Thursday, May 2, 2013

GAM dan Kisah Bulan Bintang usai Damai



Oleh : Adi Warsidi

Polemik bendera bulan bintang masih terus terjadi di Aceh. Banyak yang pro dan tak sedikit yang menolak, juga abu-abu. Di kalangan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), perbedaan juga muncul. Bendera itu juga yang membuat mereka pecah setelah damai.

Begitu pandangan Munawar Liza Zainal, mantan Wakil Juru Bicara GAM yang ikut langsung dalam perundingan di Helsinki, sebagai juru runding. Dia bukan pengurus Partai Aceh (PA), bahkan kemudian dianggap berseberangan. “Kisah bendera itu panjang,” ujarnya, Rabu 10 April 2013.

Munawar mengulas kembali perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, 2005 silam. Soal bendera tercantum dalam Poin 1.1.5 MoU Helsinki yang berbunyi; “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan Himne.”

Selanjutnya juga tersirat dalam Poin 4.2 MoU Helsinki, yang berbunyi; “GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatangan Nota Kesepahaman ini”.

Poin 4.2 ini menimbulkan penafsiran berbeda kemudian, antara pemerintah dan GAM. “GAM menafsir bahwa bendera bulan bintang tidak masuk dalam emblem dan simbol militer,” ujarnya. Pada saat itu, semua juru runding GAM satu kata, akan menjadikan bulan bintang sebagai bendera provinsi Aceh di kemudian hari.

Damai kemudian lahir 15 Agustus 2005. Para petinggi GAM yang selama ini berada di luar negeri kembali ke Aceh, membangun dan mengisi perdamaian. Bendera tak langsung mendapat tempat. GAM menilai masih terlalu dini bendera dimasukkan dalam Qanun (peraturan daerah). Alasannya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) masih orang-orang partai nasional.

Bulan bintang kemudian disosialisasikan dengan cara lain, bukan bendera yang dikibarkan, tapi melalui pin yang selalu dipakai oleh petinggi GAM dalam perundingan-perundingan dengan Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa, untuk penguatan perdamaian. “Pin itu biasa disematkan di dasi dan kerah baju,” kata Munawar.

Beberapa kali pertemuan dengan Jusuf Kalla (Wakil Presiden saat itu), para petinggi juga memakai pin tersebut. Dalam satu pertemuan di istana kepresidenan pada awal 2006, Perdana Menteri GAM saat itu Malek Mahmud, bahkan menegur Munawar Liza, yang mamakai pin tersebut di dasinya. “Dek, dicabut saja pin-nya,” ujarnya mengenang. Munawar patuh.

Saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh tahun 2006, beberapa calon independen yang didukung para kombatan GAM, juga melakukan sosialisasi bendera. Mereka kerap memakai warna merah dengan garis hitam putih di pinggirnya, pada umbul-umbul, spanduk dan baliho calon. Tapi masih minus gambar bulan bintang.

Tempo yang mengikuti proses Pilkada 2006 dari awal mencatat, pesta demokrasi itu menjadi awal perpecahan di tubuh GAM. Ada dua calon gubernur Aceh yang didukung kalangan itu; pasangan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar (independen) dan Humam Hamid – Hasbi Abdullah (Partai Persatuan Pembangunan – PPP). Selanjutnya Irwandi – Nazar menang, kemudian menang dan menjabat gubernur Aceh sampai awal 2012 lalu.

GAM kemudian mencoba membangun konsolidasi kembali anggotanya, saat keran untuk partai lokal dibuka pada tahun 2007. Partai Aceh dideklarasi, dan benderanya yang menduplikasi bendera GAM kembali menimbulkan polemik di kalangan mereka. Muncul dua kubu GAM.

***
Partai Aceh yang mengadopsi pertama kali bendera bulan bintang menjadi bendera partainya. Pada saat dibentuk pada pada 7 juni 2007, namanya masih “PARTAI GAM”, berlambang bulan bintang. Deklarator partai para petinggi gerakan tersebut di antaranya; (Alm) Tgk Usman Lampo Awe, Muzakkir Manaf (sekarang Wakil Gubernur Aceh), (Alm) Ibrahim Syamsuddin dan sejumlah mantan panglima wilayah GAM lainnya. “Partai dibentuk sesuai akte notaris Nomor 7 tanggal 7 bulan Juni 2007,” kata TM Nazar, Wakil Sekretaris Jenderal Partai GAM saat itu.

Bendera itu kemudian menuai kritik, dilarang berkibar oleh aparat kepolisian sebelum mendapat pengesahan hukum dari Pemerintah Pusat. Polemik terus muncul sampai lambang bulan bintang diganti dengan tulisan ‘GAM’ saja, di tengah bendera latar merah bergaris hitam putih. Nama itu masih dianggap bermasalah, sampai kemudian diganti lagi menjadi Partai Aceh, pada 8 April 2008. Bendera partainya seperti sekarang ini.

Menurut mantan petinggi GAM, Munawar Liza, saat bendera bulan bintang diambil menjadi bendara partai, perbedaan pendapat muncul di kalangan mereka. “Beberapa dari kami tidak setuju, karena semangat awalnya ingin melihat bendera itu menjadi bendera Aceh, bukan bendera partai,” ujarnya.

