Saat damai masih muda, pekerja pers merasa lega. Ruang kebebasan kian terbuka.
AKU DUDUK berhadapan dengan felix Heiduk, 30 tahun, pada sebuah lobi hotel awal April 2005, di Banda Aceh. Peneliti dari Institut Jerman Urusan Politik Internasional itu punya tugas besar, mengamati perkembangan pers pasca tsunami, di Aceh khususnya.
Saat itu, Felix yang bertugas untuk unit Asia begitu bersemangat. Maklum, dia begitu paham dengan kebebasan pers di Aceh dalam masa konflik, belum lagi status darurat yang kemudian ditetapkan pemerintah, Mei 2003. Pasca tsunami, pemikirannya lain, ratusan NGO asing masuk ke Aceh dengan menarik perhatian puluhan pekerja pers Internasional. Dia menilai kebebasan pers telah dimulai di Aceh, setelah sempat terkungkung dalam perang. “Sekarang saya tahu masih darurat, tapi sepertinya lain,” sebutnya memulai diskusi.
Enam pertanyaan yang mengganjal pikiran, tentang kebebasan pekerja pers dalam melakukan pekerjaannya, diajukan. Umumnya berkaitan dengan suasana politik keamanan di Aceh. Dari status darurat, perubahan saat tsunami sampai kepada bebasnya melakukan liputan. “Pers sudah lumayan bebas,” aku menyeru.
Felix tak menerima begitu saja, “bagaimana kalau anda meliput kegiatan GAM di markasnya, lalu anda membuat tulisan secara detail lengkap dengan identitas anda?” Itulah pertanyaan keenam yang diajukan.
Aku tersentak, mengingat liputan di markas GAM, pada satu bulan pasca tsunami. Isi wawancara dan foto Jurubicara GAM Aceh Besar, Muchsalmina memang terpampang di media, tapi indentitas penulis masih dikaburkan redaksi, alasan keamanan. Lalu masih ada salah satu fotografer Assosiated Press (AP), warga negara asing, yang sempat masuk markas GAM, beberapa hari sesudahnya. Foto Petinggi GAM itu juga terpampang di situs AP, dengan nama lengkap si jurnalis, tapi dia langsung pergi sesudahnya. Masih ada beberapa lagi, dengan cara diam-diam dan penuh resiko.
Setelah mendapat jawaban, Felix sampai pada kesimpulannya, “not freedom press.” Bukan tanpa alasan, dia mengungkapkan kalau pekerja pers masih merasa terancam dengan tulisannya, maka pers belum bebas. Dia merujuk pada pemberontak di Irlandia Utara (IRA), yang bebas diliput pers. “Malah kami bisa mengundang pemimpinnya untuk kegiatan pers dengan aman,” ujarnya.
Tapi Felix tidak memungkiri, ada sedikit perubahan dalam kebebasan pers pasca tsunami. Minimal, banyak pekerja pers yang masuk ke Aceh untuk meliput tsunami, yang kemudian secara diam-diam ambil bagian meliput konflik di Aceh. Bandingkan dengan dua tahun lalu, hampir tak ada pekerja pers asing di Aceh, dan pers sangat tertekan.
***
PENEKANAN terhadap pers di masa darurat mempunyai catatan tersendiri. Pada masa darurat militer, Endang Suwarya sebagai penguasa kala itu membatasi gerak wartawan dengan Maklumat No. 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.
Membatasi ruang gerak, juga dilakukan dengan mengidentifikasi wartawan melalui kartu pers Merah Putih, keluaran media center PDMD. Pengekangan kembali dilanjutkan pada masa dararut sipil, dengan Maklumat PDSD No. 4 tahun 2004, yang mengatur tatacara jurnalis dalam meliput konflik di Aceh.
Bahkan PDSD juga pernah mengeluarkan himbauan untuk media di Aceh, agar menyiarkan iklan keberhasilan PDSD di medianya, pada 1 september 2004. Menurut PDSD, hal itu mempunyai dasar yang kuat, UU No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan Keppres No 43 Tahun 2004, tentang penerapa status darurat sipil. Puncaknya, ketika PDSD juga mengeluarkan Maklumat khusus, melarang wartawan untuk meliput semua kegiatan GAM menjelang Milad GAM, 4 Desember 2004 lalu.
