Suatu hari di kedai kopi. “Aku tak bekerja lagi, kontrak itu baru saja diputuskan,” kata seorang sahabat saya. “Tolong kalau ada kerjaan, dibagi tahu.”
Kelakar saya berujar, “kau pandai, tak sulit bagi orang yang sepertimu mencari kerjaan lain.” Tapi, dia melanjutkan lagi dan sempat membuat saya terkesima. “Anakku bos, istriku bos, orangtuaku bos, rumahku yang belum lunas kreditnya, adik-adikku yang harus kubantu. Pening aku,” celotehnya. Saya tersenyum saja.
Sampai di sini kopi kami datang setelah sepuluh menit dipesan. Hujan masih deras saja di luar sana, berbicara seperti berteriak. Saya teringat masa kala bernasib sama, pengangguran. Pedih memang, gamang tak tahu berbuat apa.
Sahabat saya bukan orang sembarangan. Pendidikannya sarjana. Indek Prestasi Kumulatif (IPK)-nya saat tamat dulu tinggi; 3,8. Nyaris sempurna. Tapi, kenapa dia bisa seresah itu memikirkan pekerjaan, padahal dia orang pandai.
Saya membuka lagi diskusi ketika teringat sebuah petuah yang tak tahu lagi siapa pencetusnya. Katanya; ‘Pekerjaan itu bukan tujuan, tapi nasib’. Setuju atau tidak? Terserahlah kepada kita bagaimana menilainya. Yang jelas mencari pekerjaan itu gampang dan susah. Mudahnya; negeri ini begitu subur, jangankan mencari pekerjaan, membuat pekerjaan saja bisa. Tapi kadang tak terpikirkan, banyak kita yang terperangkap pada kerja-kerja yang praktis; pegawai negeri, bekerja di NGO, LSM Internasional, perusahaan-perusahaan dan lainnya yang selalu menyediakan gaji per bulan.
Artinya, masih tergantung pada yang kaya yang punya uang. “Apa kau tidak berpikir untuk menciptakan pekerjaan sendiri, membantu orang lain untuk mendapatkan pekerjaan. Karena kau orang hebat, kalau tidak kau robek saja izajah mu yang menabalkan tulisan cum laude itu,” kata saya. Dia tertawa. “Aku tak sepandai itu dan tak punya modal,” ujarnya.
Sisi susahnya, jenguklah bumi kita. Negeri yang baru saja dihempas petaka tsunami dan konflik ini, masih sedang menata diri. Pekerjaan susah didapat, kemiskinan merajalela, ekonomi masih morat-marit, investor masih belum unjuk diri, mungkin khawatir dengan konflik lama yang panjang. Konon pemimpin telah berjanji akan menciptakan lapangan kerja untuk memberangus pengangguran.
***
Pada sebuah lokasi di Tempat Pembuangan Sampah (TPA) Kampung Jawa, Banda Aceh. “Saya bukan pengangguran, saya pemulung. Saya punya penghasilan,” kata seorang Pak Pemulung.
Di Simpang Lima, Banda Aceh. “Mengemis adalah pekerjaan bagi saya, dari ini saya hidup. Kalau mau saya berhenti, beri pekerjaan lain buat kami,” kata Pak Pengemis.
Di Kecamatan Peusangan, Bireuen. “Pekerjaan saya menebang hutan dan kayu saya jual, saya tak tahu bekerja lain,” kata Penebang Hutan.
“Saya petani, hanya punya sawah sepetak, ini tak cukup. Saya tak tahu apa pekerjaan lain, sekolah saya tak tamat SD (sekolah dasar),” kata Pak Petani.
“Saya punya pekerjaan, saya nelayan,” kata seorang nelayan di Alue Naga.
Kenyataan-kenyataan itu masih saja menderu. Pemulung dalam kemiskinan, pengemis menentut, petani hidup tak cukup, nelayan tak berkecukupan, hutan jadi lahan. Sawah-sawah itu, laut-laut itu, hutan-hutan itu ada potensi yang besar yang harusnya cukup untuk hidup para pengolahnya. Khusus untuk hutan, tentu tak perlu mengganggu lingkungan.
Di luar itu pengangguran masih menjadi ancaman. Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
Teorinya, ini disebabkan karena jumlah angkatan kerja yang tak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Kerap pengangguran menjadi masalah dalam perekonomian. Karena dengan adanya penganggur produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang, sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh pernah mengatakan kepada saya, banyaknya pengangguran bisa saja berpotensi mengganggu keamanan. “Karena orang menganggur itu sabarnya akan terganggu,” katanya.
Menanggapi itu, Irwandi berencana untuk menguatkan ekonomi berbasis rakyat. Kongkritnya, melakukan langkah untuk mengurangi pengangguran dengan penyediaan lapangan kerja. Ekonomi kerakyatan adalah prioritas yang dijalankan bersamaan dengan ekonomi berbasis kapital dan modal. Ini sudah mulai berjalan. Harapannya, “sehingga terciptalah golongan kelas menengah yang lebih banyak di Aceh,” katanya.
Tak mudah seperti membalikkan telapak tangan memang, perlu kerja keras menyiapkan Sumber Daya Manusia yang tak lagi tergantung kepada orang lain, negara lain yang lebih maju. Artinya, saya mengutip kata Pak Islahuddin, pakar ekonomi Aceh; masyarakat jangan terlalu bergantung dengan lapangan kerja yang disediakan pemerintah maupun swasta. Tetapi lebih memikirkan bagaimana menciptakan lapangan kerja yang kreatif dan inovatif sehingga bisa menciptakan sesuatu yang baru.
Kita tunggu saja, entah sampai kapan? []
[Banda Aceh, Januari 2008]
No comments:
Post a Comment