Thursday, February 25, 2016

Mata Biru Entah Kemana (2)

Rep: Adi Warsidi
[Liputan 10 tahun tsunami Aceh, Majalah Tempo Desember 2014]


“Kalau beruntung (menemukan keturunan Portugis), saat Idul Adha banyak keturunan Lamno yang balik kemari, untuk mengikuti tradisi Seumuleng (menyuapi raja),” kata Aksa Mulyadi, Juru Pelihara Makam Raja Daya.

Upacara adat Seumuleng Raja Daya adalah tradisi turun temurun yang dijaga oleh para keturunan raja dan warganya, berlangsung hingga kini. Keturunan Raja dihiasi dan diberi singgasana. Upacara itu berlangsung di Makam Raya Daya dan diikuti oleh ribuan warga Lamno yang datang dari berbagai penjuru.


Upacara adat Seumuleng beriringan dengan ziarah makam, adalah amanah nenek moyang yang tetap harus dijalankan dalam kondisi apapun. Pesan itu turun temurun disampaikan oleh dari ayah ke anak. Saat ini, tradisi itu dirawat dengan baik oleh para keturunan ke-13 dari Raja Daya pertama, Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah yang bergelar Po Teumuereuhom Daya.

Kerajaan Daya bermula dari pemukiman para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu, Aceh Besar). Mereka mengungsi ke wilayah Kuala Unga untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka.

Lalu datang para mubaligh pimpinan Teungku Sagop dari Kerajaan Peureulak dan menyebarkan Islam yang diterima baik oleh warga di sana. Tengku Sagop bahkan berhasil menguasai Indra Jaya dan kemudian diangkat menjadi raja, dengan pusat kerajaan dipindahkan ke Kuala Unga. Dia mangkat, kerajaan dipegang keturunannnya, salah satu yang terkenal adalah Meureuhom Onga. Sepeninggal Onga, Negeri Daya mengalami kemunduran dan kekacauan, terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.

Pemerhati sejarah Negeri Daya, Safrizal mengisahkan, akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan Salatin ditugaskan untuk mengatasi kemelut di wilayah daya yang telah terbagi menjadi empat kerajaan kecil, Kerajaan Keuluang, Lamno, Kuala Unga dan Kerajaan Kuala Daya.

Kemelut selesai dan Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah diangkat menjadi Raja Daya bergelar Po Teumuereuhom Daya. Dia kemudian diangkat sebagai raja pada Idul Adha tahun 1480. Dalam penobatan itulah dia disuapi makanan oleh orang tuanya, awal dari upacara adat Seumuleng.

Tradisi itu kemudian terus berlangsung dari tahun ke tahun di awal bulan zulhijjah, semasa pemerintahan Sultan Salatin. “Upacara Seumeuleung sebenarnya penghormatan saat pengangkatan Sultan Salatin menjadi Raja Daya,” terang Safrizal.

Setelah Sultan Salatin tiada, putrinya yang bernama Ratu Nurul Huda memerintah. Dia menikah dengan Raja Kerajaan Aceh Darussalam, Ali Mughayatsyah. Bersatulah dua kerajaan itu. Nurul tetap memerintah Negeri Daya selama 23 tahun dan berhasil membawa kemakmuran. Usai Nurul mangkat, Negeri Daya mengalami kemunduran karena kericuhan raja-raja dalam wilayah kerajaan itu. Tradisi Seumuleng pun mulai jarang dilaksanakan.

Lebih duaratus tahun kemudian, saat Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1711 – 1735 M) menghidupkan kembali tradisi. Dia berkunjung ke Negeri Daya untuk menertibkan kekacauan. Seluruh raja kecil dan pemuka adat dan agama dikumpulkan dan membuat beberapa ketetapan yang tak boleh dilanggar. Ditunjuklah hakim tinggi sebagai pemangku Raja Daya bergelar Setialila untuk mendamaikan sengketa.

Salah satu ketetapan yang dibuat adalah aturan upacara adat Seumuleng. “Setelahnya tradisi itu hidup sampai kini,” kata Safrizal. Dan saban tahun setelah Idul Adha, para keturunan raja dihias dan diberi singgasana, untuk membangkitkan kembali semangat para leluhur yang berdiam di komplek makam para Sultan.

***
Ada dua versi keberadaan keturunan Portugis di Lamno. Aksa Mulyadi meyakini bangsa portugis datang sebelum Raja Salatin Alaidin Riayat Syah berkuasa. “Mereka menguasai Kuala Daya yang kaya rempah dan menempatkan orang-orangnya di sana,” ujarnya.

Daerah Kuala Daya dulunya adalah pehghasil rempah-rempah yang banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara, Portugis dan Cina. Pedagang Portugis memenopoli perdagangan bekerjasama dengan Pahlawansah alias Anak Muda Perkasa, warga setempat yang menjadi pemimpin sekutu Portugis.

Saat Salatin masuk ke Kuala Daya, terjadilah penaklukan dan perang melawan kelompok Portugis dan Pahlawansah. Lalu mereka ditaklukkan dan ditawan. Pahlawansah sendiri meniggal dalam penaklukan itu. “Lalu berkuasalah Raja Salatin, Portugis diajak masuk Islam.”

Mereka yang mau masuk Islam diberikan keleluasaan untuk terus tinggal di Lamno, mereka yang menolak diberi pilihan untuk keluar dari wilayah itu. “Yang tinggal itulah yang berbaur dengan masyarakat dan terjadi perkawinan,” sebut Aksa.

Satu versi lain, mereka tiba di Aceh saat Sultan Salatin berkuasa. Saat itu, sekitar tahun 1492, sebuah kapal perang Portugis pimpinan Kapten Pinto kalah perang dengan kapal Belanda di Selat Malaka. Kapal rusak dan terdampar di pantai Kerajaan Daya.

Raja Daya tak mau membiarkan kapal itu pergi begitu saja. Mereka ditawan raja dan meminta perlindungan. Mereka difasilitasi sampai menunggu bala bantuan armada kapal dari negerinya menjemput mereka, tapi tak kunjung datang.

Sultan Salatin mengajak mereka masuk Islam, mengajarkan bertani dan berbaur dengan penduduk Lamno. “Mungkin saja kedua versinya benar, sehingga banyak keturunan Portugis ada di sini sebelum tsunami datang,” kata Aksa Mulyadi. []

No comments: