Monday, May 12, 2008

Belajar Demokrasi di Serambi

By: Adi Warsidi

Ini cerita lama, saat dua calon yang didukung GAM bersaing meraih dukungan. Aceh menempatkan mereka di tempat teratas. Belajar politik setelah konflik.
(Maret 2007)

MINGGU, 21 Mei 2006. Satu-persatu, petinggi dan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu hadir pagi-pagi. Wartawan berebut mengambil gambar, memotret dan merekam pertemuan yang jarang. Ada pelukan saat tokoh itu bersalaman, ada canda dan sapa yang renyah.

“Apa kabar dek? Sehat kan...” dan seribu basa-basi lainnya meluncur begitu saja, dalam bahasa Aceh yang kental. Para petinggi GAM saling berangkulan.


Sesaat kemudian, Malek Mahmud, Perdana Mentri GAM tiba. Dia diapit oleh pengawal mantan pasukan. Di belakangnya ada Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM) Muzakkir Manaf (mantan Panglima GAM), Sofyan Daud (mantan Juru Bicara Tentara GAM), Bakhtiar Abdullah (Juru Bicara GAM), Tgk Usman Lampoh Awe (Ketua Majelis GAM), Ilyas Abed (Majelis GAM), Zakaria Saman (Menteri Pertahanan GAM) serta Irwandi Yusuf yang saat itu masih bertugas sebagai representatif GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM).

Sebelumnya telah datang para petinggi yang lain, Munawar Liza Zein, Nur Djuli dan para panglima di seluruh wilayah Aceh, para juru bicaranya, serta perwakilan komponen masyarakat Aceh. Ada banyak lagi yang datang, sampai seratusan lebih.

Diantara mereka ada banyak yang putra Aceh berkewarga-negaraan luar negeri, setelah bertahun-tahun tinggal di benua lain untuk mencari dukungan terhadap perjuangan GAM, menuntut keadilan untuk Aceh. Sebagai contoh; Malek Mahmud warga negara Malaysia, Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah (Swedia) dan Nur Djuli (Malaysia).

Ada banyak lagi GAM yang datang dari seantero dunia; Swedia, Denmark, Norweygia, Amerika Serikat, Australia dan Malaysia. Pertemuan pagi itu, Ahad 21 Mei 2006 bukan di luar negeri, tapi di salah satu gedung komplek AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Acara itupun ditabalkan sebagai; Pertemuan bangsa Aceh ban sigom donya – Pertemuan bangsa Aceh seluruh dunia.

Tanpa pengamanan kepolisian, hanya beberapa mantan TNA GAM bertugas menjaga gedung itu. Sebagian di luar sebagian menunggu di pintu masuk sebuah ruangan di lantai. Mereka sedang mengadakan hajatan, menentukan arah pilitik GAM pasca penandatangan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Sebuah kesepakatan damai menghentikan perang dengan pemerintah Indonesia.

“Pertemuan ini akan diadakan dua hari dan bersifat tertutup,” sebut Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Sofyan Dawood, mengawali penjelasan.

Katanya, tujuan mengadakan pertemuan akbar tersebut adalah untuk memperkuat gerakan sipil mereka di Aceh. Tokoh-tokoh GAM itu akan saling memberikan pandangan untuk menyusun strategi politik yang kuat, bahkan mereka yang selama ini bermukim di luar negeri, membawa konsep-konsep pilitik di negara Eropa maupun Amerika.

Beberapa agenda besar yang akan dibahas adalah sosialisasi MoU, persiapan pembentukan partai, pengawalan Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA), sampai strategi politik menjelang pilkada Aceh. “Kita akan membuat sebuah kekuatan untuk berpolitik sesuai dengan MoU,” sebut Sofyan.

Tujuan pertemuan juga tak lepas dari keinginan GAM untuk membentuk sebuah partai lokal setelah RUU-PA rampung disahkan oleh parlemen di Jakarta. Untuk itu, maksud GAM mengundang beberapa perwakilan masyarakat Aceh, sebagai bukti bahwa pembentukan partai lokal nantinya, bukanlah punya GAM tapi juga kepunyaan seluruh masyarakat Aceh.

“Apa yang kita bicarakan nanti menyangkut semua bentuk mekanisme-mekanisme untuk menyukseskan perdamaian ini,” jelasnya rinci.

Soal pilkada, apakah kemungkinan GAM bergabung dengan partai?
Sofyan membantah berita tersebut. GAM nantinya akan masuk ke pilkada melalui calon independen. “Kalau itu tidak terbuka, kita mungkin tidak terjun ke arena itu. Kita tidak bergabung dengan partai-partai yang lain,” tegasnya.

Juru Bicara KPA GAM itu juga membantah wacana penempatan Hasbi Abdullah sebagai tokoh GAM dengan Humam Hamid dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), untuk maju sebagai calon kepala daerah dalam pilkada Aceh. Saat itu, isu tersebut santer dibicarakan publik.

“Nanti semua hasilnya akan diumumkan dalam konferensi pers, usai pertemuan ini,” ujar Sofyan Dawood sambil berlalu memasuki ruangan.

***
SAMPAI waktu yang dijanjikan, 23 Mei 2006. Konferensi pers digelar menjelang sore. Hasilnya beberapa rekomendasi untuk memperkuat gerakan sipil di kalangan GAM, juga sebuah keputusan untuk mempersiapkan pembentukan partai politik GAM di Aceh. Tentunya usai pilkada nanti.

Ada yang megganjal dalam jangka pendek. Tak ada putusan pasti soal siapa yang diusung GAM sebagai calon independen yang maju bertarung dalam gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh ke depan.

“Sudah dipilih nama-nama, dalam kesempatan ini belum bisa diumumkan, kami masih menunggu RUU-PA disahkan pemerintah Indonesia,” sebut Malek Mahmud, kala itu. Seterusnya, Aceh dan khususnya pendukung GAM di masyarakat dalam kebimbangan.

29 Mei 2006, para tokoh GAM menggelar lagi pertemuan di Hotel Rajawali, Banda Aceh. Walaupun tak selengkap pertemuan pertama. Pertemuan itu ditutup untuk umum dan bersifat sangat rahasia. Beberapa mantan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA) GAM tampak berjaga-jaga di depan hotel, tentunya minus senjata. “Pertemuan yang lalu belum ada keputusan apa-apa, kita berembuk lagi untuk menentukan arah politik,” sebut Bakhtiar Abdullah, Juru Bicara GAM.

Sampai sore pertemuan berakhir, tak ada yang tahu apa kesimpulannya. Baru keesokan harinya, konferensi pers digelar di Markas Besar GAM, Lamdingin, Banda Aceh. Keputusannya sungguh mengagetkan. GAM memutuskan untuk tidak ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh.

“GAM secara organisasi tidak mengajukan calon untuk pilkada, tetapi kami memberikan kebebasan kepada semua anggotanya untuk mengajukan diri sebagai calon atas nama pribadi. Dengan tidak mengatas-namakan GAM,” sebutnya kepada wartawan, kala itu.

Keputusan GAM itu menjawab semua isu politik yang beredar selama ini berkaitan dengan mereka di Aceh. Awalnya, sempat beredar isu nama Nashiruddin – M. Nazar yang akan diusung GAM dalam pilkada, juga isu tentang koalisi GAM dengan PPP yang menjagokan Humam Hamid (PPP) – Hasbi Abdullah (GAM).

Menurut Bakhtiar, keputusan politik yang diambil itu sudah sah. GAM menyerahkan semua keputusannya kepada masyarakat untuk memilih siapapun calon yang akan ikut dalam pilkada nanti. GAM merestui semua calon, baik yang masuk lewat jalur independen maupun melalui partai.

Malek Mahmud, Perdana Menteri GAM mengakui dalam pertemuan para tokoh GAM, ada wacana untuk mencalonkan diri pada pilkada Aceh dan melihat calon-calon yang layak dikalangan GAM. Tapi kemudian, keputusan yang diambil tetap tidak ikut pilkada.

