tampak mengisi bungalow selepas menjejal laut. Santai sambil bercengkrama sesama. Beberapa lain masih menapaki pantai, sunset tak terlihat dari Gapang.

Di sana, ada juga tempat penyewaan alat-alat bagi pecinta snorkling dan diving, warung-warung dan kios souvenir. “Di sini, pemandangannya lautnya sama dengan Iboih dan Rubiah, terumbu karang dan biota laut,” jelas Taufik.

***
Iboih, Pulau Rubiah dan Gapang andalan wisata bahari di Pulau Weh yang beribukota Sabang. Pulau kecil berpenduduk sekitar 35.000 jiwa, hanya dua kecamatan Sukakarya dan Sukajaya dengan total 18 kelurahan.

Gapang terletak 19 kilometer dari pusat Kota Sabang, 3 kilometer di depannya adalah Iboih dan Pulau Rubiah. Menuju ke sana tak sulit, biasanya dengan mobil atau motor yang disewakan oleh rental di kota. Untuk motor sewanya Rp 100 ribu – 150 ribu perhari, untuk mobil berlipat dua kali. Juga ada angkutan umum yang bisa dipakai untuk sekadar mengantar, satu orang dikenakan tarif Rp 50 ribu – Rp 80 ribu.

Delapan kilometer lagi dari sana, tugu kilometer nol berdiam. Mengunjunginya, saya selalu teringat lagu, dari Sabang sampai Marauke… berjajar pulau-pulau.

Sabang selalu indah di setiap sudutnya. Senja bisa dinikmati di sekitar teluk kota dan arena bermain yang disebut Sabang Fair. Di situ, sunset menumpahkan mega merah yang kemudian melukis laut menjadi kembarannya.

Masih ada lokasi pantai Ujung Kareung dan Sumur Tiga yang hanya 4 kilometer dari kota. Di Sumur Tiga, sebuah benteng Belanda berdiri angkuh tak tergerus zaman. Lalu ada pantai Anoe Itam terletak sekitar 16 kilometer dari kota yang pasirnya berwarna hitam dan diyakini bisa menyembuhkan reumatik. “Masyarakat percaya berendam di pasir itu bisa menyehatkan,” jelas Taufik.

Anoe Itam menyimpan potensi, tapi belum terurus baik. Tak banyak wisatawan yang ke sana. Di sekitar Anoe Itam, sebuah benteng peninggalan Jepang juga masih kokoh berdiri. Naik ke benteng itu, beberapa bungker masih utuh. Dindingnya berbekas corat-coret oleh pelancong yang pernah ke sana, menuliskan nama-nama mereka. Sebuah meriam besi teronggok. Hamparan laut lepas jelas tepampang dengan pandangan Selat Malaka.

Lalu masih ada Pantai Keunekai dengan pantainya yang berpasir putih. Keindahannya belum tereksploitasi dengan baik. Masih sangat alami.

Pulau Weh, Sabang tempat keindahan alam itu bersembunyi hanya 17 mil laut dari Banda Aceh. Dua kapal cepat dan satu feri siap mengantar pelancong saban hari. Kapal cepat Pulo Rondo dan Bahari Ekspress punya dua trip satu hari, bertukar tempat sejak pukul 09.30 WIB pagi. Trip terakhir Pulo Rondo pukul 16.00 WIB dari Sabang ke Banda Aceh.

Kapal cepat hanya muat 250 penumpang tanpa kenderaan, tarifnya Rp 60 ribu – 90 ribu sekali jalan bergantung kelas. Yang membawa kenderaan, KMP BRR yang ukuran lebih besar siap mengantar sehari sekali.

Jelang tiba di Pelabuhan Balohan Sabang, keindahan sudah terpampang pada pandangan sebuah pulau yang rimbun. Kapal merapat dermaga, para supir ramai menawarkan jasa. Mobil-mobil pribadi menjadi taksi, ada minibus dan sedan, sebagian berumur tua. Untuk sampai ke pusat kota dengan jarak 12 kilometer, kita harus merogoh kocek Rp 15 ribu – 20 ribu per orang. Bisa saja minta langsung diantar ke lokasi wisata.

Tak membawa uang cash? Lokasi bank dan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) hanya ada di sekitar pusat kota, tersebar di sekitar Jalan Perdagangan. Tak ada ATM di lokasi wisata seperti Iboih dan Gapang.

Tak susah mencari penginapan di kota itu. Hampir semua tak berkelas seperti hotel-hotel besar. yang mentereng hanya Hotel Sabang Hill yang terletak di atas bukit, menyuguhkan pemandangan laut. Tarifnya Rp 250 ribu – Rp 500 ribu. Para pejabat tinggi pemerintah sering menginap di sana kala ke Sabang.

Hotel lain hampir semuanya seragam, kelas melati. Tarifnya pun hanya berkisar 150 – 200 ribu per malam. Ada Losmen Pulo Jaya, Losmen Kartini, Nagoya Hotel, Sabang Guest dan banyak lainnya. Mau keliling kota menikmati keramaian malam? Becak mesin siap mengantar kemana saja.

Tak ingin menginap di kota, bisa langsung ke Iboih atau Gapang. Bungalow-bungalow bertarif Rp 150 – 250 ribu permalam tersedia. Umumnya para turis asing yang ingin menikmati keindahan laut, akan langsung ke lokasi itu, berbaur dengan keindahan alami yang mendamaikan hati. [Buku - Wisata Bahari Indonesia, 17 Destinasi Favorit]

No comments: