By: Adi Warsidi
MEREKAM detik-detik, pastilah menemukan hari, lalu ada tahun di ujung. Kerap disebut sebagai waktu yang bergulir, sebagai perubahan, sebagai dewasa, sebagai kemajuan, walau kadang yang dimaksud adalah kemunduran. Menjejak waktu, adalah pasti yang tak ingkar pada uang, tak kejam pada orang. Dia berlalu saja seperti pesawat dan kereta api, tapi tak pernah kembali.
Jauh hari, 1953 dan 1976 datang membawa konflik. Maaf lupa, perang telah ada sejak 1873 ketika waktu membawa Belanda. Kemudian 2005 membawa damai, sesaat setelah 2004 membawa gempa dan gelombang raksasa ke Bumi Serambi. Siapa mampu menebak semua itu? Bahkan orang tahu, sadar dan menyesal setelah dia berlalu.
Sebut saja dua bencana yang selalu dijanjikan tahun-tahun, ciptaan Tuhan dan karya manusia. Yang disebut terakhir, tak termasuk bencana tsunami, melainkan gundulnya hutan-hutan hingga banjir bandang, korupsi, perampokan, pembunuhan dan ketidakadilan yang dibuat manusia yang selalu berpikir seakan-akan dia sudah adil.
Tahun-tahun yang berjanji selalu. Selain pesan Tuhan, tahun lewat akan selalu memberikan sinyal bahwa yang dibawanya adalah kebaikan dan keburukan ke tahun depan. Sering itu pasti, semisal memotong hutan sembarangan, maka tunggu saja waktu memberi kabar tentang banjir bandang. Tahun-tahun abstrak, hanya saksi apa tingkah kita, kelakuan manusia.
Kita pasti tak berharap petaka, tak seperti Surya Thayeb, seorang warga di Kampung Jawa yang berharap dengan membuang kekecewaannya. Kepada saya dia berujar, “saya mendoakan tsunami lagi.” Saya tercengang.
Alasannya? “Biar semua orang tahu, biar orang NGO yang di Aceh tahu, orang BRR yang di Aceh bisa merasa langsung tsunami menghantam tubuh-tubuh mereka. Biar semua sadar, bahwa kami para korban tak boleh dipermainkan.” Dalam berharap petaka, dia bersurat bahwa harapan korban adalah percepatan rekontruksi dan rehabilitasi Aceh.
***
Tahun lalu dan tahun kini adalah sebuah kompleksitas kehidupan, yang dibuat makin rumit oleh manusia selanjutnya dan selanjutnya. Tahun telah diringkus dan diringkas-ringkas dalam catatan-catatan yang semakin lama semakin usang. Kerap tahun dicatat oleh yang pemegang kekuasaan, bila ada kejadian-kejadian dasyat. Selalu itu, tapi jarang yang sesudahnya menjadikan pelajaran.
Teringat 2007 dari 2006, ada sebuah potret yang patut dikenang, sebuah pesta yang tak lazim dilakonkan dan tak disangka siapa saja. Menjelang 2006 menjadi sampah, sebuah hajatan menabalkan mantan gerilyawan dari penabalan 1976 menjadi gubernur dalam pemilihan rakyat Aceh. Irwandi Yusuf tokoh itu. Ini tak terjadi andai 2005 tak datang mendamaikan perang.
Aceh kemudian baru di tahun 2007, saat pemimpin yang terpilih dari tangan-tangan rakyat yang cukup menderita dalam konflik dan perang diagungkan bak sultan. Kenduri rakyat disenandungkan, doa dilayangkan, harapan ditancapkan, demokrasi dinanti, darah diharap tak mengalir lagi dan seribu lainnya. Tapi sampai 2007 tercampak, masih ada harapan yang tertangguhkan, ada nafsu yang belum jadi, ada mimpi yang masih tak tergapai. Ada yang sabar ada yang tidak, menuntut lagi dan lagi.
Mengingat 2007 di 2008 adalah sebuah kenang yang tak bisa diulang. Kalau pedih maka tangis dan sesal, kalau indah maka sorak dan riang. Tapi siapa peduli? Desember yang lalu telah habis, malam tahun baru lewat, kalender telah berganti dan 2007 teronggok di tumpukan sampah. Sampai kini, mimpi-mimpi mungkin dicoba kembali raih, berharap semua akan lebih baik di tahun baru.
Pertanyaan pun berganti, apa yang akan datang? Siapa yang akan datang? Bagaimana damai kita? Rehab-rekon kita? Nasib korban konflik kita? Kisah mereka yang masih di barak? Berubahkan? Atau sampai 2008 dirobek lagi, kisahnya akan sama saja. Atau bahkan terulang lagi seperti 1953 atau 1976, semoga tak lagi.
Setidaknya ada satu yang mungkin membuat kita bisa puas, berpikir jernih. Bahwa Tuhan telah mencabut tahun-tahun konflik dari bumi kita. Soal kepuasan, manusia mana pernah puas dengan tahun yang selalu dianggap tak lebih baik? Jawabnya mungkin manusia serakah, kalau tak semua kita serakah. Golongan ini akan selalu meninggalkan tahun-tahun dengan kecemasan, berharap tahun depan dengan pundi uang dan kekuasaan.
Kalau ini masih terus dilakukan, haraplah waktu datang akan membawa petaka lagi akibat karya manusia atau Tuhan akan mengirim pesan. Saya setuju, kita tak berpikir untuk petaka itu. Kita boleh saja mati bersama 2008 nanti. Tapi tahun-tahun sesudahnya terus bergulir. Dia berlalu saja seperti pesawat dan kereta api, tak bisa kembali, hanya sedikit memberi tahu untuk kita tahu. []
Banda Aceh, Desember 2007. [Aceh Magazine]
No comments:
Post a Comment