“Mereka punya kewenangan besar untuk melakukan apa saja, kita nggak bisa gugat, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena UU dapat memungkinkan mereka untuk melakukan apa saja,” sebut (Alm) Muharram M. Nur, Ketua Aliansi Jurnalis Independen, Banda Aceh, kala itu.
Status darurat yang dimulai 19 Mei 2003, juga merupakan permulaan pers memasuki masa darurat. Stanley, Direktur Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam sebuah tulisannya setelah Darurat Sipil dicabut (18 Mei 2005), menyebutnya dengan ‘Dua tahun masa darurat pers’.
Stanley mencatat, selam dua tahun itu di Aceh ada wartawan diancam, dipukuli, diculik, disandera dan bahkan dibunuh. Wartawan yang lain yang dianggap memiliki gaya berpikir kritis diusir ke luar wilayah Aceh. Walaupun ada beberapa yang tetap mencari dan menyebarkan berita dengan menembus berbagai kesulitan.
Pasca tsunami, menurutnya media dan insan pers di Indonesia perlu mendapat pujian. Melalui liputan, para wartawan telah mampu menggalang munculnya solidaritas masyarakat dunia. Bayangkan bila pers tak hadir di Aceh saat itu, penguasa darurat sipil di Aceh ataupun aparat militer tak memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dunia dengan dasyat seperti itu. “Barangkali ini adalah pelajaran mahal yang jangan diulang, menghalangi pers bekerja secara independen dan bekerja mengandalkan nurani,” tulis Stanley.
Pemimpin Harian Serambi Indonesia, H. Sjamsul Kahar menilai pada masa darurat, pers mengalami pengendalian. Karena pada saat itu, informasi yang diperoleh tentang konflik hanya satu pintu, yaitu militer. “Tidak bisa dapat dari sumber-sumber lainnya,” sebutnya di Banda Aceh, 22 oktober 2005.
Muhammad Saleh, Pemimpin Redaksi Tabloid MODUS Aceh berpikiran sama. Ada penekanan-penekanan terhadap pers pada saat darurat di Aceh. “Bukan hanya pada saat darurat, depresi terhadap jurnalis sudah ada dari dulu,” sebutnya.
Dia mengakui, dulunya sulit menjadikan GAM sebagai sumber berita. Tetapi, banyak juga media yang tetap memberikan porsi walaupun lebih kecil. “Sejauh apapun pemerintah memberikan penekanan, insan pers punya aturan sendiri, sejauh mana media bisa independen, itu adalah trik yang diterapkan media, dalam status apapun,” sebut Saleh.
Penekanan pers dimasa konflik bukan hanya dilakukan oleh pemerintah melalui TNI/Polri, tapi juga GAM. “GAM juga menjadi ancaman tersendiri, saat itu,” sebut Saleh.
Tercatat, beberapa kasus penekanan terhadap pers juga dilakukan oleh GAM. Saat itu, beberapa mobil sirkulasi milik Media Serambi Indonesia ikut dibakar, sebagai tuntutan GAM terhadap pemberitaan yang seimbang. Masih ada kasus penculikan Ersa Siregar serta Ferry Santoro di Aceh Timur. Kasus ini menjadi puncak terburuk perlakuan terhadap insan pers di Aceh, dalam masa konflik. Ersa kemudian meninggal dalam sebuah kontak senjata, 29 Desember 2003, di Peureulak, Aceh Timur. Sementara Ferry dibebaskan GAM pada 16 Mei 2004.
***
DAMAI diteken. Ribuan warga menyerbu Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 15 Agustus 2005. Puluhan tokoh masyarakat, pejabat, menteri, panglima dan para penguasa di masa daruratnya berbaur. Wartawan dari berbagai media nasional, lokal dan bahkan asing tak ketinggalan, mengabadikan peristiwa itu. Maha penting, sebuah hajatan permohonan doa dimulai, saat para pemimpin GAM dan Pemerintah Indonesia menandandatangani kesepakan damai, di Helsinki, Filandia.
Sejak saat itu, pers begitu bebas mondar mandir, menuliskan apa saja yang terekam, tanpa ragu lagi menyebut nama GAM dan petingginya. Mewawancarai sebagai sumber baik secara langsung maupun melalui telepon. Bahkan, beberapa petinggi GAM di lapangan, mengundang wartawan ke markasnya. “Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa masuk lagi ke markas GAM dan bebas menjadikan mereka sebagai sumber,” sebut Nani Afrida, wartawan The Jakarta Post saat itu.
Para wartawan semakin rajin menghubungi GAM, membuat pemberitaan semakin berimbang. Ditambah lagi dengan keberadaan Tim Misi Pemantau Keamanan (AMM) yang membuka akses lebih jauh terhadap keberadaan para jurnalis. “Kita akan membuka informasi kepada semua kawan-kawan pers,” Pieter Feith, Ketua Tim AMM dalam konferensi pers pertamanya di Media Center Infokom NAD, Banda Aceh, 15 Agustus 2005. Puncaknya, ketika amnesty untuk GAM diumumkan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, 31 Agustus lalu. Semua pihak, TNI/Polri dan GAM memberikan sinyal itu.
Semangat muncul kembali di kalangan jurnalis, media asing dan nasional kembali berlomba-lomba mengirim wartawannya untuk mengawal perdamaian. Pengekangan pun sudah hilang, semua pihak membuka akses lebih jauh untuk wartawan. “Kita membuka “Pasca perdamaian Helsinki, kita sangat terbuka, bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun, baik militer maupun GAM,” sebut Sjamsul Kahar.
Menurutnya, setelah perdamaian aktivitas pers tak ada kendala lagi, tergantung bagaimana setiap media melihat dan memberitakan tentang Aceh. “Itu pengaruh dari damai, walau tidak mutlak,” sebut Sjamsul.
“Pers lebih bebas pasca damai,” ujar M. Saleh. Dia beranggapan, pers di Aceh akan maju pesat setelah damai, karena tak ada lagi penekanan yang bisa membuatnya lebih maksimal.
Sudah bebaskah pers di Aceh?
Suatu siang 10 September 2007. Puluhan wartawan menyerbu pendopo gubernur NAD, Banda Aceh. Sebuah konferensi pers tentang pelucutan senjata GAM tahap pertama akan digelar oleh AMM dan para petinggi RI juga GAM. Seperti biasa, sambil menunggu senda gurau kerap dilakukan insan pers.
Tiba-tiba, “saya dari Tempo, pak. Tempo-tempo ada, tempo-tempo tidak,” seru salah seorang diantara kami, memperkenalkan diri dan medianya, pada salah seorang pejabat. Beberapa diantara kami kaget, termasuk Yuswardi Ali Suud, Koresponden Tempo di Banda Aceh. “Aduh, ini merusak,” serunya.
Nyaris saja Yuswardi melabrak kawan tadi, tapi urung. “Dia intel yang pura-pura jadi wartawan,” seru salah seorang kawan yang lain. Yuswardi kecut.
Bukan hanya di Banda Aceh, intelijen berkedok wartawan juga muncul di Meulaboh, Aceh Barat dan Lhokseumawe, Aceh Utara. Kota yang menjadi dua markas Komando Resort Militer (Korem) di Aceh. “Mungkin telah mengubah target operasi dari memburu GAM menjadi pemburu informasi,” sebut Rangga (nama samaran) salah seorang pekerja pers di Meulaboh.
Modusnya sama, membawa kamera dan handycam dalam mengikuti setiap konferensi pers, umumnya yang diadakan oleh AMM. “Sering mereka mencocokkan data dengan yang kami dapatkan,” sebutnya. Rengga mengakui, kadang hubungan itu saling menguntungkan, karena para intelijen mereka memiliki informasi yang belum tentu didapatkan oleh wartawan. Tapi, “hubungan ini dapat mempengaruhi profesionalisme jurnalis dalam meliput,” sebutnya.
Jelas, sudah menjadi rahasia umum di kalangan jurnalis Aceh, intelijen selalu ada dalam setiap acara konferensi pers di Aceh. Bertingkah bak wartawan, dengan menenteng kamera dan tape recorder, mereka juga menulis seperti wartawan layaknya. Kadang, sebagian di antara mereka juga mengantongi kartu pers. “Sah-sah saja selama mereka tidak menggangu kerja para jurnalis,” sebut Sjamsul.
M. Saleh juga punya pemikiran sama. “Mereka lebih kepada mencari informasi, bukan mengganggu kerja para jurnalis,” sebutnya. Menurutnya, hal itu terjadi hampir di seluruh dunia. Intelijen Amerika Serikat (CIA) juga melakukan hal yang sama saat perang teluk di Irak. Inggris juga menggunakan pola itu untuk mencari informasi di kalangan sipil.
Ditingkat pekerja lapangan, tindak tanduk intel seperti ini, membuat sebagian rekan pers gusar, kendati tak ada yang bisa berbuat apa-apa. “Mereka tidak salah, untuk mendapat informasi, tapi jangan mengaku-ngaku dari media orang lain, mengganggu kinerja dan kredibilitas wartawan,” sebut Yayan Zamzami, Reporter Indosiar di Aceh.
Kepala Humas Polda NAD, Jokoturrahman (saat itu) mengakui keberadaan para intelijennya. “Pihak kita hanya ingin mengetahui informasi saja, ingin mengetahui kegiatan masyarakat,” sebutnya.
Tentang sebagian intelijen yang mengantongi kartu pers dari salah satu media, Joko tak mengetahui pasti. Menurutnya, kemungkinan ada kerjasama dalam informasi dengan media itu. Karena setiap intelijen diberikan tugas untuk mengetahui setiap kegiatan di Aceh, walaupun dengan cara-cara tertentu, istilahnya “jarum pun harus diketahui.”
Kalau ada yang mengaku dari media tempat rekan pers bekerja, “dilarang saja, kalau dia ngaku-ngaku. Tanya saja kartunya, kalau tidak ada, keluarkan saja,” sebut Joko.
Bagi Yuswardi, pasca damai kebebasan pers menjadi lebih baik, pengekangan pun tidak berlaku lagi. “Tapi kita tetap diawasi dalam melakukan liputan,” sebutnya.
Contohnya, kasus protes TNI terhadap tulisan di salah satu media yang mengatakan TNI bersalah dalam insiden penembakan GAM di Peudawa, Aceh Timur. Padahal, itu adalah kesimpulan dari AMM yang mengadakan investigasi terhadap kasus itu, yang diumumkan pada 19 Oktober 2005. “Kita ketahui, semua ada dalam konferensi pers itu, Pangdam juga ada, kenapa di protes media lagi, melalui surat segala. Kalau mau protes saja AMM,” sebut Yuswardi.
Hal lain diungkapkan Saleh. Penilaiannya, masih ada stigma yang menggangap seorang wartawan itu memihak. “Ketika dia mewawancara Panglima GAM misalnya, dia diangap dekat dengan GAM, ketika mewawancara panglima TNI, dia dianggap wartawan TNI,” sebutnya. Padahal, kadang tugas jurnalis tidak mengenal batas untuk mencari sumber berita.
“Stigma ini yang belum bisa hilang,” sebut Pendiri Tabloid MODUS itu. Saleh mengajak semua pihak, agar selalu menghormati tugas wartawan dalam melakukan kerjanya. Untuk wartawan juga, agar selalu bisa melakukan kontrol sosial yang lebih besar, bukan hanya mengawal perdamaian, tapi juga rekontruksi pasca tsunami di Aceh.
Harapan yang sama untuk pers di Aceh pasca damai, juga diutarakan oleh Sjamsul Kahar. Dia meminta pers bisa melaksanakan fungsinya lebih maksimal, baik fungsi informasi maupun sosial. “Sumber-sumber berita itu, mengkondisikan juga agar pers bersikap independen. Artinya jangan menyebabkan informasi tertutup, sehingga informasi jadi pincang dan sebelah pihak, itu merugikan publik,” ujarnya.
Kini setelah damai dua tahun lebih. Diakui atau tidak, pengekangan terhadap pers masih ada. Bentuknya jelas tak lagi sama dengan darurat dulu. Hanya sebatas ancaman ringan dan penekanan-penekanan psikologis untuk media, atau pribadi si wartawan. Sedikit ruang kebebasan memang sudah ada. Sama seperti damai, masih sangat muda. []
Banda Aceh, Akhir 2006. [Media AJI Banda Aceh, Aceh Magazine]
No comments:
Post a Comment