Thursday, May 8, 2008

Damai Setelah 60 Tahun Merdeka

By : Adi Warsidi

Sekilas sejarah setelah perang bersama Belanda dan Jepang berakhir. Aceh merdeka bersama Indonesia, ada kisah manis dan pahit. Sampai enam puluh tahun kemudian...

14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah dari sekutu. Tanda sebuah perang dunia kedua berakhir.

17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dua bulan kemudian beberapa perwira Belanda hadir ke Aceh untuk mengadakan penyelidikan. Aceh dijumpai dalam keadaan kacau balau, Belanda berpendapat perlu diadakan pendudukan sekutu untuk mencegah timbulnya pemberontakan. Belanda adalah salah satu negara sekutu bersama Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan beberapa negara eropa lainnya.


Pendudukan itu tidak pernah terjadi, sampai Jepang meninggalkan Aceh pada Desember 1945, sekutu masih sibuk mengurus Jawa. Sumatera dan Aceh mengambil jalannya sendiri, mandiri mengurus pemerintahan dalam sebuah pemerintahan republik yang telah didirikan. Gubernur pertama di Aceh dan Sumatera adalah Mr. Teuku Muhammad Hasan. Belanda tidak pernah lagi menembus Aceh, hingga membuat Aceh daerah yang benar-benar nyata kemerdekaannya, saat itu.

Mengawal kemerdekaan Indonesia, Aceh tercatat sebagai penyumbang dua pesawat yang menjadi cikal-bakal lahirnya Garuda Indonesia Air Ways. Tahun 1948, kala sekutu berhasil menguasai pemerintahan Indonesia di Pulau Jawa, Aceh menjadi daerah penyelamat. Melalui Radio Rimba Raya di Aceh Tengah, dengung kemerdekaan Indonesia masih dipancarkan dari sana.

Sejarah tercatat lagi, saat Gubernur Aceh Daud Beureueh menjabat. Dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tindakan politik. Antaranya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status Provinsi Aceh dicabut oleh kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.

Kebencian rakyat Aceh kepada Soekarno, presiden RI saat itu menyala. Daud Bereueh, sang pemimpin Aceh masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang.
21 September 1953, Daud Beureueh pun memukul gong pemberontakan, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia, mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot.

Pertempuran demi pertempuran terjadi, kesepakatan gencatan senjata diambil dalam sebuah perjanjian, Ikrar Lamteh, 8 April 1957. Isinya, selain itu, ada kesepakatan antara pemerintah lokal dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959. Dan momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan.

Di masa itulah Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh Negara Islam Indonesia. Hasan Saleh menuntut kepada Djuanda agar Aceh dijadikan Negara Bagian di bawah Republik. Tuntutan berbau federalisme itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah berbentuk kesatuan. Meski begitu, Hasan Saleh setuju untuk mencari jalan damai.

Daud Beureueh meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan memulai lagi serangan gerilya besar-besaran. Daud letih bergerilya, setelah satu persatu karibnya meninggalkannya di tengah jalan. Di ujung masa pemberontakannya, Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula sejak 1961 nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA).

Pemerintahan Aceh belum kuat. Saat Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer Aceh. Jasin berhasil mendekati Daud Beureueh dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Beureueh, untuk berdialog empat mata.

Dengan berbagai bujukan dan jalan panjang Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa.
***
Istimewa tak membuat Aceh benar-benar lain. Kondisi kemakmuran rakyat masih morat-marit, meski sumber Migas melimpah ruah di Aceh, setelah ditemukan pada tahun 1970 di ladang Arun, Aceh Utara. Gas dan minyak bumi hanya menguntungkan pusat, Aceh hanya menonton kekayaan alam itu dari luar pagar.

Alasan itulah yang membuat Aceh kembali bergolak. Empat belas tahun setelah Beureueh turun gunung, Hasan Tiro memimpin pemberontakan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan pada tahun 4 Desember 1976 di Tiro, Pidie.

Seterusnya, terus-menerus kekacauan terjadi di Aceh, Hasan Tiro kemudian kabur ke Swedia, memimpim pemberontakan dari sana. Berbagai operasi digelar TNI di Aceh, untuk menumpas GAM, pemberontakan tak kunjung padam.

Tahun 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan operasi jaring merah-nya. Berlangsung selama 10 tahun, operasi itu tercatat banyak makan korban. Pasca kejatuhan Soeharto, presiden RI kala itu, suara rakyat menuntut pengadilan HAM makin gencar dilakukan. 7 Agustus 1998, operasi itu dicabut.

Tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema. Selain itu, muncul juga tuntutan referendum sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu dimobilisir oleh pada intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri.

Serajah mencatat, aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 dihadiri kurang dari sejutaan rakyat Aceh (sebagian sumber menyebutnya 2 jutaan) dari berbagai kabupaten. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.

Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, dengan mengusung isu Antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002, dengan aksi yang paling fenomenal, karena dalam aksinya mereka menuntut Cease-fire antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB.

Aksi yang berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM seperti Taufik Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam, Habibir, Ihsan, dan beberapa orang lagi. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa intervensi PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.

Dalam masa-masa itu, dialog-dialog terus dilanjutkan antara GAM dan RI untuk mencari jalan aman. Hasilnya mulai tampak. Upaya dialog perlu jeda perang. Kesepakatan mulai dirintis sejak Januari 2000, yang kemudian melahirkan Jeda Kemanusiaan yang ditandatangani pada 12 Mei 2000. Keamanan di jeda ini, naik-turun.
Situasi yang relatif baik kemudian tercipta setelah pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai (Cessation of Hostilities Agreement – CoHA), 9 Desember 2002 di Jenewa. Kendati bentrok terus berlanjut, tetapi minimal kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Bersama, yang terdiri dari tiga pihak, Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC). Komite itu diketuai oleh Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi asal Thailand.

9 Februari 2003, perjanjian damai itu memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat sejak hingga lima bulan ke depan, melucuti senjata masing-masing. Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama itu. Masalahnya, proses perundingan kemudian gagal.

Pada Mei 2003, CoHA itu dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM, ditangkap dan dihukum penjara. Darurat Militer kemudian digelar pada 19 Mei 2003. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM. Satu tahun Darurat Militer, TNI mengklaim telah berhasil menewaskan 2.439 GAM, 2.003 lainnya ditangkap dan 1.559 menyerah. Sementara di pihak TNI, 147 orang tewas dan 422 luka-luka.

Dalam darurat itu, puluhan aktivis pembela rakyat yang kritis ditangkap, tak sedikit pula yang harus hengkang ke luar Aceh. Sebut saja salah satu yang ditangkap, Muhammad Nazar dari SIRA.

Habis Darurat Militer, status Aceh berganti menjadi Darurat Sipil pada 19 Mei 2004. kondisi hampir tidak jauh berbeda. Aceh seakan tertutup dari dunia luar, ratusan korban muncul, terbanyak di pihak sipil. Baik Pemerintah maupun TNI tidak pernah mengumumkan secara pasti berapa korban sipil yang muncul. Namun Dinas Penerangan Umum Mabes TNI mengakui, sejak darurat diberlakukan sampai September 2004, sekitar 662 warga sipil tewas, 140 luka berat dan 227 luka ringan.


***
26 Desember 2004, Aceh kembali mencatat Sejarah baru. Bencana hebat tsunami melanda, sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang hilang dan 174.000 orang menjadi pengungsi, yang hidup di tenda-tenda pengungsian.

Dari segi materil, 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 km jalan dan 2260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 sekolah rusak atau hancur. Kerugiannya, sekitar U$ 4,5 milyar.

Bencana itu, membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Status Darurat Sipil tenggelam dengan sendirinya, ratusan NGO asing masuk, berlomba-lomba untuk memberikan bantuan. Pelan-pelan Aceh mulai membangun kembali kehidupannya.

Darurat Sipil kemudian diganti dengan Tertip Sipil pada 19 Mei 2005, saat Aceh sedang membangun pasca tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah-daerah, kendati dalam intensitas yang makin kecil.

Pembahasan mencari damai di Aceh terus dilakukan. Kali ini Presiden RI Bambang Susilo Yodhoyono lebih serius. Difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) perundingan antara GAM dan RI pun digelar di Helsinki, Filandia. CMI sendiri diketuai oleh bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.

Setelah dialog lima babak di Helsinki, perunding RI yang diketuai oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin dan perunding GAM yang diketuai oleh Perdana Menteri-nya Malik Mahmud, perundingan mencapai kesepakatan. Ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kesepakatan itu dikenal dengan MoU Helsinki.
Awal masa damai di Aceh, setelah enam puluh tahun Jepang menyerah kalah kepada sekutu. Setelah mereka hengkang dari Aceh. []
Desember 2005

No comments: