Azasi adalah hak yang dijamin Tuhan. Hak ini dapat ditelusuri dalam konsep-konsep hukum dan keadilan sejak zaman Adam dan Hawa. Tuhan menjaminnya dalam kitab-kitab, misalnya Alquran dalam Islam, Injil dalam Kristen, Lotus Sutra dalam Budha dan kitab suci lainnya. Setidaknya ada satu perintah yang dilarang, membunuh, menyiksa, mengambil hak seseorang dengan semena-mena.
Seiring zaman, dunia menyusun hukumnya sendiri yang tak jauh dari ajaran Tuhan. Contohnya sebuah deklarasi yang diakui negara-negara di dunia, Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) 1948 berfatwa; ‘Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan... dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama .... atau kedudukan lain’.
Nah... itu teorinya, prakteknya bisa saja jauh melenceng. Lihatlah pada bentangan selebar jagad, adakah yang kuat adil kepada yang lemah? Negara yang kuat sering menyerang negara yang lemah, yang gagah sering menggagahi yang lugu, yang besar sering memukul yang kecil, yang bersenjata kerap menembak seenaknya saja.
Di Indonesia -negara kita- sama saja. Aceh bagiannya juga bernasib sama, ada keadilan-keadilan yang tak rata. Rakyat kecil umumnya.
***
Di Aceh. Ada yang selalu saya tanyakan ketika bertemu kawan-kawan, umumnya dari para petinggi atau aktivis. Rutinnya ... kepada para aktivis. Pertanyaannya kira-kira seperti ini; Bisakah menghadirkan Pengadilan HAM atau KKR?
Jawabannya beragam, ada yang bisa, ada yang tidak. Ada yang tanpa alasan dan ada dengan segudang pernyataan. Intinya, dua jawaban itu hampir sebanding, hanya satu dua yang menjawab ‘No coment’.
Di Aceh, isu itu memang menghangat sejak Aceh ‘Merdeka’. Jangan panik dulu... ‘Merdeka’ di sini bukan dalam arti pisah dari Indonesia, tapi bebas dari perang, setelah damai disepakati pada 15 Agustus 2005 lalu. Ada yang istimewa soal mengatur sendiri pemerintahan, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sebagai penelusuran yang (kurang-lebih) sesuai dengan MoU Helsinki. Ada amanat di sana untuk menegakkan keadilan bagi korban di Aceh. Tapi ada juga kendala, setelah Mahkamah Kontitusi membekukan UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR Nasional. Bukankah KKR Aceh mengacu ke sana? Lagi-lagi, ini tertuang dalam UU-PA dan MoU Helsinki.
Sesulit mencari ketiak ular, begitulah ibaratnya. Sulit menghadirkan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh dalam waktu dekat. Satu sisi, deadline sudah lewat seperti tercantum dalam UU-PA; setelah setahun UU itu disahkan. Satu sisi lagi akan mudah, karena tak ada lagi batasan yang harus dikejar.
Optimis dan pesimis bercampur baur dalam pemikirannya memandang payung bagi azasi itu. Sebutlah jika azasi yang dijamin Tuhan itu didatangkan melalui Qanun (Peraturan Daerah) yang mengacu pada UU-PA. Pertanyaannya, bisakah semudah menengak secangkir kopi pagi di warung Solong, Ulee Kareng? Entahlah...
Belum lagi soal pemahaman di majelis rendah. Coba tanya saja kepada mereka di pelosok Pidie atau Bireuen. “Saya tak begitu mengerti apa itu,” seorang korban pernah mengadu. “Tapi bagi saya, keadilan kepada korban harus ada di Aceh,” gugatnya.
Ngomong azasi, itu penting di sudut bumi mana saja. Tapi kerap yang menyangkut azasi kelas bawah, putus di tengah jalan. Bukankah terlalu panjang merunut kisah-kisah itu? Sejak dulu, kala Aceh masih perang.
Lihatlah, dimana keadilan untuk kasus pembantaian Tgk Bantaqiah dan murid-muridnya pada 23 Juli 1999. Peristiwa simpang KKA pada 2 Mei 1999, peristiwa di Idi Cut dan Krueng Arakundo pada February 1999, lalu ada kasus pembunuhan terhadap aktivis RATA pada Desember 2000. Lalu ... lalu, ada ratusan lainnya yang terdiam bagai peti es.
Peti es ini, bisa jadi mencair suatu saat. Pengalaman yang paling berharga yang sering muncul adalah soal generasi pendendam. “Saya ingin mencari pembunuh ayah saya,” kata seorang anak yatim di Bireuen, yang ayahnya meninggal semasa konflik.
“Saya sebenarnya masuk polisi karena ingin membalas kematian keluarga saya yang dibantai,” kata seorang polisi kepada saya. Begitulah, generasi-generasi Aceh menjadi pendendam dari hari ke hari, jika semua ini tak diselesaikan secara damai.
Damai memang telah ada, tapi soal keadilan bagi korban belum ada. Bukankah banyak korban dan keluarganya yang berpesan, ‘Tidak ada artinya perdamaian tanpa keadilan buat korban.”
Banda Aceh, September 2007.
No comments:
Post a Comment