Perdebatan, akhirnya perpecahan. Sebagian petinggi GAM dianggap membelakangi partai dan muncul sikap apatis dari sebagian mereka. “Kami sebenarnya cinta bendera itu,” ujar Munawar. Karena, bendera itu selalu dikampanyekan di luar negeri olehnya dulu, di Bangkok, Kairo dan Amerika.

Kemudian ketika bendera diadopsi menjadi bendera partai, semangat mereka ciut. Walaupun bendera bulan bintang tak sama persis dengan bendera Partai Aceh, seakan-akan bendera itu menjadi milik partai semata, bukan milik masyarakat Aceh.

Catatan saya saat itu, kisruh di tubuh GAM makin melebar. Batas dua kubu semakin kuat. Satu kubu digawangi oleh Malek Mahmud dan Zaini Abdullah (Gubenur sekarang), kubu lainnya dipimpin oleh Irwandi Yusuf (Gubenur Aceh saat itu) dan Sofyan Dawod (mantan Juru Bicara GAM).

Pemilu Legislatif 2009, Partai Aceh memeroleh suara terbanyak. Sebanyak 33 orang wakil mereka duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Tapi Qanun bendera Aceh yang menjadi amanah MoU dan UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, belum diusulkan.

Pilkada Aceh pada 10 April 2012, Pasangan Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf yang diusung Partai Aceh memenangi pilkada, menggeser Irwandi Yusuf – Muhyan Yunan (independen) yang menempati posisi kedua. Kubu yang kalah, kemudian bersatu mendirikan Partai Nasional Aceh (PNA), 24 April 2012. Mereka lolos verifikasi dan berhak ikut Pemilu Legislatif 2014.

Sementara itu, Partai Aceh yang menguasai legislatif dan eksekutif, merancang Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Qanun itulah yang kemudian disahkan pada 22 Maret 2013. Bendera kemudian kembali menimbulkan polemik.

***
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun nomor 3 tentang Bendera dan Lambang Aceh pada 22 Maret 2013. Qanun itu usulan Pemerintah Aceh. Sepekan kemudian, bendera bulan bintang dikibarkan dalam konvoi-konvoi. Polemik muncul saat Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri menilai bendera itu masih mengusung semangat separatis yang melanggar Peraturan Pemerintah (PP) nomor 77 tahun 2007.

Ketua DPRA, Hasbi Abdullah mengatakan bendera bulan bintang yang telah disahkan oleh lembaganya merupakan pemersatu rakyat Aceh. “Bendera Aceh bukan bendera kedaulatan,” ujarnya.

Menurutnya, bendera bulan bintang adalah keinginan rakyat Aceh untuk dijadikan bendera provinsi sesuai dengan kesepakatan damai MoU Helsinki dan Undang Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Mantan kombatan GAM, Fadli Abdullah alias Petrus sangat tak setuju bendera bulan bintang menjadi bendera provinsi. Pasalnya, terlalu rendah jika bendera yang diperjuangkan untuk kemerdekaan Aceh dulunya, kemudian menjadi bendera daerah.

Menurut mantan panglima Rungkhom GAM Daerah 3-4 Batee Illiek itu, akan banyak kombatan yang sedih, jika pemerintah pusat kemudian menyetujui bendera tersebut. “Karena pengorbanan yang dibayar rakyat Aceh dulu sangat mahal, jika hanya demi bendera dan lambang daerah, bukan sebagai bendera negara.”

Seharusnya, lanjut Fadli, biarkan bendera bulan bintang menjadi kenangan tersendiri setelah damai bersemi Aceh. “Biarkan saja, untuk apa diungkit-ungkit lagi,” sebutnya.

Fadli juga menilai Gubernur Aceh dan DPRA belum siap menjadikan bendera bulan bintang sebagai bendera Aceh. Buktinya di halaman rumah tempat tinggal mereka, tak ada selembarpun bendera bulan bintang. Harusnya merekalah yang terdepan menaikkan bendera tersebut, karena telah mengesahkan qanun.

Terkait polemik dengan Pemerintah Pusat, dia berharap kedua pihak mencari solusi agar tak lagi muncul konflik. “Carilah jalan yang membawa kebaikan untuk Aceh khususnya dan untuk Indonesia umumnya,” kata Fadli.

Munawar Liza Zainal, mantan perunding GAM dalam perjanjian MoU Helsinki, mengatakan kecintaannya terhadap bendera itu. Tapi kemudian dibajak ketika Partai Aceh mengadopsinya sebagai bendera partai dulunya, dia mengakui sedih. “Sudah menjadi kepentingan politik kelompok, bukan rakyat,” ujarnya.

Dia punya mendapat lain untuk mengakhiri polemik pusat dengan daerah ini. Pusat diharapkan jangan serta merta menolaknya, tetapi hentikan dulu proses pembahasan bendera dan lambang daerah, dan membahas kembali setelah Pemilu Legislatif 2014 mendatang.

Persoalannya sederhana, bendera tersebut dinilai Munawar menjadi senjata untuk kepentingan politik sebuah partai jelang Pemilu 2004, untuk mendulang suara lebih banyak. “Makanya, tunggu selesai pemilu lah.”

Diskusi bendera di Aceh, sangat ramai di kalangan masyakat. Saban hari, di warung-warung kopi, bahasan tentang bulan bintang dan kuasa GAM menjadi menu utama. []

No comments: