Raung buldozer gemuruh pohon tumbang,
berpadu dengan jerit isi rimba raya,
tawa kelakar badut-badut serakah,
tanpa HPH berbuat semaunya...
Lestarikan alam hanya celoteh belaka,
lestarikan alam mengapa tidak dari dulu...
ooohh mengapa???
Spontan saja bibir ini bergerak melafalkan bait di atas, saat saya menulis tentang hutan. Irama jari tangan jatuh ke keyboard pada notebook bagai piano. Larut dengan tembang lawas yang tercipta sekitar tahun 1990-an, milik penyanyi rakyat, Iwan Fals.
Iwan telah mengingatkan kita sejak lama, soal hutan yang kritis. Alam jadi tak seimbang ketika rimba semakin habis, banjir dan longsor datang. Satwa liar mengamuk dan manusia juga yang menjadi korban kemudian. Pelajaran selalu datang ketika alam mengirim petaka, banjir bandang di Aceh Tenggara, Oktober 2005 silam, banjir bandang di tujuh kabupaten/kota pada wilayah Aceh bagian bagian utara, timur dan tengah pada Desember 2006 lalu.
Harimau dan gajah pun ikut protes, tapi tak mengusung spanduk, ketika habitat mereka terjarah parah. Aksi mereka dengan auman, dengan cakar, dengan taring, dengan belalai, dengan gading dan kaki kekar yang menginjak-injak. Lagi-lagi, kaum kita juga yang menjadi korban.
Andai saja harimau dan gajah dan seisi rimba bisa berkata, pasti dia akan berpesan; ‘Cukup Sudah, jangan lagi jarah rumah kami’.
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi,
Musnah dengan sendiri-nya akibat rakus manusiaaaaa....
Kala kondisi rimba miris, pemerintah Aceh punya konsep baru yang tak baru lagi. Maklum, soal pelarangan hutan telah diimbau dari dulu. Pada 6 Juni 2007, Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh mendeklarasikan Moratorium Logging untuk sebuah kebijakan jeda tebang. Kata Irwandi, “bukan hanya yang illegal, yang legal saja dilarang.” Artinya secara teori, tak ada pohon lagi yang tumbang setelahnya.
Tapi, ada satu yang mengkhawatirkan. “Pakai apa Pemerintahan Aceh mengawasi hutan, modal ngomong saja atau hanya sekedar mengejar popularitas dan simpati,” celoteh seorang kawan. Tapi bagi saya, langkah itu kendati bukan hal baru mesti didudukung. Hutan tak boleh dibiarkan gundul dan dalam hal ini Pemerintahan Aceh, 200 persen benar.
Tapi, kadang saya juga geli sendiri melihat kenyataan di lapangan. Hutan makin banyak yang bopeng bahkan lebih dari sebelum damai ada. Wajar, perang kadang menjadi pagar sendiri buat hutan. Mana ada orang bodoh yang mau menebang di rimba yang kerap terjadi kontak senjata. Kalau pun ada, satu-dua.
Setelah damai, jangan tanya. Di Lhoong, di Jantho, di Bireuen, di Aceh Tenggara, di Bener Meriah, di Aceh Selatan, di Aceh Timur, di Aceh Utara dan hampir seluruhnya, saban hari ada saja pohon yang tumbang. Setelah deklarasi sama saja. Fenomena ini menabalkan, moratorium logging seakan tak punya taring.
Sulit memang. Dengarlah komentar Kek Abu, umurnya hampir 70 tahun, seorang penduduk lokasi hutan di Lhoong, Aceh Besar. Katanya debit air sungai di sana kian kurang karena rimba tak rindang lagi, beda dengan waktunya masih muda yang kondisi sungai selalu normal.
Siapa pelakunya, Kek Abu tertawa lepas menampakkan giginya yang tak utuh lagi. “Pane mungken hana ka teupu (mana mungkin kamu tidak tahu).” Setelah memaksa, Kek Abu pun cerita. Ada warga yang tinggal di sekitar hutan, mereka punya beking Si Anu dan Si Anu... Namanya memang biasa saja, tapi embel-embel di belakangnya, saya ngeri sendiri menuliskannya. Tak percaya, menyamarlah sekali-kali turun ke dasar hutan, jangan asyik menuduh orang menyebarkan fitnah dan mengutuk pelaku pembabat hutan dari balik meja.
Hutan memang menggiurkan. Tapi mencegah pembalakan hutan hampir mustahil dilakukan tanpa langkah memajukan ekonomi masyarakat seputar rimba. Masyarakat harus diajarkan untuk melupakan kayu, dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu lainnya. Satu lagi, berikan solusi pekerjaan lain buat warga, agar mereka lupa kayu-kayu itu dan jangan asyik berpikir tentang isi rimba yang menggiurkan. Caranya, pemerintah punya cerdik pandai di sekitarnya. Saya yakin pasti bisa, asal mau saja. Jadi bukan hanya sebatas melarang. []
Banda Aceh, November 2007. [Aceh Magazine]
No comments:
Post a Comment