Saat ini menurut Malek, GAM sedang mempersiapkan diri untuk pembentukan partai politik lokal di Aceh. “Apabila GAM sudah siap menjadi partai politik lokal, kami akan berkonsentrasi untuk itu, kami ikut pada pemilihan umum mendatang, pada 2009,” sebutnya.

Artinya, “GAM tidak melibatkan diri pada pemilihan ini,” tambah Munawar Liza Zein, Deputi Juru Bicara GAM.

Dia mengatakan, saat ini GAM sudah menyusun kerangka dan struktur partai lokal mereka di Aceh. Program juga telah disiapkan bersama dalam beberapa kali pertemuan mereka. Partai Politik GAM ini akan diumumkan setelah Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) disahkan.

Sofyan Dawood, Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) GAM membantah bahwa keputusan politik yang diambil GAM karena adanya silang pendapat di tubuh mereka. “Tidak ada masalah ditubuh GAM, itu hasil keputusan bersama dalam pertemuan kami,” sebutnya.

Sofyan menegaskan, terserah kepada masyarakat Aceh untuk memilih pemimpin di Aceh dalam pilkada ke depan. Keputusan ini juga disosialisasikan kepada masyarakat melalui KPA GAM di daerah-daerah.

Keputusan GAM untuk maju pada 2009, dinilai tepat oleh Mawardi Ismail, Pengamat Sosial Politik di Aceh. Sebelum keputusan itu diambil, dia pernah menyebutkan kekuatan GAM akan kuat jika mereka bertarung setelah adanya partai lokal. “Waktu yang paling tepat untuk GAM adalah pada periode selanjutnya tahun 2009, karena telah punya kekuatan politik,” sebutnya kala itu.

***
BEGITU sederhanakah persoalannya?

Kendati tak ada yang mengakui perpecahan dalam tubuh GAM, tapi tersirat dalam keputusan-keputusan GAM berikutnya. Tgk Usman Lampoh Awe bercerita sepekan setelah keputusan itu diambil, kepada saya.

Beliau adalah Ketua Majelis GAM yang merupakan struktur tertinggi dalam tubuh gerakan itu pasca damai. Majelis bertugas untuk menggeser perjuangan dari bersenjata ke sipil. Juga menjembatani semua masalah berkaitan dengan pemerintah dan dalam tubuh GAM sendiri, termasuk membesarkan organisasi Komite Peralihan Aceh (KPA) GAM, sampai Rancangan Undang-undang Pemerintahan Aceh (RUU-PA) disahkan.

Saat pertemuan GAM di Unsyiah. “Salah satu bahasan yang menegang adalah saat memilih calon dari GAM untuk ikut memeriahkan pilkada Aceh secara independen atau pun koalisi,” sebut Tgk Usman.

Pendapat demi pendapat muncul, tokoh muda GAM ikut memberikan argumen diantara petinggi yang hadir. Dengan alasan demokrasi, tokoh muda bebas berapresiasi. Calon-calon pun bermunculan.

Petinggi GAM di Swedia mengusung satu unggulan, Hasbi Abdullah –adik Zaini Abdullah- sebagai calon gubernur. Usulan tunggal ini mendapat tantangan dari para tokoh muda di lapangan. Mereka menilai berhak juga untuk mengusulkan calon lainnya sebagai pilihan. Keberagaman pendapat untuk memilih calon membuat forum menegang, “hingga ada delapan calon yang diusung, semuanya dipilih dalam sistem setengah paket,” sebutnya.

Tgk Usman melanjutkan, sistem setengah paket adalah pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur secara terpisah. Dia hanya menyebutkan empat calon yang akan dipilih, Hasbi Abdullah dan Nashiruddin sebagai calon gubernur. Sementara untuk wakil diusulkan M. Nazar dan Humam Hamid.

Dari hasil pemungutan suara, mantan juru runding GAM Teungku Nashiruddin bin Ahmed mendapat suara terbanyak (39). Dia unggul lima angka dari Hasbi. Untuk calon wakil gubernur, Ketua Presidium SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) Muhammad Nazar unggul dengan 31 suara. Pada posisi kedua, meski bukan anggota GAM, Humam Hamid mendapat selisih tujuh suara. Nashiruddin sendiri tidak sempat hadir dalam forum tersebut.

Pengakuan Tgk Usman, dia menghubungi Nashiruddin untuk memberitahukan keputusan yang diambil forum. Tapi nyatanya, Nashiruddin menolak putusan dan mengundurkan diri dari calon dengan segala hormat. “Tiga puluh tahun saya berjuang bukan untuk itu, saya akan besar bukan dengan itu (menjadi gubernur), saya mundur,” Tgk Usman menirukan kutipan Nashiruddin.

Nashiruddin resmi menarik diri, otomatis Hasbi yang diperingkat selanjutnya mesti naik dan bergandengan dengan M. Nazar. Tapi kemudian menurut Tgk Usman, Hasbi tidak bersedia bergandeng dengan M. Nazar, alasannya tidak cocok.

Pertemuan GAM selanjutnya di Hotel Rajawali. Sebuah sumber menyebutkan dalam pertemuan itu pertentangan pendapat tokoh muda dan tokoh tua GAM muncul lagi. Sebagian menganggap Hasbi Abdullah tidak layak untuk mewakili GAM, karena bukan tokoh GAM murni. Sementara kaum tua menganggap M.Nazar masih terlalu muda.

Siapa tua dan muda? Sumber di kalangan petinggi GAM menjelaskan bahwa di barisan kelompok tua ada nama-nama seperti; Malek Mahmud, Zaini Abdullah, Tgk Usman Lampoh Awe, Ilyas Abed, Zakaria Saman. Kalangan GAM petempur, kabarnya seluruh alumni Libya –personil GAM yang pernah latihan kemiliteran di Libya- berada di belakang kelompok ini.

Sementara di kelompok muda berdiri Sofyan Dawood, Irwandi Yusuf, Bakhtiar Abdullah, Munawar Liza Zein dan beberapa panglima serta juru bicara GAM per wilayah. “Ada juga yang netral,” sebut sumber itu.

Soal Hasbi Abdullah bukan GAM murni. Bagi Tgk Usman, yang mengetahui Hasbi itu GAM atau bukan GAM adalah pimpinan. Pemahaman anggota GAM, tidak mesti memegang senjata. Muhammad Nazar sendiri diakui Usman sebagai anggota GAM yang duduk di Majelis. Sementara SIRA, organisasi pimpinan Nazar bukan bagian dari gerakan itu. “Agar tidak timbul masalah, kami berpikir tidak ikut pilkada, belum lagi calon independen pun belum terlalu jelas dalam RUU-PA yang belum disahkan,” jelas Tgk Usman kala itu.

Basa-basi dia menyebutkan, kebijakan yang diambil juga untuk menyimpan sedikit energi guna persiapan yang lebih matang dalam strategi politik selanjutnya. GAM akan mempersiapkan diri untuk pembentukan partai politik, guna melaju pada pesta politik 2009. Tapi pihak GAM mengizinkan semua anggotanya untuk maju atas nama pribadi dalam pilkada. “Saat ini keputusan itu sudah final.”

Ke depan kalau RUU-PA sudah disahkan? “Trik politik kita tidak tahu, kita saja bicara hari ini akan beda dengan besok,” sebutnya sambil meminta beberapa informasi jangan ditulis.

Usman sendiri mengakui soal ‘Tua-Muda’. Dalam mengambil keputusan ada perbedaan pendapat antara tokoh tua dan muda di tubuh GAM. Tapi, perbedaan pendapat hanya sebatas warna-warni dalam demokrasi, tidak sampai menimbulkan perpecahan. Keterkaitan tua-muda tidak bisa dipisahkan dalam pergerakan. “Di masyarakat memang ada kita dengar isu itu, tapi kita tidak pecah, mungkin masyarakat tidak tahu,” sebutnya.

Hal yang sama diakui oleh Sofyan Dawood, Juru Bicara KPA GAM. Menurutnya, dia tidak menganggap dirinya sebagai wakil dari tokoh GAM muda. Isu tentang Muzakkir Manaf, Ketua KPA GAM yang tidak bisa mewakili tokoh muda karena loyal kepada kelompok tua, dibantah Sofyan. Dia hanya menganggap sebuah kewajaran dalam pengabilan keputusan ada sedikit perbedaan pendapat. “Tidak ada perpecahan dalam tubuh GAM, semua jajaran KPA tidak ada masalah,” sebutnya kepada saya, beberapa jam setelah Tgk Usman memberikan keterangannya.

Sofyan menyebutkan, secara struktur memang ada tingkatan dalam tubuh GAM. Setidaknya dia menyebut tiga komponen, GAM yang duduk di Majelis, GAM pendukung dan GAM biasa. “Ada peringkatnya, karena tidak semua rahasia politik bisa diketahui oleh semua jajaran GAM.”

Pada pertemuan GAM seluruh dunia, Sofyan pernah memberikan saran siapapun yang naik mewakili harus dari GAM murni, alias benar-benar GAM. Sehingga sempat menimbulkan perdebatan menentukan sebuah calon yang tepat. Baru kemudian peserta menentukan beberapa calon untuk dipilih.

Menurutnya, keputusan yang diambil GAM untuk tidak ikut pilkada sudah bulat. GAM memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk mencalonkan diri secara independen, terserah kepada masyarakat untuk memilih mana yang terbaik.

Secara politik, dia menganggap keputusan itu sudah tepat. Andaikan GAM berkeras untuk naik sekarang dan kemudian menang di pilkada, tokoh gubernur dari GAM pasti akan sendirian, alias tidak didukung oleh parlemen di DPRD. Artinya sama saja dengan pemerintahan yang dulu, tanpa perubahan. Akibatnya, GAM akan tercoreng pada 2009. “Tetapi jika naik pada 2009, setelah siap dengan partainya, setidaknya akan ada anggota GAM di parlemen. Hal ini bisa membuat sedikit perubahan dalam pemerintahan Aceh.” Jelas Sofyan.

Demokrasi sedang berlangsung, mendalami politik setelah tak ada lagi konflik. Proses belajar kemudian berlangsung cepat bak kilat.

***
AHAD siang 4 Juni 2006, di Calang Aceh Jaya. Humam Hamid dan Hasbi Abdullah bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) resmi berdeklarasi sebagai calon gubernur. Mereka didukung sebagian GAM, sebut saja kubu tua.

Di kubu lain, kelompok muda menyusun kekuatan. Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar digandengkan guna mencalonkan diri melalui jalur independen, sesuai dengan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Calon independen silakan bertarung asal didukung oleh tiga persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk Aceh sekitar 4 juta lebih.

Rahasia umum, dukungan gerakan terbelah dua, bersaing bersama enam calon lainnya. Peta dukungan tak bisa ditarik dalam garis demarkasi. Sejumlah mantan anggota GAM masih bingung akan sikap para pemimpinnya, kala itu. Tak ada yang bisa menebak, kemana suara mengalir sampai pilkada dimulai, 11 Desember 2006.

“Saya akan memilih di Banda Aceh, surat sudah saya ambil dari Bireuen. Saya belum tahu TPS mana, besok aja saya kasih tahu,” jelas Irwandi ketika saya hubungi malam menjelang pilkada, 11 Desember 2006.

Benar saja, pagi itu Irwandi memilih di Banda Aceh, bukan di daerah kelahirannya, Bireuen. “Dulunya pernah tinggal di Kampung Laksana sekitar sembilan tahun,” sebutnya.

Pada pukul 08.30 Wib, Irwandi datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) III, Kampung Laksana, Banda Aceh. Puluhan wartawan memburu kehadirannya. Dia didampingi oleh Muhammad Nazar, wakilnya. Setelah mendaftar lalu mencoblos sambil menebarkan senyum ke warga yang padat.

Setelah Irwandi mencoblos, rombongan mereka langsung menuju ke Desa Lampulo. Muhammad Nazar terdaftar sebegai pemilih di TPS I Lampulo, Banda Aceh.

Irwandi sempat memberikan keterangannya kepada pers. Katanya, kalau ditemukan kecurangan dalam pilkada ada pemantau dan pihak berwenang yang akan menanganinya. “Saya meminta kepada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri jika adanya kecurangan.”

Berapa target suara? "Saya tidak pasang target apa-apa," sebut Irwandi.

Sementara itu, Humam Hamid melakukan pencoblosan di TPS IV Lampineung, Banda Aceh. Wakilnya Hasbi Abdullah, personil GAM yang pernah 13 tahun di penjara melakukan pencoblosan di TPS IV Kampung Laksana, Banda Aceh.

"Saya langsung pulang ke rumah usai pemilihan," sebut Humam kepada saya.

Hari itu, sebanyak 2.632.935 orang pemilih di seluruh Aceh memberikan suaranya untuk memilih delapan pasang calon gubernur/wakil gubernur Aceh, pada 8.471 TPS di seluruh Aceh. Kemudian ada 19 kabupaten/kota yang akan memilih bupati dan walikota-nya. Hanya masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan dan Bireuen yang belum memilih calon bupati.

Jelang sore hari. Irwandi dikalahkan Humam di TPS tempatnya memilih. Irwandi sempat kembali ke sana saat perhitungan suara, “Selamat, Humam menang ditempat saya,” ujarnya kala itu. Sementara Humam menang mutlak di TPS-nya sendiri. Irwandi hanya ada di posisi empat di TPS di TPS IV Kampong Pineung, Banda Aceh.

Malam hari, pukul 20.00 Wib. Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil quick count yang dilakukan oleh mereka. Irwandi berada di posisi teratas dibandingkan tujuh calon gubernur lainnya, dengan perolehan suara 39,27 persen. Sementara hasil quick count yang dilakukan LSM Jurdil, Irwandi juga unggul dengan 38,57 persen suara. Humam hanya ada diperingkat kedua.

Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud mengatakan, pihaknya akan menerima apa pun hasil pilkada. “Kita terima apa saja yang sudah dipilih oleh rakyat Aceh,” kata Malik Mahmud usai menghadiri acara perpisahan dengan anggota Aceh Monitoring Mission di Meuligoe Gubernur Aceh, Kamis malam, 14 Desember 2006.

Saat menghadiri perpisahan dengan AMM, Malik Mahmud dan Irwandi Yusuf duduk satu meja. Posisi mereka hanya dipisahkan oleh Pj Gubernur Mustafa (duduk dekat Irwandi) dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, yang duduk di sebelah Malik.

Usai pertemuan, terlihat Malik dan Irwandi sempat berbicara sebentar. Saat ditanya apakah dia juga menerima jika Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar menang dalam Pilkada 11 Desember. “Of course,” jawabnya singkat sambil berlalu meninggalkan wartawan.

Pada 29 Desember 2006, KIP merilis hasil resmi perhitungan suara. Tak jauh berbeda dengan hasil dari quick count sebelumnya. Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar ditabalkan sebagai pemenang dengan 38,20 persen suara dengan total pemilih 768.745. Sementara Humam Hamid – Hasbi Abdullah berada di posisi kedua, 16,62 suara (334.484).

Bagaimana hubungan Irwandi dengan kubu tua dan GAM Swedia?

“Yang datang waktu pelantikan saya GAM dari Swedia (PM Malek Mahmud), yang mempeusijuk (upacara ada Aceh) saya, GAM dari Swedia juga. Jadi cukup bukti saja, tak perlu saya jelaskan dengan kata-kata,” sebut Irwandi kepada saya saat wawancara pertengahan Februari 2007 lalu.

Irwandi mengakui dulu sempar timbul perseteruan saat pilkada. “Itu dulu waktu pilkada, sekarang tidak ada lagi masalah. Itulah Aceh. Selesai –masalah- dalam sebuah demokrasi.” [ ]

No comments: